30 June 2007

Ibu-ibu di depan sekolah TK

Sri Maryanti

Pagi di sebuah TK di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Di sela-sela anak-anak yang tengah bermain dan berlari-lari, sekelompok ibu-ibu ngobrol sambil mengawasi anak-anaknya. Satu sama lain tampak saling mengenal dengan baik. Rutinitas bertemu itu membentuk interaksi dan kebiasaan yang unik. Namun tak pelak lagi, semua itu butuh biaya.

Apakah keputusan-keputusan masing-masing ibu dalam kelompok tersebut dalam mengeluarkan uang lebih didorong oleh keinginan dalam dirinya melalui perhitungan yang cukup? Atau justru faktor eksternal yang lebih mempengaruhi?

Seorang ibu mengaku hampir setiap bulan pasti menerima undangan ulang tahun untuk anaknya yang belajar di TK. Untuk itu, ia mesti mengeluarkan uang kado. Uang transportasi mesti mereka keluarkan jika ulang tahun jatuh pada hari Minggu yang otomatis perayaannya sering di luar sekolah. Apalagi rumah mereka tak selalu berdekatan. Kadang ada yang agak di luar kota.

Pengeluaran menjadi bertambah. Ada perasaan tak enak kalau tidak datang karena setiap hari mereka bertemu. Selain itu, anak-anak sering merengek minta datang ke pesta semacam itu. Lantas pesta ulang tahun menjadi semacam kebiasaan.

Orangtua tidak tega mengelak saat anak-anak mereka minta dipestakan saat ulang tahunnya. Pesta semacam itu juga sering jadi alat persaingan untuk memperlihatkan kemampuan finansial mereka.

Menjelang akhir bulan puasa seorang ibu lainnya mengeluh. Ia mesti mengeluarkan Rp50.000 untuk iuran. Iuran itu dimaksudkan sebagai “Tunjangan Hari Raya” untuk kepala TK dari kumpulan ibu-ibu tersebut. Ibu itu tak bisa mengelak karena ide tersebut disepakati oleh sebagian besar kelompok ibu-ibu itu.

Memang ada ibu-ibu yang memiliki otoritas dalam dirinya untuk memutuskan tidak mengikuti trend yang ada begitu saja. Namun jumlahnya tak banyak.

Kebetulan di sekolah tersebut, para guru sudah biasa memperoleh bingkisan dari orangtua murid. Ini sering terjadi pada saat kelulusan murid. Di beberapa SD di Tebet, ada guru-guru yang terbiasa menerima kenang-kenangan saat kenaikan kelas.

Selain itu kalangan tersebut juga memiliki kegiatan arisan. Pada waktu-waktu tertentu mereka belanja bersama untuk mengusir kebosanan menunggu jam pulang sekolah. Gosip dan konflik sesama ibu-ibu sering membentuk geng-geng tersendiri di antara mereka.

Namun begitu, mereka mengaku juga memperoleh manfaat dalam pergaulan itu. Mereka bisa saling tukar informasi mengenai tugas sekolah anaknya dan kebutuhan-kebutuhan lainya. Seperti tempat les yang baik, dokter yang baik, tempat berbelanja barang kebutuhan anak, dll. Ada juga seorang ibu yang mencoba mengembangkan bisnis dengan memanfaatkan kelompok itu sebagai pangsa pasarnya, mulai dari jual beli parfum, pakaian, kue-kue kering sampai asuransi.

Read More...

24 June 2007

Aku terkejut membaca buku ini

“.. peran PKI dalam peristiwa itu hanyalah bagaikan pemuda bodoh yang berjalan dan melihat lampu hijau, lalu menyeberang jalan dan tertabrak oleh truk sampah yang pernah mereka lihat. Tragis.."
Sri Maryanti

Perang saudara pecah di negeri ini pada tahun 1965. Sekelompok pasukan militer mencoba merebut kekuasaan di ujung September tahun itu. Semua terjadi begitu cepat dan rumit. Tidak terpahami oleh jamak. Bahkan oleh para pelaku sejarah sendiri.

Aku terkejut membaca buku ini. Yang kubaca sangat jauh dari apa yang telah kumengerti sebelumnya. Apakah ini sesuatu yang benar? Ada kengerian sesaat waktu membaca bagian awal buku ini. Jangan-jangan buku ini menjebak. Sesaat seperti kehilangan pegangan tentang mana cerita yang benar.

Dalam hitungan jam kekuasaan lumpuh, banyak tokoh bingung dan kehilangan kendali kekuasaan. Para petinggi militer terbunuh di Jakarta. Soekarno terperangkap dalam keterbatasan informasi dan didesak mengamini sebuah ku-deta. Sementara dalam waktu yang singkat dan membingungkan itu deal-deal politik terjadi diam-diam. Dalam hitungan jam, angin berubah arah menghantam balik komplotan itu. Di hari-hari berikutnya pertumpahan darah terjadi merambah sampai ke desa-desa. Ratusan ribu orang menjadi terbunuh sia-sia. Demikian Benedict R O’G Anderson dan Ruth T McVey mengawali temuan awalnya dalam bukunya Analisis Awal Ku(-)deta 1 Oktober 1965.

**

Kuputuskan untuk terus membaca walau tetap dengan praduga. Pemahaman sejarahku mendadak terjungkir balik. Aku yakinkan diriku bahwa aku manusia dewasa yang bisa bebas membaca dan menilai. Selama membaca buku ini sulit untuk menghindari ingatan-ingatan saat pertama kali aku mengetahui peristiwa itu.

Aku lahir pada tahun 1977, kira-kira duabelas tahun setelah peristiwa itu terjadi. Mungkin aku adalah satu di antara jutaan anak lain yang tak menyaksikan peristiwa itu. Tapi sewaktu aku duduk di kelas satu SD, ada kabar kakak tingkat kelas lima dan enam diminta sekolah untuk nonton film tentang PKI di sebuah bioskop. PKI adalah singkatan dari Partai Komunis Indonesia. (Tapi, orang-orang di kampungku tidak mengujarkan persis dua bunyi vokal pertama dari kata ‘komunis’ itu. Mereka bilang ‘kuminés’, bukan ‘komunis’).

Seusai menonton mereka ramai bercerita tentang adegan-adegan yang jarang mereka tonton. Seorang anak membasuh mukanya dengan darah ayahnya, wajah-wajah penuh luka, tentang pembunuhan-pembunuhan sadis di waktu subuh. Mereka bilang itu kisah nyata. Aku jadi ingin tahu.

**

Tapi, buku ini menyampaikan informasi yang berbeda dari pemahamanku selama ini. Dari pelajaran sejarah yang kuperoleh di sekolah, aku hanya mengerti bahwa telah terjadi pemberontakan yang dilakukan dengan keji dan brutal yang didalangi oleh PKI. Peristiwa tersebut lalu melekat kuat dibenak semua orang dengan istilah Gestapu (Gerakan Tigapuluh September).

Lewat penelusuran pada laporan-laporan pers ibu kota maupun daerah tahun 1965, Ben dan kawan-kawan mengatakan sesuatu yang lain. Dengan jelas mereka menyimpulkan dengan perumpamaan bahwa peran PKI dalam peristiwa itu hanyalah bagaikan pemuda bodoh yang berjalan dan melihat lampu hijau, lalu menyeberang jalan dan tertabrak oleh truk sampah yang pernah mereka lihat. Tragis.

**

Seperti hari-hari lain aku santai di hadapan kotak bodoh yang disebut televisi itu bersama saudara-saudara di rumah. Lalu diputarlah film itu. Aku menyaksikannya walau tak mengerti benar isi film itu. Aku hanya ingat ada adegan-adegan penyiksaan kejam yang berdarah-darah. Tetangga-tetanggaku bilang pelakunya PKI. Yang terekam dalam benakku PKI adalah sesuatu yang mengerikan dan jahat. Selebihnya kesanku tentang film itu adalah ada kebiadaban yang pernah terjadi dan masih tetap mengancam sampai sekarang sehingga harus kita musuhi. Lalu pada masa kanak-kanak itu, di kampung kami setiap ada anak yang nakal dan berbuat jahat kami juluki PKI.

**

Tapi anehnya, buku tulisan pak Ben dan ibu Ruth ini menunjukkan fakta bahwa PKI hanya diseret-seret oleh sekelompok kekuatan di militer yang merasa tidak puas dengan kelompok yang menguasai pucuk pimpinan angkatan bersenjata saat itu.

Banyak data yang diangkat Ben dan Ruth untuk mendukung kesimpulannya. Fakta penting yang mendukung kesimpulan Ben adalah pengumuman ku-deta pertama lewat radio yang dibuat Untung (sapa lagi ya pemilik nama ini? O ternyata, katanya, pimpinan tertinggi pelaku kudeta) menyebutkan telah terjadi gerakan militer dalam tubuh Angkatan Darat. Pengumuman itu lebih memperlihatkan ketidakpuasan seorang prajurit pada gaya hidup para pimpinannya. Pengumuman itu sama sekali tidak menyebut-nyebut buruh atau petani yang merupakan simbol kekuatan PKI. Ini mengindikasikan bawah upaya “ku” tersebut di bawah kendali militer.

**

Masa sih begitu .. Sebab, saat kemampuanku membaca dan memahami tulisan mulai berkembang, aku menemukan sebuah tulisan tentang kekejaman PKI dari majalah milik tetangga. Ada gambar-gambar korban PKI dan cerita detail tentang penculikan yang dilakukan PKI. Aku mulai mengenali nama-nama sejumlah jenderal, tokoh PKI, tanggal kejadian, dan nama-nama tempat kejadian. Tulisan itu juga menceritakan urut-urutan peristiwanya. Betapa kejam dan menakutkan PKI itu, begitu pikirku. Bukankah ini semua berbalikan dengan yang pak Ben dan ibu Ruth bilang?

Aku juga menemukan tulisan-tulisan senada dalam buku biografi para pahlawan revolusi di perpustakaan sekolah SD. Jadi sewaktu guru PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) di sekolah baru mulai mengajarkan tentang peristiwa itu, aku merasa sudah menguasainya.

**

Ben juga menunjukkan adanya informasi bahwa anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan Pemuda Rakyat berada di Lubang Buaya saat para jenderal dibunuh dalam rangka latihan militer di bawah didikan Angkatan Udara. Mereka dibangunkan pagi-pagi seperti kebiasaan latihan. Mereka juga tidak tahu-menahu siapa yang tengah dibunuh. Seorang wanita hamil yang ada di situ menerima tamparan saat bertanya siapa mereka. Ini masuk akal karena para pimpinan PKI selalu tegas memerintahkan mereka untuk bekerja sama dengan tentara pelatih. Keberadaan mereka di sana sepenuhnya di bawah arahan tentara.

Ben juga melihat beberapa anggota Pemuda Rakyat yang tadinya membantu pasukan pemberontak di pusat kota. Namun setelah terjadi negosiasi antara Soeharto (anti-ku-deta) dengan satuan-satuan ini, mereka justru ditangkap oleh pasukan yang mereka bantu.

Keterlibatan sebagian Pemuda Rakyat dan Gerwani dalam peristiwa ini tak cukup untuk menyimpulkan bahwa PKI mendalangi perebutan kekuasaan tersebut. Kalaupun peristiwa itu didalangi PKI, hari itu pasti akan terjadi demonstrasi besar-besaran mendukung perebutan kekuasaan oleh massa PKI.

**

Anehnya, yang aku dengarkan dari cerita-cerita dari mulut ke mulut di kampungku kok lain. Mereka bilang bahwa pada jaman gestapu, PKI dan warga sering berkelahi. Perkelahian sering mengorbankan jiwa. Yang ada di benakku PKI memang seperti bukan bagian dari warga. Mereka adalah ancaman. Lantas orang berpendapat kalau memang pantas orang PKI itu dimusuhi.

Aku juga ingat tetanggaku disebut-sebut sebagai bekas orang PKI. Anaknya yang satu sekolah denganku dikabarkan akan sulit memperoleh pekerjaan. Aku tidak melihat masa depan lagi baginya. Kupikir akan sia-sia sekolahnya, karena masa depannya jelas-jelas suram.

Seingatku peristiwa tentang PKI kembali diajarkan di bangku SMP dan SMA lagi. Namun bumbu-bumbu tentang kekejaman PKI sudah mulai berkurang sewaktu aku belajar di bangku SMA.

**

Berikut ini ada bagian dari tulisan pak Ben dan ibu Ruth yang menarik. Soalnya, mereka ngrembuk soal apa yang dilakukan Soekarno hari itu. Pada waktu yang hampir bersamaan dengan pembunuhan para jdenderal, Sukarno dijemput oleh Untung dan dibawa ke Halim dengan alasan pengamanan. DN Aidit (pimpinan tertinggi PKI) juga dijemput dan hadir di sana. Soekarno dibawa ke tempat di mana ia terpisah dengan akses informasi tepercaya (para penasihat presiden dan kontak-kontaknya) untuk diyakinkan bahwa ku-deta itu sah dilakukan. Di sana Untung membutuhkan dukungannya atas ku-deta yang ia lakukan. Ini penting karena Soekarno saat itu memiliki dukungan besar dari masyarakat.

Sementara Aidit dihadirkan di sana agar lebih meyakinkan Soekarno dan mengesankan bahwa ku-deta tersebut didukung PKI sebagai salah satu partai besar itu. Penjemputan Aidit lebih merupakan kebutuhan legitimasi bagi tindakan Untung.

Lalu mengapa perpecahan internal di Angkatan Darat tersebut berbuntut perang saudara yang menumpahkan banyak darah? Untuk menjawab pertanyaan ini perhitungan waktu antarkejadian sangat diperhatikan oleh Ben dan Ruth. Pengumuman Untung yang pertama melalui siaran radio menyiratkan telah terjadi konflik internal di tubuh Angkatan Darat di Jakarta. Berita ini segera terdengar oleh rekan Untung di Resimen Diponegoro Semarang. Mereka kemudian mengikuti pola perebutan kekuasaan serupa di Semarang, Yogjakarta dan Solo.

Semarang, Salatiga, Solo dan Boyolali adalah wilayah yang kepala daerahnya orang PKI. Siaran Untung yang pernama mengumumkan dibentuknya Dewan Revolusi ditangkap oleh massa PKI sebagai sinyal telah terjadi angin ke arah revolusi. Beberapa koran haluan kiri terpancing memuat berita yang mendukung kelompok ku-deta. Walikota Solo memberikan pernyataan terbuka mendukung ku-deta. Mereka tidak menyadari bahwa kekuatan ku-deta di pusat telah dilumpuhkan pada hari yang sama.

Meskipun Aidit yang telah terlebih dahulu mengetahui ku-deta di Jakarta telah dilumpuhkan telah mencoba berkomunikasi dengan pimpinan partai di Jawa Tengah. Ia menekankan agar massanya tidak larut dan tetap netral dalam peristiwa ini, tetap saja ada gejolak di bawah yang tak terkendali bereaksi secara gegabah sebagai luapan semangat. Ini kemudian yang memicu kelompok-kelompok lain di daerah yang selama ini tersingkirkan oleh PKI ikut melakukan pemberangusan besar-besaran terhadap partai ini setelah keadaan dikuasai kembali oleh lawan.

**

Sudah lama sebenarnya aku mendengar tentang buku ini. Konon penulisnya pernah diusir dari Indonesia karena menulis buku ini. Tapi buku ini sering disebut-sebut orang sebagai buku yang menarik. Aku jadi ingin membacanya.

Tidak mudah mendapatkannya. Tak pernah kujumpai di toko buku. Beberapa perpustakaan terkemuka di Jakarta yang kutelpon mengatakan tak memiliki buku ini. Akhirnya kuperoleh versi Indonesianya di perpustakaan sebuah lembaga penelitian. Begitu masuk lebih dalam ke bacaan ini, pemahaman sejarahku serasa dijungkirbalikkan.

**

Ben dan Ruth dengan detail bisa menggambarkan nuansa psikis para pelaku sejarah dalam setiap pembicaraan dan pengambilan keputusan politik di saat genting tersebut. Mereka juga didukung data yang akurat hingga dinamika para tokoh pemberontak dan PKI selama di Jawa Tengah teridentifikasi dengan jelas. Bahkan sampai jenis alat transportasi dan nama tempat di mana mereka bergerak dan berada tersebutkan. Hal ini juga terlihat pada bagian yang menceritakan penculikan para jenderal.

Buku ini mengulas banyak hal menarik seperti sekilas kemungkinan pengaruh politik internasional saat itu, juga mengapa akhirnya PKI yang dijadikan pihak yang dituding bersalah, seperti apa posisi Soekarno yang menyadari dirinya berada di pusat wilayah pemberontak saat keamanan sepenuhnya di bawah kendali Soeharto. Banyak hal diungkap dalam buku ini.

Buku ini juga memuat beberapa dugaan alternatif tentang siapa yang ada di balik peristiwa berdarah tersebut. Bagian ini menyertakan argumen-argumen dengan hitungan yang detail dan hati-hati untuk menguji setiap dugaan yang muncul.

Seperti sebuah novel, akhir buku ini menyajikan kejutan tak terduga. Meskipun Nyono (anggota Politbiro PKI) memberikan pengakuan bahwa PKI mendalangi peristiwa berdarah dengan memaparkan sebuah skenario, Ben berhasil menelanjangi dan menunjukkan ketidakkonsistenan dari pengakuan Nyono tersebut.**

Lihat juga diskusi tentang topik ini:


Read More...

09 June 2007

Menjual anak-anak petani miskin?

Bank Indonesia — Data Transfer Dana Tenaga Kerja Indonesia Juni-Desember 2006 untuk Wilayah Kerja Kabupaten Jember, Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso

Bank Indonesia — Data Transfer Dana Tenaga Kerja Indonesia Juni-Desember 2005 untuk Wilayah Kerja Kabupaten Jember, Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso

Data Buruh Migran Kabupaten Jember 2004-2005
SELAMA ini buruh-buruh migran dipandang sebelah mata. Di satu sisi, mereka dianggap ”illegal”, ”tidak sah”, ”undocumented”. Malah sekarang muncul lagi istilah eufemistik baru: ”unauthorized”. Di sisi lain, pada kenyataannya mereka memasukkan banyak sekali uang hasil kerja dari luar negeri ke desa-desa asal mereka. Bagaimana gambaran ketidakseimbangan ini?

Kita ambil contoh dari kabupaten Jember, Jawa Timur, sebagai salah satu daerah asal para buruh migran Indonesia. Berapa banyak uang dikirimkan oleh buruh migran ke wilayah pedesaan di kabupaten itu? Berapa perbandingannya dengan pendapatan asli daerah kabupaten Jember? Berapa persen yang tak dapat diurus pemerintah dengan baik sehingga tak terwujud perlindungan pada para buruh migran itu?

Untuk semester kedua 2005 Bank Indonesia wilayah kerja Jember dan sekitarnya mencatat lebih dari 12.000 buruh migran asal spesifik kabupaten Jember mengirimkan uang lewat berbagai bank sebanyak lebih dari Rp22 milyar. Untuk paruh kedua 2006 sebanyak lebih dari 11.000 buruh migran mengirimkan uang sebesar Rp26,4 milyar. Tentunya data ini dapat dipandang sebagai ”jujur” karena untuk mengirimkan uang lewat bank orang harus menunjukkan rekening dan identitas yang diperlukan.

Berapa perbandingannya dengan pendapatan asli daerah (PAD) dari Jember? Catatan dari pemda setempat yang termaktub dalam monograf laporan setebal 336 halaman berjudul ”Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Jember, Tahun Anggaran 2005” menyebutkan PAD kabupaten Jember (hanya) sebesar Rp44.204,509.152,77. Alias, hanya untuk paruh kedua 2006, besaran hasil kerja nyata buruh migran setaraf dengan nyaris 60 persen dari pendapatan asli daerah. Kabupaten yang disesaki oleh perkebunan-perkebunan dengan hak-hak guna usaha yang luas itu ternyata komparatif menghasilkan begitu sedikit pendapatan yang dapat dimanfaatkan warga masyarakatnya sendiri.

Lalu berapa data resmi buruh migran asal Jember yang dicatat oleh pemerintah? Ternyata sangat jauh perbedaannya. Biro Pusat Statistik (BPS) cabang Jember, berdasarkan catatan dari kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi kabupaten Jember, pada tahun 2005 secara resmi mencatat (hanya) sejumlah 267 orang buruh migran asal Jember berangkat bekerja ke luar negeri. Perbedaan sangat kontras ini dapat menggambarkan bagaimana kantor-kantor pemerintah satu sama lain saling bertentangan dan tak berkoordinasi dalam mencatat pendataan baik dari segi kependudukan maupun dari segi keuangan.

Dapat dikatakan bahwa dalam konteks kabupaten Jember jumlah para buruh migran —yang selama ini disebut-sebut secara sepihak sebagai ”illegal”, ”tidak sah”, ”tak berdokumen”, dsb. itu— mencapai 97 persen. Mereka ini pula yang memasukkan hasil kerjanya sebanyak perkiraan rata-rata Rp4,3 milyar per bulan ke desa-desa di Jember.

Namun, hasil kerja ini kurang diakui sebagai ”hasil nyata” yang dapat ikut mengentaskan masalah kemiskinan dan keterbelakangan pembangunan di desa-desa. Tampaknya kurangnya pengakuan resmi atas keterlibatan buruh migran dalam penyelesaian masalah kemiskinan itu di antaranya dilatarbelakangi oleh karena uang sebanyak itu setiap bulan langsung masuk atau berada di tangan para buruh migran dan keluarga mereka sendiri. Baru-baru ini dalam salah satu wawancara, kepala dinas tenaga kerja dan transmigrasi kabupaten Jember, Drs. H. Moh. Thamrin, MM dengan jelas menyatakan: ”Bagaimana bisa memberikan perlindungan bila tidak ada pendapatan?”

Barangkali hal ini pula salah satu latar belakang mengapa hasil kerja buruh migran itu lebih disebut sebagai ”sumbangan”, tak bedanya seolah-olah sumbangan yang kita berikan kepada teman kita dalam resepsi nikahnya. Uang remittance itu tidak sempat bisa dikorupsi oleh pihak-pihak mana pun. Bukankah tugas membangun dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan merupakan tugas utama dari pemerintah dan kita sebagai warga masyarakat ikut terlibat membantu?**

Update 12/06/06
Artikel menarik dari Martin Manurung:
Fixing Regional Autonomy, First Things First

Read More...

08 June 2007

Aliansi Rakyat Miskin

Laporan Keuangan Diskusi Publik Aliansi Rakyat Miskin -- Jakarta, 30 Mei 2007

AWALNYA pembentukan Aliansi Rakyat Miskin (ARM) merupakan respons atas meninggalnya Irfan Maulana, seorang joki “three in one” yang meninggal karena dianiaya oleh aparat satuan polisi pamong praja (Satpol PP), 8 Januari 2007. Aliansi ini kemudian menggelar demonstrasi di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Menteng, Jakarta Pusat, menuntut penuntasan kasus meninggalnya Irfan Maulana.

Pada perkembangannya, keberadaan ARM dirasa terus diperlukan untuk mendukung penyelesaian masalah-masalah yang dialami warga miskin di Jakarta

ARM dibentuk oleh beberapa organisasi rakyat miskin dan badan-badan swadaya di Jakarta. Organisasi yang saat ini tergabung dalam ARM adalah Jakarta Center for Street Children (JCSC), Urban Poor Consortium (UPC), Serikat Rakyat Miskin Kota (SRMK), Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Indonesian Federation of Lesbian, Gay, Bisexual & Transgender Communities (Arus Pelangi), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Jakarta, LBH APIK Jakarta, Serikat Becak Jakarta (Sebaja), LBH Jakarta, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Komunitas Kaum Jalanan Bersatu (KKJB), Solidaritas Mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (Somasi UNJ), Front Mahasiswa Nasional Resisten (FMN-R), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Keluarga Mahasiswa Universitas Islam Jakarta (KM-UIJ), Pergerakan Demokrasi Rakyat Miskin (PDRM) Aceh, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), Aliansi Buruh Menggugat (ABM), The Institue for Ecosoc Rights.

Dari beberapa diskusi ARM, terasa betul bahwa keberadaan Satpol PP menjadi ancaman bagi kehidupan warga miskin di Jakarta. Melawan langsung Satpol PP serasa sia-sia, sedangkan keluarga, pekerjaan dan tempat tinggal mereka terus terancam.

Maka ARM kemudian mengadakan bengkel diskusi sehari untuk membedah masalah Satpol PP dan warga miskin dari berbagai aspek baik dari sisi hukum, hak asasi, anggaran, dari perspektif korban maupun perspektif Satpol PP.

Kegiatan tersebut diselenggarakan 30 Mei 2007 dan menghadirkan beberapa pembicara antara lain Nurleli Darwis ( Departemen Hukum dan HAM), Estu (LBH APIK), Yeni Sucipto (Fitra), Nek Dela (UPC), Hotma Sinambela ( kepala Satpol PP Pulau Seribu), Imran S dan Iwan ( yang juga kepala Satpol PP) dan Tubagus Haryo Karbyanto (FAKTA).

Peserta yang hadir sebanyak 45 orang; terdiri dari perwakilan pedagang kaki lima, pengamen, anak jalanan, korban penggusuran, buruh, mahasiswa dan pekerja sosial. Tampak antusiasme peserta dalam mengikuti diskusi. Hal ini tercermin dari banyaknya penanya dan ragam pertanyaan yang muncul. Bahkan banyak peserta lain ingin bertanya walaupun waktu yang telah diperpanjang sudah habis. Acara ini diliput oleh beberapa media masa seperti Kompas, Sinar Harapan, Sinar Pagi, Media Indonesia, majalah Hidup, dan beberapa radio.

Diskusi sehari tersebut membuka banyak hal baru yang akan dijadikan dasar pijakan untuk rencana-rencana ARM berikutnya. Setelah diskusi itu, peserta sepakat untuk membentuk aliansi yang lebih kuat dan lebih luas. Peserta diskusi juga berencana mengadakan rapat-rapat tindak lanjut atas hasil diskusi sehari tersebut.

Diskusi tersebut dibiayai dengan dana iuran anggota aliansi dan sumbangan dari beberapa penyumbang. Klik di sini untuk melihat laporannya. Sisa dana akan digunakan untuk membiayai kegiatan ARM berikutnya.**

Read More...

07 June 2007

Gerakan Buhangu Madangu di Sumba Tengah

Sri Palupi

Di republik ini sudah tak aneh lagi kalau aparat atau pejabat publik terlibat korupsi. Tidak aneh pula kalau yang namanya pejabat publik sekedar menjabat tetapi tidak (banyak) berbuat. Tidak ada yang aneh memang, karena kebanyakan pejabat – yang paling korup sekali pun – merasa diri sudah berjasa dan berbuat banyak bagi rakyat. Di republik ini, yang namanya salah kaprah soal jabatan sudah dianggap lumrah. Jabatan tidak lagi identik dengan tindakan melayani (masyarakat), melainkan kekuasaan yang menuntut upeti dan pelayanan. Pernahkah kita membayangkan, apa yang terjadi ketika seorang aparat atau pejabat publik tiba-tiba mendapat pencerahan dan kemudian menyadari, dirinya tidak berbuat banyak?

Adalah Umbu Sangadji (updated 19 Juni 2007), seorang tokoh masyarakat dan mantan kepala desa Tana Modu, kecamatan Katikutana, kabupaten Sumba Tengah – Nusa Tenggara Timur (NTT), yang tergerak untuk berbuat sesuatu bagi rakyat banyak yang miskin di desanya. Komitmen ini berawal dari kesadarannya sebagai elit desa yang selama ini tidak banyak berbuat bagi rakyat.. Selama 1961-1998 Umbu menjabat sebagai sekretaris desa (sekdes). Selama itu pula ia menyaksikan bagaimana birokrasi pemerintahan dijalankan, bukan untuk melayani masyarakat melainkan memperkaya elit penguasa. Ia menilai, birokrasi semacam ini bisa bertahan sejak pemerintahan Orde Baru karena adanya tradisi ketaatan pada penguasa atau pimpinan birokrasi. Aparat bawahan tidak boleh menolak apa yang menjadi titah penguasa di atasnya. Betapapun korupnya sang penguasa, bawahan harus diam. Prestasi aparat birokrasi dinilai bukan dari tingginya kinerja dalam melayani masyarakat, melainkan tingginya loyalitas pada sang penguasa.

Umbu, yang kini berusia 67-an tahun itu mengaku, selama menjadi sekdes ia menyaksikan demikian banyaknya dana pembangunan yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk mengatasi kemiskinan. Sayangnya, uang pembangunan itu banyak diselewengkan. “Kuitansi dimanipulasi, laporan dipalsukan, uang pembangunan dilenyapkan,” keluhnya. Ia tahu ke mana larinya uang-uang itu. Tapi apa mau dikata, tradisi dalam birokrasi memaksanya diam.

Sikap “diam” selama 37 tahun menyaksikan ketidakberesan, membuat batin Umbu terganggu. Tahun 1999, di saat ada pemekaran desa, ia berkesempatan menjadi kepala desa. Sayang, ia hanya punya waktu dua tahun dan harus berhenti karena umur. Dalam dua tahun itu pula ia mengaku tak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa menghibahkan sebagian tanah miliknya untuk kepentingan desa. Rasa bersalah karena tidak banyak berbuat semakin menguat semenjak Umbu terpilih sebagai ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) di tahun 2002. “Pada saat itu terjadi pergumulan dalam diri saya. Saya merasa, selama punya jabatan, saya tidak berbuat banyak untuk rakyat. Padahal saya adalah bagian dari elit yang merusak," demikian Umbu bergumam lirih.

“Pada saat itu terjadi pergumulan dalam diri saya. Saya merasa, selama punya jabatan, saya tidak berbuat banyak untuk rakyat. Padahal saya adalah bagian dari elit yang merusak," demikian Umbu bergumam lirih.


Meski ada dorongan kuat untuk berbuat sesuatu, pada awalnya ia tidak tahu apa yang bisa dilakukan. Yang ia tahu, dirinya tergolong kelompok elit di desanya dan kelompok elit ini, menurutnya, jumlahnya sangat sedikit. Tidak sampai 20 persen. Sementara orang miskin jumlahnya paling banyak. Ia juga yakin, yang membuat rusak desanya bukanlah orang miskin yang jumlahnya paling banyak itu, tetapi justru orang-orang elit yang jumlahnya paling sedikit. Keyakinan ini melahirkan tekad, orang elit harus berbuat sesuatu untuk orang banyak yang miskin itu. Sebab orang elit-lah yang paling banyak mengambil hak orang miskin.

Kesadaran sebagai elit desa yang harus berbuat sesuatu bagi mereka yang jumlahnya paling banyak menggerakkan Umbu untuk mendekati kelompok elit di desanya. Pertama-tama ia mengajak adiknya sendiri untuk memikirkan caranya. Mereka kemudian mendekati satu per satu elit di desanya. Beberapa elit berhasil ia dekati dan mereka mulai terjun ke lapangan untuk berdialog dengan para warga miskin di sekitar mereka. Dari sekian banyak persoalan, Umbu melihat beberapa persoalan yang bisa mereka atasi bersama. Di antaranya adalah kerusakan lingkungan, air bersih dan sanitasi, pola pikir dan pola kerja masyarakat. Kaum miskin selama ini dinilai Umbu tidak bisa memanfaatkan hasil produksi secara baik. Hasil panen padi ladang mereka jual, bahkan yang seringkali terjadi, mereka menjualnya dengan sistem ijon. Kebiasaan berjudi di kalangan masyarakat miskin di desanya terbentuk karena pola pikir dan pola kerja mereka. Namun apa yang terjadi pada kelompok miskin ini, menurutnya, bukan sepenuhnya kesalahan mereka. Sebab kaum miskin selama ini lemah aksesnya atas informasi, khususnya informasi yang menyangkut pembangunan. Kondisi inilah yang membuat Umbu prihatin.

Salah satu tindakan konkrit yang dilakukan Umbu bersama para elit di desanya adalah menjadikan sebagian kebun milik mereka sebagai hutan. Mereka juga membangun sumur dan WC untuk komunitas-komunitas miskin. Setiap keluarga elit yang mau bergabung bersama Umbu menyisihkan sedikitnya seperempat hektar kebunnya untuk dihutankan. Ada sembilan sumur dan WC yang mereka bangun untuk kaum miskin di desanya. Mereka juga secara sukarela memfasilitasi pelatihan-pelatihan untuk komunitas-komunitas miskin. Dalam waktu dua tahun Umbu berhasil membentuk kelompok masyarakat mandiri yang disebutnya Buhangu Madangu. Buhangu Madangu, artinya “orang elit mencintai yang banyak”. Meskipun gerakan ini adalah ajakan untuk kaum elit, namun anggota dan pengurusnya tidak terbatas pada kelompok elit. Dalam kelompok masyarakat mandiri yang kini beranggotakan 126 KK dari 253 KK yang ada di desanya, bergabung pula warga dari komunitas-komunitas miskin.

Adakah hasil dari gerakan Buhangu Madangu yang dirintis Umbu? “Dulu, masyarakat enggan menanam pohon. Sekarang, masyarakat sudah mulai berubah pola pikirnya. Mereka sudah mau menanam pohon. Bukan hanya itu. Mereka juga mulai menghargai perempuan. Selama ini perempuan tidak pernah dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan desa. Sekarang, mereka sudah mau melibatkan perempuan dalam setiap pertemuan. Kalau dulu kaum miskin tidak punya akses informasi, kini kaum miskin tidak lagi miskin informasi. Kelompok Buhangu Madangu telah menjadi wadah untuk menampung informasi, baik dari atas maupun dari bawah. Kalau ada proyek-proyek dari luar yang masuk ke desa, misalnya, kelompok Buhangu Madangu-lah menjadi kelompok pelaksana program”, demikian Umbu berkisah tentang perubahan yang terjadi di kampungnya.

Kiprah Umbu tidak berhenti hanya sebatas kampungnya sendiri. Perjumpaannya dengan NGO yang bergerak di isu lingkungan mendorongnya untuk memperluas ruang geraknya. Bersama dengan Umbu Sakala dan Umbu Damaleha, yang sama-sama mantan kepala desa, ia membangun Forum Jaringan Masyarakat “Manupeu Tanadaru (Jama Tada)”. Manupeu Tanadaru adalah nama hutan taman nasional, yang terbentang di sepanjang Sumba Timur, Sumba Tengah dan Sumba Barat. Sesuai dengan namanya, Forum yang beranggotakan 44 orang ini – 22 orang berasal dari masyarakat dan 22 orang lainnya dari aparat pemerintah desa – bekerja dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal. Pada 22 Mei 2007 forum ini resmi menjadi organisasi yang memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Adanya forum yang merupakan kolaborasi antara pemerintah desa dan masyarakat ini telah mendorong 22 desa di kabupaten Sumba Tengah membuat aturan tentang pelestarian alam.

Kalau seorang mantan kepala desa yang tercerahkan saja bisa berbuat seperti itu, tentulah seorang pejabat atau mantan pejabat tinggi bisa berbuat lebih banyak lagi bagi rakyat banyak. Kalau saja kesadaran seperti yang dimiliki Umbu Sangadji menjadi kesadaran kolektif para elit politik-ekonomi di negeri ini, tak perlu menunggu sampai 2030 untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa unggul seperti yang dibayangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Atau setidaknya, dengan adanya kesadaran kolektif dari para elit untuk “mencintai yang banyak”, tak perlu lagi kita bergantung pada hutang luar negeri dalam mengatasi kemiskinan. Sebab para elit itu akan dengan sukarela berbuat banyak bagi kelompok miskin. Atau setidaknya mereka mengembalikan hak kaum miskin yang selama ini telah mereka ambil.**

Read More...