14 August 2009

Proyek Hutan Bakau Memperdaya Petani Lembata??

Surat Terbuka untuk Menteri Kehutanan RI

Yang Terhormat Bapak Menteri Kehutanan,

Pada akhir Juni 2009 telah datang pada kami sekelompok petani asal Kabupaten Lembata, provinsi NTT, yang dipimpin bapak AS. Hadung Boleng bin Yusuf. Kebetulan pada waktu itu kami sedang berada di Lembata, sehingga kami dapat bertemu langsung dengan mereka dan berkunjung ke lokasi di mana mereka tinggal. Mereka datang mewakili 214 petani anggota Kelompok petani Penyangga Abrasi Laut/Alam Darat (KLOMPPAL/D), yang pada tahun 2004 menjadi mitra kerja dinas kehutanan dalam pelaksanaan proyek pengembangan hutan mangrove pola partisipatif di Kabupaten Lembata. Mereka datang pada kami dengan satu tujuan, yaitu mengadukan masalah yang mereka hadapi terkait pelaksanaan proyek. Menurut mereka, sampai proyek berakhir, tidak diketahui secara pasti berapa sesungguhnya besar anggarannya. Mereka menilai, proyek pengembangan hutan mangrove itu telah dijalankan secara tidak transparan dan terkesan manipulatif.

Sudah lama mereka mencium adanya ketidakberesan dalam proyek itu. Mereka mulai yakin akan adanya manipulasi sejak mereka diminta menandatangani Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS) baru, yang isinya jauh berbeda dari SPKS lama. Pada SPKS lama, tertera anggaran proyek sebesar Rp 38.228.000. Selain itu, mereka juga diperintahkan untuk membakar SPKS lama. ‘Kenapa harus dibakar?’ pikir mereka. Apa yang tertulis dalam SPKS baru itulah yang membuat mereka kemudian merasa telah menjadi korban manipulasi pihak dinas kehutanan Kabupaten Lembaga. Mengapa?

Saat melihat lembaran SPKS baru yang hendak mereka tandatangani, ketua kelompok petani membaca, dalam lembaran itu tertulis angka Rp 12.000 per hari kerja, 214 petani aktif dan 424 hari kerja. Jika dikalkulasikan secara matematis, jumlah uang yang diterima kelompok petani itu semestinya 1.088.832.000. Namun pada kenyataannya mereka hanya menerima uang sebesar Rp 32.128.666 yang dibagikan untuk 214 petani. Ini berarti, dengan 424 hari kerja sebagaimana tertulis dalam catatan pihak dinas kehutanan, setiap petani hanya dibayar Rp 400 per hari kerja. Padahal dalam SPKS baru itu disebutkan, petani dibayar Rp 12.000 per hari kerja. Jauh sekali selisih yang diterima petani dengan yang tertera dalam SPKS.

Indikasi manipulasi bukan hanya dalam hal pembayaran upah kerja. Ketua kelompok petani itu mengaku, pihaknya juga pernah diminta petugas dari dinas kehutanan untuk menandatangani berkas atau blanko kosong. Selain itu, ketua kelompok petani juga diminta menandatangani kwitansi pembayaran anakan pohon bakau dan ajir oleh pihak dinas kehutanan. Padahal anakan bakau dan ajir (kayu penyangga) itu didapat petani bukan dari dinas kehutanan, tetapi dari usaha para petani itu sendiri. Tak sepeser pun uang mereka terima sebagai ganti pengadaan anakan bakau dan ajir (kayu penyangga). Ironisnya, dengan target penanaman 50.000 pohon bakau dan 10.000 cadangan di lahan seluas 10 hektar (maaf, sebelumnya kami salah ketik [50 hektar] red. 24/8/2009) yang ditetapkan pihak dinas kehutanan sebagai target, petani mengaku telah berhasil menanam bakau sebanyak 90.000 batang di lahan seluas 15,5 hektar. Jauh melebihi target yang ditetapkan pihak dinas kehutanan.

Awal Kisah
Apa sebenarnya yang mendorong para petani itu rela menanam bakau melebihi target? Selain kecintaan mereka pada lingkungan, rupanya ada iming-iming sejumlah besar uang dari pihak dinas kehutanan. Sebagai kelompok pecinta alam yang tinggal di pinggir-pinggir pantai di wilayah Lembata, tepatlah bila mereka dipilih pihak dinas kehutanan Kabupaten Lembata sebagai mitra kerja dalam pelaksanaan proyek pengembangan hutan mangrove. Para petani itu sendiri tak mampu menyembunyikan kegembiraan mereka ketika dalam sosialisasi proyek pihak dinas kehutanan mengatakan, ‘Proyek ini anggarannya sangat besar, sehingga kalian jangan kaget atau jantungan kalau melihat jumlah anggaran yang tertera dalam proyek itu nanti!’

Apa yang terjadi, ternyata tak sesuai janji. Meski proyek sudah cukup lama berjalan, papan proyek belum juga dipasang. Berulangkali petani mendesak agar dinas kehutanan segera memasang papan proyek. Mereka ingin tahu berapa sesungguhnya anggaran proyek yang dikatakan sangat besar itu. Setelah didesak para petani, pada 27 Desember 2004 seorang staf dinas kehutanan secara diam-diam, pada malam hari, memasang papan proyek di lokasi proyek. Setelah papan proyek dipasang, esok harinya seorang pegawai dinas kehutanan mendatangi salah seorang ketua kelompok yang tinggal di Lamahora, Kelurahan Lewoleba Timur dan menyampaikan pesan, ‘Papan proyek sudah dipasang. Jika kalian tidak senang dengan anggaran yang tertera, silahkan lapor ke mana saja!’ Dalam papan proyek itu tertera anggaran sebesar Rp 47.546.000. Jumlah yang jauh lebih rendah dari yang dibayangkan petani, mengingat ada 214 petani yang dilibatkan dinas kehutanan dalam proyek itu.

Dalam perjalanan, ketua kelompok petani diminta menandatangani kwitansi pembayaran sebesar Rp 32.128.686. Penyerahan uangnya sudah dilakukan sebelum penandatanganan kwitansi dilakukan. Padahal dalam SPKS yang ditandatangani petani pada 20 Oktober 2004 tertera anggaran proyek sebesar Rp 38.228.000. Ketua kelompok petani memang menandatangani kwitansi senilai 38 juta, namun uang yang mereka terima hanya sebesar Rp 32 juta. Sisanya, menurut pihak dinas kehutanan, untuk bayar pajak. Meski hanya terima uang satu kali, namun ketua kelompok petani itu mengaku menandatangani dua kwitansi. Satu kwitansi senilai Rp 32 juta – jumlah yang riil diterima petani dan satu lagi kwitansi senilai Rp 38 juta.

SPKS Ganda
Persoalan ketidakberesan proyek sebenarnya sudah dianggap selesai oleh kelompok petani itu kalau saja pihak dinas kehutanan tidak membawa masalah baru. Pada tanggal 6 Januari 2005, pihak dinas kehutanan kembali mendatangi kelompok petani. Petugas itu merayu ketua kelompok petani agar bersedia menandatangani SPKS baru yang mereka katakan hanya sebagai persyaratan administratif untuk laporan ke Jakarta. Saat itu ketua kelompok petani mempertanyakan, mengapa dalam satu proyek bisa ada dua SPKS. Ditanya tentang adanya SPKS ganda, pihak dinas kehutanan meminta ketua kelompok agar SPKS yang lama dibakar saja. Meski merasakan adanya kejanggalan, namun toh ketua kelompok petani tidak kuasa menolak permintaan dinas kehutanan. Dengan berat hati, SPKS yang baru itu mereka tandatangani.

Sebelum menandatangani SPKS baru, mereka sempat membaca, dalam lembaran SPKS itu tertera angka Rp 12.000 per hari kerja, 214 petani yang bekerja, dan rincian hari kerja sebagai berikut: 200 hari kerja, 100 hari kerja, 64 hari kerja, dan 60 hari kerja, yang jumlah totalnya ada 424 hari kerja. Logikanya, dengan ditandatanganinya SPKS yang baru itu, kelompok petani dan dinas tenaga kerja mengakui bahwa ada 214 petani yang telah bekerja selama 424 hari, dengan upah Rp 12.000 per hari kerja. Angka-angka inilah yang kemudian membuat petani berpikir. Kalau benar angka-angka itu yang dilaporkan ke Jakarta, berarti dalam proyek itu petani seharusnya menerima uang sebesar Rp 12.000 X 424 hari kerja X 214 orang = 1.088.832.000. Begitulah yang mereka pikirkan. Padahal mereka merasa hanya menerima uang sebesar Rp 32.128.686, tidak kurang dan tidak lebih. Ketika mencerna kembali apa artinya angka-angka yang mereka baca dalam lembaran SPKS yang baru, muncul kesadaran bahwa mereka telah diperdaya pihak dinas kehutanan.

Tidak terima dengan ‘tipu daya’ yang dilakukan pihak dinas kehutanan, kelompok petani itu memutuskan untuk mempertanyakan perihal anggaran proyek itu ke instansi yang lebih tinggi. Mereka mengutus perwakilan kelompok datang ke Jakarta untuk meminta penjelasan langsung dari Bapak Menteri. Sampai di Departemen Kehutanan mereka mendapatkan informasi bahwa seorang anggoa DPRD Lembata, Drs. Arsyad Mohammad, baru saja bertemu Bapak Menteri. Utusan para petani itu hanya diterima oleh staf departemen kehutanan yang berjanji akan mengurus kasus mereka. Rupanya, menurut para petani itu, pihak dinas kehutanan Kabupaten Lembata telah mencium rencana petani untuk datang ke Jakarta. Jadi mereka mendahului para petani menemui Bapak Menteri. ‘Pantas’, pikir mereka, ‘staf departemen kehutanan itu sudah tahu bahwa kami datang dari Lembata, padahal kami belum memperkenalkan diri’. Mereka menduga, anggota DPRD Lembata itulah yang menginformasikan pada pihak departemen kehutanan perihal kedatangan mereka.

Tidak berhasil bertemu dengan Bapak Menteri, para petani itu kemudian mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menanggapi laporan para petani itu, KPK mengirim surat ke Kejaksaan Agung. Dengan surat nomor R.757/D.PIPM/KPK/IV/2005 tertanggal 15 April 2005 yang ditandatangani Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat Junino Jahya, KPK meminta Kejaksaan Agung menindaklanjuti laporan para petani itu. Pihak Kejaksaan Agung sendiri telah memerintahkan Kejaksaan Kabupaten Lembata untuk segera menindaklanjuti pengaduan para petani. Diperintahkan pula agar dalam waktu kurang dari 54 hari berkas penanganan kasus sudah harus sampai di tangan Kejaksaan Agung RI. Namun yang terjadi, kasus ini dipetieskan oleh kejaksaan Kabupaten Lembata. Ketua kelompok petani memang sempat dipanggil pihak kejaksaan kabupaten Lembata untuk dimintai keterangan, namun tidak ada proses lebih lanjut. Bahkan pihak kejaksaan mengancam akan memenjarakan mereka bila keterangan mereka tidak benar. Berulangkali para petani itu mendatangi kejaksaan untuk mempertanyakan kasus mereka, namun tidak pernah ada jawaban yang memuaskan.

Berbagai aksi telah mereka lakukan untuk menuntut penjelasan atas kasus yang mereka hadapi. Namun tidak ada satupun pihak pemerintah di Lembata yang memberikan perhatian pada kasus mereka. Ketidakpedulian ini bisa dimengerti mengingat begitu banyak kasus manipulasi dalam proyek-proyek besar bernilai milyaran di Kabupaten Lembata juga didiamkan. Padahal menurut pengakuan para petani itu, bukan uang yang pertama-tama mereka perjuangkan, tetapi kejelasan tentang anggaran proyek. Kalau benar terjadi manipulasi dalam pelaksanaan proyek, mereka ingin kasus manipulasi itu diproses secara hukum. Mengapa dalam satu proyek bisa ada dua SPKS dengan dua anggaran yang berbeda, itulah yang tidak bisa mereka terima. Ketika proyek akan dimulai, pihak dinas kehutanan bicara terbuka pada petani. Tetapi ketika proyek berjalan, mereka main kucing-kucingan.

Pada kami, para petani itu menitipkan sejumlah dokumen untuk diserahkan kepada pihak-pihak yang dapat membantu mereka mengungkap kasus tersebut. Berdasarkan pada apa yang mereka ceritakan dan dokumen-dokumen yang mereka berikan itulah kami menulis surat ini.

Melalui surat ini kami berharap Bapak Menteri bersedia memenuhi permohonan para petani yang menuntut adanya penjelasan secara jujur dan terbuka terkait kasus yang mereka alami sebagai mitra dinas kehutanan Kabupaten Lembata dalam pelaksanaan proyek pengembangan hutan mangrove tahun 2004. Kami yakin, dengan adanya penjelasan secara jujur dan terbuka akan dapat memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap Dinas dan Departemen Kehutanan. Demikian surat ini kami sampaikan, atas perhatian dan keseriusan Bapak dalam menanggapi pengaduan kelompok petani tersebut kami mengucapkan terima kasih.

Jakarta, 12 Agustus 2009
The Institute for Ecosoc Rights


Sri Palupi
Direktur


Tembusan:
1. Yth. Kepala Kejaksaan Agung Jakarta
2. Yth. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
3. Yth. Bapak Gubernur NTT
4. Yth. Bupati Lembata
5. Yth. Ketua DPRD Kabupaten Lembata
6. Yth. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Lembata
7. Yth. Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Lembata
8. Yth. Ketua Komnas HAM Jakarta
9. Yth. Direktur ICW Jakarta

Read More...

13 August 2009

Pertambangan vs Pertanian vs Buruh Migran?

Albert Bambang Buntoro

Baru-baru ini Kepala Biro Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat (NTB) menyingkap fakta bahwa kendati masyarakat nyaris tak dapat apa-apa, kontras dan mirisnya, pertambangan ternyata menjadi ‘sektor unggulan’ yang diandalkan oleh para penguasa di NTB karena memberikan sumbangan terbesar terhadap pendapatan domestik regional bruto (PDRB). Capaian begitu banyak duit yang sayangnya tak dirasakan rakyat itu berada satu tingkat di atas pertanian.


Kita lalu jadi bertanya-tanya, ke mana sebenarnyakebijakan ekonomi pembangunan daerah hendak diarahkan sementara rakyat tetap miskin tertindas?

Pada semester pertama 2009, NTB mendapatkan Rp4.886 triliun dari hasil pertambangan, sementara sektor pertanian memberikan kontribusi terhadap PDRB di NTB sebesar 3.992 triliun. Padahal PDRB untuk keseluruhan lapangan usaha di NTB sebesar 18.096 triliun. Artinya jika diprosentasekan akan mencapai 27 persen untuk sektor pertambangan dan 22 persen untuk sektor pertanian.

Sementara, jika kita bikin upaya perbandingan sementara —tak sebanding antara NTB sebagai provinsi dan Banyumas sebagai kabupaten?—, coba lihat, di kabupaten yang terletak di Jawa Tengah itu, pertanian menjadi ‘bidang unggulan’ yang memberikan kontribusi besar terhadap PDRB pada kisaran 20-25 persen (rata-rata tahunan). Sementara untuk sektor penggalian (pertambangan) tidak mencapai dua persen pada 2006.

Barangkali sekarang sudah lazim diakui mengapa daerah-daerah yang memiliki sumberdaya alam melimpah berebut investor untuk dengan sengaja mengizinkan eksploitasi besar-besaran terhadap hasil bumi adalah karena tak lain memang dari sisi hasil pada galibnya ‘menguntungkan daerah tanpa harus kerja keras.’ Kalau dibandingkan dengan upaya untuk menjadikan pertanian sebagai ‘bidang andalan’ dalam kontribusi PDRB, ya jelas pertanian akan dinomorduakan bukan?

Apa persamaan di antara kedua area administratif pemerintahan itu? Mataram dan Banyumas, misalnya, adalah sama-sama di antara dua lokasi ‘sentra’ asal pengiriman buruh migran. Asuminya banyak uang hasil kerja mereka dikirimkan ke kedua daerah ini.


Pertanyaan selanjutnya, dalam konteks pembicaraan kita ini, bagaimana dengan remitansi buruh migran yang berasal dari para warga desa yang bekerja di luar negeri? Apakah masuk dalam PDRB, jika tidak mungkin dimasukkan dalam pendapatan asli daerah (PAD)? Atau kerja keras warga desa ini masuk sebagai devisa (cadangan) yang hanya tampak pada tampilan APBN, sehingga masuk ke daerah-daerah pengirim dalam rupa dana alokasi umum (DAU) atau dana alokasi khusus (DAK)?

Sementara kami ingat pula bahwa para pejabat Depnakertrans mengisyaratkan bahwa remitansi buruh migran masuk ke dalam kas ‘cadangan devisa’ negara. Tapi, apa pula implikasi konkritnya? Kalau ‘cadangan devisa’ itu biasanya berwujud berkilo-kilo persediaan emas dan mata uang asing yang bernilai milyaran dollar yang dapat dicairkan kapan saja untuk transaksi dan pembayaran internasional, apakah remitansi bisa diperlakukan sama? Apakah itu artinya, secara ekonomi makro, kita izinkan begitu saja, tanpa reserve apa pun, misalnya tanpa suatu bentuk perlindungan kategoris pada buruh migran --seperti halnya emas dan uang asing tak perlu kebijakan perlindungan?--, lalu kita bisa melegitimasikan bisnis ekspor dan percaloan tenaga kerja? Walahu`alaam dan bisa sangat menyedihkan ..

Wuih.. semua ini sebuah perjalanan yang rumit untuk menelusuri ke mana, apa dan bagaimana kodrat dari remitansi buruh migran dan kerusakan lingkungan akibat bongkar tambang itu. Btw, mungkin data yang kami tunjukkan links-nya di bawah ini bisa menambah pemahaman kita tentang karut-marut alokasi penganggaran(an) yang memang masih harus dicari tahu benang merahnya. Tapi, mohon juga tanggapan jika ada di antara teman-teman yang memiliki pendapat yang mengurai karut-marut itu.

Lihat juga ya ..




Read More...

11 August 2009

Kutunggu Keadilan di Langit Jakarta

(Refleksi Aliansi Rakyat Miskin dalam Advokasi Menolak Perda Ketertiban Umum)

Oleh : Sri Maryanti

Setelah proses panjang advokasi penolakan pemberlakuan 'Perda Kontroversi' yang sarat dengan nuansa pelanggaran hak asasi manusia dan berpotensi besar memicu kekerasan, Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan pada tanggal 27 Juli 2009 kemarin sebagai jawaban atas permohonan uji materiil yang diajukan pihak kelompok miskin melawan gubernur DKI . Keputusan tersebut sungguh sangat melukai hati kami sebagai kelompok miskin di Jakarta. Putusan tersebut banyak dilingkupi ketidakjelasan yang wajib kami pertanyakan keadilannya. Para penggugat langsung dianggap tidak sah hak gugatnya. Para hakim sama sekali tidak mempedulikan isi gugatan kami.

Sementara itu, dalam keseharian, praktek-praktek kekerasan sebagai akibat implementasi dari peraturan tersebut semakin memakan banyak korban di kalangan kelompok miskin di Jakarta. Modus-modus tindakan kekerasan yang terjadi makin berkembang ke tingkat yang lebih mengerikan.

Ganasnya Perda Ketertiban Umum
Dalam catatan Institut EcosocRights, jika dalam satu bulan terdapat 1.000 orang di Jakarta dan sekitarnya kehilangan pekerjaan atau tempat tinggal karena penggusuran dan penangkapan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), angka itu masih terbilang kecil. Rata-rata jumlah korban penggusuran setiap bulannya mencapai 3.200 orang. Sebagian besar terjerat oleh Perda DKI No 8 Tahun 2007 mengenai Ketertiban Umum.

Sebegitu ganas perda ini menghabisi kelompok informal di ibu kota. Memprihatinkan. Apalagi modus-modus penangkapan dan penggusurannya semakin mengerikan. Teman kami seorang pengamen, Dede Armila sampai sering dicekam rasa takut saat harus memegang gitar di jalanan. Apalagi setelah beberapa kali ia lihat cara Satpol PP menangkapi mereka dengan cara yang makin licik. Mereka bagi-bagi sembako pada emak-emak gelandangan dan pengamen atau permen dan makanan kecil pada anak jalanan. Setelah ngumpul, tiba-tiba Satpol PP mengepung. Mereka ditangkapi dan dimasukkan dalam mobil yang berkerangkeng. 'Kami menyebut mobil itu dengan istilah kaleng kerupuk.' Hal seperti ini sering sekali terjadi di daerah Tomang, Jakarta Barat.

Sebenarnya perda kontroversi ini mulai jadi bahasan kami sejak September 2007. Waktu itu gubernur DKI masih dipegang Sutiyoso. Perda tersebut sungguh meresahkan kami karena banyak sekali pasal-pasal yang mengancam kehidupan orang miskin di Jakarta. Gelombaang protes pedagang kaki lima, pengamen, waria, perempuan yang dilacurkan, anak jalanan, dan orang miskin bermunculan. Berbagai aksi demontrasi digelar di kantor-kantor instansi pemerintah. Kami datangi kantor gubernur, kantor DPRD, Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Istana Negara untuk meminta para pejabat negara agar tidak sekejam itu membuat aturan. Tampaknya kami seperti bicara dengan tembok. Bahkan salah satu pegawai Depdagri yang menemui kami, dengan ringan berkata "Kenapa mesti berjualan di trotoar? Kenapa tidak cari pekerjaan menjadi buruh cuci pakaian?" Kami sampai tidak bisa menjawab.

Beginilah kalau kita dipimpin oleh para pejabat yang tidak tahu susahnya menjadi buruh cuci. Orang dilarang mencari kesempatan lebih baik dari buruh cuci. Jadi saat pejabat Depdagri membahas perda ini di sebuah hotel mewah di kawasan pantai Ancol, tidak ada bayangan apapun tentang nasib orang-orang miskin ini akibat peraturan yang sedang mereka bahas. Perda itu diloloskan begitu saja.

Saking kesalnya, kami kemudian ngamen. Hasil ngamen kami serahkan kepada presiden sebagai ungkapan kekecewaan kami pada negara yang tidak melindungi kami. Tapi polisi melarang kami mendekati pasukan penjaga istana yang akan kami titipi duit tersebut. Polisi itu berjanji akan menyerahkan uang itu ke Sekretariat Negara untuk diserahkan ke SBY. Tentu kami tahu, polisi itu hanya membual. Usaha lain untuk mendekati presiden adalah dengan menitipkan pesan pada salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Kami wanti-wanti betul agar ia menyampaikan dampak buruk yang diakibatkan pemberlakuan perda ini. Rasanya juga tidak ada hasilnya. SBY tetap membiarkan perda ini berlaku.

Sebelumnya, beberapa akademisi dari berbagai latar belakang ilmu (planologi, hukum, filsafat, arsitek, sosiologi dan lingkungan) juga pernah mencemooh draft peraturan daerah ini karena terdapat banyak keanehan dalam rumusannya. Mereka sampai membuat acara bertajuk 'Mati Ketawa ala Perda' pada bulan puasa 2007. Kritik mereka bukan sekedar guyonan kosong, namun di dasarkan pada hasil kajian terhadap perda ini. Bayangkan, seorang warga kota bisa di denda hingga Rp20 juta hanya karena membeli makanan di kaki lima yang tidak mendapat ijin pemerintah. Benar-benar sinting. Berikutnya hasil kajian mereka kami lampirkan dalam gugatan maupun surat penolakan kepada pemerintah. Dukungan juga mengalir dari lembaga internasional COHRE (Center on Housing Rights and Eviction). Mereka mengirimkan petisinya kepada pemerintah agar membatalkan perda tersebut. Mereka juga melampirkan hasil kajian kasus serupa di India. Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) juga sempat melayangkan surat penolakan yang disertai hasil kajian mereka kepada Depdagri.

Tahun berganti, pejabat pun berganti. Fauzi Bowo naik menjadi Gubernur DKI. Tak ada kemajuan apapun untuk masalah ini. Gubernur yang baru cenderung mendiamkan proses pemberlakuan perda ini terus berjalan dan meloloskannya ke Depdagri. Akhirnya terpaksa kami menempuh upaya hukum terakhir. Bulan Februari 2008 kami mengajukan gugatan uji materiil keberatan terhadap perda ini ke MA. Kami mengantarkan berkas gugatan tersebut dalam sebuah iringan demonstrasi massa orang miskin ke kantor lembaga tinggi negara ini agar mereka tahu, gugatan ini adalah harapan jutaan orang miskin di Jakarta.

Keadilan Terpenjara
Berbulan-bulan lamanya masalah ini seperti membeku di kantor Mahkamah Agung. Pernah kami coba menanyakan perkembangan kasus ini langsung ke kantor mereka. Kami dipingpong dari ruangan ke ruangan. Memang ada komputer di lobi yang bisa dipakai untuk melihat perkembangan gugatan. Waktu itu kami tidak menemukan gugatan kami terdaftar dalam komputer tersebut. Untung teman-teman dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH-Jakarta) masih rajin memantau perkembangan kasus ini.

Sampai pada akhir Juli lalu, kami dikejutkan oleh sepucuk surat dari MA yang berisi keputusan atas gugatan kami. Surat bernomor 56/P.PTS/VII/2009/P/HUM/2008 tersebut memberitakan bahwa para hakim menolak gugatan kami dan menghukum kami dengan membayar biaya perkara satu juta rupiah. Alasan penolakan adalah para penggugat dianggap tidak sah.

Pupus sudah harapan mendapatkan keadilan dari lembaga tinggi negara yang katanya agung itu tanpa pernah kami dipanggil sekalipun untuk dimintai keterangan. Bahkan kapan dan dimana sidang itu berlangsung kami tak pernah diberi tahu. Yang kami pertanyakan, seharusnya para penggugat diperiksa sah tidaknya satu persatu. Jika hanya sebagian yang tidak sah, maka proses hukum berjalan terus karena ada sebagian penggugat yang sah dan harus dilindungi haknya. Tapi pada kasus ini tidak begitu. Seluruh penggugat langsung dianggap tidak sah bahkan tanpa mempertimbangkan pentingnya isi gugatan.

Kini kami tidak hanya memprotes isi perda ini, namun kami juga memprotes proses yang dijalankan di MA. Mekanisme tersebut sangat tertutup dan tidak membuka peluang lebih untuk mengupayakan kebenaran. Hakim-hakim itu seperti bersembunyi di ruang-ruang tertutup gedung MA. Tak pernah kami tahu atau mengenal bahkan melihat wajah mereka. Bagaimana mereka bisa memutuskan sesuatu untuk kami tanpa mereka mengenal dan mengerti maksud kami. Seharusnya MA membuat mekanisme peradilan yang lebih baik dan lebih memungkinkan tercapainya kebenaran.

Apa yang Kami Dapat?
Tentu kalau dilihat dari tercapai tidaknya tuntutan kami, sangat sedikit kemajuan yang kami capai. Namun proses dua tahun bekerja bersama dalam wadah yang menampung banyak organisasi dengan corak yang berbeda-beda ini adalah capaian tersendiri. Selama rentang waktu tersebut telah terjadi proses saling mengenali dan saling mengerti satu sama lain. Tentu konflik di antara organisasi ini pernah terjadi, namun yang lebih dominan adalah kerja sama yang saling men-suport satu sama lainnya. Berbagai hal sulit bisa kami lewati tanpa banyak beban.

Hal lain yang bisa dikatakan sebagai kelebihan Aliansi Rakyat Miskin adalah semangatnya untuk tetap terus berusaha berjuang. Meski kalah di MA, sedikit pun tidak menyurutkan niat elemen-elemen di dalamnya untuk mencari terobosan dalam mengupayakan penolakan terhadap peraturan yang tidak adil ini. Kemungkinan proses komplain di Mahkamah Konstitusi akan dijajaki.

Kedepannya kami berharap Aliansi Rakyat Miskin akan bertahan terus menghadapi hari-hari di Jakarta dengan penuh semangat mengedepankan kepentingan bersama. Jalan masih panjang, keadilan tetap harus diperjuangkan.**

Lihat isi Perda DKI No 8 Tahun 2007

Hasil kajian KOMNAS HAM terhadap isi perda

Read More...