Kalimat bijak di atas diucapkan seorang bapak, Yie Gae Tjie namanya. Ia pemilik galeri di kota Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Di luar kota Maumere, nama Yie – begitu ia menuliskan namanya – barangkali tidak banyak dikenal. Namun siapa sangka kalau sosok etnis Cina kelahiran Maumere ini sesungguhnya adalah pejuang hak asasi.
Di galerinya yang menjual barang-barang seni dan tenun ikat itu untuk pertama kalinya saya mengenal Pak Yie. Kulit putih dan mata sipitnya yang tipikal etnis Cina membuat saya berpikir, ternyata ada juga orang Cina di Flores ini yang mau mengembangkan tenun ikat. Hal yang tidak biasa menurut pandangan saya. Maklumlah, kepala saya yang kecil ini masih belum sepenuhnya terbebas dari stereotip tentang orang Cina.
Ketika akan kembali ke Jakarta, saya sempatkan mampir ke galeri Pak Yie. Bukan untuk membeli kain tenun koleksinya, tetapi untuk bertanya satu hal saja: Apa yang membuatnya tertarik mengembangkan tenun ikat? Ternyata jawaban atas satu pertanyaan itu jauh mengalir dan membuat saya berkesimpulan, Pak Yie seorang pejuang hak asasi dengan keberanian yang jarang dimiliki orang-orang Cina pada umumnya. Kenapa saya menyebutnya demikian?
Simaklah kisahnya berikut ini.