Penyusunan naskah akademik dan raperda perlindungan TKI diawali dengan riset tentang materi perlindungan TKI di tiga kabupaten tersebut, yang dilakukan The Institute for Ecosoc Right bersama Trade Union Rights Center (TURC) dan didukung oleh European Commission, sepanjang Februari sampai Nopember 2007.
Riset dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu: 1) lokakarya menggali masalah bersama para pemangku kepentingan (pemerintah daerah, organisasi TKI, mantan TKI dan keluarganya, PPTKIS dan asosiasinya, akademisi dan NGO); 2) kelompok diskusi terfokus (FGD) dengan komunitas TKI dan aparat pemerintah desa, 3) survey terhadap mantan TKI dan keluarganya, 4) wawancara bebas dengan para pemangku kepentingan (pemerintah daerah, PPTKIS, mantan TKI/keluarganya, NGO dan organisasi/lembaga masyarakat terkait); 5) studi data sekunder yang terkait dengan masalah dan perlindungan TKI dari berbagai sumber, dan 6) analisis kebijakan, termasuk di dalamnya adalah peraturan daerah tentang perlindungan TKI yang telah dibuat di beberapa kabupaten di Indonesia.
Fitur buku: tebal: xvi/224 hlm.; 14X22cm; 17 tabel; 9 fotoDari hasil riset itu disimpulkan bahwa ada tujuh pokok masalah perlindungan TKI yang selama ini diindikasikan sebagai akar dari munculnya berbagai kasus yang dihadapi TKI. Tujuh pokok masalah tersebut adalah perekrutan, pendidikan dan pelatihan, pembiayaan, penanganan kasus dan bantuan hukum, peran serta masyarakat, reintegrasi pasca bekerja, dan pendataan dan monitoring. Tujuh pokok masalah inilah yang diusulkan menjadi materi perlindungan TKI di wilayah kabupaten. Dengan menangani tujuh pokok masalah tersebut, diharapkan bahwa kasus atau masalah yang dihadapi TKI selama bekerja di luar negeri setidaknya dapat diminimalisir.
——Untuk mendapatkannya, silakan kontak kami dengan email ini: ecosoc@cbn.net.id atau
ecosocrights@gmail.com
Telpon: 62-21-830 4153 (Institut Ecosoc); 021-570 87 77 (TURC)
Naskah akademik dan raperda perlindungan TKI yang disajikan dalam buku ini telah dibahas di berbagai forum di daerah dan oleh akademisi, baik di daerah maupun di Jakarta. Tentu saja, kompleksitas masalah TKI dan keragaman kondisi daerah membuat spesifikasi masalah di setiap daerah tidak bisa sepenuhnya diakomodir dan dituangkan solusinya dalam raperda. Meskipun masalah spesifik di setiap daerah bisa berbeda, namun daerah-daerah yang menjadi kantong TKI menghadapi pokok masalah yang relatif sama dalam hal perlindungan TKI.
Perumusan naskah akademik dan raperda perlindungan TKI di wilayah kabupaten yang dituangkan dalam buku ini pada dasarnya merupakan usulan dan ajakan pada semua pihak, khususnya pemerintah, untuk mengubah paradigma perlindungan, dari perlindungan yang condong bersifat penanganan kasus menjadi perlindungan yang lebih bersifat pencegahan terjadinya kasus. Sebab semua pihak, termasuk Pemerintah Indonesia selama ini mengakui bahwa sedikitnya 60 persen TKI ditempatkan ke luar negeri tanpa melalui prosedur dan 80 persen masalah TKI ada di dalam negeri.
Artinya, sistem perlindungan dan penempatan TKI ke luar negeri potensial menciptakan masalah dan menimbulkan terjadinya kasus. Padahal selama di luar negeri, TKI tidak bisa berharap banyak akan mendapatkan perlindungan optimal dari pemerintah negara tujuan. Sebab tidak satu pun dari negara-negara tujuan menandatangani Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya, dan karenanya nasib TKI di luar negeri lebih banyak bergantung pada kebaikan personal agency dan majikan. Harapan perlindungan pada akhirnya ada di tangan pemerintah Indonesia sendiri. Karena itu, tidak ada jalan lain untuk memberikan perlindungan optimal bagi TKI dan mengurangi terjadi kasus yang dihadapi TKI di luar negeri selain membenahi sistem perlindungan dan penempatan TKI. Tanggung jawab pembenahan sistem perlindungan dan penempatan memang ada di tangan pemerintah. Namun untuk mewujudkan adanya kinerja perlindungan dan penempatan TKI yang baik, niscaya dibutuhkan adanya kerjasama dan tanggung jawab dari semua pihak, khususnya pemerintah, PJTKI/PPTKIS, dan masyarakat —termasuk di dalamnya organisasi TKI dan keluarganya, NGO, akademisi, dan lembaga lain yang bekerja untuk kepentingan TKI.
TEKS COVER BELAKANG
Masalah buruh migran atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di berbagai negara di luar negeri ternyata ‘tidak merupakan isu’ (non-isu) di banyak daerah di Indonesia, bahkan di daerah-daerah sentra asal atau pengirim para pahlawan devisa itu sendiri. Derita mereka selama bekerja banyak diberitakan di media massa tapi masyarakat dan para tokohnya ternyata kurang mengenal dan menyadari arti pentingnya (masalah) buruh migran. Kenyataan ini sejajar dengan sikap dasar Undang-undang No. 39/2004 yang sedianya disusun dan disahkan untuk melindungi hak-hak dasar para buruh migran, tapi ternyata banyak sekali kelemahannya.
Dengan membaca buku ini, Anda akan menemukan bagaimana suatu skema perlindungan bagi para buruh migran secara kategoris haruslah dirancang untuk daerah-daerah. Mata Anda akan terbuka bahwa akar masalah buruh migran justru terletak di tempat-tempat asal mereka. Tidak hanya beracu di luar negeri di negara-negara tujuan kerja. Pikiran Anda akan terbuka bahwa percaloan calon-calon buruh migran wajib diberantas jika memang kita hendak melindungi warga masyarakat yang dirundung kemiskinan tak terujung di desa-desa. Anda akan menyadari bahwa hasil kerja mereka ternyata terus-menerus meningkat dari tahun ke tahun, milyaran rupiah jauh lebih banyak daripada produktivitas daerah.
Semua ini adalah peluang emas. Tapi Anda hanya dapat mencapainya, jika Anda peduli, memberikan hati, mengulurkan kesediaan mendukung bagi perlindungan para buruh migran. Tanpa perlindungan, semua peluang dan keuntungan berubah menjadi pemerasan dan pelanggaran hak-hak dasar mereka.
Hasil studi juga menunjukkan bahwa adanya Perda Perlindungan TKI di wilayah kabupaten tidak akan menjawab masalah sepanjang tidak ada Perda Perlindungan TKI di wilayah kabupaten dan provinsi lain. Sebab proses perekrutan yang berlangsung selama ini sangat rentan menciptakan tindak mutasi atau pemindahan TKI dari satu desa ke desa lain, dari satu kabupaten ke kabupaten lain dan dari satu provinsi ke provinsi lain. Akibatnya, pemalsuan dokumen adalah masalah krusial (dengan intensitas tinggi), yang dihadapi TKI selama proses perekrutan. Ini terjadi karena mayoritas PPTKIS berdomisili di Jakarta dan mengandalkan kerja calo atau sponsor dalam menjalankan perekrutan calon TKI dari berbagai wilayah provinsi, kabupaten dan desa di Indonesia.
Adanya Perda Perlindungan TKI di wilayah kabupaten juga tidak akan menjawab masalah selama tidak ada kerjasama, koordinasi dan tanggungjawab bersama yang baik di antara pada pejabat departemen terkait, di antara pemerintah pusat dan daerah, dan antarpemerintah daerah sendiri. Sebab perlindungan TKI ini pada kenyataannya belum dipandang sebagai “masalah bersama” yang penanganannya menuntut adanya perspektif yang sama, juga kerja dan tanggung jawab bersama.
Upaya pembenahan dan peningkatan kinerja perlindungan dan penempatan TKI ini tidak bisa lagi dielakkan, karena jumlah TKI semakin meningkat, tingginya persaingan di pasar kerja internasional, keluasan masalah yang dihadapi TKI di luar negeri, dan meningkatnya sumbangan TKI bagi negara dan pembangunan di daerah. Tanpa ada kontribusi dari TKI pun negara punya kewajiban untuk melindungi setiap warganya, termasuk TKI. Tuntutan pelaksanaan kewajiban ini menjadi semakin besar ketika kita memperhitungkan semakin tingginya kontribusi TKI terhadap devisa negara, terhadap pembangunan daerah dan dalam pengentasan kemiskinan. Namun kontribusi tinggi ini belum diimbangi dengan pelayanan dan perlindungan yang memadi. Tingginya proporsi TKI yang ditempatkan dengan tidak melalui prosedur adalah indikasi perlindungan yang tidak memadai atau bahkan ala kadarnya, yang membuka peluang bagi praktik perdagangan manusia dan perbudakan modern. Membiarkan TKI dengan perlindungan yang tidak memadai atau bahkan ala kadarnya, sama halnya dengan melegalkan berlangsungnya perdagangan orang dan perbudakan modern atas anak-anak kita sendiri.**
No comments:
Post a Comment