THANKS a lot for your message and encouragement you posted at the wdcreezz shoutbox somewhere on the lower right part of this page. We address this response particularly to ICCP who asks for more information about that child or may be also other similar children suffering malnutrition. Our researcher in contact with Emeritus gets the information from local research partner from Community Development (CD) Bethesda Hospital that boosts "Hospital without Walls" programs in East Sumba. The programs also develop field works in West Sumba whose children condition is apparently much worse. We hope to unveil some more information about those children later.
As for Emeritus himself, he still remains in the same condition. We hope that he would be healed soon. Our contact from East Sumba confirms his precarious condition. And actually there are many children suffering similar condition in his neighborhood in Mauliru village at the Waingapu suburb. We believe that in his neighborhood there are some more dozens kids suffering from malnutrition. We draw your attention, for the time being and as far as our research is concerned, that the still much prevailing reason for such hunger phenomenon is the public policy failure of agricultural change transition process from dry land in which most local people eat corns into wet land in order to produce rice. This is hardly the case for East Nusa Tenggara, which many now have had dry land cultivation. Who should be held responsible then? Is it specifically the people to blame, even though they had agreed to such policy changes early 1990s?
If you really wish to have more information about those children in Mailiru, we suggest you to contact CD Betesda's outreach officials in Waingapu, East Sumba. Our researcher has the notes originating from the Posyandu contact person from the village. However, for the time being, while our research is still on going process, we would prefer to have you also linked with our contacts there. If you wish, any way. We are currently still conducting research on malnutrition phenomenon in East Nusa Tenggara (NTT) and we will inform the public about our final findings later. You may have to wait until the research's schedule is over. It would not be later than late this year .
Actually, you may have statistical data from the local district government, or even directly to the posyandu contact persons. However, if you want to have more detailed about each child, you have to go to find them. Our research partners may be helpful for your interest. As our research moves on, we believe that such a comprehensive information about those children would demand you also to consider different necessary ascpects, particulary as far as it is related to how to help them. It is much helpful for those children to combine correct information and aids for them, otherwise the information would create more harm than good. We believe that the communities themselves have their say in tackling such problems. Indeed, there are some sensitive aspects --that you should also note-- of links with posyandu contact persons, the puskesmas, other government officials, and health NGOs working the area. In short, correct approach is needed.
Therefore, before we approach our contact in East Sumba and perhaps also those in other districts whom we are working with in the province, it is surely good if you mention some more of your interests and institutional backgrounds that we may have more reasons to have our contact's better response.
Looking forward to your response.
Sincerely,
The Institute for Ecosoc Rights
Jakarta
Categories: [Apa?_]
28 June 2006
Dear ICCP and moengoet ..
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 12:48 AM 0 komentar
Label: English-version, Kebijakan, The Institute for Ecosoc Rights
27 June 2006
’Rumah Bulat’ Jadi Sumber Penyakit di Nusa Tenggara Timur?
Oleh Albert Buntoro
RUMAH BULAT merata digunakan oleh masyarakat Timor Tengah Selatan (TTS) di Nusa Tenggara Tmur (NTT). Ada banyak masalah kesehatan di balik rumah-rumah adat ini. Dampaknya negatif terhadap kesehatan. Tapi adat menghambat perbaikan situasi kesehatan. Apa sebenarnya rahasia di balik ’rumah bulat’, sehingga masyarakat tetap mempertahankannya?
TTS merupakan wilayah perbukitan dengan curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan kabupaten lainnya di NTT. Ironisnya, kabupaten yang dikenal “sangat tahan pangan” ini warga masyarakatnya “jauh dari sehat”. Diare, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), malaria, dan penyakit kulit scabies adalah penyakit yang senantiasa menempati urutan teratas.
Masyarakat TTS masih berkutat pada pemenuhan kebutuhan yang sangat dasar, yaitu makan dan minum. Sebagian lagi sudah berpikir tentang bagaimana melindungi tubuh dari panas dan hujan, serta memiliki rumah yang layak huni. Pendidikan bukan menjadi prioritas utama bagi masyarakat. Kemampuan baca-tulis menjadi langka. Menurut data Badan Pusat Statistik, mayoritas warga hanya lulus sekolah dasar. Bahkan jumlah warga yang tak sekolah cenderung lebih tinggi lagi.
Untuk sampai ke TTS kira-kira dibutuhkan waktu dua sampai tiga jam dengan mobil dari Kupang. Jika menggunakan bus umum diperlukan biaya Rp20.000 sekali jalan. Menjangkau daerah ini tidaklah sulit. Sebagian besar jalan utamanya sudah beraspal.
Sesekali di sebelah kiri dan kanan jalan akan terlihat rumah penduduk yang jaraknya saling berjauhan satu dari yang lain. Uniknya setiap keluarga memiliki dua jenis bangunan rumah. Bangunan pertama tampak lebih modern, berbentuk persegi dan terbuat dari kombinasi batu, papan dan seng. Bangunan kedua tampak seperti jamur merang jika dilihat dari ketinggian. Masyarakat menyebutnya sebagai Rumah Bulat, salah satu rumah adat yang masih dipertahankan.
Arsitektur dan Kegunaan Rumah Bulat
Dinding rumah bulat (umek bubu) melingkar dengan garis tengah antara tiga sampai lima meter. Atapnya yang berbentuk seperti kepala jamur merang terbuat dari rumput alang-alang. Ujung alang-alangnya hampir menyentuh permukaan tanah. Dindingnya terbuat dari potongan-potongan kayu dan bambu. Pintunya setengah lonjong dengan ketinggian kurang satu meter. Untuk masuk orang dewasa harus membungkukkan badan terlebih dahulu.
Membangun rumah bulat tidaklah sukar. Biayanya bisa dijangkau oleh masyarakat, karena semua bahan dasarnya tersedia di hutan dan kebun. ”Untuk membuat atap alang-alang yang bisa menutupi seluruh rumah cukup dengan Rp250 ribu saja. Atap tersebut bisa bertahan kira-kira 10 tahunan,” jelas Simeon Selan, seorang petani dari kecamatan Polen, TTS, yang hanya memiliki luas lahan seperempat hektar dan pendapatan tak menentu.
Rumah bulat digunakan masyarakat untuk menyimpan jagung dengan cara digantung pada penyanggah atap dan dipanaskan dengan bara api agar tidak rusak dan kualitasnya tidak menurun. Selain sebagai lumbung pangan warga di kala musim paceklik, rumah bulat juga difungsikan sebagai dapur (umumnya digunakan kayu bakar) dan tempat penyimpanan perkakas rumah tangga. Dapat dikatakan rumah bulat ini sangat ekonomis, karena digunakan untuk berbagai macam keperluan rumah tangga.
’Rumah Bulat’ Sumber Masalah
Dalam adat masyarakat Meto (atoin meto) yang merupakan masyarakat asli TTS, rumah bulat diasosiasikan dengan peranan perempuan dan sikap kerendahan hati. Berbeda dengan Lopo, bangunan khas lainnya yang juga terbuat dari bahan dasar rumput alang-alang dan bambu, tak berdinding (terbuka) dan beratap tinggi. Lopo dikaitkan dengan peranan laki-laki dan lambang perlindungan serta pengayoman terhadap penghuninya. Adat Meto juga menyebutkan bahwa zaman dahulu kala, setiap lelaki penakut akan dimasukkan ke dalam rumah bulat.
Seorang ibu, Yustina Mobanu, yang tinggal di desa Konbaki, kecamatan Polèn mengakui bahwa kelahiran keempat anaknya dilakukan di dalam rumah bulat dengan proses panggang. “Saat melahirkan saya dibantu mama angkat yang sudah pengalaman sebagai dukun di dalam rumah bulat,” ungkapnya polos. Ia juga menjelaskan, proses panggang ini dilakukannya selama 40 hari. Asap memenuhi seluruh ruang dalam rumah bulat. Sebab, kecuali untuk memasak dengan kayu bakar, keluarga ini juga menghangatkan tubuh ibu yang baru saja melahirkan dengan cara membuat bara api dan kemudian meletakkan arang panasnya di bawah kolong tempat tidur ibu yang baru saja melahirkan. Proses melahirkan juga dilakukan di tempat tidur itu.
Proses panggang dipercaya masyarakat menjadi penangkal dari sakit berat. Ada pula ketakutan dari para orang tua: jika proses ini tak dilakukan, kondisi badan anak akan lembek dan tak kuat, bahkan akan menyebabkan kegilaan pada si ibu.
Rumah bulat menjadi ciri khas adat dan budaya orang Timor yang masih dipertahankan sampai saat ini, padahal sebetulnya ia juga sumber persoalan. Sulit menemukan rumah bulat berjendela. Lubang angin pun tidak menjadi pertimbangan dalam membangun rumah bulat. Udara dan sinar matahari hanya bisa menerobos dari lubang-lubang kecil pada dinding-dinding bambu.
Sudah tak bisa dipungkiri lagi bahwa ada hubungan erat antara tingginya jumlah penderita gangguan pernafasan dengan penggunaan rumah bulat. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan TTS, persentase jumlah penderita ISPA meningkat; 17,1% (2002), 19,1% (2003) dan 26,1% (2004). Disebutkan pula, jumlah penderita ISPA 2004 sudah mencapai 120.480 jiwa.
Buruknya kondisi rumah bulat dan efeknya terhadap penyakit penafasan juga diakui oleh para dokter di beberapa puskesmas. “Penyakit ISPA sering terjadi pada anak-anak, karena ada adat dan kebiasaan dari masyarakat di sini bahwa sebelum berumur 40 hari, anak tidak boleh keluar dari rumah bulat,” jelas Dr. Yusni Simbolon, kepala Puskesmas di kecamatan Amanuban Barat. Dr. Suryowati, Kepala Puskesmas di kecamatan Polen yang lebih menyoroti pada proses kelahiran, juga berpendapat serupa. Dia menjelaskan bahwa kebiasaan masyarakat yang mengharuskan perempuan melahirkan di dalam rumah bulat yang penuh debu dari tungku dan asap akan menyebabkan bayi dan ibunya mudah terkena ISPA.
Sulitnya Mengubah Perilaku
Untuk mengatasi masalah kesehatan di TTS, diperlukan perubahan pola perilaku masyarakat. Usaha mengubah sudah pernah dilakukan dinas kesehatan kabupaten bekerja sama dengan puskesmas setempat dalam bentuk pelatihan. Sayangnya, kegiatan ini tak menghasilkan perubahan perilaku hidup masyarakat. Dalam sebuah acara pelatihan, Dr. Suryowati menasihati warga masyarakat agar orangtua memberi makanan bergizi dan empat sehat lima sempurna untuk anak-anak mereka. Tapi dokter itu justru dibantah oleh masyarakat. “Ibu dokter, (meskipun) dari kecil kita (hanya) makan jagung kosong saja, bisa besar dan punya anak. Yang penting besar dan hidup,” kata Dr. Suryowati dengan kesal, ketika menirukan bantahan para peserta pelatihan.
Tampaknya sikap tertutup masyarakat terhadap pembaharuan yang datang dari luar sudah sangat ‘berurat berakar’. Masyarakat sangat lekat dengan kebudayaan dan kebiasaan yang sudah lama dipercaya. Pihak-pihak yang punya pengaruh dan menjadi panutan masyarakat seperti tetua adat bersikap sangat tertutup. Rumah bulat dipercaya menjadi ekspresi budaya setempat.
Pendekatan personal berupa himbauan maupun larangan juga sempat dilakukan kepada warga, bahkan kepada tetua adat. Namun tetap saja tidak membuahkan hasil yang lebih baik. Dr. Suryowati mengaku telah berkali-kali menegur perempuan agar jangan melahirkan di dalam rumah bulat. Tapi mereka tak memedulikannya. Kepada tetua adat, dokter asal Jakarta itu juga sudah menyampaikan himbauannya. “Susahnya masyarakat (hanya) mau dengar, kalau ketua adat yang bilang. Tetapi kalau kita ngomong sama ketua adat, ketua adatnya juga tidak mendengar,” tambahnya lagi.
Kisah dokter itu melukiskan adanya pertentangan kepentingan antara adat dan kesehatan yang tak terlerai sampai sekarang. Barangkali kita tak akan heran, jika demikian sulitnya mengubah perilaku dan kepercayaan masyarakat, maka akan terus-menerus jatuh korban-korban perempuan dan anak-anak. Seorang bidan di desa Konbaki, kecamatan Polen mengaku bahwa selama ini juga belum berhasil diupayakan suatu pertemuan transformasi kepentingan di antara tetua adat, masyarakat, dan pemerintah dalam hal kesehatan. Alternatif lain, dari segi bangunannya sendiri, konsep arsitektural dari rumah bulat belum pernah dipertimbangkan. Mungkinkah dirancang sebuah rumah bulat yang tetap mempertahankan nilai-nilai adat sekaligus menunjang kesehatan ibu dan anak-anak?**
Categories: [Busung Lapar_] [Petani & Pedesaan_]
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 11:26 PM 0 komentar
Label: busung lapar, Kemiskinan, Nusa Tenggara Timur
20 June 2006
Percayakah Anda bahwa pemerintah membela rakyat dengan melakukan revisi terhadap Perpres 36/2005??
Oleh Savitri Wisnuwardhani
Apa itu tanah? Mengapa kita mempersoalkan tanah? Apakah tanah begitu peliknya sehingga menjadi perdebatan bahkan menjadi pertikaian yang akhir-akhir ini mencuat beritanya di media?
Bangsa Indonesia menyebut bumi Indonesia tidak dengan sebutan motherland atau fatherland, melainkan dengan sebutan ‘tanah air’. Apakah artinya? Apa yang khas dengan kata-kata ‘tanah air’? Definisi ‘tanah air’ menurut wikipedia adalah istilah yang digunakan untuk menyebut negara atau tempat di mana seseorang dilahirkan.
Menurut saya tidak hanya itu. Dengan penyebutan Indonesia sebagai ‘tanah air’ berarti Indonesia tidak hanya terdiri dari tanah saja melainkan juga air. Konsekuensinya, bukankah kepemilikan wilayah tidak hanya dilihat dari berapa luas tanahnya, tapi juga berapa luas air atau lautnya?
Bagaimana Guru Besar Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti menjelaskan perubahan tafsir "kepentingan umum" dari Perpress 36/2005 menjadi Perpres No.65/2006?
Guru Besar Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dalam seminar sehari, 15/6/2006, yang berjudul ‘Peningkatan Kualitas Penduduk melalui Pembangunan Pertanian, Kepastian Hukum, Kepemilikan Tanah dan Keserasian Lingkungan’, mengatakan bahwa kepemilikan usaha seseorang tak lagi dilihat dari tanahnya tapi juga dari air atau lautnya. Hal ini bisa dilihat dari nelayan. Bahkan menurutnya, ada kasus nelayan Bugis tidak mau atau tidak memperbolehkan nelayan Jawa masuk dalam teritorialnya. Wah, bisa berbahaya ini. Sudah mulai ada hukum-hukum yang dibuat oleh individu atau sekelompok orang secara partikelir tanpa pembicaraan publik yang seharusnya.
Lalu timbul pertanyaan, bagaimana dengan peran negara menghadapi masalah tanah dan air ini? Apakah sudah ada undang-undang yang mengaturnya? Ternyata belum ada kejelasan mengenai batasan tanah dan air antara kabupaten, propinsi dan bahkan negara. Oleh karena itu banyak persoalan yang timbul. Contohnya kasus perebutan pulau Sipadan dan Ligitan oleh pemerintah Indonesia dan Malaysia yang sampai sekarang masih dalam proses hukum.
Lemahnya hukum terutama penegakan hukum menyebabkan perselisihan batas kepemilikan satu dengan yang lain meruncing. Menurut Dorodjatun, kelemahan penegakan hukum bersumber dari dua akar masalah.
Pertama, karena lemahnya data; dalam hal ini data adalah peta detil kepemilikan tanah atau air sampai unit masyarakat yang terkecil yakni keluarga. Minimnya dan malah ketakpedulian pemerintah kita terhadap data menyebabkan munculnya berbagai masalah. Hal ini sudah terbukti dengan munculnya kasus kepemilikan tanah di Aceh pasca tsunami. Sebentar lagi kiranya juga akan muncul di Jogyakarta dan Klaten, dua daerah yang belum lama ini dilanda bencana gempa seperti Aceh. Kedua, pendekatan pemerintah dalam menentukan batas kepemilikan tanah seseorang berdasarkan pendekatan yang sifatnya formal dan legalistik dengan mengandalkan foto satelit dan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang merupakan kesepakatan antara gubernur, bupati atau walikota, tanpa melibatkan unsur-unsur masyarakat yang merupakan stakeholders terpenting.
Cacat pendekatan inilah yang menyebabkan timbulnya perselisihan, terutama ketika berhadapan dengan hak ulayat pada tanah-tanah adat. Karenanya diperlukan pendekatan lain dalam menentukan batas kepemilikan yakni dengan pengamatan dan pembuktian langsung yang benar-benar didasarkan pada pemahaman hukum adat dan atau tanah wakaf, sehingga perselisihan tanah dapat diselesaikan dan masyarakat mendapatkan ‘harga yang pantas (fair price)’ untuk hak miliknya.
Menurut Dorodjatun, salah satu niat baik pemerintah dalam penggunaan tanah untuk kepentingan umum dicantumkan dalam Perpres No.65/2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam Pepres ini pemerintah menyederhanakan banyaknya jenis sarana umum yang tergolong dalam ‘kepentingan umum’, seperti yang semula tercantum dalam Perpres No.36/2005. Pemerintah telah menghapus 14 dari 21 jenis sarana pembangunan untuk kepentingan umum, sehingga menjadi tujuh jenis, yaitu sarana jalan umum dan jalan tol, rel kereta api, saluran air: sarana waduk dan bendungan; sarana pelabuhan, bandara udara dan stasiun; sarana fasilitas keselamatan umum seperti tanggul; sarana pembuangan sampah; sarana cagar alam dan budaya; sarana bagi pembangkit listrik dan transmisi lainnya.
Dengan adanya perpres yang, katanya, ‘pro-rakyat’ ini, diharapkan muncul perpres-perpres lain yang tak lagi mementingkan kepentingan pemilik modal melainkan lebih mementingkan kepentingan rakyat.
Beranikah Anda memastikan bahwa semua perpres tentang ‘kepentingan umum’ itu sungguh akan membela kepentingan rakyat?***
Categories: [Petani & Pedesaan_] [Kebijakan_]
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 2:05 AM 0 komentar
Label: busung lapar, Kemiskinan, korupsi, pemerintah
16 June 2006
DATA BUSUNG LAPAR NTT “HANYA DIPREDIKSIKAN”
Busung lapar di Nusa Tenggara Timur barangkali sudah dapat dikatakan bukan hanya menjadi keprihatinan di provinsi itu, tapi keprihatinan nasional. Namun sikap para elit setempat tampaknya tak banyak berubah. Mereka hampir-hampir dapat dikatakan “tak peduli, pokoknya proyek jalan terus.”
Anggota tim peneliti dari Institute for Ecosoc Rights, Yan Koli Bau dari Kupang, menghadiri acara rapat koordinasi para bupati di Nusa Tenggara Timur, 8 Juni 2003, di aula El Tari, ibukota NTT, dan melaporkan perkembangan penanganan busung lapar di provinsi yang katanya dikenal miskin sumberdaya alam itu.
BANYAK desa atau posyandu tak terjangkau oleh petugas pemerintah sehingga data tak diambil, alias laporan dan usulan kabupaten itu hanya diprediksikan saja. Mungkin karena medannya berat atau karena musim hujan atau mungkin karena petugas malas.
Tak ada koordinasi antara kecamatan, puskesmas, Dinkes Kabupaten, LSM. Akibatnya, banyak data yang tercecer bahkan ada begitu banyak kegiatan LSM yang tak diketahui oleh Dinkes kabupaten. Maka perlu cari tahu darimana data Kadinkes Propinsi diambil?
Lebih parah lagi, sejak dua tahun lalu Kepala Dinas Kesehatan Propinsi NTT berstatus tersangka dan sempat ditahan di penjara Penfui, Kupang, selama 20 hari. Ia mengalami stress berat karena tersangkut korupsi dana pengadaan sarana kesehatan (Sarkes) senilai Rp15 milyar. Bagaimana kadinkes dapat bekerja dengan baik dan mencapai hasil seperti yang dilaporkan?
Selama masih berstatus tersangka dan “mantan” tahanan polisi, Gubernur NTT memberi kesempatan kepada yang bersangkutan untuk melanjutkan studi S2 (konon di Boston). Bagaimana kadinkes dapat bekerja, antara menghadapi tuntutan jaksa dalam status tersangka -tahanan polisi, studi S2 di Boston dan melakukan tugas dengan hasil yang dilaporkan?
ACARA ini sendiri sebenarnya sudah direncanakan agak lama tapi selalu tertunda tanpa alasan jelas. Semula dijadualkan 6 Juni namun entah karena apa ditunda mendadak jadi 12 Juni 2006. Tiba-tiba, di luar dugaan 8 Juni pagi saya ditelepon seorang pejabat Propinsi NTT yang mengatakan bahwa acara yang sudah ditunda itu dimajukan dan malah waktu itu sedang akan dibuka oleh Gubernur NTT.
Bergegas saya meninggalkan pekerjaan dan datang ke aula El Tari. Acara dimulai sekitar 09.00-12.00. Dihadiri oleh Sekretaris Menkokesra dan rombongan, Dirjen PUM Depdagri dan rombongan, Gubernur NTT dangan Kepala Dinas/Instansi terkait, Ketua DPRD NTT dan Pimpinan Komisi. Semua Bupati atau walikota di NTT dengan pimpinan instansi dan dinas-dinas terkait di tingkat propinsi, pimpinan DPRD masing-masing kabupaten atau kota, dan para jurnalis. Acara itu jadi terasa “sangat menarik” karena dimeriahkan oleh Kelompok Koor dari Pemda NTT.
Acara diawali dengan menyanyikan sekitar lima lagu daerah dan lagu pop oleh kelompok koor. Layaknya dalam acara lomba koor “pesparawi”, konser atau mantènan Jawa ala modern. Setelah itu Gubernur NTT memberi sambutan dan membuka acara secara resmi dan mempersilakan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi NTT menyampaikan paparan tentang kemajuan dan pelayanan publik di sektor kesehatan di NTT. Isinya persis sama dengan naskah yang sudah diperoleh.
Sungguh sayang, tak ada tanya-jawab dan tak ada yang bertanya. Padahal katanya banyak pihak menjadi pemantau program KLB dan busung lapar di NTT, termasuk wartawan Kompas dan radio El Shinta Jakarta.
Dalam acara ini ada beberapa kali komentar dan klarifikasi yang dilakukan Sekretaris Menkokesra menyangkut koordinasi lintas instansi mengenai pelaksaaan program jangka menengah dan jangka panjang KLB dan Busung Lapar serta usulan penanggulangan bencana alam dari kabupaten atau kota. Dirjen PUM Depdagri memberikan informasi mengenai koordinasi dan rencana kerja ke depan dalam menangani Otonomi Daerah yang cenderung tak efektif.
Acara ditutup sekitar pukul 12.00 setelah makan siang. Selebihnya Gubernur, para bupati dan walikota melakukan pertemuan tertutup dengan para pejabat dari Jakarta di Hotel Kristal. Tentu saja saya tak berhak mengikuti (maklum karena kali lalu saya tak mau jadi bupati .. ).
KEESOKAN harinya ketika saya sedang menguji mahasiswa, ada telpon dari pejabat propinsi yang menghubungi saya sehari sebelumnya bahwa ada pertemuan dengan sekretaris Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) membicarakan pembangunan NTT tetapi saya tak hadir sebab pemberitahuan sangat mendadak dan saya sedang menguji mahasiswa-mahasiswa saya.
DEMIKIAN berita dari Kupang. Silakan menggugat, merenungkan tetapi jangan ditangisi dan sesali situasi serba tak peduli ini sebab airmata orang NTT sudah kering untuk menyertai Anda menangis.***
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 12:31 AM 0 komentar
Label: busung lapar, Kemiskinan, korupsi, Nusa Tenggara Timur, pemerintah
10 June 2006
Emeritus, gizi buruk, ditinggal ibu jadi TKI di Malaysia
Emeritus Djangga Dewa, kelurahan Mauliru, Waingapu, Sumba Timur, lahir 20 Juni 2004, gizi sangat buruk, sakit-sakitan.
"Mama di mana?"
Anak malang dari pinggiran kota Waingapu, Sumba Timur ini sudah satu tahun ditinggal ibunya, bekerja di Malaysia. Ia terpaksa disapih sementara kondisi tubuhnya dan situasi ekonomi lemah dalam rumah tangga. Anak ini sudah tergolong berstatus gizi amat buruk. Bagaimana keadaannya sekarang?
Kini berat badan Emeritus hanya delapan kilo pada Mei 2006. Ia sering sakit-sakitan: demam, bantuk, pilek, diare. Perut Emeritus buncit. Memang tubuhnya tampak gemuk tapi lebih banyak isi air.
Ibunya, Sara Djangga Dewa, sayang, tak meninggalkan alamat sama sekali. Ia sekarang hidup bersama ayahnya saja, nDanung Nguli Wali. Tapi kedua orangtua Emeritus ini tak tamat sekolah dasar. Mereka kesulitan mendapatkan nafkah. Ayahnya juga tak punya tanah dalam ukuran kepemilikan di pulau Sumba. Memang ini agak aneh, karena bukankah pulau Sumba itu jarang penduduknya tapi luas areal tanahnya? Tapi statistik semakin langka kaitannya dengan kenyataan sosial yang sangat tak adil yang menimpa keluarga-keluarga miskin.
Luas tanah yang masih dikelola (hanya) 25 are (seperempat hektar) lahan kering. Tapi kecuali produksi amat rendah juga gagal panen. Penanaman jagung hanya menghasilkan 10 krandi (satu krandi ~ tiga kilo). Tanaman kacang hijau juga tak berbuah, karena musim hujan berlebih telah membuat daun-daunnya mengkerut. Untuk keperluan makan sehari-hari, masih bisa menjual pisang. Tapi ketika pisang belum berbuah, beberapa ekor ayamnya bisa ditukarkan dengan uang.
Situasi jadi lebih parah ketika Om nDanung harus membawa Emeritus ke rumah sakit. Lelaki ini harus menghutang pada tetangga. Beberapa kali terjadi ia juga harus mencari-cari hutang sampai tiga hari sementara Emeritus seharusnya sudah dibawa ke rumah sakit. Untuk opname singkat sudah bisa mengeluarkan biaya sampai Rp250.000. Kalau sedang tak ada uang, ya sang ayah menunda pembayaran dulu. Tapi nanti kalau sakit lagi? Bagaimana? Terpaksa Emeritus tak dibawa ke rumah sakit dulu. Cari utang-utang dulu. Tiga hari kemudian utang baru didapat. Tapi itu sudah terlambat.
Categories: [Busung Lapar_] [Nusa Tenggara Timur_] [Buruh Migran_]
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 2:28 PM 2 komentar
Label: buruh migran, busung lapar, Kemiskinan, Nusa Tenggara Timur
08 June 2006
Kota dan Penjara Konsumerisme
Oleh: Sri Palupi *)
ATAS kemampuannya menarik investor baru dan keberhasilannya menegakkan supremasi hukum, walikota Solo pada tahun 2001 menerima penghargaan dari DPRD setempat. Kemampuan menarik investor diukur dari berdirinya beberapa mall, dan keberhasilannya menegakkan supremasi hukum ditunjukkan lewat penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL). Ini hanyalah satu contoh kebijakan pengembangan kota berbasis ideologi pasar bebas yang mengejar pertumbuhan ekonomi lewat industri konsumerisme. Kebijakan semacam ini menggejala di kota-kota besar di Indonesia.
Kota-kota di Indonesia sudah jadi lahan perah usaha! Lalu apa implikasinya untuk kita? Kita serasa menghuni penjara!
Kota sebagai Badan Usaha
Dengan ideologi pasar bebas, satu-satunya perkara penting dalam mengelola kota adalah bagaimana memperluas pasar demi keuntungan maksimal. Konsekuensinya, kota dipandang sebagai sebuah badan usaha yang bertujuan memaksimalkan keuntungan. Sebagai sebuah badan usaha, kota-kota menjual diri mereka sendiri di dalam pasar nasional dan pasar global, layaknya pengusaha menjual produknya. Namun produk kota adalah “kota sebagai lokasi usaha” bagi para investor. Keberhasilan sebuah kota sebagai badan usaha diukur dari keberhasilannya menarik investor untuk “berlokasi” di sana. Bagi para investor, kota dilihat sebagai pasar, yang di dalamnya segala sesuatu bisa dijual. Dan individu-individu di dalamnya dipandang tak lebih sebagai konsumen yang memburu barang di rimba pasar kota.
Sebagai badan usaha sekaligus pasar, kota-kota besar di Indonesia berlomba mengembangkan budaya konsumerisme sambil mengandaikan, di situ terbuka peluang ke arah pertumbuhan ekonomi. Maka kota pun digiring untuk membangun pusat-pusat bisnis dan perdagangan skala besar yang dinilai lebih efisien dan menjanjikan keuntungan. Jadi tidak mengherankan kalau pembangunan supermarket , mall, dan pusat-pusat perbelanjaan tidak hanya menjadi jalan tunggal pertumbuhan kota, tetapi sekaligus juga solusi bagi kemacetan ekonomi kota. Akibatnya, ruang publik, bangunan publik, transportasi publik, perumahan murah, kaki lima dan fungsi-fungsi lain yang tidak memiliki output ekonomi yang signifikan, kurang mendapat perhatian.
Pada akhirnya tak ada hal lain yang bisa ditawarkan kota selain nafsu membangun mall dan pusat perbelanjaan. Sebuah pusat perbelanjaan bisa mendadak didirikan di mana saja, bahkan di kawasan padat dan macet sekalipun. Dengan visi seperti ini tak ada lagi ruang sisa untuk bisa berbicara tentang tata ruang kota. Ruang publik dan kawasan konservasi bisa dengan mudah berubah fungsi menjadi pusat bisnis dan perdagangan. Semua bagian kota telah dikavling dan kawasan terbuka hijau telah penuh dengan bangunan. Akibatnya sistem tata ruang kota menjadi semrawut dan kemacetan menjadi bagian kehidupan kota.
Penjara Konsumerisme
Visi kota sebagai badan usaha diam-diam menyembunyikan gagasan bahwa sebuah kota yang berhasil hanya dihuni oleh individu-individu yang berhasil (kelas menengah – atas). Keberhasilan individu diukur dari tingginya daya beli. Semakin kota dihuni oleh semakin banyak warga yang berdaya beli tinggi, semakin berhasil kota itu sebagai sebuah badan usaha. Implikasinya, pertama, kota dirancang hanya untuk kelas menengah atas yang berdaya beli tinggi. Kedua,. pengelola kota menerapkan kebijakan kota tertutup bagi individu-individu yang tidak memenuhi kriteria keberhasilan kota, yaitu kelompok marjinal. Padahal kelompok marjinal pada umumnya bergerak di sektor informal yang diasumsikan berpenghasilan rendah dan dinilai tidak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi kota. Karenanya mereka dianggap bukan bagian dari kota dan harus diperangi. Tidak mengherankan kalau kemudian pemerintah kota gencar melancarkan penggusuran terhadap para PKL, pemukiman miskin, pedagang asongan, dan lain-lain kelompok miskin yang dianggap merepresentasikan kegagalan kota.
Kalaupun kota-kota besar di Indonesia tidak ramah pada kelas bawah, bukan berarti ia menganakemaskan kelas menengah-atas. Keramahan kota pada kelas menengah atas adalah keramahan palsu. Sebab di balik keramahan itu tersembunyi kepentingan untuk mengembangkan gaya hidup konsumerisme. Pemilikan mobil pribadi melebihi kebutuhan, pemilikan rumah secara berlebihan, pemborosan ruang dan lahan, dsb. Dalam hal konsumsi mobil pribadi, misalnya, pada tahun 1980-an populasi mobil pribadi di Jakarta baru mencapai 84% dari total kendaraan. Namun pada tahun 2002, populasi mobil pribadi mencapai 91,3% (3,53 juta unit), dengan kebutuhan lahan parkir seluas minimal 24 juta m2 (ekuivalen dengan 1 juta unit rumah tipe 21). Konsumerisme pada mobil pribadi bermuara pada pemborosan lahan dan juga bahan bakar minyak. Konsumerisme ruang tampil dalam bentuk menjamurnya perumahan mewah di atas lahan-lahan konservasi, menjamurnya mall dan pusat perbelanjaan di atas penggusuran ruang publik dan lahan konservasi.
Berkembangnya gaya hidup konsumerisme tidak sejalan dengan berkembangnya kenyamanan. Sebaliknya, konsumerisme telah melahirkan kota yang inefesien, ditandai oleh: kesemrawutan dan kemacetan kota, meluasnya daerah banjir dan meningkatnya kerawanan kota akibat tingginya pengangguran. Dengan mobil pribadi diharapkan bisa menambah kebebasan (bergerak). Namun konsumerisme pada mobil pribadi telah menghasilkan kemacetan yang merampas kemerdekaan. Dengan pemilikan rumah mewah diharapkan akan dihasilkan kenyamanan. Namun konsumerisme rumah mewah yang dibangun di atas lahan konservasi menghasilkan banjir tahunan yang merampas kenyamanan.
Satu-satunya tempat yang nyaman dalam ruang kota adalah mall, yang memang dirancang khusus untuk merangsang tumbuhnya budaya konsumerisme pada kelas menengah atas. Mall tidak hanya berfungsi sebagai tempat shopping, tetapi juga menyatukan fungsi jalan, pasar, kaki lima dan plaza dalam sebuah bangunan. Karenanya Mall menciptakan kondisi yang menjadikan orang suka berbelanja, tidak lagi tertarik pada jalan, taman dan ruang terbuka lainnya. Kalau kondisi seperti ini yang berkembang di kota, maka pada akhirnya bukan kebebasan yang ditawarkan kota pada warganya melainkan penjara. Penjara konsumerisme dengan segala konsekuensinya. ***
Bogor, 5 Maret 2003
*) Sri Palupi: Mahasiswa pasca sarjana STF Drijarkara, ketua Institute for Ecosoc Righs; tulisan ini pernah dimuat di harian Koran Tempo, 8 Maret 2003.
Categories: [Kota_]
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 11:20 AM 0 komentar
Label: Kota
Plaza Senayan: Upaya Memproduksi Identitas
Oleh Sri Maryanti
SEORANG lelaki muda melenggang turun dari tangga-berjalan di Plaza Senayan, lalu melangkah menuju atrium. Tangannya menenteng satu buket kembang mawar yang menyembul dari kain dan kertas kaca pembalutnya. Tampaknya ia baru saja membeli bunga dari sebuah toko di lantai dua. Mungkin lelaki itu berbelanja bunga untuk seseorang yang memiliki relasi tertentu dengannya. Bisa juga ia belanja bunga untuk dirinya sendiri. Tapi kejadian seorang lelaki muda berbelanja bunga di sebuah plasa, jelas bukan kebiasaan umum pada masyarakat kebanyakan di negeri ini. Bunga, lelaki muda dan Plaza Senayan. Tiga hal yang jika terangkai dalam satu peristiwa, yang ditangkap adalah bahwa itu kebiasaan kalangan tertentu.
Dalam penggalan jangka waktu, keberadaan plaza sebagai tempat perbelanjaan modern, menghasilkan pola perilaku baru pada masyarakat yang berelasi dengannya. Tapi pola perilaku semacam apa yang berkembang?
Plaza Senayan memiliki keunikan dibandingkan Pusat perbelanjaan modern lain di Jakarta. Plaza Senayan, selain juga Plaza Indonesia, mewakili tempat belanja kelas atas di Jakarta. Plaza ini begitu kuat menampilkan diri dengan image internasionalnya. Bagaimana tidak, berbagai gerai memajang produk mulai dari busana, perhiasan berlian, salon, makanan sampai hiburan bermerek dunia. Tidak begitu susah untuk memperoleh barang dengan label Bvlgari, Prada, Louis Vuitton, Bally, Aigner atau Gucci di sana. Dua deptartement store dan supermarket kenamaan dari Jepang (Sogo) dan dari Singapura (Metro) juga hadir melengkapi atsmosfir global yang dibangun di tempat ini. Dalam website resmi Central America Flights menyebutkan bahwa Plaza Senayan diperuntukkan bagi yang menginginkan pengalaman belanja yang berkelas dengan kelebihan lokasi yang berada di jantung distrik keuangan ibu kota dan di tengah kawasan perkantoran.
Untuk membangun citra pusat belanja yang bergengsi, Plaza Senayan tidak hanya menawarkan kenyamanan tempat belanja yang menampilkan keanggunan lantai marmer, sebuah atrium yang gagah, tata cahaya yang sempurna dan juga keleluasaan ruangan yang makin mahal di Jakarta ini, tapi plaza ini juga mampu menentukan siapa yang akan berkunjung. Dengan lebih memperbanyak menawarkan kebutuhan kelas atas , dengan sendirinya masyarakat yang berkunjung akan sesuai dan tepat seperti yang diinginkan, yaitu ujung dari masyarakat borjuis kelas atas.
Sebuah tas kulit wanita ukuran sedang produk Bally dengan label Black Lamb Nappa Plain seharga Rp 9.990.000 akan lebih mudah ditemukan di Plaza Senayan dibandingkan di plaza atau mall lain. Jika seseorang ingin mencari sebuah dompet kulit produk Louis Vuitton seharga Rp 4.000.000, ia akan lebih suka memilih pergi ke tempat ini dibandingakan tempat lainnya. Plaza Senayan sudah seperti Pasar Baru pada jaman Hindia Belanda, elit dan untuk kalangan tertentu.
Sebuah situs yang khusus membantu kalangan ekspatriat yang berencana tinggal di Indonesia yang juga merekomendasikan Plaza Senayan sebagai tempat belanja, menyebutkan orang-orang kelas menengah ke atas Indonesia, kesadaran akan merek internasional kuat. Maka kalau di Plaza Senayan menyediakan setidaknya 50 lebih gerai yang menjual pakaian dan perlengkapannya dari Milan, London, Paris, New York adalah bukanlah suatu ketidak-sengajaan.
Tidak heran tempat ini sering disebut-sebut sebagai wilayah edar selebritis dan pejabat. Hadi Poernomo, direktur jenderal Pajak, mengaku memilih Plaza Senayan sebagai tempat favoritnya untuk jalan-jalan, makan, serta mengantar istri dan anaknya belanja . Inet, seorang pengarah program promosi pariwisata Jakarta di luar negeri, saat ditanya apa yang dilakukannya saat jenuh bekerja, ia menjawab akan menghabiskan sekitar Rp 20.000 – Rp 30.000 untuk main game di Plaza Senayan . Bintang film, sinetron dan iklan Okan Kornelius Tjewn, memilih Plaza Senayan sebagai tempat nongkrong pilihannya .
Sisi lain Plaza Senayan berikutnya adalah munculnya sederetan nama-nama café yang tidak hanya menjual secangkir kopi untuk diminum saja. Sebut saja Starbucks, Coffee Club, Coffee Bean & Tea Leaf dan nama lain yang menjual suasana ringan, tenang dan santai sambil menyediakan secangkir kopi, musik dan akses internet nir-kabel. Konsep ini mengadopsi tradisi intelektual Perancis yang gemar minum kopi sambil ngobrol ditepi-tepi jalan . Maka anak-anak muda kelas menengah Jakarta, lalu gemar datang ke café-café ini untuk sekedar ngobrol, diskusi, membaca bahkan mengerjakan pekerjaan kantor. Banyak orang memilih duduk-duduk di café seusai pulang kerja sambil menunggu kemacetan lalu lintas usai. Fenomena orang menyeruput kopi sambil menghadapi komputer mini merebak di café-café Plaza Senayan. Tempat-tempat minum yang nyaman seperti ini juga sering menyeret pengunjung yang tadinya hanya ingin belanja saja, tiba-tiba memutuskan mengistirahatkan kaki sambil menikmati aneka pilihan kopi dari berbagai belahan dunia sembari membaca Koran di sana. Plaza Senayan seperti satu simbol modernitas kota dan trend gaya hidup kosmopolitan.
Tampaknya pusat perbelanjaan yang berada di Jalan Asia Afrika ini, sudah menjadi semacam kekuasaan. Seperti gagasan Foucault, kekuasaan adalah soal praktik-praktik konkrit yang lantas menciptakan realitas dan pola-pola perilaku, memproduksi wilayah objek-objek pengetahuan dan ritual-ritual kebenaran yang khas . Dikatakan kekuasaan karena Plaza Senayan memiliki kekuatan yang mampu menggerakkan seseorang untuk datang, menikmati dan membeli. Seluruh simbol-simbol mewah yang diusung oleh plaza yang dibangun dengan dana 70% dari Jepang ini adalah sebuah daya tarik yang berkekuatan.
Dengan seluruh daya tariknya, Plaza Senayan berhasil dalam membangun pengetahuan atau konsep baru mengenai gaya hidup ‘yang berbeda’ dari ‘yang lain’. Plaza Senayan seolah ingin berkata, pakailah produk ini, lalu kamu akan berbeda dari yang lainnya. Lalu sinyal demikian ditangkap dan direspon publik. Terbukti kemudian dengan munculnya kecenderungan fanatik pada merek-merek tertentu. Ungkapan-ungkapan macam ‘ini gue banget’ atau ‘gue kan tau barang’ adalah peneguh dari semua itu. Sampai disini kekuasaan telah melahirkan pengetahuan.
Kekuasaan ini juga telah mengklasifikasikan sebagian masyarakat yang telah mengidentitaskan dirinya berdasarkan apa yang ia peroleh dari plaza ini. Begitu kita berada di dalam Plasa Senayan saja, kita seolah-olah merasa terpisah dengan dunia di luar. Melalui simbol-simbol berupa merek dagang kelas dunia dan tawaran kebiasaan hidup dengan kesan mahal dan berselera tinggi, mampu membuat seseorang merasa berbeda.
Eric Fromm dalam bukunya yang berjudul To Have Or to Be, mengelompokkan motif hidup manusia menjadi dua . Jenis pertama adalah orang dengan motif to have (memiliki). Orang dalam jenis ini, akan merasa dirinya berharga saat merasa memiliki sesuatu (harta, pengetahuan, jabatan, kecantikan dan lainnya). Jika ia tidak memiliki apapun, ia merasa dirinya tidak berharga. Harga dirinya ditentukan dari apa yang ia miliki. Harga diri menjadi tergantung pada sesuatu di luar dirinya. Jenis kedua adalah orang dengan motif to be (menjadi). Orang jenis ini merasa tanpa memiliki sesuatupun, dirinya sudah berharga dengan sendirinya. Orang seperti ini lebih memiliki kemerdekaan dan otoritas pada dirinya. Tampaknya apa yang disodorkan oleh Plaza Senayan akan lebih mendorong individu yang berinteraksi dengannya, kearah motif yang pertama. Plaza Senayan melalui bisikannya akan terus mencoba menggeser pertimbangan pembelanja dari fungsional ke prestis. Rasanya tepat sekali ungkapan Lauren Bain , plaza seperti ini pada dasarnya, adalah sebuah tempat yang dikuasai bukan oleh negara, melainkan oleh dolar dan keinginan para pembelanja akan komoditas terbaru.**
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 11:12 AM 0 komentar
Label: Investment, Kebijakan, Kota, Liberalisasi
Untuk Hari Ini
Babu Negara
Olkes Dadilado
Education21
Rairo
Geworfenheit
Kodrat Bergerak
Chi Yin
aha!
John's blog
ambar
andreas harsono
bibip
Space & (Indonesian) Society
dreamy gamer
sundayz
wadehel
rudy rushady
Timor Merdeka
G M
Karena Setiap Kata adalah Doa
Sarapan Ekonomi
wisat
Adhi-RACA