31 August 2006

Pudarnya Kearifan Lokal

Albert Buntoro

Masih adakah kearifan setempat dalam masyarakat pedesaan kita, setelah begitu saja dibagi-bagikan bantuan-bantuan langsung, entah tunai maupun berbentuk makanan, yang tidak mendidik itu? Ataukah justru telah bergeser dan akhirnya hilang begitu saja?

Melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia No.12/2005, pemerintah semakin menegaskan pelaksanaan bantuan langsung tunai (BLT) bagi rumah tangga miskin. Bantuan uang senilai Rp100.000 per keluarga ini diberikan sebagai kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak. Dalam perjalanannya bantuan seperti ini menuai masalah baru di masyarakat, termasuk dalam kasus yang terjadi di Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur. Masalah kesimpangsiuran data penerima bantuan dan gejala ketergantungan terhadap bantuan sudah bukan barang baru lagi. Imbas yang paling mencolok dari BLT ini adalah semakin pudarnya kearifan lokal masyarakat TTS.

Bagaimana warga masyarakat menanggapi gelontoran duit-duit itu? Apakah mereka jadi lebih "kaya" seperti dibayangkan para pengambil keputusan bantuan itu, jika mereka digariskan sebagai "miskin" dan "melarat"?

Di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur banyak sekali lahan tanah yang tidak dimanfaatkan secara optimal. Tampaknya lahan-lahan itu sudah lama tidak diolah oleh pemiliknya. Gulma tumbuh subur melebihi tanaman-tanaman di sekelilingnya. Lebih parahnya lagi, bukankah gulma itu menghambat pertumbuhan tanaman-tanaman pangan yang justru dibutuhkan warga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

TTS merupakan daerah perbukitan yang mayoritas penduduknya petani di lahan kering. Penghasilan utama berasal dari hasil ladang yang rata-rata tidak mencapai Rp200.000 per bulan. Bahkan beberapa warga yang menjadi responden dalam penelitian kami mengaku bahwa dalam satu bulan penghasilannya hanya cukup untuk membeli kebutuhan dapur dan perlengkapan mandi. Beruntung bagi warga yang mempunyai pekerjaan samping selain di bidang pertanian, karena penghasilannya per bulan relatif lebih besar.

Sumber pangan masyarakat tani di TTS bersandar pada hasil ladang yang masih sangat tergantung pada musim. Jika musim kemarau tiba, sebagian dari warga pergi ke hutan untuk mendapatkan makanan tambahan berupa arbila hutan, keladi hutan (mae) dan putak. Jenis makanan ini sebagai sumber katahanan pangan terakhir di TTS.

Kondisi ini membuat masyarakat tidak memiliki banyak pilihan. Mungkin yang ada di benak mereka hanyalah bagaimana mendapatkan makanan untuk mengisi perut. Masyarakat semakin terpuruk dalam perangkap kemiskinan ketika tidak ada dukungan kelembagaan seperti misalnya koperasi, sarana prasarana, bahkan akses informasi.

Untuk mengentaskan kemiskinan sebenarnya perlu adanya upaya menguatkan kelembagaan, prasarana dan akses kepada informasi. Sayangnya, program yang sifatnya jangka panjang dan memberdayakan masyarakat di pedesaan tidak dikembangkan secara optimal dan bukan menjadi urutan atas dalam skala prioritas. Banyak blog sekarang juga sudah meragukan kegunaannya. Pemerintah cenderung mengeluarkan program-program jangka pendek (superfisial) yang sifatnya memberikan ’ikan’ ketimbang ’kail’. Sama halnya ketika memberikan orang lapar sepotong roti atau pun gula-gula pada anak-anak, yang hanya mengundang kekenyangan dan kesenangan sesaat.

Dulu masyarakat mengenal hidup gotong-royong dan kerja sama untuk kegiatan-kegiatan yang menyangkut kepentingan bersama. Sekarang kearifan itu sudah sulit ditemukan. Solidaritas sosial lama-kelamaan menjadi berkurang. Hal ini diakui oleh seorang bidan yang sudah tinggal cukup lama di salah satu desa di TTS.

”Saat pemerintah mengadakan kegiatan bulan bakti membersihkan kampung, yang tidak dapat bantuan tidak datang”, ungkapnya.

Lebih lanjut dia mencontohkan bahwa kegiatan bulan bakti bisa berjalan ketika ada BLT, yang biasanya diberikan sehabis kerja. Sepertinya cara seperti ini dijadikan sebagai salah satu strategi jitu dari pemerintahan desa agar kegiatan gotong-royong berjalan.

Bentuk bantuan langsung yang sifatnya tunai ini juga berwujud pemberian makanan tambahan (PMT) kepada anak-anak balita. Selain pemerintah, PMT juga diberikan oleh lembaga-lembaga non-pemerintah, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Sebagai salah satu bentuk tindakan darurat, PMT memang berkontribusi terhadap perbaikan gizi si anak. Sayangnya tidak terkelola secara optimal, baik yang terkait dengan jenis makanan yang diberikan dan juga manajemen distribusinya. Imbasnya justru menjadi negatif di masyarakat.

Terkait dengan jenis makanannya, sebagian besar PMT berbentuk makanan, berkemas seperti mie, biskuit, dan bubur instan. Tidak bisa dipungkiri bahwa pada jenis makanan tersebut juga mengandung asupan gizi yang cukup. Namun jika terus-menerus diberikan, dampaknya akan mengubah pola makan anak-anak. Karena sudah terbiasa, anak-anak lebih suka makanan berkemas itu ketimbang nasi atau pun sayuran. Dampaknya juga mempengaruhi sikap orang tua dalam pemberian makanan.

Perempuan-perempuan TTS yang sejak dulu terbiasa mengolah beras, entah ditumbuk atau dihaluskan, untuk makanan bayi atau anaknya kini lebih memilih membeli bubur instan yang langsung seduh. Beberapa tenaga kesehatan yang kami temui di lapangan memastikan bahwa saat ini masyarakat sudah menganggap mie kering sebagai makanan yang memiliki prestise. Mereka menjual hasil kebun dan ternaknya untuk kemudian dibelikan mie kering untuk makanan sehari-hari.

Sebut saja Frans Tapealu, staff puskesmas di kecamatan Polèn. Dia memberikan kesaksian bahwa ada masyarakat yang menjual telur ayam dari hasil peternakannya untuk dibelikan mie. Hal senada juga diungkapkan Dr. Suriawaty R. Seru.

”Dong semuanya petani, kadang dong bawa ayam dari desa pergi ke pasar untuk dijual, lalu belikan mie. Kadang telur juga di bawa ke pasar, dijual 1.000 toh. Lalu dong ganti dengan mie lima bungkus. Dong kasih anaknya makan mie. Mereka bangga dengan makanan yang dikemas.”

Nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan sebagai bagian dari kearifan lokal sudah mulai terkikis di dalam lingkungan budaya lokal komunitas TTS. Masyarakat menjadi terkotak-kotak, antara penerima bantuan dan yang tidak menerima bantuan. Di antara warga masyarakat terkadang muncul perselisihan. Para orangtua balita yang tidak memiliki masalah malnutrisi (gizi baik) protes karena anaknya tidak mendapatkan bantuan. Kader posyandu dan staf puskesmas yang biasa bertemu dan melayani langsung masyarakat terkena imbasnya. Seringkali mereka diolok-olok dan dituduh menggelapkan bantuan oleh para warga.

Semakin pudarnya kearifan lokal masyarakat TTS sudah sepatutnya mendapatkan perhatian khusus dari berbagai macam pihak. Modal sosial yang ada perlu dikembangkan untuk mencegah semakin rusaknya tatanan hidup bermasyarakat. Siapa yang akan memulainya? Melihat pengaruh negatif dari bantuan langsung di TTS, yang menjadi pertanyaan kita kemudian adalah apakah pemerintah dan lembaga-lembaga non-pemerintah lainnya akan tetap memberikan bantuan langsung yang tidak mendidik itu ke masyarakat? Kita lihat saja.**

Read More...

30 August 2006

Kami Makan Makanan Beracun Setiap Tahun

Yan Koli Bau

PAGI itu sekitar pukul tujuh waktu setempat saya tiba di rumah satu keluarga bersahaja setelah tiga jam berjalan darat dari Atambua menuju Kupang, Nusa Tenggara Timur. Jaraknya sekitar 100 km dari Atambua ke arah Kupang. Perjalanan jauh pada subuh yang dingin ini sengaja saya lakukan agar sedini mungkin tiba di rumah keluarga Pak Simo. Ketika tiba di tujuan, rumah dan sekitarnya itu lengang hanya dijaga oleh seekor anjing peliharaan yang agak galak meskipun sangat kurus.

Tak lama berselang seorang perempuan setengah baya datang dari rumah sebelah. Ia mengatakan Pak Simo menginap di kebun sekaligus menjaga hasil meramunya. Sedangkan Ibu Simo sudah menyusul ke kebun sejak ayam berkokok dua kali. Tetangga itu mengatakan, anak mereka yang berumur setahun dibawa ke kebun sedangkan yang berumur tiga tahun dan lima tahun dititipkan pada tetangga sebelah.

Sesaat saya tersentak, bagaimana anak-anak ini sarapan pagi dan apa yang dimakan?

Tanpa saya tanya tetangga mengatakan bahwa sarapan pagi diatur oleh tetangga. Anak tetangga dan anak-anak Simo makan bersama apa yang ada. Pembicaraan tetangga Pak Simo ini terlontar seolah tetangga itu menangkap apa yang saya pikirkan.

Berhubung kebun Pak Simo tidak jauh, sekitar lima kilometer dari rumahnya, saya ditemani seorang anak tetangga menyusul Pak Simo ke kebunnya. Perjalanan melewati dua sungai kecil, yang satunya masih dialiri air dan satunya lagi sudah mengering. Kami membutuhkan waktu sekitar 60 menit untuk tiba di tempat tujuan sebab sepanjang jalan banyak semak duri dan jalan setapak itu sangat sempit. Setiba di tempat tujuan saya sangat terkejut sebab apa yang dimaksud kebun sunguh di luar bayangan saya. Semula saya membayangkan kebun adalah sebidang tanah yang dipagari dengan baik, ditanami aneka tanaman seperti pisang, ketela pohon, papaya, ubi jalar, dan sebagainya. Tetapi ternyata gambaran itu tidak pernah ada.

Kebun itu tak lain lahan bekas Pak Simo pernah bercocok tanam dua tahun silam. Ditumbuhi rerumputan yang sudah mengering dan semak belukar. Ada yang berduri. Tampak beberapa pohon ubi kayu yang sudah pernah diambil umbinya. Daunnya sudah menguning. Ada beberapa sudut bidang tanah itu ditumbuhi ubi jalar yang tidak terawat dan tidak ada umbinya. Beberapa pohon nenas yang baru berbuah.

Pak Simo sendiri menambatkan seekor sapinya di antara semak belukar. Menggali tanah sedalam 40-50 cm, mendirikan empat tiang dari batang pohon duri dan menutupi atapnya dengan dedaunan. Semalaman ia tidur di atas dua lembar tikar tua yang sudah berlubang. Ditemani sebilah tombak, parang dan sebuah lampu sènter yang redup, katong sirih pinang dan tembakau kampung yang diiris kasar. Terasa sangat pahit.

Pak Simo harus melakukan ini sebab seekor sapi yang dipelihara bukanlah miliknya tetapi milik juragan sapi setempat yang gagal dipasarkan sebab masih kurus dan tidak memenuhi persyaratan pasar. Tugas Pak Simo menggemukkan sapi ini selama tiga sampai empat bulan hingga memenuhi persyaratan pasar. Untuk itu ia mendapat imbalan sebanyak Rp75.000-Rp100.000.

Menurut Pak Simo upah ini sangat rendah tetapi tidak mengapa sebab dapat dipakai untuk membeli jagung atau beras untuk keluarganya. Kata Pak Simo majikannya mengatakan kepadanya, “Daripada memberi makan sapi dengan beras, lebih baik beras diberikan kepada pak Simo dalam bentuk uang. Dan pak Simo memberi rumput kepada sapi.”
Ibu Simo menyusul suaminya ke kebun. Ia kemudian meletakkan semua makanan dan air minum yang diambil dari bak air umum di depan rumah mereka. Kemudian ia langsung mencari bahan makanan (meramu).

Beginilah ceritera mereka meramu: Ibu Simo menggantungkan sebuah keranjang anyaman dari daun pandan di ketiaknya. Lalu memetik buah polong “arbila hutan”, sejenis kacang yang tumbuh liar di hutan dan beracun. Ia memasukkan arbila yang dipetiknya itu ke dalam keranjang. Buah ini mengandung racun cukup kuat. Biasanya dipergunakan untuk meracuni udang dan ikan di sungai agar lebih mudah ditangkap. Meskipun tidak mematikan tetapi ikan dan udang akan lemas dan mengapung sehingga lebih mudah ditangkap.

Tampaknya Ibu Simo sudah sangat mahir. Buah arbila hutan yang dipilih adalah yang sudah tua, menguning atau bahkan sudah kering. Apabila arbila melilit belukar cukup tinggi sehingga tidak dapat diraih Ibu Simo, Pak Simo membantu meraihnya dengan batang kayu bercabang, merundukkannya lalu menginjak belukar itu atau menggilasnya dengan batang pohon besar agar Ibu Simo dapat memetik.

Kegiatan ini berlangsung hampir selama tiga jam. Sekitar jam 11.10 waktu Indonesia tengah saya pamit dan meninggalkan mereka. Sepanjang waktu menemani istri-suami itu, mereka berceritera bahwa buah polong arbila hutan akan dipilahkan menjadi buah kering dan buah basah. Setelah itu akan dikupas.

Langkah berikutnya adalah merebus buah yang basah sendiri pada satu periuk dan buah kering pada satu periuk lain. Menurut mereka periuk tanah tradisional lebih baik karena lebih cepat menyerap racun yang terkandung dalam buah arbila hutan. Apabila air sudah mendidih, air yang sudah mendidih dibuang dan digantikan dengan air baru. Kegiatan ini diulang-ulang sampai tujuh kali atau bahkan lebih. Untuk buah yang basah bisa dilakukan tujuh kali saja sebab racunnya relatif lebih cepat terkuras. Setelah tujuh kali atau lebih direbus, mereka sudah bisa mengkonsumsinya bersama anak-anak. Menurut pengakuan mereka kegiatan ini dilakukan setiap tahun pada musim kelaparan antara bulan Juli sampai Februari saat jagung berumur pendek dipanen.

Ibu Simo akan pulang ke rumah membawa arbila yang sudah selesai diolah untuk anak-anaknya dan keluarganya makan siang dan makan malam. Arbila yang sudah direbus tujuh kali itu hanya dapat bertahan hingga malam hari, keesokan harinya harus dipanasi lagi sebab kalau tidak dipanasi akan berlendir, bau basi bahkan berjamur.

Setiba di rumah Pak Simo, saya mendapati anak-anaknya bermain di bawah pohon bersama anak-anak tetangga. Saat ditanya apakah mereka sudah makan mereka dengan spontan menjawab sudah makan sedikit jagung rebus di rumah tetangga dan masih menanti Mama pulang dari kebun bersama Ayah. Ketika ditanya apakah mereka tidak lapar, anak-anak tidak berdosa ini menjawab dengan malu-malu bahwa mereka merasa lapar tetapi sudah terbiasa. Mereka baru akan makan jika ayah dan ibunya sudah kembali dari kebun.

Pikiran saya berkelana ke mana-mana, ke kebun yang jadi gudang dan garis depan pertahanan pangan Pak Simo sekeluarga. Pikiran saya melayang ke arbila hutan yang beracun, anak-anak yang telanjang tanpa alas kaki yang dititipkan pada tetangga sejak subuh dan belum sarapan pagi sampai saat terik siang hari.

Tak terasa saya sudah menghabiskan perjalanan darat selama empat jam dan tiba kembali di kilometer 15 di depan sebuah rumah makan tempat orang kota Kupang menghabiskan uang dan membuang sisa makanan dan lauk pauk ke kolam ikan. Pikiran saja juga bergolak dan menggugat bagaimana mungkin sebuah bangsa yang sudah 60 tahun merdeka membiarkan warganya mengonsumsi makan beracun?

Tidak adakah orang, lembaga entah pemerintah atau swasta yang memiliki kerelaan hati atau mungkin juga kewajiban menyelamatkan keluarga Pak Simo dan keluarga lainnya yang mengonsumsi makanan beracun setiap tahun pada rentang waktu yang sama?

Kalau toh ada orang yang rela mengambil tugas para malaikat untuk menyelamatkan keluarga Pak Simo dan keluarga lainnya, mungkin juga tugas itu tidak mudah sebab pemerintah belum tentu memiliki data lengkap dan akurat mengenai siapa saja yang menyerupai keluarga Pak Simo, berapa jumlahnya, ada di mana saja, dan mengapa seperti itu, bagaimana menanganinya?

Tetapi inilah kenyataan, dan ada lagunya, “… Itulah Indonesia..” Mungkin keluarga Pak Simo akan melanjutkan lagu ini dengan penggalan syair “..aku berjanji padamu.. akan kembali ke kebun lagi dan mengulangi lagi tahun depan pada waktu yang sama..”**

Salam dan Selamat (me)merdeka(kan) Bangsa Indonesia!

Read More...

17 August 2006

Pertapaan Perempuan Melahirkan

Oleh Yan Koli Bau

KELUARGA Anton, sebut saja namanya begitu, bertempat tinggal di tepi jalan raya Kupang-Atambua, di pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Sang suami bekerja sebagai petani sambil menjadi pedagang musiman dan juga menggarap sawah kerabatnya di Kupang. Cukup jauh jaraknya, 140 km dari rumahnya. Sang suami berpendidikan SLTA, dan isterinya SLTP. Mereka mempunyai empat orang anak. Mereka memiliki dua ekor sapi berumur dua tahun, dua ekor babi berumur dua tahun dan dua ekor anak babi, empat ekor anjing, dan belasan ekor ayam.

Apa yang dikerjakan Anton untuk menghidupi anak-anaknya dalam situasi serba terbatas? Bagaimana istrinya mencoba ikut memecahkan masalah keluarga? Tapi, ketika kemudian hamil, bagaimana ia menyesuaikan diri dengan tuntutan adat? Apakah latar belakang pendidikannya berperan dalam menyiasati persoalan adat?

Sebagai petani Anton menggarap empat ladang warisan orangtuanya secara bergantian. Kadang ia menggarap satu ladang dalam setahun, kadang dua ladang. Kemudian tahun kedua ia menggarap ladang lainnya dan yang telah digarap dibiarkan ditumbuhi belukar. Ketika hasil panen ladang tidak memuaskan, Anton menggarap sawah kerabatnya di dekat kota Kupang. Hasilnya dibagi. Anton mendapat dua pertiga dan kerabatnya sebagai pemilik sepertiga bagian. Lain waktu, saat senggang antara musim panen dan musim tebas saat dilakukan persiapan menanam berikutnya, Anton berdagang sayur-mayur dan buah-buahan ke kota Kupang.

Sang isteri mempunyai sebuah kios di tepi jalan, 30-an meter dari pondoknya yang berada persis di belakang rumah pamannya. Tanah tempat mereka tinggal milik pamannya. Mereka hanya memimjam. Menurut pengakuan ibu Anton, mereka membuka kios dengan modal sekitar Rp5 juta, dan segala perabotnya kira-kira bernilai antara Rp10 juta sampai Rp12 juta. Ibu Anton juga menuturkan bahwa penghasilan bersih dari kios tak menentu sebab banyak orang pergi ke ibukota kabupaten untuk berbelanja sebab jaraknya hanya 10 km. Banyak angkutan umum dan ojek. Di satu sisi keluarga Anton terseret jadi bagian dari ekonomi perkotaan, dengan menawarkan jasa, sementara ekonomi tetap subsisten, tetapi di sisi lain mereka juga masih berada dalam kondisi yang sangat kental nilai budaya setempat. Misalnya mereka meminjam tanah untuk membangun rumah, meminjam sawah untuk digarap, memelihara aneka ternak besar seperti sapi dan babi dan ternak kecil seperti anjing, ayam, kucing di emperan dan sampan rumah tinggal, menghuni rumah bulat, dst.

Salah satu ciri tradisional yang sangat kental adalah “pertapaan” ibu Anton ketika melahirkan. Menurut tradisi orang Timor, seorang perempuan harus tidur di dalam rumah bulat atas balai-balai beralaskan “gedhèk” (bambu dibelah membujur dan dibentangkan), lalu dialas dengan beberapa lembar tikar pandan. Balai-balai ini berketinggian sekitar 80-120 cm. Di bawah balai-balai itu dinyalakan api yang sangat besar sebab kayu yang harus dipakai adalah kayu kosambi yang arangnya keras. Terkadang dicampur dengan cemara yang arangnya juga keras. Kayu-kayu itu kayu pilihan yang sudah relatif tua, besar dan berteras. Api harus dinyalakan selama 40 hari siang dan malam. Selama itu pula ibu Anton tidak boleh mandi, tidak makan daging atau makanan lain selain jagung bose (jagung yang ditumbuk di lesung untuk dihilangkan kulit arinya). Tidak boleh dicampuri kacang atau sayuran apa saja. Di beberapa wilayah di Timor jagung bose dicampur dengan kacang kedele atau kacang hitam. Ibu Anotn mengistilahkan dirinya “dipanggang” selama 40 hari.

Ketika kami bertanya mengapa demikian, jawabnya supaya tidak masuk angin, jangan infeksi, dan tidak terjadi perdarahan. Karenanya dilarang keras makan daging. Mereka juga percaya bahwa selama 40 hari tidak boleh keluar rumah agar tidak diganggu oleh roh jahat dan dicelakai oleh orang jahat. Untuk mengantisipasi semua makanan di samping harus dipanggang sementara ia berpantang, juga akan dilakukan berbagai ritual, termasuk membakar belerang, kayu cendana, sabut kelapa, bawang putih, merah, buluh ayam, serta bahan lain untuk mengusir semua gangguan dari roh jahat pada setiap sore.

Pada hari ke empat puluh, ibu Anton mengantar anaknya ke gereja, menyerahkannya kepada pendeta atau penatua atau pejabat agama setempat, menggunting rambut sang bayi. Sejak itu bayi dan ibunya boleh keluar rumah. Sejak itu bayi sudah boleh diberi makanan tambahan secara bebas. Demikian juga sang ibu diperbolehkan makan kembali semua yang dilarang sejak kehamilan sampai 40 hari “pertapaannya”.

Menurut ibu Anton terkadang mereka sudah memberi makan bayinya sejak umur satu minggu. Tetapi makanannya harus sama dengan yang dimakan ibunya, yaitu air jagung bose saja. Ibu Anton juga sudah harus melakukan pekerjaan rutin yang dilakukannya sebelum ia melahirkan. Jumlah, jenis dan bebannya jauh lebih banyak dari yang dilakukan suaminya.

Pengamatan kami di sebuah desa di kecamatan lain, pasangan suami-istri yang sama-sama lulusan Pendidikan Guru Agama ternyata juga melakukan kebiasaan dan adat-istiadat yang sama. Kami menyudahi penelitian lapangan bukan dengan kesimpulan, tetapi justru dengan segudang pertanyaan dan rasa tak mengerti.

Apakah larangan makan yang begitu banyak bagi ibu hamil sampai 40 hari setelah melahirkan tidak berakibat negatif pada kesehatan ibu dan janin atau anak? Apakah tradisi “panggang” dapat membantu memelihara kesehatan ibu dan anak? Apakah justru tidak sebaliknya merusak kesehatan ibu dan anak, apalagi masih ditambah dengan membakar belerang dan bahan-bahan lainnya pada sore hari? Apakah memberi makan bayi terlalu dini seperti pada usia seminggu tidak membahayakan organ pencernaannya? Tidak adakah kaitan berarti antara tingkat pendidikan formal dengan perilaku suami-isteri dan kerabat dalam menghadapi kehamilan dan ibu melahirkan? Adakah gizi kurang, gizi buruk atau marasmus yang dialami beberapa keluarga di kecamatan yang sama tapi juga di kecamatan lain bukan dikarenakan oleh praktek hidup seperti itu?

Saya ingin kembali pada teman-teman pembaca sekalian. Barangkali anda mempunyai jawaban apa pun bentuknya, entah teori atau dari pengalaman, yang dapat memberikan masukan yang positif untuk membangun dan memelihara kesehatan masyarakat di Timor?**

Read More...

12 August 2006

Wanti-wanti: Berinvestasi di ORI

Oleh Reslian Pardede

MUNCULNYA ORI atau obligasi negara yang dijual secara ritel tentu patut disambut gembira karena instrumen ini memperkaya pilihan investasi dari pemodal ritel. Selama ini, pemodal ritel (terutama yang memiliki modal terbatas) sulit mengakses obligasi secara langsung mengingat nominal transaksi obligasi yang cukup besar (biasanya minimum Rp 1M). Namun, sebelum memutuskan untuk berinvestasi di ORI 001 (selanjutnya disebut ORI), ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan.

Pertama-tama, mari kita melihat imbal hasil yang diberikan ORI. Rencananya ORI akan memberikan kupon (menjadi imbal hasil jika dibeli pada harga 100%) sebesar 12,05% per tahun yang berarti setelah pajak menjadi 9,64% per tahun. Melihat karakteristik ORI dan pemodal ritel yang menjadi target utama ORI, sangat layak jika ORI dibandingkan dengan suku bunga deposito bulanan saat ini yang berada di kisaran 11,7% per tahun atau 9,36% per tahun setelah pajak. Ada selisih imbal hasil antara ORI dengan deposito bank sebesar 0,28% per tahun. Pertanyaannya, apakah selisih tersebut cukup untuk mengkompensasi “kekurangan” ORI dibanding deposito yaitu dalam hal tenor, likuiditas dan transparansi harga.

Pemodal ritel harus sungguh-sungguh memperhatikan horison investasi mereka jika hendak membeli ORI yang memiliki tenor (jangka waktu sampai jatuh tempo) tiga tahun. Selama ini, horison investasi sebagian besar pemodal ritel di Indonesia (yang berinvestasi di reksa dana dalam beberapa tahun terakhir) adalah jangka pendek, bahkan sangat pendek yang berkisar antara satu sampai tiga bulan. Sebenarnya horison investasi tidak harus match dengan tenor suatu instrumen. Mismatch antara horison investasi dan tenor bisa memberi capital gain namun bisa juga membawa capital loss.

Pelaku pasar professional bahkan seringkali dengan sengaja menciptakan mismatch dalam melakukan trading. Namun keuntungan tersebut hanya akan terealisir jika harga bergerak sesuai dengan posisi yang diambil pelaku pasar tersebut. Capital loss itu sendiri bisa disebabkan oleh berbagai hal antara lain pergerakan suku bunga. Bagaimana dengan peluang suku bunga untuk turun ke 10% yang oleh beberapa pengamat dikatakan cukup besar? Bukankah ada peluang memperoleh capital gain?

Peluang itu tentu saja ada. Akan tetapi, di tengah kecenderungan kenaikan suku bunga yang dilakukan beberapa bank sentral seperti di Jepang dan Australia belakangan ini dan harga minyak yang cenderung naik akibat eskalasi krisis Timur Tengah, peluang suku bunga untuk tidak turun atau bahkan naik juga ada. Lebih daripada itu, mengingat karakteristik pemodal ritel dan melihat bahwa pasar obligasi ritel ini sendiri belum teruji baik dari segi likuiditas maupun pembentukan harganya (price discovery) tentu hal yang wajar jika dikatakan bahwa eksposur terhadap capital loss lebih besar jika ORI dijual dalam jangka pendek.

Bagaimana dengan pemodal yang memiliki horison investasi kurang dari tiga tahun?
Selain pergerakan harga akibat suku bunga seperti yang dijelaskan di atas, likuiditas menjadi faktor kunci yang harus dipertimbangkan oleh pemodal ritel seperti ini. Resiko likuiditas dikatakan kecil apabila kita bisa membeli atau menjual suatu instrumen secara cepat tanpa mempengaruhi harga secara signifikan. Ada banyak pelajaran yang bisa mengingatkan kita betapa pentingnya likuiditas ketika suatu industri keuangan berhubungan dengan nasabah atau pemodal ritel. Salah satu bank terbesar di Indonesia pernah ambruk karena di-rush oleh nasabah hanya dalam beberapa hari.

Industri reksa dana tahun lalu remuk redam setelah dihantam kepanikan pemodal ritel yang melakukan penarikan dana secara massal. Terjadi penurunan harga obligasi yang luar biasa yang tidak terkait dengan faktor utama penentu harga obligasi seperti pergerakan suku bunga maupun kemampuan bayar emiten. Semua terjadi karena kepanikan pemodal yang mengakibatkan terkurasnya likuiditas. Tetapi kedua peristiwa itu bisa kita golongkan sebagai kejadian luar biasa.

Bagaimana dengan likuiditas dalam keadaan normal? Ada dua indikator yang bisa menunjukkan tingginya likuiditas yaitu besarnya volume transaksi dan tipisnya perbedaan (spread) antara bid (penawaran harga beli) dengan asked price (penawaran harga jual). Untuk menciptakan volume transaksi yang besar, syarat utama yang harus terpenuhi adalah besarnya jumlah serta meratanya penyebaran pembeli dan penjual. Namun itu saja tidak cukup. Untuk itu diperlukan market maker. Bagi obligasi ritel, peran market maker ini menjadi sangat penting. Market maker tidak hanya berfungsi sebagai broker yang hanya mempertemukan pembeli dan penjual melainkan ikut aktif mengambil posisi atau melakukan transaksi dengan selalu memberikan kuotasi harga beli dan jual untuk suatu obligasi tertentu. Selama ini, di pasar obligasi Indonesia belum pernah ada market maker dalam arti yang sebenarnya. Pemodal ritel yang tidak mempunyai akses seluas pemodal institusional tentu akan sangat terbantu dengan adanya market maker karena market maker tidak hanya membantu likuiditas tetapi juga membantu proses price discovery dari suatu obligasi. Semakin baik proses price discovery maka semakin tipis spread yang terjadi.

Namun price discovery ini bukan sesuatu yang otomatis tercipta dengan adanya market maker. Ketersediaan market maker baru satu langkah. Market maker juga pelaku pasar yang tentunya ingin untung. Suatu hal yang wajar. Market maker bukan malaikat penolong yang menghilangkan resiko pasar. Oleh karena itu, ada langkah lain yang diperlukan untuk membantu pemodal ritel. Perlu dibuka akses seluas-luasnya terhadap informasi harga bagi pemodal ritel. Ini menjadi faktor penting dalam memberdayakan pemodal ritel. Bursa Efek Surabaya (BES) mengatakan akan melakukan hal ini. Kita belum tahu seberapa efektifnya informasi harga dari BES ini dalam membantu pemodal ritel. Ini masih akan diuji dalam praktiknya nanti. Namun mengingat karakteristik pasar obligasi di mana transaksi terjadi melalui jaringan telepon antar-dealer atau broker (over-the-counter), akses terhadap harga obligasi dengan sendirinya menjadi agak terbatas. Artinya, keterbatasan akses informasi ini merupakan konsekuensi dari karakteristik pasar obligasi itu sendiri. Ini bisa dikurangi tetapi tidak bisa dihilangkan sama sekali. Hal ini perlu dipahami oleh para pemodal ritel. Ada resiko bahwa pemodal ritel tidak memperoleh harga terbaik yang mungkin bisa dia peroleh.

Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, kita melihat bahwa tampaknya lebih aman bagi pemodal ritel yang membeli ORI untuk menyimpan ORI sampai jatuh tempo. Pemodal yang berniat menjual dalam waktu kurang dari tiga tahun perlu mempertimbangkan apakah perbedaan imbal hasil sebesar 0,28% per tahun cukup memadai untuk mengompensasi resiko-resiko seperti yang diuraikan di atas. Perbedaan 0,28% per tahun tersebut menurut saya pribadi agak “tanggung”. Tetapi ini memang pendapat yang bersifat subyektif. Bagi beberapa orang mungkin dibutuhkan imbal hasil yang lebih tinggi untuk mengalihkan simpanan mereka dalam bentuk deposito satu bulan yang dananya bisa ditarik kapan saja (dalam waktu satu bulan), dengan “harga” yang pasti dan juga dijamin pemerintah ke bentuk investasi lainnya. Bagi beberapa orang lainnya, 0,28% mungkin sudah cukup.

Kembali pada ORI, kecuali anda adalah pemodal ritel yang mempunyai horison investasi tiga tahun dan/atau anda yakin suku bunga akan turun (sesuai dengan horison investasi anda) sebaiknya anda berpikir kembali sebelum membeli ORI. Sebaliknya, jika anda memang sudah siap dengan segala kemungkinan tersebut di atas, ini merupakan kesempatan untuk mencicipi bentuk investasi lain. Semua terpulang pada masing-masing pemodal. Tulisan ini tidak bermaksud menakut-nakuti pemodal ritel untuk berinvestasi di ORI tetapi mengajak pemodal ritel untuk mengenal resiko lebih mendalam sehingga menjadi lebih siap dalam berinvestasi.**

Reslian Pardede, Pengamat Pasar Modal & Peneliti di The Institute for Ecosoc Rights

Read More...

10 August 2006

Gang dan Kebebasan

Oleh Sri Maryanti

Apakah Anda pernah menyaksikannya? Atau kebetulan melihatnya?

SATU jam selewat shalat `Isâ’, potongan kehidupan ini biasanya terjadi. Coba tengok ke sepanjang gang-gang perumahan di Jakarta. Di gang sempit yang hanya bisa dilalui satu mobil sekali pun, akan sering terlihat pemandangan ini. Dua atau tiga remaja bergerombol duduk-duduk di luar pagar rumah-rumah yang berderet di kawasan menengah ke atas. Biasanya mereka anak perempuan usia belasan tahun. Memakai kaos model ketat berikut celana jeans selutut ala bintang sinetron. Kadang juga baju biasa. Begitu juga sandal jepit atau alas kaki rumahan tak lupa menyertai mereka. Sesekali ada pemuda-pemuda berada bersama mereka. Siapakah mereka?

Pada saat orang-orang lebih suka bercengkerama bersama keluarga di depan televisi seusai makan malam, anak-anak muda ini lebih suka duduk-duduk di keremangan pinggir jalanan kecil itu. Tertawa dan berkelakar. Kadang dengan dialek khas Jawa atau Banyumasan yang sudah menjadi milik mereka. Sering percakapan yang terjadi di antara mereka diselingi genjrèngan gitar si pemuda yang datang. Lalu senandung lirik-lirik pop, rock, dangdut sampai campursari terdengar.

Ini adalah sekelumit gaya remaja-remaja yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga di beberapa tempat di Jakarta. Kebiasaan bekerja di dalam rumah dengan pola kerja, kewajiban-kewajiban serta tata krama tertentu dan rutin, membentuk satu subkultur baru di luar kehidupan rumah.

Semua tahu, hidup sebagai pekerja rumah tangga, menjadikan seseorang sehari-hari harus bergumul di dapur, pasar, dan seputar rumah majikan. Apalagi pekerja rumah tangga yang berasal dari daerah yang tinggal di rumah majikanmya. Kalau tidak ada aktivitas selain bekerja, maka siang dan malam akan ia lalui di tempat yang sama. Asal tahu saja, sopan-santun yang dituntut para majikan dari pekerja rumah tangganya kadang lebih berat ketimbang yang ia tuntut dari anak buahnya di kantor. Jadi beban bersopan-santun seorang pekerja rumah tangga lebih berat dari pekerja kantoran.

Apa yang sebenarnya membuat mereka senang? Jawabannya mungkin ada pada hari-hari usai gajian. Mungkin juga saat ada kesempatan jalan-jalan di mall beserta majikan. Bisa jadi malah ada di gang-gang depan rumah majikannya usai jam makan malam tersebut.

Ini adalah hal baru yang saya yakini benar.


Gang-gang itu adalah kebebasan. Di sana para remaja tersebut tidak lagi diharuskan berfikir mengenai merek minyak goreng apa yang harus ia beli. Setumpuk jemuran yang belum disetrika. Jadwal memberi makan anjing milik majikan. Lantai yang harus disapu dan dipel. Atau rutinitas mengangkat telpon rumah tiap kali berdering.

Di gang itu ada satu kesempatan berjumpa dengan kawan sesama pekerja rumah dengan kenikmatan percakapan yang intim dan akrab. Saling bercerita tentang keluarga, teman, pacar, dan masa depan tentu suatu kebahagiaan. Perjumpaan-perjumpaan seperti ini tak mereka temukan di dalam rumah majikan.

Di gang itu pula mereka boleh disambangi kekasih-kekasih mereka tanpa perlu ijin dan birokrasi dari majikan pemilik rumah. Maka sejenak gang-gang itu sebetulnya menjadi sesuatu yang sedikit menghidupi dua puluh empat jam waktu milik mereka.

Betul atau tidak pikiran saya? Tanyakan pada pekerja rumah tangga anda.

Categories: [Kota_]

Read More...

02 August 2006

Belalang dan Keong Mas di Sumba Timur (2)

MESKIPUN orang terus baku debat tentang bagaimana memahami hama-hama lapar di Nusa Tenggara Timur (hama belalang kembara, keong mas, dll.), tampaknya ada satu hal penting yang tak boleh lupa: Apakah hama itu sudah tak mengancam pertanian di Sumba lagi? Mudah-mudahan.

Namun, yang jelas, keadaannya tetap tak jelas, karena hama itu masih mungkin menyerang lagi. Saya mendapatkan kabar yang mengandaikan masih adanya ketakpastian ini dari Simon P. Pandahuki, petugas pemantau dan pengendali hama (PHT) dari dinas pertanian Sumba Timur. Apa yang dilakukannya? Bagaimana ia bisa berhasil mencegah hama belalang menghabisi sawahnya?

Karena tugasnya, Simon meninjau dan memantau bibit-bibit belalang itu muncul di mana saja. Keliling-keliling kabupaten. Naik sepeda motor. Berat juga pekerjaan pegawai negeri ini. Dia juga pernah mendampingi pakar entomologi Prof Kasumbogo Untung dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, untuk meneliti perilaku belalang kembara itu. Entah apa hasilnya untuk masyarakat Sumba. Nyaris kurang terdengar dari mulut para petani. Yang jelas, April 2006 Simon melihat puluhan ribu belalang sudah mulai ngendon lagi di hutan terdekat dari Waingapu. Wanti-wantinya perlu didengar, kalau tak ingin terlambat.

Caption: Simon Pandahuki sedang memegang bibit mimba (kiri/atas), Agus Dapa Loka (kanan/atas), Ndena Njurumana (bawah/samping)

Simon sendiri sudah tahu kunci penanganannya, tapi tampaknya hanya untuk lingkup lahan pertanian sempit. Bukan untuk proyek yang besar. Jangan-jangan belalang kembara ini tak bisa ditangani secara proyek-proyekan. Barangkali ini hikmahnya untuk masyarakat dan pemerintah. Yang jelas, tampaknya kemujarabannya layak dicoba. Soal proyek atau jangan proyek itu tampaknya soal lain, karena bersangkutan dengan berbagai aspek implementasi program dan bergantung kerangka berpikirnya bagaimana. Tapi, yang jelas, apa pun keadaan dan alasannya, coba sekali lagi bayangkan: hama belalang sudah menyerang selama delapan tahun di jangkauan wilayah dua kabupaten di pulau Sumba (juga dilaporkan terjadi di Timor). Terlalu lama dan terlalu luas. Dan sampai sekarang sebagian besar masyarakat petani sebenarnya tetap belum pasti tentang penanganan praktisnya bagaimana. Siapa yang salah? Pemerintah atau masyarakat?

Sebenarnya saya ingin bertemu dengan Simon bukan karena belalang, tapi karena ia membibitkan pohon mimba di halaman rumahnya. Saya tertarik mau bawa oleh-oleh bibit pohon mimba (azadirachta indica), karena berbagai kegunaannya. Di antaranya adalah untuk pengobatan penyakit (anti diare, penyakit napas, sakit gigi, malaria, kencing manis, disentri, masuk angin, penyakit kulit [eksim, gudig] sindap, ketombe, hepatitis, gagal lever, kanker lever, jerawat.. Wah, 1001 penyakit. Hebat nggak?), dan bisa untuk macam-macam guna lain: obat nyamuk, pestisida dan pupuk organik. [Wah, wah! Itulah sebabnya saya mau tanam di pot. ☺] Nusa Tenggara Timur sendiri dikatakan sebagai kawasan di mana pohon mimba itu banyak tumbuh. Simon mengatakan mimba sebenarnya lebih banyak di Madura. Teman-teman di Jember, Jawa Timur tak asing dengan tanaman ini. Tapi hati-hati, kalau kebanyakan minum ramuan tanaman ini, bisa mandul, kata mereka.

Rumah Simon di balik kawasan pacuan kuda Waingapu dikelilingi pohon-pohon mimba. "Di dalam rumah saya tak ada nyamuk," begitu ia menyatakan keyakinan kemujaraban pohon yang rasa daunnya pahit itu. Di depan rumahnya demplot-demplotannya sudah banyak membantunya ketika mendukung proyek ratusan juta rupiah untuk menanam mimba oleh Bappeda Sumba Timur. Entah ditanam di mana pohon-pohon itu. Soalnya, petani-petani yang anak-anaknya kurang gizi kok tak tahu-menahu tentang mimba yang dahsyat kegunaannya itu.

Simon sendiri juga punya sawah sesempit 10 are, tak jauh dari saluran air bendungan Kambaniru. Dan sawahnya, menurut pengakuannya, tak pernah diserang belalang sama sekali. Hasilnya bisa sampai 800 kg gabah. Tapi kenapa kok hanya Simon saja yang bisa mencapai prestasi semacam ini? Memang tugasnya tidak jadi penyuluh sih. Tapi apa yang dilakukan para penyuluh yang lain? Terlalu banyak petani dan jumlah penyuluh kurang? Ini pendapat yang dikemukakan oleh mantan kepala dinas pertanian kabupaten Sumba Timur, yang saya temui di toko pertaniannya Aditani di kota Waingapu, tapi ternyata juga anggota DPR dan Departemen Pertanian di Jakarta.

Sambungan lain: Meskipun sudah tak ada hama belalang menyerang 2006, banyak petani masih saja menceriterakan sedikitnya hasil produksi mereka. Jumlahnya tak mencukupi untuk persediaan makanan keluarga, sekalipun.

Alasan lain yang mereka ajukan adalah hama keong mas. Di desa-desa di sekitar bendungan Kambaniru, kecamatan Waingapu, Sumba Timur, masih dikeluhkan adanya hama siput ini. Bisa kita lihat dengan mudah cangkang-cangkang bekas rumah mereka dan telur-telurnya di sawah-sawah di sekitar kelurahan Mauliru. Teman saya Agus Dapa Loka yang bertani di sekitar kelurahan Kambajawa kewalahan menghadapi keong mas.

Di pulau Jawa, lagi-lagi, seperti belalang, orang memakannya untuk tambahan protein. Di Sumba semula orang memakannya, tapi sekarang sudah jadi jijik karena siput yang telurnya seperti es krim itu sudah jadi terlalu banyak dan jadi hama. Agus Dapa Loka mengatakan telur-telurnya bahkan sudah bersarang di dinding bendungan Kambaniru. Wah.

Sementara petani pintar bisa mengendalikannya dengan memelihara bebek dan itik. Tapi banyak yang tak memelihara unggas ini meskipun mereka tahu telurnya bergizi. Atau, memasang pintu air dari bambu di mulut saluran sawah. Keong-keong akan mangkal di situ. Tinggal ambil. Malah Ndena Njurumana juga mengamati bahwa keong-keong ini bisa berguna, karena mereka hanya makan batang padi ketika masih muda. Maka bisa dimanfaatkan untuk membersihkan gulma, katanya.

Kemudian saya ceriterakan pada Agus Dapa Loka tentang kegunaan pohon mimba. Dia terheran-heran. Pohon mimba ada di belakang rumahnya, tapi dia tak tahu untuk apa. Untung tak ditebang. Juni 2006 dia mencoba ramuan mimba ini untuk membasmi wereng yang juga menyerang sawahnya. Wereng langsung tewas, tulisnya lewat pesan singkat pada saya. “Campuran dan porsi yang saya coba ternyata pas sekali,” lanjutnya dalam sms.

Siapa mau coba?**

TIPS MENARIK!
Yang ingin sedikit mencicipi pandangan udara dan sekaligus meraba latar belakang ilmu bumi dari Kota Waingapu, kawasan persawahan di pinggir kota ini yang sayangnya justru banyak anak kurang gizi, dan bendungan (sungai) Kambaniru kiranya tak rugi jika meng-klik beberapa links jasa WikiMapia yang ada dalam kalimat ini, asal sabar dikit.

Lihat tulisan sebelumnya: Belalang dan Keong Mas di Sumba Timur (1)

Read More...

10 Kali Lipat ‘Jam Terbang’ Perempuan!

Oleh Iswanti Suparma

NAMANYA Muda Kadu. Perempuan 37 tahun. Tinggal di kecamatan Kodi Utara. Seperti kebanyakan perempuan Sumba, di antara kegiatan sehari-hari dalam rumah tangganya adalah mengambil air. Muda Kadu harus dua kali mengambil air di sumber mata air yang berjarak lebih dari dua kilometer. Setiap hari. Setiap hari pula hal ini harus dilakukan oleh perempuan-perempuan Kodi lainnya seperti Petronela Ng Lora, Valentina Ambukakas, Petronela Ambukaka dan perempuan temannya. Memang daerah tempat tinggal Muda Kadu adalah daerah sulit air.

Jika kita biasa menghitung jam terbang pilot dalam mengemudikan pesawat, bagaimana kalau kita belajar berhitung ‘jam terbang’ Muda Kadu dalam mengambil air?

Jika umur Muda kadu sekarang 37 tahun, dan telah mulai mengambil air sejak umur 10 tahun, maka sudah 27 tahun Muda Kadu mengambil air. Jika diambil rata-rata dalam sehari Muda Kadu menggunakan waktu selama lima jam, telah sekitar 48.600 ‘jam terbang’ Muda Kadu dalam mengambil air.

Bandingkan dengan Kapten Penerbang MJ Hanafie si pemandu Falcon F-16 atau Kustono si pemandu Seahawk. Mereka hanya mencapai seribu jam saja, dalam waktu enam tahun saja! Tapi penghargaan pada mereka … bayangkan: sebaliknya! Para petempur itu ‘mencuri’ penghargaan berlipat-lipat dibandingkan yang diterima oleh Muda Kadu. Ini perbandingannya: 6/1000 dibagi 27/48.600. Alias lebih dari 10 kali penghargaan yang seharusnya diberikan kepada kaum perempuan pengambil air di Sumba Barat, karena ‘jam terbang’ mereka yang tinggi sekali!

Apa yang mau kita bicarakan dengan hitungan 'jam terbang' ini? Pertama, saya ingin bicara tentang air dan beban kerja perempuan. Kedua, saya ingin bicara kebijakan pembangunan pemerintah Sumba Barat tentang air yang tidak sensitif dan responsif gender? Ketiga, saya ingin bicara tentang usulan partisipasi politis perempuan melalui air.

Pertama, tentang air dan beban kerja perempuan.

Siapa yang menyangkal bahwa air menjadi kebutuhan yang hampir menentukan hidup atau mati dalam keseharian manusia? Tidak mungkin manusia hidup tanpa air. Dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari, yang masih harus banyak berurusan dengan air adalah perempuan. Apakah beban yang ditanggung Muda Kadu tentang persoalan air hanya soal berapa lama dan berapa jauh dia mengambil air? Jawabnya: Tidak! Kesulitan mendapatkan air, bagi Muda Kadu dan ibu atau perempuan Sumba lainnya, memiliki rentetan panjang berbagai kesulitan lainnya. Bukan hanya banyaknya jam dan jarak jauh yang ditempuh untuk mendapatkan air, tetapi secara langsung kesulitan mengakses air itu mempengaruhi beban dan kualitas hidup perempuan atau para ibu dan anak-anak mereka (keluarga) di Sumba Barat.

Kesulitan mengakses air berarti juga kesulitan mempertahankan kebersihan tubuh. Anak-anak dan anggota keluarga lainnya jarang mandi yang memungkinkan mereka jadi rentan terhadap berbagai penyakit kulit. Air juga penting untuk menjaga kebersihan pangan serta sandang yang digunakan sehari-hari. Apalagi terdapat kebiasaan kurang sehat dalam masyarakat Sumba: mengkonsumsi air dari sumur, mata air atau sungai untuk diminum tanpa dimasak. Kesulitan air juga berarti ibu-ibu mengalami kesulitan menanam sayur-sayuran sebagai sumber gizi dan vitamin keluarga, yang rentetan panjangnya adalah anak-anak mengalami kurang gizi dan vitamin.

Beban tenaga mengambil air yang cukup berat dan minimnya air tidak memungkinkan ibu-ibu menggunakan perlengkapan kontrasepsi yang rentan terhadap kerja fisik cukup berat. Karenanya kegiatan mengambil air membutuhkan tingkat kesehatan tinggi. Padahal kesehatan prima mempersyaratkan kebersihan menggunakan air. Belum lagi, jika kebutuhan air harus dipenuhi dengan membeli, berarti menambah pengeluaran keluarga.

Kedua, tentang kebijakan pembangunan pemerintah kabupaten Sumba Barat tentang air yang tidak sensitif dan responsif gender.

Jika berjalan-jalan di daerah Sumba Barat, yang berkerumun di mana ada mata air, sumur, leding atau sungai kebanyakan, malah hampir semuanya adalah perempuan. Mereka mengambil air, mencuci baju, mandi. Muda Kadu dan perempuan lainnya, dalam sehari bisa menghabiskan waktu berjam-jam dan jarak berkilometer-kilometer untuk mendapat air. Persoalan air untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga tampaknya belum mendapatkan perhatian serius dari pemkab Sumba Barat.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Sumba Barat 2005-2010, misalnya, pengembangan prasarana pengairan diarahkan untuk menunjang pengairan pertanian lahan basah. Tidak disinggung sama sekali tentang pengembangan prasarana air untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Penyusunan anggaran dan rencana pembangunan daerah seperti itu tampak belum responsif gender. Perempuan adalah pihak yang terkena beban paling berat dengan persoalan pengadaan air bagi kebutuhan rumah tangga ini. Hal ini terkait langsung dengan kebiasaan pembagian kerja menyangkut tugas, peran dan tanggung jawab perempuan atau ibu-ibu dalam menyediakan air untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga.

Negara – melalui Pemerintah – memiliki tanggung jawab bagi pengadaan air untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Kebijakan Pemkab Sumba Barat – Dinas Pekerjaan Umum/Kimpraswil – dalam hal pengadaan prasarana air kelihatan sekali masih bersifat sektoral, proyek dan berfokus pada prasarana pengadaan air untuk meningkatkan produksi pertanian, sementara yang menyangkut pengadaan prasarana air untuk kebutuhan rumah tangga masih dikesampingkan. Tanggung jawab ini, untuk sementara masih menjadi beban masyarakat (khususnya perempuan), juga LSM lokal maupun internasional yang peduli pada persoalan ini.

Ketiga, usulan partisipasi politis perempuan melalui air.


Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbangdes) adalah mekanisme paling bawah dalam proses partisipasi publik dalam penyusunan anggaran dan belanja serta pembangunan daerah. Pertanyaannya, apakah selama ini perempuan dilibatkan dalam penyusunan Musrenbangdes di desa-desa di Sumba Barat? Jika perempuan masih memikul beban “paling besar” dalam penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (mencuci, mandi, menjaga kebersihan tubuh, pangan dan sandang, penanaman sayuran, dll,), maka perempuan imperatif kategoris (!) harus dilibatkan dalam proses politis Musrenbangdes ini. Walaupun tidak mudah melibatkan perempuan dalam proses pengambilan keputusan politis, tetapi hal ini harus dilakukan.**

Tentang kebijakan publik Pemkab Sumba Barat sudah atau belum responsif gender, lihat lebih lanjut dalam artikel “Sum-Ba: Susah Buat Mama, Baik buat Bapa” dalam posting selanjutnya. Tunggu tanggal mainnya!


Categories: [Perempuan_] [Busung Lapar_]

Read More...