05 May 2006

Masyarakat Tak Percaya Busung Lapar Adalah Masalah Nasional

Sugiyan, anak laki-laki, lahir 27 Mei 2005 di Belawae Kec Mare, Bone, Sulawesi Selatan. Usia 10 bulan, berat badan 6,4 kg.





MEMANG tak mudah mempercayai kenyataan buruk yang terjadi di negeri kita ini. Busung lapar! Kita sulit menerimanya.

Para cendekiawan --yang notabene (catat baik-baik, artinya!!!) adalah para intelektual yang mendukung pelembagaan akal budi dan menjamin integritas serta tingginya martabat masyarakat-- menyatakan dengan jelas keragu-raguannya, keheranannya dan rasa kurang mengerti yang dialaminya, bahwa busung lapar bisa terjadi di tempat-tempat yang tak berjauhan dari tempat mereka tinggal. Teman-teman bisa mengacu pada berita di surat kabar berwibawa di Sulawesi Selatan ini.

Mengapa mereka sulit percaya? Siapa yang lebih degil hatinya sehingga ketakpercayaan mereka lebih mempersulit penanggulangan masalah busung lapar?

Mungkinkah seorang ahli sejarah termasyhur bereputasi nasional, bahkan juga internasional, sulit mengerti mengapa di Sulawesi Selatan yang dikenal menjadi "gudang beras" didapati banyak anak yang menderita busung lapar? Barangkali lebih baik diam merenung daripada menyatakan sikap hati kecut dan kecewa pada kenyataan yang sungguh nyata ini. Sebab, fenomena busung lapar di Indonesia sudah tak mungkin dibantah. Satu contoh anak bernama Sugiyan dari Belawae, kecamatan Mare, Bone, Sulawesi Selatan, telah cukup memberi kepastian pada kita bahwa banyak anak sebayanya sekarang ini sedang menderita situasi kesehatan buruk yang sama. Fakta tak terbantahkan itu serta-merta akan mendorong Anda membela mereka ata, sebaliknya, Anda malu, tak mengakui mereka dan celakanya, tanpa sadar Anda bisa justru meniadakan atau memusuhi mereka.

Lalu, apa kata tentara kita?

Contoh lain. Seorang pemuka mantan serdadu berpangkat jenderal juga tak kalah mengherankan kita bagaimana perspektifnya dalam memandang masalah kemiskinan absolut yang menjelmakan gejalanya dalam penderitaan anak-anak di Indonesia. Coba teman-teman baca kutipan berikut ini dari sebuah media pemantau masalah gizi.

Fenomena kekurangan gizi yang dialami sebagian besar anak Indonesia, terutama yang hidup di bawah garis kemiskinan, dalam perkembangannya bisa menghasilkan generasi yang lemah, baik fisik maupun non fisik. Bahkan bisa diikuti lemahnya kepekaan hati nurani, yang akibatnya akan menjadi generasi "pecundang". Realitasnya, dalam menghadapi setiap permasalahan yang timbul terutama menyangkut kehidupan, mereka tak jarang selalu disikapi dengan "otot" bukan dengan "otak". Akibatnya dalam menyampaikan aspirasi kerapkali menimbulkan anarkis.

Sayang, tampaknya kutipan ini sudah merupakan "olahan" dari sang wartawan penulisnya. Tapi, singkat dan ringkasnya, gitu, rupanya hendak dikatakan, busung lapar akan melahirkan generasi para preman. Bukankah preman-preman tak pernah menjadi hitungan resmi dalam program pemerintah atau dari program siapa pun, termasuk organisasi-organisasi masyarakat sipil? Padahal bukankah para preman sering dipakai jika ada kepentingan politik-ekonomi yang melatarbelakangi kepentingan mereka yang berkuasa, tak kurang juga dari kalangan pemerintah?

Jika demikian, para korban penderita busung lapar dianggap sejajar atau bahkan sama dengan preman. Konsekuensinya, mereka juga tak selayaknya dibantu agar bisa mengatasi dan menanggulangi kesulitan hidup mereka. Alias, biarkanlah mereka menyelesaikan masalah mereka itu sendiri. Kelanjutannya sangat mengkhawatirkan. Yang sangat mungkin terjadi adalah kematian anak-anak yang tak tahu lagi bagaimana mendapatkan makanan itu. Jika ada bantuan (pemerintah), pelaksanaannya akan setengah-setengah. Dampaknya akan jauh lebih buruk daripada jika ditangani secara sungguh-sungguh. Setidaknya mulai dengan meluruskan cara berpikir kita, bagaimana cara kita memandang masalah kelaparan di Indonesia ini.***

Categories: [Busung Lapar_] [Kebijakan_]

Read More...

03 May 2006

Busung Lapar Kian Tenggelam di Antara Agenda Kapitalisme Global dan Sektarianisme

SEJAK pertengahan tahun 2005 media massa mengangkat masalah busung lapar yang merebak di berbagai daerah di Indonesia. Kini hampir setiap hari kita menyaksikan wajah anak-anak penderita busung lapar yang ada di berbagai daerah. Data busung lapar di berbagai daerah menunjukkan adanya kecenderungan meningkatnya anak-anak busung lapar – secara kuantitatif dan atau kualitatif, termasuk di daerah-daerah yang dekat dengan pusat pemerintahan dan pusat kekuasaan, seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Berikut adalah sedikit gambaran tentang peningkatan jumlah anak penderita busung lapar.























Sementara apabila diikuti data nasional di mana 2-4 anak dari 10 anak di 72% kabupaten di Indonesia menderita kurang gizi, maka bisa dipastikan bahwa peningkatan masalah busung lapar – baik secara kuantitatif maupun kualitatif, dialami oleh mayoritas daerah di Indonesia. Artinya, masalah busung lapar adalah masalah nasional dan bukan masalah yang dihadapi hanya oleh beberapa wilayah saja. Namun yang terjadi, masalah busung lapar hanya dianggap sebagai masalah lokal. Sampai sekarang belum ada kebijakan strategis di tingkat nasional dan lokal yang menjawab masalah busung lapar secara sistemik.

Selain adanya kecenderungan peningkatan kuantitas dan kualitas anak-anak penderita busung lapar, kita temukan juga adanya kecenderungan merebaknya wabah penyakit yang menyerang anak-anak di berbagai daerah. Gejala ini tak bisa dilepaskan dari problem menurunnya status gizi anak di tingkat nasional yang berpengaruh terhadap peningkatan kerentanan anak terhadap serangan penyakit. Selama ini berbagai pihak, khususnya pemerintah, melihat masalah penyakit sebagai salah satu sebab munculnya busung lapar. Hal sebaliknya tak pernah dibicarakan. Padahal berbagai wabah penyakit dengan anak-anak sebagai korban utama tak bisa dilepaskan dari masalah penurunan status gizi anak akibat proses pemiskinan berkepanjangan. Terbukti di Indonesia rata-rata 24 anak balita meninggal setiap satu jam dan sebagian besar meninggal karena gizi buruk. Berikut sedikit gambaran tentang penyakit yang menyertai anak-anak penderita busung lapar, khususnya anak-anak penderita busung lapar di Jakarta dan sekitarnya.




















Masalah penyakit dan busung lapar kini menjadi mata rantai penting dari seluruh rangkaian lingkaran kemiskinan, yang berakar pada kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kaum miskin. Pencabutan beragam subsidi bagi kaum miskin dan berbagai kebijakan yang memarjinalkan kelompok miskin diikuti oleh merebaknya berbagai wabah penyakit dan busung lapar. Pencabutan beragam subsidi bagi kaum miskin kian menegaskan tentang kebijakan pemerintah untuk privatisasi masalah publik. Artinya, masalah struktural yang semestinya menjadi kewajiban pemerintah untuk menyelesaikannya, cenderung diserahkan pada masing-masing rumahtangga yang sekarang ini dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menyelesaikan berbagai masalah yang berakar pada kemiskinan. Yang terjadi pada akhirnya respon pemerintah terhadap masalah gizi dan kesehatan, termasuk dalam menangani busung lapar, cenderung bersifat jangka pendek dan dilaksanakan dalam kerangka “kondisi darurat” (emergency), yang sama sekali tidak menyentuh konteks/akar masalah. Dalam hal penanggulangan masalah busung lapar, beragam program pemberian makanan tambahan menjadi agenda yang dikedepankan. Sementara dalam penanganan masalah kesehatan, progaram Askes bagi kaum miskin diajukan sebagai solusi utama. Di samping keterbatasan jumlah warga miskin yang bisa mengakses, pendekatan preventif cenderung beralih ke pendekatan kuratif. Program kesehatan berbasis komunitas semakin tidak diperhitungkan.

Pendekatan atas masalah kesehatan dan gizi ini yang tidak menjawab akar masalah, semakin dilemahkan oleh beragam kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kelompok miskin. Kondisi seperti ini terjadi karena melemahnya kapasitas pemerintah sebagai badan publik untuk mengelola dan menyelesaikan perkara publik. Ini terlihat dari ketidakmampuan pemerintah untuk menjadikan pendidikan dan kesehatan sebagai prioritas utama pembangunan.

Kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kaum miskin adalah konsekuensi logis dari kian menguatnya kekuasaan kapitalisme global yang bekerja secara legal lewat IMF, bank dunia dan WTO. Meningkatnya kekuatan kapitalisme global di Indonesia sebagai dampak dari menumpuknya hutang, telah melemahkan kapasitas pemerintah untuk berperan sebagai badan publik yang mengurusi perkara publik.

Ironisnya, di tengah memburuknya ekonomi negara, melemahnya kapasitas pemerintah sebagai badan publik dan meningkatnya beban hidup mayoritas rakyat akibat krisis ekonomi, penumpukan hutang dan berbagai agenda kapitalisme global yang memaksakan pencabutan subsidi, ada kekuatan lain dalam masyarakat yang memanfaatkan kelemahan negara. Kekuatan itu mendesakkan agenda pengaturan moralitas dan kesusilaan dan membelokkan perhatian pemerintah dan masyarakat dari perhatian untuk mengatasi masalah mendasar yang dihadapi bangsa ini menyangkut hak hidup mayoritas rakyat. Agenda kelompok sektarian dalam bentuk RUU APP di tingkat nasional, dan berbagai perda dan aturan di tingkat lokal yang mengatur soal moralitas dan kesusilaan bukan hanya tidak membawa perbaikan bagi kondisi hidup masyarakat, tetapi juga membawa bangsa ini pada situasi yang semakin pelik. Dalam situasi seperti ini, masalah busung lapar yang selama ini belum dipandang dan disikapi sebagai masalah serius menyangkut hidup matinya bangsa, kini semakin tenggelam di bawah tekanan agenda kekuasaan kapitalisme global dan kekuasaan sektarianisme. Ditemukannya sejumlah kasus busung lapar yang terjadi di Jabotabek yang notabene adalah wilayah yang sangat dekat dengan kekuasaan pemerintah, menunjukkan perhatian terhadap kasus ini benar-benar tidak ada. Kalau di wilayah yang sangat dekat dengan pusat pemerintahan saja tidak bisa tertangani, bagaimana dengan mereka yang tinggal di pelosok tanah air ini. Penelantaran masalah busung lapar bukan sekedar dugaan. Di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan, misalnya, pada bulan Januari 2006 lalu ditemukan 40 penderita busung lapar. Namun sampai dengan akhir bulan April 2006 jumlah tersebut bertambah menjadi 218 penderita busung lapar. Angka ini diperoleh dari monitoring di beberapa desa saja di Kabupaten Bone. Tak terbayangkan berapa jumlah penderita apabila monitoring dan pencatatan dilakukan di seluruh desa di Indonesia.

Didorong oleh keprihatinan tersebut, bersama ini kami, segenap anggota JSP – Busung Lapar, mengajak seluruh komponen bangsa untuk menyatukan perhatian pada upaya penanganan masalah mendasar yang dihadapi bangsa ini dan mensikapi masalah busung lapar sebagai masalah nasional yang mendesak untuk diselesaikan secara sistematis. Untuk itu kami mengajak dan menyerukan:


1) Bagi lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif :

  • Untuk tidak lagi menjadikan birokrasi, parlemen dan pengadilan sebagai lahan korupsi untuk memperkaya diri, kelompok dan partai
  • Untuk mengembalikan kedaulatan Indonesia dengan menghentikan hutang dan menolak kebijakan yang didiktekan IMF, Bank Dunia dan WTO
  • Untuk membuat kebijakan publik yang transparan, akuntabel, memihak dan melindungi rakyat dari segala bentuk eksploitasi, pemiskinan dan kekerasan
  • Membangun dan menerapkan sistem penanggulangan bencana yang cepat dan mampu mengatasi masalah kelambatan gerak birokrasi, dan tepat sasaran. Dalam membangun dan menerapkan sistem ini perlu kerjasama dan keterlibatan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, NGO nasional, lokal dan internasional. Selama ini masalah penanganan bencana seringkali terhambat oleh masalah birokrasi.
  • Membangun sistem penanggulangan rawan pangan dan busung lapar yang berorientasi pada pendekatan yang mengatasi akar masalah. Busung lapar bukanlah bencana alam yang bisa diatasi hanya dengan pendekatan emergency jangka pendek tanpa disertai perubahan-perubahan kebijakan yang berorientasi pada masalah dan kebutuhan mayoritas rakyat. Pemerintah sudah semestinya menjalankan kewajiban yang diembannya untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan strategis di tingkat nasional yang mengarah ke pengurangan tingkat kemiskinan secara signifikan dan berkelanjutan.
  • Meningkatkan orientasi pembangunan daerah pada peningkatan akses masyarakat atas pelayanan dasar dan sumberdaya ekonomi, dengan menjalankan sepenuhnya kebijakan untuk mengalokasikan minimal 20% anggaran pembangunan untuk pendidikan dan 15% anggaran pembangunan untuk kesehatan.
  • Perbaikan dalam sistem penganggaran (budgeting) dengan memperhatikan partisipasi kelompok-kelompok marjinal, khususnya kelompok miskin dan kelompok perempuan, dan berorientasi pada masalah dan kebutuhan riil mayoritas rakyat di level nasional dan daerah.
  • Mengembangkan potensi lokal untuk meningkatkan ketersediaan dan akses masyarakat atas pangan, dengan kebijakan pangan yang secara strategis mengembangkan potensi lahan kering dan konservasi lahan kritis.
  • Melakukan sosialisasi berbagai kebijakan yang terkait dengan penghapusan ketidakadilan gender pada seluruh jajaran pemerintahan dan berbagai kelompok strategis di daerah.
  • Mengembangkan sistem informasi untuk mengantisipasi dan mengatasi mengatasi masalah-masalah krusial, seperti kekeringan, rawan pangan dan busung lapar.

2) Bagi Pemerintah Daerah:
  • Memfokuskan kebijakan lokal untuk mengatasi masalah pemiskinan, pengangguran dan kelaparan serta tidak terpengaruh oleh agenda kelompok sektarian yang tidak relevan dalam mengatasi masalah krusial yang dihadapi masyarakat
  • Merumuskan dan melaksanakan sistem penanganan masalah busung lapar dan rawan pangan dengan berangkat dari akar masalah. Konsep ini diterjemahkan dalam pendekatan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Pendekatan emergency tetap diperlukan, namun dijalankan secara lebih cepat dan sampai pada sasaran.
  • Merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang mengarah ke pemerataan pembangunan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat, yang direalisasikan dalam beragam kebijakan, yaitu: 1) pengembangan usaha tani lahan kering, 2) perluasan diversifikasi pangan, 3) pengembangan diversifikasi usaha ekonomi untuk memperluas kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan, 4) peningkatan alokasi anggaran untuk meningkatkan akses kelompok miskin terhadap pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan, 5) perluasan upaya konservasi lahan kritis.
  • Memperbaiki kelemahan atas pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, khususnya di bidang pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan.
  • Memperbaiki sistem penganggaran (budgeting) dengan memperhatikan partisipasi kelompok-kelompok marjinal, khususnya kelompok miskin dan kelompok perempuan.
  • Melakukan sosialisasi di seluruh jajaran pemerintahan dan menerapkan secara luas kebijakan yang terkait dengan upaya penghapusan ketidakadilan gender di segala bidang kehidupan.
  • Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dengan lebih mendekatkan prasarana pelayanan ke komunitas-komunitas miskin atau menerapkan sistem pelayanan keliling.
  • Meningkatkan aktivitas petugas kesehatan dan posyandu, mengefektifkan kembali fungsi posyandu untuk monitoring/deteksi dini, memenuhi hak ekonomi petugas kesehatan. Program revitalisasi posyandu tidak akan berjalan efektif tanpa peningkatan akses masyarakat atas posyandu dengan lebih mendekatkan posyandu ke komunitas-komunitas atau menerapkan sistem pelayanan keliling.
  • Memperluas ketersediaan dan akses masyarakat atas sumberdaya air, baik air bersih maupun air untuk kegiatan di sektor pertanian. Ketersediaan air merupakan salah satu faktor penghambat yang sangat penting bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan hak atas kesehatan dan hak atas pangan. Minimnya ketersediaan air membuat perempuan harus berjalan berkilo-kilo meter dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk mendapatkan air bersih. Sementara pada saat yang sama, perempuan bertanggung jawab dalam mengurus anak-anak, menyediakan makan bagi keluarga, mengurus ternak, dan lain-lain tanggung jawab pekerjaan dalam rumahtangga. Ketiadaan air juga meningkatkan masalah serius dalam hal sanitasi dan kesehatan. Karenanya program pengadaan air patut dipertimbangkan sebagai salah satu program strategis dalam menangani masalah busung lapar dan rawan pangan.

3) Bagi NGO lokal, nasional dan internasional serta lembaga donor:
  • Melakukan koordinasi di antara ketiga kategori NGO (lokal, nasional, internasional) dalam menjalankan program diberbagai sektor dan wilayah pelayanan sehingga dampak dari gerak pelayanan NGO lebih dapat dirasakan masyarakat lokal secara lebih luas. Langkah ini diperlukan terutama untuk: 1) menjangkau daerah-daerah yang tidak memiliki akses atas pelayanan dasar, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan dan pangan, 2) mengatasi tumpang tindih program di wilayah-wilayah tertentu, 3) meningkatkan efisiensi dan efektivitas program dalam menjawab masalah yang dihadapi masyarakat.
  • Mendorong pemerintah dan masyarakat daerah untuk merumuskan dan menjalankan program yang berorientasi pada penanganan akar masalah. Untuk itu, di pihak NGO sendiri perlu merumuskan program jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang dan menghilangkan pendekatan “proyekisme”.
  • Mengembangkan sistem informasi untuk mendukung pemerintah daerah dalam mengantisipasi dan mengatasi masalah-masalah krusial, seperti kekeringan, rawan pangan dan busung lapar.
  • Membangun dan memperluas penerapan sistem pendidikan kelompok, khususnya bagi perempuan dalam komunitas miskin sebagai upaya untuk menghapus praktek ketidakadilan gender.
  • Memperluas program-program yang berorientasi pada pengembangan kapasitas masyarakat dalam membangun kemandirian dan mengembangkan potensi lokal.

4) Bagi Ormas, Partai dan Lembaga Agama:
  • Mengevaluasi dan meningkatkan peran dan keterlibatannya secara kritis dan konkrit dalam mengatasi masalah-masalah krusial yang ada di wilayah kerjanya.
  • Menjadi pelaku aktif bagi upaya memperluas penerapan sistem pendidikan yang mengarah pada penghapusan praktek ketidakadilan gender.
  • Menjadi pelaku aktif dalam memperluas akses masyarakat di dalam merencanakan, menikmati dan mengevaluasi program-program pembangunan di daerah.

5) Bagi Pemilik dan Pengelola Media Massa
  • Memberi ruang dan perhatian yang lebih luas terhadap persoalan-persoalan gizi buruk dan busung lapar yang terjadi pada masyarakat dalam pemberitaan atau penayangan.
  • Ikut mendukung upaya-upaya pemerintah, masyarakat dan lembaga sosial dalam penanganan gizi buruk melalui sejumlah pemberitaan yang lebih luas.
  • Menjadi media kontrol terhadap kebijakan-kebijakan negara terhadap arah pembangunan yang lebih berpihak kepada masyarakat miskin.

6) Bagi Masyarakat Umum
  • Meningkatkan kesadaran untuk saling membantu antar sesama yang terbelit dengan masalah busung lapar.
  • Terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk penanggulangan busung lapar di wilayah yang paling terdekat, keluarga, tetangga dan lingkungan RT/RW setempat.

Jakarta, 3 Mei 2006
Jaringan Solidaritas Penanggulangan Busung Lapar

Read More...

HAK EKOSOB DALAM BERITA

Daftar dan link berita-berita paling lengkap yang terkait dengan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, KLIK DI SINI.


Read More...

01 May 2006

Resensi Buku: Ironi Anak-anak Yahudi yang 'Dilahirkan' oleh Heidegger

YANG menarik dari buku ini adalah bahwa pemikiran mendasar dalam memahami kehidupan (~ filsafat) ‘ternyata dapat’ diterapkan dan dikembangkan dalam bidang-bidang lain. Filsafat tidak boleh mengawang-awang tapi mesti berakar dalam hidup sehari-hari.

BUKU ini menggambarkan bagaimana para pemikir terkemuka seperti Hannah Arendt, Karl Loewith, Hans Jonas, Herbert Marcuse mengembangkan pemikiran radikal dari guru mereka yaitu Martin Heidegger (meninggal 1976). Mereka mengembangkan pemikiran metafisika Heidegger ke berbagai bidang seperti politik, sejarah dan agama, etika kehidupan, politik dan Marxisme. Temuan Heidegger adalah hal-hal mendasar dalam hidup sehari-hari atau yang diistilahkan dengan “everydayness”, lebih daripada semua jenis sistematisasi, teknologi, politik yang justru menggunakan kecanggihan apa pun untuk kepentingan masing-masing pemangkunya, dst.

Tapi mengapa buku ini hanya memaparkan para pemikir yang umumnya asal-usul etniknya adalah Yahudi? Bukankah Heidegger masih punya murid-murid lain yang juga sama-sama hebatnya tapi bukan Yahudi seperti Karl Rahner dalam bidang teologi atau Gadamer dalam ilmu memahami (hermeneutika)? Setelah kontroversi seperti holocaust barangkali keyahudian dan pemikiran Heidegger jadi lahan subur kepembacaan yang dimanfaatkan oleh penulis buku ini? “Everydayness” yang seideal puisi itu (ternyata) tak luput dimanfaatkan dan ditelan bulat-bulat oleh totalitarianisme Hitler. Pada zaman Nazi, Heidegger diangkat oleh Hitler jadi rektor Universitas Freiburg.

Read More...