Iswanti
Sepatuku baru, kubeli di salah satu mall di Orchad, Singapura.
Sepatu baruku memiliki hak tinggi, sekitar tujuh senti.
Walaupun hak tinggi, tapi rasanya nyaman sekali di kaki.
Teknologi tinggi memungkinkan membuat sepatu-sepatu yang nyaman di kaki, apalagi dengan bahan bagus, dan tentu saja harga bagus.
Aku mencoba sepatuku kupakai di trotoar Orchad.
Ternyata, yang bikin nyaman bukan hanya sepatunya, tetapi juga trotoar yang
memungkinkan kita berjalan menggunakan sepatu apa pun,
termasuk hak tinggi sepuluh senti sekalipun.
Hal yang tidak mungkin kulakukan di trotoar di Jakarta.
Masih untung jika ada trotoar ..
Trotoar di Jakarta sepertinya tak ada
yang cukup nyaman untuk dipakai pejalan kaki,
apalagi pakai sepatu dengan hak tinggi.
Untuk bisa berjalan di trotoar di Jakarta ..
kita harus berantem dengan sepeda motor yang naik ke trotoar,
bertoleransi dengan pedagang kaki lima,
atau banyak lubang mengangga
yang membuat kita mesti pasang mata hati-hati.
Ah susahnya berjalan kaki di Jakarta.
Ah, jika saja Tuhan memakai sepatu hak tinggi ..
mungkin kita akan agak perhatian dengan trotoar..
sebab katanya negara kita sangat berketuhanan.
Jadi kalau Tuhan senang mengenakan sepatu hak tinggi,
kita akan ramai-ramai membangun trotoar yang bagus.
Sayang ya, kita hanya menafsirkan Tuhan ada di rumah-rumah ibadah,
sehingga hanya rumah ibadah yang dipercantik.
21 August 2008
Jika Tuhan memakai sepatu hak tinggi ..
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
10:36 PM
1 komentar
Label: Aku bertanya .., gaya hidup, Indonesia, Kota, puisi, Singapore
01 July 2008
Hati-hati, Anda Berada di bawah Kamera Pengintai!
Iswanti
Mana yang akan Anda pilih? Pilihan pertama, hidup di negara yang miskin, tidak punya banyak uang, tetapi anda hidup dalam relasi sosial yang hangat dan lebih banyak kebebasan. Pilihan kedua, Anda hidup di negara yang nyaman ekonominya, tertata rapi hingga rumput-rumputnya, punya banyak uang, tetapi hidup di bawah intaian kamera yang ada di mana-mana. “You are under surveillance!” Mana pilihan Anda? Pertama atau kedua?
Dalam pemikiran “normal” kita, kita tidak mau memilih pilihan pertama atau kedua. Karena kita ingin hidup makmur, punya uang, tempat yang indah, namun sekaligus memiliki relasi sosial yang hangat dan lebih banyak kebebasan? Tetapi pemikiran “normal” itu bukanlah realitas yang sesungguhnya. Realitas sesungguhnya ternyata pahit, karena harus memilih. Kita harus memilih “enak dan tidak enak” dalam satu paket, bukan paket “enak dan enak”.
Itulah pengalamanku hidup selama hampir sebulan di negara tetangga, yang terkenal negara sangat bersih, tertata, makmur. Ujung-ujungnya, aku lebih cinta Indonesia walaupun katanya negara sedang amburadul! Benar kata orang, kita sering memandang rumput tetangga lebih hijau dari milik kita…
Ini yang terjadi. Di negara tetangga kita itu, kamera pengintai ada di mana-mana, seperti di mall atau pusat perbelanjaan, di setiap ujung eskalator perkantoran bisnis atau pemerintah, di stasiun kereta MRT, pintu masuk kantor-kantor pemerintah, jalan raya, dsb. Di satu stasiun MRT bisa ditemukan puluhan kamera surveillance. Walaupun situasinya sangat ketat semacam itu, seorang tahanan politik terkenal –yang dianggap teroris berbahaya– toh bisa lolos begitu saja. Hehe…bagaimana bisa ya? Sepertinya susah diterima akal lumrah kalau menilik tingkat pengamanan yang sangat tinggi.
Yang terakhir ini, menurutku jadi petanda sudah menyebarnya paranoia di negeri itu. Saking sangat mudah mendapatkan karena sangat murahnya teknologi, di rumah-rumah pun dipasang kamera pengintai. Kalau pengintai dipasang di rumah-rumah tertentu seperti rumah kedutaan, rumah pejabat penting atau rumah orang kaya, mungkin kita masih agak paham alasannya. Yang aku agak “kurang paham”, di negara yang tingkat pencuriannya katanya sedikit, di rumah-rumah biasa juga dipasang kamera pengintai.
Mungkin untuk keamanan, supaya bisa menangkap basah pencuri atau perampok karena rumah sering kosong. Mungkin untuk mengawasi kerja baby-sitters dalam rumah. Atau, supaya dapat mengamati dan mengontrol apa yang dilakukan “helper” atau “maid” (Pekerja Rumah Tangga – PRT) dalam rumah. Begitulah kenyataan ini, kamera surveillance pun dipasang di rumah tangga biasa.
***
Pada suatu hari aku berjumpa seorang teman, seorang PRT dari Indonesia. Dari hasil ngobrol dengannya, juga terselip cerita tentang kamera pengintai. Beginilah ceritanya, “Saya kerja dari pukul lima pagi hingga tengah malam atau bahkan pagi. Tidur empat jam, paling lama lima jam. Walaupun majikan saya dua-duanya siang hari bekerja keluar rumah, tetapi tetap saja saya tidak bisa ambil waktu istirahat saat majikan sedang bekerja. Lha di rumah majikan saya banyak kamera. Jadi mereka tahu apa yang kita lakukan.”
Wah.. aku tidak tahu mesti komentar apa dengan teman PRT ini. Aku harus mengakui, PRT ini lebih berani menghadapi pilihan daripada diriku yang terlalu banyak pikir-pikir dan mempertimbangkan.
***
Di hari lain, aku bertanya pada temanku. Kali ini kupilih yang bukan PRT tapi seorang pengajar di perguruan tinggi terkueeenal di negeri singa. Maksudku, supaya aku bisa ambil jarak dari masalah “kamera” dan penderitaan manusia. Yang kutahu, temanku itu orangnya cukup kritis. Bagaimana rasanya tinggal dan hidup di negara semacam itu, selalu di bawah sorotan kamera surveillance.
Dia menjawab, “Sebenarnya boring juga. Jika Karl Marx bilang agama adalah candu, maka di sini kenyamanan dan kesejahteraan secara ekonomi adalah candu. Orang menyerah pada kenyamanan dan kemapanan hidup. Habis lelah bekerja terus hang-out minum kopi di kedai kopi Starbuck, makan enak di restoran, tinggal di apartemen yang nyaman, bisa berlibur ke berbagai penjuru dunia. Setiap tahun masih diberi bonus oleh pemerintah. Mau apalagi? Mau cari hidup susah? Wah siapa yang mau? Semuanya sangat pasti, teratur dan tertata.”
Aku sudah menduga hal itu. Suatu ketika, kita mesti berjalan lumayan jauh di lorong-lorong mall yang sangat bersih, lampu terang dan dinding kaca di mana-mana, untuk mencapai stasiun MRT. Sambil bercanda, dia bilang, “Kita ini ibarat tikus dalam kotak kaca laboratorium. Orang-orang bergegas berjalan di lorong-lorong kaca di bawah tanah, diawasi kamera.” Kami pun tertawa.
Yang menyedihkan, temanku itu melanjutkan ceriteranya, “Aku ini seorang dosen. Aku pernah meminta mahasiswaku yang jumlahnya lebih dari 400 orang untuk membuat paper tentang fenomena dan persoalan migrasi yang ada di negeri ini. Persoalan ini cukup fenomenal di negeri ini, karena hampir 30 persen penduduk negara ini adalah pekerja migran, di antaranya PRT migran. Tetapi hanya dua mahasiswa yang datang padaku dan bisa menceritakan sisi mengerikan dari fenomena migrasi yang terjadi, yang menimpa para PRT. Para mahasiswa itu hanya mengejar nilai bagus, hanya satu dua yang benar-benar membaca dengan “kesadaran” kemanusiaan. Di negaraku ini, terasa aneh jika kita bicara soal hak asasi…”
Waah… Jadi, apa aku perlu iri untuk menjadi warganegara di tempat temanku ini?
Beberapa saat kemudian temanku yang dosen ini datang ke Jakarta, dan tinggal untuk beberapa hari di Jakarta. Pas hari-hari terjadi hujan deras, jalan-jalan banjir, jalan-jalan berlubang, macet berat di mana-mana..
Sepanjang kutemani dia jalan-jalan di Jakarta, aku cuma bisa tertawa menunjukkan sisi-sisi gelap dari “kebebasan dan demokrasi”.. Orang-orang bisa berperilaku seenaknya di jalan, menunggu tanpa kepastian, bisa demonstrasi setiap hari… bisa korupsi setiap hari… termasuk seenaknya masing-masing menafsirkan peraturan untuk kepentingannya, termasuk mengabaikan nalar dan akal sehat. Bagaimana tidak?
Suatu malam kami keluar untuk makan malam. Hujan deras sekali. Macet banget. Perjalanan dengan taksi yang mestinya ditempuh dalam waktu 10 menit menjadi 45 menit. Mestinya hanya bayar Rp20.000, tapi argo sudah menjadi Rp50.000.
Selama perjalanan itu, temanku itu menceriterakan perlakuan tak menyenangkan yang dialaminya di bandara Sukarno-Hatta, sebuah bandara antidot dari bandara modern negara tetangga kita itu. Jadi lengkaplah penderitaannya sebagai warga negara kaya yang tak kenal apa itu korupsi, percaloan, perjokian, kongkalikong, KKN, apalagi istilahnya ..., tapi “You are no way under any surveillance!”
Ceritera konyol selanjutnya yang dia alami tunggu tanggal unggah berikutnya ..
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
10:05 PM
1 komentar
Label: budaya, buruh migran, Ekonomi, korupsi, Singapore
18 June 2008
Terminal Neraka untuk Para TKI
Savitri Wisnuwardhani
Saya teringat pengalaman tiga minggu yang lalu. Saya bertemu di bandara Soekarno Hatta dengan salah seorang buruh migran yang bekerja di Singapura. Ia mengalami masalah ketika akan keluar dari terminal kedatangan internasional. Pengalaman ini sungguh menyebalkan dan menyesakkan hati. Sulit dikatakan negara tidak terlibat dalam kongkalikong percaloan dan pemerasan terhadap para tenaga kerja Indonesia di luar negeri (TKI). Ceriteranya begini.
Sebut saja perempuan ini Lani ya.. Dia berusia 15 tahun ketika bekerja di Singapura. Lani sudah dua tahun berada di Singapura tapi dia hanya sempat bisa bekerja selama satu bulan, sebelum akhirnya mengalami kasus kekerasan. Tragis benar nasibnya, karena majikan memukulinya. Setelah kasus kekerasan ini dilaporkan ke Kementerian Tenaga Kerja Singapura, dia diwajibkan menunggu kasusnya selesai. Ia menunggu selama hampir dua tahun di salah satu tempat perlindungan yang dikelola oleh sebuah lembaga masyarakat di Singapura. Berdasarkan peraturan, dia tidak boleh bekerja selama kasus belum diselesaikan oleh pemerintah Singapura. Begitulah hukum di Singapura yang ketat mengatur tenaga kerja asing.
Dua tahun sesungguhnya terlalu lama bagi Lani, apalagi tanpa bekerja sama sekali. Lani merasa semakin tidak betah tinggal lebih lama lagi di Singapura dan ingin cepat pulang ke kampung halamannya. Ia selalu berdoa dan berharap kasusnya cepat diselesaikan. Doa dan harapan Lani untuk pulang ke kampung halaman terkabul. Pada akhir Mei 2008 lalu ia mendapatkan izin pulang dari pemerintah Singapura dan mendapatkan tiket pesawat untuk kembali ke Indonesia.
Senang sekali Lani dapat pulang. Ia sudah membayangkan kedua orang tua dan sanak saudara menunggu kedatangannya. Lani lantas mengambil tiket, paspor dan pembatalan ijin kerja yang telah diurus oleh pihak agen. Begitulah hukum di Singapura, hampir semua diurus oleh agen, apalagi kalau buruh migran yang bersangkutan punya masalah. Di Singapura buruh migran tidak bisa langsung bekerja karena harus ada yang merekomendasikan untuk bekerja. Pihak-pihak yang bisa merekomendasikan seperti agen yang diakreditasi pemerintah Singapura dan warganegara Singapura.
Setelah Lani mendapatkan paspor, tiket dan pembatalan ijin kerja dari agen, Lani kemudian jadi khawatir setelah melihat keterangan tujuan perjalanan dalam tiket pesawat kepulangannya. Tiket kepulangan Lani hanya sampai Jakarta. Tidak bisa dialihkan ke daerah lain, ke bandara yang lebih dekat dengan daerah asalnya, karena agen tidak mau direpotkan oleh hal-hal kecil. Padahal pengalihan tujuan kepulangan ke bandara lain bukanlah hal sepele bagi Lani. Ia ingin menghindari Jakarta. Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng, Jawa Barat adalah bandara yang menakutkan bagi Lani. Mengapa? Selama dia di Singapura, dia sering mendapatkan informasi dari teman-teman buruh migran Indonesia tentang praktik-praktik pemerasan di terminal TKI di bandara Soekarno Hatta yang merugikan para buruh migran seperti dipalak, diambil barangnya, dan semacamnya. Dia takut apabila pengalaman teman-temannya itu juga akan menimpanya.
Lani meminta pihak agen hingga hari menjelang keberangkatan untuk mengalihkan tujuan perjalanan dari Jakarta ke Jogyakarta. Dia menyatakan kepada agen bahwa dirinya sanggup meskipun dia harus membayar lagi sejumlah SGD100 (±Rp 680.000). Dia masih mempunyai uang dari pemberian teman-temannya di tempat perlindungan. Namun pihak agen tetap tidak mau dengan alasan tidak mau repot. Dengan terpaksa Lani menerima keputusan ini. Pikirnya, yang penting dirinya pulang dan bertemu dengan keluarga di kampung.
Lani akhirnya mendarat di bandara Soekarno Hatta dengan selamat. Tidak ada halangan apa pun selama di perjalanan. Selain itu, ia tidak sendirian karena dalam pesawat yang ditumpanginya, ada beberapa teman buruh migran yang bekerja di Singapura juga hendak pulang ke kampung halaman.
Setiba di bagian imigrasi, Lani tidak mengalami masalah. Meskipun sempat beberapa saat petugas imigrasi melihat wajah Lani karena antara penampilan dengan foto di paspor berbeda. Setelah urusan imigrasi selesai, dia mengambil kopernya dan dengan percaya diri dia berjalan keluar ke Terminal 2 seperti layaknya semua penumpang pesawat keluar dari bandara. Ketika dia berjalan keluar, ujung ekor matanya melihat beberapa teman yang bersamaan dengannya di pesawat secara otomatis dibawa oleh beberapa petugas BNP2TKI dan Angkasa Pura ke terminal lain. Ke terminal khusus para buruh migran.
Langkah Lani keluar dari terminal “menyebalkan” ini mantap meskipun agak grogi karena banyak petugas penjaga di sekitar Imigrasi seperti petugas Bandara dan petugas BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI). Ketika Lani akan melangkah keluar dari tempat pemeriksaan barang, Lani tiba-tiba dikejar oleh salah satu petugas negara tersebut. Herannya petugas ini tidak mengejar orang di depan Lani yang kebetulan adalah pasangan warganegara Indonesia keturunan Tionghua.
Petugas badan nasional itu menanyakan paspor Lani. Lani tetap ngotot tidak mau memberikan paspornya. Bukankah hanya petugas imigrasi yang memiliki hak memeriksa paspor? Tapi petugas ini kemudian memanggil teman-temannya dan Lani dikerubungi oleh tiga petugas. Dengan terpaksa karena nyalinya lama-lama kendor, Lani menyerahkan paspornya kepada petugas BNP2TKI. Lani lantas diminta untuk jalan ke terminal khusus buruh migran.
Dengan lemas, Lani melangkah ke terminal khusus. Terminal yang sangat ditakutinya dan ditakuti oleh banyak buruh migran di Singapura. Lani lantas menghubungi saya untuk dijemput ke terminal khusus di bandara Soekarno Hatta.
Saya lalu mencari cara untuk dapat masuk ke dalam dengan mendesak salah satu pihak agen perjalanan di bandara Soekarno Hatta. Saya dapat masuk dengan membayar Rp50.000. Betapa mahalnya! Saya tidak berdaya untuk berargumentasi karena sementara itu saya terus ditelpon oleh Lani yang sedang ketakutan.
Setelah saya masuk, saya baru tahu bahwa semua pihak (agen perjalanan, petugas Angkasa Pura, petugas BNP2TKI dan kepolisian) sulit dikatakan apa pun yang lain kalau bukan calo. Sulit pula tidak dikatakan bahwa negara tidak mendukung percaloan ini. Mereka saling bertegur sapa. Dengan bebas saya masuk ke dalam. Saya melihat para petugas Angkasa Pura dan BNP2TKI sebanyak lima belas orang berdiri di luar bagian pemeriksaan imigrasi dan menunggu kedatangan para penumpang penerbangan internasional. Ternyata mereka hanya mencari para TKI. Di situ TKI jadi mangsa empuk.
Akhirnya saya ketemu Lani. Raut mukanya sangat bingung. Saya meyakinkannya untuk ke Terminal 4 di mana diurus kepulangan dan pendataan TKI. Saya katakan saya akan menemuinya di sana. Namun dia tidak mau saya tinggalkan.
Pada situasi yang sangat rumit ini, seseorang berbaju preman tapi mengaku diri seorang polisi, namanya hanya Farid, menyatakan dapat membantu Lani keluar asalkan Lani mau membayar Rp700.000. Saya tidak mau dan siap melawan. Namun Lani tidak mau melawan dan bersikeras mau membayar karena dia takut dan ingin cepat-cepat pulang. Dengan tawar-menawar alot, Farid mau menurunkan tawarannya jadi Rp600.000. Rasanya sungguh terpaksa dalam situasi seperti itu dan sesungguhnya sangat disayangkan tapi mau bagaimana lagi karena kami juga terlibat dalam jalur percaloan.
Farid dapat mengeluarkan kami dengan sangat mulus. Tidak ada hambatan meskipun banyak petugas Angkasa Pura dan BNP2TKI berkeliaran di dalam Terminal 2. Tak seperti dalam cita-cita penataan masyarakat, bukan kewajiban para petugas negara adalah melawan praktik-praktik pemerasan seperti yang kami alami ini.
Akhirnya kami dapat keluar dari terminal neraka ini. Sepanjang perjalanan di dalam bus DAMRI kami terdiam. Saya membayangkan kembali adegan-adegan mengesalkan tadi dan keputusan yang kami ambil. Saya merasa tindakan yang diambil Lani adalah tindakan salah tapi tidak dapat mencegahnya.
Saya lantas menanyakan ke Lani, “Apakah tindakan yang kamu ambil sudah benar?” Lani menjawab, “Saya tidak tahu. Yang penting saya bisa keluar dari terminal neraka ini dan bertemu keluarga saya.” Saya belajar satu hal bahwa aturan main yang korup dan dikondisikan begitu kuat menyebabkan orang lemah tidak punya pilihan lain kecuali bila mereka berani membela diri dengan resiko mendapatkan kekerasan dari pihak yang berwewenang.
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
1:22 PM
0
komentar
Label: buruh migran, ID-Card, Jakarta, Kebijakan, Kekerasan, korupsi, pemerintah, Singapore
22 May 2007
Sopir Taksi di Singapura
S. Prawiro
PENGALAMAN ini mungkin agak langka bagiku. Setelah sekian lama memakai jasa taksi, baru kali ini aku menemukan sopir taksi yang berbeda. Aku tercengang dan tak habis pikir dengan sopir taksi tersebut. Meskipun kejadian ini terjadi di Singapura rasanya sangat langka menurutku.
Waktu itu aku bersama teman kantor hendak pergi ke masjid untuk sholat Jum’at. Masjid agak jauh dari lokasi kantor kami yang ada di Science Park I. Begitu memperoleh taksi, kami sebutkan lokasi yang kami maksud, Starling Road. Padahal kami tak tahu rute mana yang harus kami lalui.
Biasanya dengan cukup menyebut tujuan, semua sopir taksi di sini akan tahu ke mana arah tempat yang dimaksud. Sebenarnya aku sudah hapal jalan-jalan yang biasa kami lalui. Aku merasa sepertinya salah jalan. Sesaat aku diam karena yang penting sampai tujuan. Lalu iseng aku tanyakan apakah jalan ini sudah benar. Sopirnya bilang salah dan kelewatan. Ia minta maaf. Karena one way kami harus terus meluncur. Sampai akhirnya ketemu arah yang dimaksud.
Sampailah kami di masjid Mujahidin di Starling Road. Kami membayar sesuai argo. Ia tiba-tiba bilang, “Tunggu! Berapa biasanya kalian bayar bila ke sini?” Aku lihat angka di argo memang tidak seperti biasanya. Sedikit lebih mahal. Jelas tadi memang agak muter. Kami bilang tidak apa-apa kami bayar sesuai argo dan lupakan.
Ternyata ia tak mau menerima kelebihan biaya itu. Ia ngotot hanya mau menerima harga yang biasa kami bayar, tanpa melihat argo. Akhirnya kami bayar seperti yang ia kehendaki. Sekali lagi ia mohon maaf karena telah mengurangi waktu kami akibat salah jalan. Ia juga berterimakasih sekali karena kami tidak komplen atas kejadian tersebut.
Kami turun dan bengong. Dalam hati mudah-mudahan di Jakarta ketemu sopir taksi seperti ini. Aku kagum dengan dedikasi sopir taksi itu. Padahal kalau diputar ke mana pun kami pun tak tahu.
Setiap Sabtu malam kami nonton live music di tepian Singapore River di area Esplanade Park. Setiap keluar dari area tersebut kami harus antri taksi. Ini budaya Singapura yang paling kami sukai. Taat, disiplin, bersedia antri, saling menghargai dan tidak menggangu orang lain.
Walaupun Singapura tidak bisa dibandingkan dengan Jakarta, mungkinkah kita bisa menemukan sopir taksi dan orang-orang tertib seperti itu di Jakarta?
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
12:03 AM
9
komentar
02 March 2007
More than half Singaporeans hate Indonesian workers?
QUOTING The Economist’s news article entitled Wandering Workers in January 2007, Asia Economic Institute (AEI) in its recent analysis (2/27/2007) confirms that even in such a modern country like Singapore "over half of the population opposes more foreign workers."
This is quite alarming for the many lower skilled migrant workers like from the Philippines and more dangerously from Indonesia, as Singapore prefers “foreign talent” than these hard working maids.
Singapore is not exactly yet a safe place to work for Indonesian migrant workers.
Mid last year the Indonesian embassy in Singapore reported that 10 Indonesian migrant workers were killed. And again, from eight of them they found notes about suicide, embassy official Fachry Sulaiman was quoted to have said. Since 1999 up to now totally 134 Indonesian migrant workers were killed in that city state.The embassy has failed then to announce complete report on this regard for the whole 2006 about how many deaths —high percentage for suicide— in that year.
Is it normal for a Singapore? Or perhaps it is a kind of vengeance of the Singaporeans to Indonesians for what happened in 1998 against the Indonesian Chinese, communal crime that we have also to condemn!
Yet, the AEI’s suggestion is quite worth reading:Opinions might change if the public receives a more balanced picture of the pros and cons of importing labor to do the jobs that none of the locals would ever consider taking. Locals need to realize that their economies are dependent on the foreign workers for stability. These large migrations should not be thought of as a transient or temporary phenomenon. Labor receiving countries should attempt to formulate a suitable migration policy based on longer run considerations of their labor market needs and the basic human rights of migrant workers rather than ad hoc decisions. Incentives and taxes may be levied on enterprises to discourage the perpetuation of unproductive non-competitive industries based on cheap unskilled foreign workers. At the same time, migrant-exporting countries should attempt to reduce undue dependence on overseas employment through efforts to reduce labor-outflow pressure at home. It is a delicate balance that Southeast Asia has yet to strike.**
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
12:39 AM
1 komentar
Label: buruh migran, English-version, Indonesia, Kota, perempuan, Singapore, The Institute for Ecosoc Rights
09 November 2006
Tubuh-Alat dalam Kebungkaman Ruang Privat ..
Our Publication
Tubuh-Alat dalam Kebungkaman Ruang Privat:
Problem Pekerja Rumah Tangga (PRT) Indonesia di Singapura, Januari 2006.
Buku ini memaparkan kepada pembaca, Singapura merupakan salah satu negara tujuan migrasi TKI, khususnya para perempuan. Banyak orang berpandangan negeri jiran ini relatif lebih aman daripada Malaysia. Namun, data Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) berbicara lain, selama tahun 1999 sampai Januari 2004 menunjukkan, tercatat 114 Pekerja Rumah Tangga (PRT) Indonesia di Singapura tewas akibat bunuh diri, kecelakaan kerja maupun sebab-sebab lain.
Komentar dalam resensi dari Rohman Satriani Muhammad, Anggota Forum Penulis Pemuda Pembebasan. Tinggal di Kabupaten Bandung, dalam harian Pikiran Rakyat, 30 Oktober 2006
Ketidakadilan, kekerasan, dan diskriminasi. Tiga kata inilah yang mungkin mewakili kasus menyedihkan yang menimpa Rahayu, pekerja rumah tangga di Singapura asal Banyumas. Rahayu hanyalah salah satu dari ribuan, bahkan ratusan ribu perempuan pekerja/buruh yang bekerja di luar negeri (Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan lain-lain). Betapa kejamnya perlakuan yang ditimpakan kepada Rahayu. Ancaman pembunuhan, pemerasan, makian, direndahkan martabatnya, gaji tak dibayar, dan sebagainya. Rahayu adalah seorang perempuan dan dari keluarga miskin. Alasan karena perempuan, miskin, dan lemah inilah yang seringkali dijadikan dalih penindasan.
Dikutip dari artikel karya Nur Ahmad yang diterbitkan oleh Rahima: Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan dalam rahima.or.id rubrik Fokus. Kutipan di atas dituliskan setelah penulis mengutip kutipan yang termuat dalam buku Tubuh-Alat dalam Kebungkaman Ruang Privat ... yang memuat kutipan atas ujar seorang buruh migran .. (h.134)
“Di majikan ini, setiap kali saya melakukan kesalahan,(Rahayu, Banyumas, Februari 2005)
majikan selalu ancam akan bunuh saya.
‘Saya bunuh kamu, kerja tidak betul’, begitu katanya.
Suatu kali karena saya ketakutan akan dibunuh, saya lari ke kedutaan.
Di kedutaan, agen dipanggil. Dari kedutaan saya dibawa kembali ke agen.
Di depan orang kedutaan, agen berjanji akan memanggil dan memarahi majikan.
Kalau mau ganti majikan, dia akan carikan. Begitu katanya.
Saya pikir, saya jauh-jauh dari Indonesia ingin sukses.
Sampai di agen, ternyata majikan sudah menunggu.
Di tempat agen, saya dimarahi oleh majikan dan agen.
Mereka bilang, ‘Kamu kurang ajar, tidak tahu diuntung.
Kalau tahu kamu bakalan ngadu ke kedutaan, saya bunuh kamu betulan.’
Kemudian majikan buka dompet.
Dia bayar gaji saya, kalau dihitung semuanya Rp. 8,9 juta. Gaji saya itu diserahkan ke agen.
Di depan saya, majikan bilang ke agen, ‘Nih uang gaji dia, murni gaji dia.
Saya serahkan untuk kamu pakai’.
Saya hanya disuruh lihat, padahal itu hak saya.
Saya dipulangkan ke Indonesia tanpa uang sepeserpun.
Demi Allah, saya pulang hanya bawa satu baju,
dan pakai sandal jepit, seperti orang mau ke pasar.”
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
12:36 PM
0
komentar
Label: buruh migran, Publikasi, Research, Singapore, The Institute for Ecosoc Rights
08 November 2004
Mother, daughter jailed for hitting maid
Today Online, 4 Nov 2008
Ansley Ng
SHE joined the family in March last year as a domestic helper, but barely three months into the job, she was abused by her employers who slapped, kicked and clipped her ears with clothes pegs.
Yesterday, the culprits — 33-year-old Mazlinda Mohamed and her 57-year-old mother Zahara Zainal Abidin — were jailed six and four weeks respectively by District Judge F G Remedios for mistreating their maid.
The court was told that the maid, Indonesian Tita Julita, 27, was employed byMazlinda’s husband in their Pasir Ris home. Six other people lived in the householdand the maid was tasked with general chores.
The abuse first started on June 13 when Mazlinda, who was pregnant at the time, slapped Ms Julita for not cleaning a bathroom sink thoroughly.
The next morning, while Ms Julita was cleaning the sink again, Mazlinda kicked her twice in the back after scolding her for not washing the toilet properly.
According to court documents, there were no visible injuries from the kicks.
Mazlinda was charged with two counts of voluntarily causing hurt.
Her mother, Zahara, was similarly charged. She scolded the maid in July last year for not clipping the curtains in the living room to the window grill.
Later, Zahara took some clothes pegs from her storeroom and after slapping the maid’s cheeks, she clipped Ms Julita’s ears with the pegs and pulled her hair.
Zahara also used a sandal to hit the maid.
Ms Julita left the apartment later, taking refuge at the Indonesian Embassy. A police report was filed the next day.
Speaking to the media after her clients were sentenced, defence lawyer Soraya Ibrahim said the acts were “spur of the moment” actions and that there was no “pattern of abuse”.
Ansley Ng
ansley@mediacorp.com.sg
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
1:28 PM
0
komentar
Label: hukum, Kekerasan, Singapore, Today Online
Untuk Hari Ini
Babu Negara
Olkes Dadilado
Education21
Rairo
Geworfenheit
Kodrat Bergerak
Chi Yin
aha!
John's blog
ambar
andreas harsono
bibip
Space & (Indonesian) Society
dreamy gamer
sundayz
wadehel
rudy rushady
Timor Merdeka
G M
Karena Setiap Kata adalah Doa
Sarapan Ekonomi
wisat
Adhi-RACA