28 July 2007

Martinus Lagu: Menjadi Petani Organik Lebih Untung daripada Jadi Tukang

Sebelum jadi petani organik, Om Tinus adalah tukang bangunan. Sebagai tukang bangunan, pekerjaannya jauh lebih berat dari petani. Selain itu ia juga sering meninggalkan keluarganya kalau lagi dapat pekerjaan yang jauh dari desanya. Meski pekerjaannya berat, penghasilannya sebagai tukang boleh dibilang rendah. Dalam waktu 1-2 bulan, ia hanya mendapatkan penghasilan tak lebih dari Rp 1-2 juta.

Setelah mengenal pertanian organik, ia melihat ada peluang yang bisa diraih. Ia tinggalkan pekerjaannya sebagai tukang dan beralih menjadi petani organik dengan usaha utamanya memproduksi pupuk organik. Setiap hari ia bisa memproduksi rata-rata 1,5 ton pupuk organik, dengan harga jual Rp 1.000; per kg. Bisa dihitung berapa rupiah yang bisa ia terima setiap harinya. Padahal dia tidak mengeluarkan uang sedikitpun untuk membuat pupuk organik karena ia menggunakan kotoran hewan sendiri yang dikandangkan dan bahan-bahan lain yang ada di sekitarnya.

Karena pembuatan pupuk ia lakukan di rumah, maka selain membuat pupuk, Om Tinus juga bisa mengerjakan pekerjaan lain, seperti menanam sayur untuk konsumsi keluarga sendiri. Dengan menghasilkan bermacam-macam sayur tanpa biaya, dia pun bisa menghemat sekitar Rp 200.000 per bulan, karena tidak lagi mengeluarkan uang untuk membeli sayur. Selain itu, dia juga menjual EM4 dan pestisida organik.

Keuntungan lain datang dari sawahnya yang kecil, yang diolahnya secara organik. Dia tidak menggunakan pupuk untuk sawahnya, tetapi hanya menerapkan pengolahan dan cara tanam secara organik. Hasilnya, produksi meningkat, sementara pengeluaran untuk mengolah sawah menurun, karena tidak perlu lagi beli pupuk kimia. Dengan meningkatnya produksi, jumlah beras yang dibeli pun menurun. Kini, pekerjaan Om Tinus selain lebih ringan, penghasilannya pun jauh lebih besar.

Read More...

Hasil padi melimpah dengan pola tanam baru






















Pola tanam satu anakan untuk setiap titik tanam, jarak 15 x 20 cm, menghasilkan anakan jauh lebih banyak.



Picasa Album Link

Organic Farming in Manggarai, Indonesia

Read More...

27 July 2007

Ibu Emi: Dengan Pertanian Organik Tak Ada Lagi yang Terbuang

Gerakan Petani Manggarai untuk Membela Kehidupan (1) (2) (3) (4)

Ibu Emi hanya memiliki lahan tidak lebih dari seperempat hektar sawah. Dengan lahan sesempit itu, ia mengeluarkan biaya untuk pupuk TSP (Trisodium phosphate) dan Urea sedikitnya Rp 300.000. Dengan biaya sebesar ini, sawahnya hanya mampu menghasilkan tiga sampai empat karung beras. Setelah mengenal pertanian organik, ia kemudian beralih menjadi petani organik.

Empat tahun sudah Ibu Emi menjadi petani organik. Tiga tahun pertama dia masih menggunakan pupuk organik buatannya sendiri dengan biaya hanya Rp 50.000 untuk membayar tenaga pengolah pupuk. Dengan biaya tersebut, ia mendapatkan satu ton pupuk organik. Pada tahun keempat, ia tidak lagi menggunakan pupuk organik. Ia hanya menerapkan cara mengolah dan menanam secara organik. Kini hasil sawahnya tidak lagi tiga atau empat karung seperti sebelumnya, tetapi sudah meningkat menjadi tujuh karung.

Pertanian organik membuatnya semakin menyadari, tidak ada lagi bahan yang terbuang. Semua bahan yang ada di sekitarnya bisa diolah menjadi pupuk yang sangat bermutu. Dengan menjual pupuk buatannya sendiri, dia bisa menerima pemasukan tambahan Rp 1 – 1,5 juta per bulan. Kebutuhan sayur untuk keluarga pun bisa dicukupinya sendiri. Bahkan hasil sayur pun masih bisa dijual karena tidak habis dikonsumsi sendiri. Satu pohon tomat yang ia tanam di samping rumahnya, misalnya, bisa berbuah sampai 40 buah dan tidak habis bila dimakan sendiri.


Di tengah keruwetan persoalan kemiskinan dan bencana yang melanda bumi Nusa Tenggara Timur, para petani sederhana itu toh masih bisa melihat titik terang menuju kemandirian. Para elit politik-ekonomi di NTT yang dalam hal pendidikan jauh lebih baik dibandingkan para petani itu semestinya bisa melihat lebih jelas lagi titik terang untuk bangkit dari kemiskinan.

Sayangnya, masih banyak elit politik-ekonomi di NTT yang tidak mau sedikit rendah hati untuk belajar dari kearifan orang-orang kecil dan merasa diri paling tahu apa yang terbaik bagi rakyat. Tidak sedikit elit di NTT ini yang masih saja silau dengan gemerlapnya materi yang ditawarkan pemodal besar dan memilih pendekatan yang berorientasi pada keuntungan jangka pendek tetapi dengan resiko kerusakan jangka panjang yang mereka bebankan pada rakyat.

Lihat saja bagaimana industri pertambangan mulai dijadikan alternatif peningkatan PAD di beberapa kabupaten di NTT, meskipun para elit itu tahu betul betapa kondisi ekologi NTT yang telah rusak dan rawan bencana itu tidak layak untuk dijadikan daerah industri pertambangan. Bagi mereka, kehidupan lebih baik berarti rumah mewah, mobil wah dan berlimpahnya rupiah. Upaya menjaga bumi NTT dari kerusakan dan kehancuran adalah perkara nomor sekian. Sebab yang pertama-tama menanggung bencana bukanlah mereka, para elit itu, melainkan rakyat.

Jangankan belajar dari orang kecil, yang terjadi justru sebaliknya. Orang-orang kecil yang membela kehidupan dan menolak industri pertambangan yang jelas-jelas merusak kehidupan itu seringkali mereka nilai sebagai orang-orang yang belum tercerahkan dan karenanya tidak paham apa artinya kehidupan lebih baik. Betapa jauh jarak sudut pandang antara elite politik-ekonomi dan orang-orang kecil dalam memaknai kehidupan lebih baik di bumi NTT ini.

Tidak heran kalau perkara penolakan penambangan emas oleh warga di kabupaten Lembata – NTT pun akan mereka nilai sebagai perkara ketidakpahaman rakyat. Sebab para elite itu tak pernah bertanya pada rakyat dan juga tak peduli apa artinya kehidupan lebih baik di mata rakyat.

Read More...

23 July 2007

Stefanus Aba: Pertanian Organik Meningkatkan Produksi

Gerakan Petani Manggarai untuk Membela Kehidupan



Sebelum kami menerapkan pertanian organik, kami masih pakai pertanian kimia. Setelah ada penerapan pertanian organik ada peningkatan hasil produksi. Ketika pakai pupuk kimia, lahan seluas 0,8 ha hanya menghasilkan 24-25 karung yang rata-rata bobotnya 100 kg. Sementara dengan pupuk organik di luasan lahan yang sama, hasilnya bisa mencapai 28-32 karung dengan berat antara 110-120 kg. Bobot gabah hasil pertanian organik lebih berat daripada bobot gabah hasil pertanian kimia.

Dengan pertanian organik, petani hanya tanam satu pohon pada satu titik tanam, jadi lebih hemat benih. Dulu waktu pakai pola kimia, perlu 20 kg benih untuk pembibitan, sedangkan sekarang hanya membutuhkan paling banyak 10 kg (bahkan ada sisa!). Ketika tanam 3 pohon pada satu titik tanam, dari 3 pohon tersebut paling banyak bisa mencapai 9 anak. Kalau tanam 1 pohon per titik tanam, jumlah anak bisa mencapai 18-20 anak. Ada perubahan tekstur tanah juga. Pada saat memakai pupuk kimia tanah menjadi padat dan jika kering terbelah. Karena padat dan terlalu keras, sebelum dibajak, tanah harus direndam dulu selama 1-2 minggu. Setelah pakai pupuk organik, tanah menjadi lebih gembur dan mudah dibajak. Karena lebih gembur, cukup 2 hari saja tanah direndam air sebelum dibajak.

Read More...

19 July 2007

Hilarius Man: Pertanian Organik Mengembalikan Tradisi “DODO”

Sri Palupi

Gerakan Petani Manggarai untuk Membela Kehidupan (1) (2) (3) (4)


Perubahan macam apa yang terjadi dalam hidup para petani yang beralih dari pertanian kimia ke pertanian organik ini? Berikut adalah kesaksian mereka yang tinggal di daerah Pagal, kecamatan Cibal, kabupaten Manggarai – Nusa Tenggara Timur.

Sebelum mempraktekkan pertanian organik, Hilarius Man, 65, yang 30 April 2007 lalu terpilih sebagai Kepala Desa Nenu, kecamatan Cibal, kabupaten Manggarai ini adalah mantan kepala Koperasi Unit Desa (KUD). Sejak 1990 sampai 1999 ia menjabat sebagai kepala KUD. Sebagai kepala KUD, tentu saja ia akrab dengan produk-produk pertanian kimia. Sebab KUD sendiri diakuinya lebih banyak berperan sebagai penyalur pupuk-pestisida kimia. Meskipun sudah beralih ke pertanian organik, ia masih saja didatangi dan dibujuk agen distribusi pupuk dan pestisida kimia untuk menjadi kaki tangannya.

Pengalamannya sebagai petani organik berawal dari kedekatannya dengan rohaniwan yang berkarya di daerahnya. Rohaniwan inilah yang memperkenalkannya dengan pertanian organik. Keinginannya untuk tahu dan belajar banyak tentang pertanian organik mendorongnya bergabung dengan Paguyuban Tani “Ongko”, yang sejak tahun 1999 telah mempraktekkan pertanian organik. Ia sendiri kemudian menjadi ketua paguyuban. Nama “Ongko” sengaja dipilih karena “Ongko” adalah lagu tradisional yang menjadi simbol persatuan dan persaudaraan masyarakat. Sejak bergabung dengan paguyuban Ongko, (Bapak) Hila, begitu ia biasa dipanggil, telah menjalani berbagai pelatihan, mulai dari pelatihan pertanian organik, pelatihan untuk konservasi dan pengolahan lahan miring dengan sistem terasering, sampai pelatihan kesehatan dengan memanfaatkan tanaman obat. Dalam paguyuban ini pula petani belajar dan mempraktekkan segala hal baru yang mereka dapatkan dari ekopastoral.

Caption: Panen padi organik 2006

Pertanian organik yang dijalankan Paguyuban “Ongko” ini telah mengubah, bukan saja hidup petani secara individual tetapi juga “hidup bersama” dalam masyarakat. Praktek pertanian organik telah mengembalikan tradisi “Dodo” yang telah lama menghilang dari kehidupan petani akibat praktek pertanian kimia yang membuat petani hidup sendiri-sendiri dan juga sebagai akibat pendekatan proyek yang dijalankan pemerintah. Dulu petani hidup secara bergotong royong. Semua pekerjaan di lahan dan di desa dikerjakan bersama seturut berjalannya tradisi dodo. Tradisi dodo membuat masyarakat petani punya jadual kerja bersama, termasuk gotong royong memperbaiki sekolah. Tetapi ketika semua pekerjaan diproyekkan pemerintah, tradisi dodo ini semakin punah. Semua kerja dihitung dengan uang. Kini dengan pertanian organik, petani didorong untuk mengerjakan pekerjaan pertanian secara bersama, mulai dari pembuatan pupuk, pengolahan lahan, tanam dan panen. Sedikit demi sedikit, Paguyuban Ongko berhasil menghidupkan kembali tradisi dodo yang menjadi kebanggaan masyarakat Manggarai, khususnya Cibal.

Hila mengaku, dengan pertanian organik, petani juga tertantang untuk terus belajar dan bereksperimen menemukan hal-hal baru dengan bahan-bahan lokal. Sebagai contoh, para petani organik di daerahnya menggunakan tuak atau moké (minuman yang dihasilkan dari pohon enau) sebagai pengganti EM4 (Effective Microorganism Fluid, larutan yang mengandung mikroorganisme pengurai) dalam membuat bokashi (pupuk organik). Moké yang dicampur dengan batang pisang yang diiris kecil-kecil dan ditutup selama dua minggu ternyata bisa menjadi pengganti larutan EM4 yang siap dicampur dengan bahan-bahan lain (daun gamal, jerami, batang pisang, dedak, abu dapur dan kotoran ternak) untuk membuat pupuk organik. Pembuatan pupuk organik dengan bahan moké ini dikerjakan petani secara bersama. Petani yang tidak memiliki pohon enau, bisa membeli moké di pasar dengan harga Rp2.000 per liter. Pestisida pun dibuat secara alami dari daun gamal, bunga matahari liar dan daun mimba. Namun demikian, petani organik hampir tak pernah menggunakan pestisida alami ini karena semenjak menerapkan pertanian organik, serangan hama di lahan mereka semakin berkurang. Awalnya memang ada hama putih yang menyerang padi berumur 2-3 minggu, namun hama ini menghilang setelah ditebarkan abu dapur. Kini para petani organik tak lagi dipusingkan oleh hama dan penyakit yang menyerang lahan mereka.

Dengan pertanian organik, biaya produksi yang ditanggung petani untuk menanam padi menjadi jauh lebih kecil dibandingkan ketika petani menerapkan pertanian kimia. Bayangkan, dengan pertanian kimia, untuk 1 hektar lahan sawah petani membutuhkan 200 kg urea dan 100 kg TSP, dengan harga Rp 75.000 untuk 50 kg pupuk. Belum lagi biaya pestisida dan bibitnya. Sementara dengan biaya tersebut, hasilnya tak sebanding dengan para petani organik, yang hanya butuh moké untuk membuat bokashi. Dengan pertanian kimia, lahan sawah seluas kira-kira 0,75 hektar yang dimiliki Hila menghasilkan 8-9 karung padi. Sementara dengan pertanian organik, lahan yang sama bisa menghasilkan 16-17 karung. Bobot padinya pun berbeda. Satu karung beras organik punya bobot 100 kg, sementara satu karung beras non organik bobotnya tidak sampai 100 kg. Petani merasakan betul perbedaan berat ini. Bukan itu saja. Sejak ia dan keluarganya mengkonsumsi produk-produk organik, ia dan keluarganya merasa lebih sehat, tidak mudah lelah dan sakit seperti sebelumnya.

Meski pertanian organik telah terbukti mengembalikan kehidupan petani dan ekosistem pertanian yang telah lama hilang direnggut praktek pertanian kimia, Hila sendiri menyesalkan bahwa belum semua petani di desanya mau beralih ke pertanian organik. Namun baginya sikap petani seperti ini bisa dimengerti, sebab selama ini petani telah dibuat manja oleh kemudahan-kemudahan yang ditawarkan pertanian kimia. Pupuk tinggal dibeli dan tabur, petani tak usah bersusah payah membuatnya. Dari segi tenaga, pertanian kimia memang lebih ringan, tetapi berat dari segi biaya dan produktivitasnya. Meskipun belum beralih ke pertanian organik, namun ia melihat, petani non-organik mulai menyadari betapa besar perbedaan produktivitas lahan mereka dengan lahan para petani organik. Padi di lahan non organik mereka sering hampa, tak berisi dan lebih sering pula diserang hama.

Kini Hila telah terpilih sebagai kepala desa. Ia punya peluang lebih banyak untuk mengajak petani beralih ke pertanian organik. Dalam kampanyenya sebagai calon kepala desa, ia mengajukan program pengembangan pertanian organik di desa Nenu, mulai dari pengembangan lahan pekarangan sampai lahan sawah. Bisa jadi program inilah yang menghantarkannya menjadi kepala desa.**

Photos credit: PJIC-Indonesia

Read More...

18 July 2007

Gerakan Petani Manggarai untuk Membela Kehidupan

Sri Palupi

Gerakan Petani Manggarai untuk Membela Kehidupan (1)

Gerakan Petani Manggarai untuk Membela Kehidupan (2)

Caption 1: Kelompok petani ”Tunas Muda” menyiapkan lahan untuk menanam sayur (photos credit: PJIC-Indonesia)

Dalam perjalanan dari Labuan Bajo (kabupaten Manggarai Barat) ke Ruteng (kabupaten Manggarai), Provinsi Nusa Tenggara Timur, saya membaca satu iklan besar terpampang di pinggir jalan. Isinya menawarkan pestisida ROUND UP produk perusahaan Monsanto. Tak disangka, produk perusahaan pertanian transgenik itu telah merambah hingga ke desa-desa terpencil di ujung barat pulau Flores. Monsanto sendiri adalah perusahaan transnasional di bidang agribisnis yang selama ini dikenal menawarkan ‘kehidupan’ namun dengan cara-cara yang menghancurkan sumber penyangga kehidupan umat manusia lewat mutasi faktor penentu keturunan dan pupuk serta pestisida kimianya. Ketika para elit politik-ekonomi, akademisi dan pakar pertanian turut melancarkan usaha Monsanto dalam mengintervensi kehidupan petani dan ekologi pertanian di negeri ini, penolakan justru datang dari para petani sederhana dari berbagai pelosok desa. Salah satunya adalah petani di daerah Pagal, kecamatan Cibal, kabupaten Manggarai, NTT.

Di daerah tersebut terdapat sedikitnya lima paguyuban petani, perempuan dan pemuda tani yang meninggalkan sistem bertani kimiawi dan beralih ke pertanian organik selaras alam. Gerakan ini dimulai pada tahun 1999, ketika sekelompok rohaniwan lokal mulai mempraktekkan sistem pertanian organik di lahan dan pekarangan tempat mereka tinggal dan berkarya di tengah masyarakat petani. Tindakan ini dilandasi oleh keprihatinan akan semakin hilangnya kekayaan hayati, rusaknya hutan dan ekosistem akibat pendekatan pembangunan yang eksploitatif terhadap lingkungan, yang mementingkan kepentingan sesaat dan abai akan akibat jangka panjang terhadap sumber-sumber kehidupan. Bencana yang terus melanda NTT dari tahun ke tahun dalam bentuk banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kelaparan adalah gejala kerusakan sumber kehidupan yang melatarbelakangi lahirnya gerakan pertanian organik di kabupaten Manggarai, khususnya di daerah Pagal.

Caption 2: Pelatihan pengolahan tanaman obat

Hasil dari tindakan para rohaniwan yang berawal dari lahan sendiri ini ternyata menarik minat para petani untuk belajar. Terjadilah dialog antara para petani dengan rohaniwan tentang sistem belajar bersama. Dibuatlah kemudian sekolah kehidupan alternatif, tempat semua orang dapat belajar, mengembangkan kreativitas, kemandirian, tanggung jawab dalam suasana persaudaraan dan kesederhanaan. Berbagai pelatihan dijalankan dalam sistem kelompok, di antaranya:
1) pelatihan pertanian organik, yang terdiri dari pembuatan pupuk organik, persiapan lahan, pemberdayaan pekarangan, penanaman sayur-sayuran, tanaman obat (toga) dan tanaman lain, pembibitan dan budidaya padi secara organik dan intensif;
2) pelatihan konservasi yang dilanjutkan dengan praktek penanaman pohon-pohon di daerah mata air, hutan dan lahan kritis, disertai dengan pembibitan kayu lokal;
3) pelatihan dan guliran ternak;
4) pendidikan pertanian organik di sekolah-sekolah, melalui pembuatan modul pertanian organik untuk sekolah, pelatihan guru (SMA, SMP dan SD), kunjungan dampingan ke sekolah pengembang pertanian organik dan lokakarya ekologis untuk siswa;
5) pemberdayaan perempuan dan anak dalam bentuk pelatihan gizi, pelatihan pendayagunaan tanaman obat dan pelatihan pasca panen; dan
6) pembuatan lahan contoh, baik lahan kering, lahan basah, lahan pekarangan maupun hutan keluarga. Dengan cara ini kearifan lokal yang telah lama pudar mulai dihidupkan kembali.


Caption 3: Lahan pekarangan milik rohaniwan di Pagal, Manggarai











Caption 3 dan 4: Lahan pekarangan milik petani di Cancar, Manggarai. Seluruh anggota keluarga bekerjasama membuat pupuk organik














Pembaharuan yang dilakukan para rohaniwan ini tidak hanya berlangsung dalam kehidupan para petani, tetapi juga dalam kehidupan beragama. Kehidupan beragama tidak lagi dijalankan hanya sekedar ritual di seputar altar yang terpisah sama sekali dari keprihatinan dan pergulatan hidup para petani miskin. Semangat ekopastoral menjiwai praktek hidup dan pelayanan para rohaniwan di tengah umat yang mayoritas petani. Para rohaniwan itu terlibat langsung dalam mencari alternatif-alternatif kehidupan bagi para petani yang tinggal di tengah lingkungan yang rusak dan rawan bencana ini. Sebagian dana yang terkumpul dalam kegiatan ibadah pun digunakan untuk menjalankan pelayanan ekopastoral ini.

Caption 5 & 6: Pendampingan Sekolah

Gerakan yang bertolak dari keprihatinan terhadap hidup para petani miskin di lingkungan yang rusak dan rawan bencana ini sedikit demi sedikit membuahkan hasil. Selain meluasnya praktek pertanian organik selaras alam di kalangan petani, dijalankannya konservasi di daerah mata air-hutan-lahan kritis, pertanian organik juga telah dijadikan sebagai muatan lokal di beberapa sekolah SMP dan SMA di daerah Manggarai. Setidaknya 11 sekolah SMP dan SMA yang tersebar di lima kecamatan di kabupaten Manggarai telah menjadikan pertanian organik sebagai muatan lokal. Di saat sekolah-sekolah lain memilih bahasa Inggris dan komputer sebagai muatan lokal, sekolah-sekolah yang bersentuhan langsung dengan kehidupan kelompok petani organik condong untuk memilih pertanian organik sebagai muatan lokal. Kini semakin banyak anak-anak muda dari tingkat SD sampai SMA telah mengenal dan mengalami langsung keunggulan pertanian organik, memahami persoalan ekologi yang ada di sekitar mereka dan menghargai profesi petani sebagai profesi yang tidak lagi dipandang sebelah mata.

Read More...

11 July 2007

‘Sekali lagi kita puter video di sana, pasti digrebek aparat.’


Sri Maryanti

Aku berangkat dengan niat kampanye menolak kekerasan Satpol PP terhadap warga miskin. Dengan peralatan yang serba pinjaman aku dan kawan-kawan berangkat ke sebuah kampung kaum miskin di Jakarta Barat. Mereka tak punya aula dan kursi buat nonton. Tapi menonton kali ini sangat istimewa buatku.

Petang itu kami pergi berlima. Bersama seorang mahasiswa yang aktif di bengkel kerja fotografi, satu teman pendamping anak-anak jalanan dan dua pengamen jalanan. Setelah turun dari angkot, dua teman dari sebuah organisasi kaum miskin kota ikut bergabung. Kami berjalan menyisir jalan raya sepanjang satu kilometer lebih. Bukannya tidak ada angkot di jalan itu, tapi tak ada angkot yang mau membawa rombongan yang menèntèng dua tiang besi sepanjang tiga meter.

Mungkin orang melihat rombongan kami tampak aneh. Mirip supporters Jakmania yang habis nonton pertandingan. Kami menèntèng kabel segedé èmbèr, dua batang tiang, megafon, komputer jinjing dan proyektor LCD. Semua barang pinjaman.

Lantas tibalah aku di hamparan tempat terbuka penuh dengan bongkahan bekas bangunan rubuh. Teman dari Bingkai Merah langsung nyeletuk, ‘Wah .. Kalau fajar ada di sini bisa dapet moment bagus untuk dipotrèt.’ Hèh .. batinku bilang, ‘Apanya yang bisa dipotret? Yang ada cuma bau asap sampah terbakar campur tai kuda.’

Baru kusadari kami meléwati gubuk-gubuk yang saling berdèmpèt milik para pemulung dan kusir dokar. Nyala lampu yang tak seberapa terang dari dalam gubuk itulah satu-satunya yang membuatku mengenali bahwa itu sekelompok rumah.

Puluhan anak sudah menunggu di tempat yang agak terbuka. Beberapa kali ada yang bertanya, ‘Mau ada layar tancap ya Kak?’ Yang lainnya berdatangan. Mungkin ada seratusan orang. Terpal digelar untuk alas duduk. Kami jadi grogi memasang alat-alat di keremangan itu.

Lega rasanya saat layar selebar 2x2 meter persegi berdiri kokoh. Seorang penduduk memberikan listriknya. Kami mulai memutar video ‘Membunuh Hari’. Video dokumenter tentang penggusuran tahun 2003. Lalu semua terpana melihat layar bergambar gerak itu. Sayang perlengkapan suaranya kurang bagus karena mengandalkan megafon untuk pengeras.

Setelah beberapa saat film diputar, baru kusadari sesuatu. Tempat kami memutar film berada di kegelapan di dataran yang agak tinggi. Tempat itu dikepung perumahan warga miskin yang letaknya lebih rendah. Di belakang perumahan itu berdiri bangunan yang lebih bagus. Penghuninya juga pada melongo menatap keramaian dadakan ini.

Video pertama selesai. Kami selingi dengan diskusi kecil. Seorang warga bilang, ‘Kami menonton diri kami sendiri dalam film itu.’ Kalimatnya membuatku tertegun. Komputer yang sempat ngadat dan perlengkapan listrik yang seadanya membuat kami tak bisa lama merenung.

Video kedua diputar, produksi anak-anak jalanan Jakarta. Video itu dipersembahkan untuk Irfan Maulana, joki ‘three in one’ yang meninggal akibat kekerasan yang dilakukan Satpol PP. Karena banyak anak-anak yang melihat, kami terpaksa menghentikan video itu. Sebab ada gambar jenasah Irfan yang rusak. Belum saatnya anak-anak itu melihatnya.

Kami pulang menjelang tengah malam. Aku masih ingat ibu-ibu yang menyediakan kopi panas dan kue pisang bikinan mereka. Tak bisa diceritakan. Lalu kami pamit pulang.

Di jalan tak sengaja salah satu teman bertanya, ‘Apa yang tengah kami pikirkan?’ Seorang yang lainnya membalas, ‘Sekali lagi kita puter video di sana, pasti digrebek aparat.’ He .. he .. Rasanya iya.**

Read More...