Reslian Pardede
SEHUBUNGAN dengan penjualan saham PT Lapindo Brantas Inc. yang dimiliki PT Energi Mega Persada, Tbk (yang mayoritas sahamnya dimiliki keluarga Bakrie) kepada Freehold Group (perusahaan investasi yang berkedudukan di British Virgin Island), Jusuf Kalla menyatakan bahwa “Lapindo tetap bertanggung jawab” (Kompas, 18/11/06). Ia menambahkan, “Lapindo-nya kan tidak pergi? Yang jelas, yang bertanggung jawab kepada negara dan masyarakat adalah Lapindo-nya meskipun pemiliknya (berganti-ganti). Apalagi ada keputusan presiden yang menetapkan kerugian itu." Semudah itukah? Bisakah keputusan presiden membatalkan undang-undang, dalam hal ini UU No1/1975 yang menyatakan “pemegang saham tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya”? Dan bukankah secara legal Freehold Group bisa saja membiarkan PT Lapindo Brantas Inc. (selanjutnya disebut Lapindo) bangkrut dan meninggalkan biaya penanggulangan pada pemerintah?
Siapa investor yang berada di belakang Freehold Group? Tidak sulit menebak siapa di belakang Freehold meskipun tidak mudah membuktikannya. Mengingat belum ada tanda-tanda kalau lumpur akan berhenti dan kemungkinan membengkaknya biaya penanggulangan, sulit membayangkan ada pihak yang mau membeli perusahaan yang sedang dililit masalah seperti Lapindo. Ketidakpastian dan potensi kerugian terlalu besar dibanding potensi manfaat yang ada di blok Brantas seperti yang diklaim PT Energi Mega Persada (PT EMP) dan Freehold Group dan yang menjadi alasan transaksi penjualan Lapindo. Selain itu, penjualan saham kali ini merupakan upaya kedua PT EMP yang memiliki 100% saham Lapindo melalui PT Kalila Energy dan PT Pan Asia Enterprise. Sebelumnya PT EMP sudah menjual sahamnya di Lapindo ke Lyte, Ltd., juga perusahaan yang dimiliki keluarga Bakrie dan berkedudukan di Amerika Serikat, yang dalam prosesnya diubah menjadi Bakrie Oil and Gas, Ltd. Namun Bapepam menolak transaksi ini. Meskipun bisa ditebak, siapa investor di balik Freehold tetap tidak mudah dibuktikan karena bisa saja disusun kepemilikan yang berlapis sehingga meskipun investor di Freehold bisa diketahui, belum tentu itu investor yang sesungguhnya.
Cara seperti ini, membuat kepemilikan berlapis, mudah sekali dilakukan dengan menggunakan perusahaan yang didirikan di negara-negara seperti Cayman Islands, Cook Islands, British Virgin Islands, dan lain-lain. Perusahaan offshore tersebut disebut SPV atau special purpose vehicle yaitu entitas atau perusahaan yang sengaja dibentuk untuk tujuan transaksi khusus seperti pada sekuritisasi hutang (securitization) misalnya. Maksud awal pembentukan SPV adalah untuk mengisolasikan resiko dan melindungi investor. Namun SPV juga bisa digunakan untuk tujuan perpajakan (baca menghindari pajak) dan pada akhirnya untuk menghindari peraturan. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan pelaku bisnis Indonesia bahwa banyak perusahaan yang pada saat krisis ekonomi mengalami gagal bayar (default) menggunakan SPV untuk membeli kembali surat hutang mereka dengan harga yang sangat murah. SPV ini bisa lebih dari satu. Akibatnya sulit melacak siapa di balik SPV tersebut. Ini akhirnya merugikan investor atau pemegang surat hutang lainnya termasuk BPPN pada saat itu ketika terjadi restrukturisasi hutang karena emiten (perusahaan yang mengeluarkan surat hutang) melalui SPV-nya telah menjadi pemegang mayoritas dari surat hutangnya sendiri. Transaksi “legal tetapi esensinya melanggar hukum” seperti ini adalah transaksi bisnis yang jamak terjadi di Indonesia.
Oleh karena itu, dalam kasus ini kepemilikan Lapindo menjadi sangat penting karena akan membawa konsekuensi terhadap siapa penanggung jawab biaya penanggulangan bencana lumpur panas di Kecamatan Porong, Jawa Timur. Menyatakan Lapindo, sebagai perusahaan, sebagai pihak yang bertanggungjawab terlepas dari pemiliknya bisa menyesatkan. Ini juga menjadi alasan di balik larangan Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) atas perubahan kepemilikan di Lapindo meski diajukan dengan alasan untuk melindungi pemegang saham minoritas di PT EMP yang total asetnya USD 850 juta. "Yang mau beli, siapa pun, tetap tidak bisa, mengenai siapa yang akan beli, sudah tidak relevan lagi," kata Ketua Bapepam Fuad Rachmany (9/11/2006). Ini tentunya untuk mencegah trik pengalihan tanggungjawab biaya yang besarnya masih dalam estimasi. Untuk membiayai sebagian dari total estimasi biaya penanggulangan sebesar USD 140 – 170, Lapindo sendiri memperoleh pinjaman USD 30 juta dari PT Minarak Labuan, perusahaan milik Bakrie Group. Lapindo masih harus membayar USD 30 – 40 juta sesuai dengan porsi 50% kepemilikannya di blok Brantas. Itu pun kalau biaya tidak membengkak lagi.
Namun larangan Bapepam ini pun mungkin tidak akan mencegah Lapindo atau pihak-pihak terkait untuk melepaskan diri melalui jalur hukum yang dengan pendekatan formal prosedural justru seringkali memberi jalan keluar bagi pihak yang bermasalah. Beberapa tahun yang lalu pemerintah Indonesia sendiri pernah kalah di badan arbitrase internasional dalam kasus Karaha Bodas (Pertamina). PT Medco Energi (pemegang 32% blok Brantas) yang juga akan menanggung biaya penanggulangan saat ini sedang mempersoalkan Lapindo ke badan arbitrase internasional. Mungkinkah sekali lagi kita akan menyaksikan bagaimana sepak terjang perusahaan yang bermasalah melepaskan diri melalui aturan hukum?**
27 November 2006
Di Balik Pengalihan Saham Lapindo
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 8:32 AM 2 komentar
Label: Ekonomi, Indonesia, Investment, korupsi, Liberalisasi, Mining, pemerintah
21 November 2006
Calo & Pahit Getirnya Mengurus Paspor
Yulius Nurendra Efendi
Pengalaman mengurus paspor sendiri di kantor Imigrasi Surakarta, membuat saya mengetahui bagaimana bobroknya kondisi birokrasi di negeri ini. Berawal dari undangan rekan di negeri seberang, membuat saya pergi ke luar negeri. Hal ini juga yang mengharuskan saya memiliki dokumen paspor.
Tanggal 18 oktober 2006, saya datang ke kantor Imigrasi Surakarta. Saya bawa semua persyaratan lengkap. Di dalam kantor tersebut memang terpampang dengan jelas tentang syarat, prosedur dan tarif untuk pembuatan segala macam surat atau dokumen keimigrasian. Apakah juga sejelas itu proses yang kemudian saya jalani?
Saat memasuki pintu kantor tersebut, kerumunan calo sudah menunggu. Mereka menawarkan jasa pengurusan paspor dengan janji lebih cepat selesai. Tentunya itu bukan tawaran gratis, tapi aku harus membayar uang lebih kepada calo tersebut. Tarif yang dipasang para calo bisa dua hingga tiga kali lipat dari tarif resmi yang hanya Rp200.000. Karena memang dari awal saya berniat untuk mengurus sendiri, maka tawaran calo tersebut saya abaikan. Padahal jika saya terima tawaran tersebut, dia bisa menguruskan paspor saya hanya dalam waktu sehari. Sedangkan ketentuan resmi yang tertulis di papan pengumuman harusnya dua hari.
Saya mulai urus sendiri pembuatan paspor saya. Pertama, saya membeli formulir/berkas pengurusan paspor seharga Rp10.000. Untuk pembelian ini, saya tidak mendapatkan kwitansi bukti pembelian. Inilah ketidakberesan pertama yang saya jumpai.
Setelah saya isi lengkap formulir, kemudian saya serahkan lagi berkas tersebut dengan dilampiri persyaratan lain. Proses selanjutnya dimulai dengan pemeriksaan berkas oleh petugas. Ketidakberesan kedua segera terjadi. Meski semua berkas telah lengkap diisi dan syarat telah komplit, sepertinya petugas ingin mencari kesalahan. Entah apa maksudnya. Akte kelahiran yang saya lampirkan sebagai syarat permohonan dipermasalahkan. Petugas meminta saya melengkapi dengan syarat lain yaitu ijasah terakhir. Artinya saya harus kembali lagi besoknya, karena saat itu saya tidak membawa ijasah yang dimaksud. Padahal di papan pengumuman akte kelahiran dan ijasah sifatnya opsional, yaitu saling menggantikan.
Keesokkan harinya, saat ijasah yang dimaksud sudah saya bawa, petugas tersebut malah mengabaikan ijasah tersebut begitu saja. Sedikitpun ijasah saya tak ditanyakan. Ini membuat saya serasa dilecehkan. Yang membuat saya naik pitam, pada proses berikutnya berkas saya sempat tidak jelas keberadaannya. Setelah saya desak, barulah petugas tersebut memprosesnya. Meski untuk itu, saya harus menunggu lebih lama lagi.
Setelah berkas kembali diproses, tahap selanjutnya adalah foto untuk paspor. Untuk keperluan ini, saya harus membayar Rp55.000. Kali ini barulah diberikan bukti pembayaran. Anehnya, orang yang datang dan memasukkan berkas jauh dibelakang saya, justru dipanggil untuk foto duluan. Baru saya sadar bahwa yang menjadi korban calo bukan saja para pengguna jasa calo, namun juga para pencari paspor dengan jalur resmi. Kami jadi digusur-gusur ke urutan yang lebih belakang oleh orang-orang yang membayar lebih pada calo tersebut.
Setelah difoto, lagi-lagi petugas sepertinya ingin mengulur waktu lagi. Dengan alasan bahwa proses selanjutnya menunggu persetujuan dari Jakarta, ia mengharuskan saya menunggu seminggu lagi. Kali ini saya memahaminya karena akan ada liburan lebaran yang menghalanginya.
Saya pikirkan benar peristiwa itu. Ketidaktahuan mengenai proses yang sebenarnya, menyebabkan saya mengiyakan saja perintah petugas tersebut. Hal ini pasti juga dialami oleh pencari paspor yang lainnya. Proses yang berjalan tak seperti yang terpampang di papan pengumuman. Ketidakjelasan nasib berkas yang kami ajukan, membuat kami seperti jadi bulan-bulanan permainan petugas.
Tanggal 30 Oktober 2006, seperti yang dijanjikan petugas, sayapun kembali lagi mendatangi kantor Imigrasi. Lagi-lagi pelayanan yang diberikan sangat lambat. Dengan alasan harus melewati beberapa meja dan persetujuan, saya diharuskan menunggu dan menunggu lagi. Itupun saya harus beberapa kali menanyakan dengan setengah protes kepada petugas. Sejauh mana berkas saya diproses?
Setelah menunggu hampir 4 jam, dokumen pasporpun baru jadi. Kami pun harus membayar Rp 205.000, dengan rincian Rp200.000 untuk pembayaran buku dokumen paspor dan Rp5.000 untuk sidik jari. Kalau dihitung dari proses awal hingga akhir, total yang harus dikeluarkan untuk pembuatan paspor, sebanyak Rp270.000. Padahal yang terpampang di pengumuman hanya Rp200.000. Mengurus dengan jalur resmi saja biaya masih bisa membengkak, apalagi dengan calo? Dari beberapa informasi para pengguna jasa calo, ternyata mereka bisa menghabiskan Rp500.000 s.d Rp600.000 untuk memperoleh paspor dengan waktu 1 s.d 2 hari. Inikah Indonesia?
See the English version.
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 10:59 AM 16 komentar
Label: ID-Card, korupsi, pemerintah
09 November 2006
Sudahkah Terjadi Perubahan di Sragen?
Sri Maryanti
BEBERAPA waktu yang lalu, nama pemda Sragen begitu mencuat dengan proyek percontohan Kantor Pelayanan Terpadu (KPT). Kantor ini terkenal sebagai wujud upaya pemda dalam memberikan pelayanan publik yang sederhana, jelas, aman, transparan, ekonomis, adil dan tepat waktu. Konon inisiatif ini muncul dari ide Bupati, Untung Wiyono. Sebagai pengusaha-bupati kini di tangannya ada banyak perusahaan seperti rumah sakit, sekolah, PJTKI, SPBU, perusahaan air mineral, perusahaan perkayuan, dan juga tanah di mana-mana. Banyak orang menyebut ide ini keluar dari refleksi pengalamannya sebagai pengusaha. Masalah KPT juga sempat diangkat dalam satu program siaran TV bergengsi “Republik BBM” yang menghadirkan Bupati Sragen.
Terpancing ketenaran KPT, aku sempatkan diri datang ke sana. Dua hari aku berada di daerah ini. Kawan-kawan dari Kantor Pelayanan Bantuan Hukum ATMA Solo mempertemukanku dengan beberapa komunitas masyarakat yang ada di sana. Aku juga sempat datang ke kantor KPT dengan membawa beberapa pertanyaan. Benarkah sudah terjadi perubahan mendasar di pemda Sragen? Dan apakah juga benar bupati Sragen seorang yang pro-perubahan dan pro-rakyat miskin?
Begitu menginjakkan kaki di lantai kantor tersebut, segera terlihat para pegawai yang berblazer dan berdasi rapi tampak siap melayani. Di samping pintu masuk terpampang lebar satu bagan. Diterangkan semua prosedur pengurusan berbagai keperluan. Tidak main-main. Layanan ini meliputi 52 macam ijin dan 10 non-ijin dalam satu atap. Mereka menamakan layanan ini “one stop service”. Tampaknya dengan KPT pemda ingin menunjukkan niatnya membuat satu perubahan.
Harus diakui bahwa banyak pihak terbantu dengan layanan ini. Terutama para pengusaha. Entah karena efektivitas layanan ini atau kepandaian bupati menyakinkan investor, beberapa investor segera masuk. HM Sampoerna dan beberapa industri perkayuan serta tekstil mendirikan pabrik di sana. Apakah para investor itu bekerja sama dengan perusahaan milik bupati? Seorang pengusaha di Sragen yang aku temui menyinggung bahwa pimpinan pabrik di perusahaan HM Sampoerna tersebut adik bupati. Apakah pemberian ijin pada HM Sampoerna ini berkaitan dengan jabatan adik bupati di perusahaan ini?
Usaha pemda dalam mengurangi pengangguran tampak nyata patut dihargai. Masuknya beberapa investor ke daerah tersebut jelas banyak menyerap tenaga kerja. Apalagi bupati juga memiliki inisiatif membuat pusat-pusat pelatihan kerja. Banyak anak muda yang belum bekerja memperoleh pelatihan keterampilan secara gratis. Mereka bisa belajar berbagai hal seperti komputer, perbengkelan, jahit menjahit, dan perkayuan.
Pemda juga tak hanya mampu menggalang kerja sama dengan para pengusaha namun juga pihak akademisi. Ini terlihat dengan adanya kerjasama transfer teknologi pertanian dalam rangka pemberdayaan masyarakat berbasis potensi daerah antara pemda dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Selain itu pemda juga dikenal cukup maju dengan mengaplikasikan teknologi informasi dalam mendukung kerja-kerja pemerintahan.
Di sisi lain ada juga fakta yang tampak ganjil. Bergantinya kepala kejaksaan negeri sampai beberapa kali. Selama bupati ini menjabat, sudah dua kali terjadi penggantian kepala kejaksaan negeri. Padahal beberapa komunitas warga mengenal para pejabat kejaksaan tersebut sebagai orang yang memiliki visi kuat mengungkap kasus korupsi dana purna bhakti tahun 2003 di Sragen. Mungkinkah pergantian jabatan ini berkaitan dengan kasus korupsi yang mereka tangani? Sampai periode kedua bupati ini menjabat, kasus korupsi dana purna bhakti belum juga selesai.
Beberapa pengalaman aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang sempat bekerja di Sragen mengatakan bupati lebih sering tidak kooperatif terhadap mereka. Sulit sekali menemuinya untuk diajak berdialog.
Tanggapan yang mirip dari pihak bupati juga dialami oleh para petani yang tergabung dalam Forum Peduli Kebenaran dan Keadilan Sambirejo (FPKKS). Kelompok petani ini sebenarnya sudah sejak 1965 mengalami berbagai pelanggaran HAM. Mereka sempat mengalami pengusiran, penculikan, pengasingan dan berbagai intimidasi selama puluhan tahun mencari keadilan atas tanah mereka yang hilang.
Saat para petani meminta bantuan bupati untuk memperoleh kejelasan atas tanah mereka, bupati sempat menyanggupi. Namun setelah berbulan-bulan para petani itu menunggu tindakan nyata dari bupati, tiba-tiba bupati itu malah mengembalikan surat pengajuan permohonan tanah yang diajukan para petani tersebut. Alasannya karena ada orang-orang LSM yang bekerja bersama petani tersebut. Hal ini tercatat dalam dokumentasi yang dibuat FPKKS dan ATMA Solo. Kenapa bupati bersikap “anti” kepada LSM? Apakah benar ada jarak antara lembaga-lembaga informal dengan lembaga-lembaga formal di Sragen?
Pertanyaan itu tak berhenti sampai disitu. Sederetan pertanyaan lain mengikutinya. Aku menjadi tidak begitu yakin bahwa bupati itu cukup “pro” pada rakyat miskin. Sebandingkah kehebatan administratif tersebut dengan kasus-kasus besar seperti korupsi dana purna bhakti senilai Rp2,25 M dan kasus ketidakadilan yang dialami petani Sambirejo?
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 8:34 PM 2 komentar
Label: Ekonomi, Investment, pemerintah, petani, politik, Reform
Tanggapan atas Komentar Lian
Pembaca yang budiman,
Teks asli yang diterima redaksi menyebutkan harga rumah tersebut kurang lebih Rp600 M. Setelah kami konfirmasikan kepada penulis, ternyata memang terdapat data yang salah. Penulis meralat bahwa yang benar harga rumah tersebut kurang lebih Rp60 M. Atas kekeliruan tersebut penulis mohon maaf sebesar-besarnya. Terimakasih.
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 4:17 PM 0 komentar
Tubuh-Alat dalam Kebungkaman Ruang Privat ..
Our Publication
Tubuh-Alat dalam Kebungkaman Ruang Privat:
Problem Pekerja Rumah Tangga (PRT) Indonesia di Singapura, Januari 2006.
Buku ini memaparkan kepada pembaca, Singapura merupakan salah satu negara tujuan migrasi TKI, khususnya para perempuan. Banyak orang berpandangan negeri jiran ini relatif lebih aman daripada Malaysia. Namun, data Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) berbicara lain, selama tahun 1999 sampai Januari 2004 menunjukkan, tercatat 114 Pekerja Rumah Tangga (PRT) Indonesia di Singapura tewas akibat bunuh diri, kecelakaan kerja maupun sebab-sebab lain.
Komentar dalam resensi dari Rohman Satriani Muhammad, Anggota Forum Penulis Pemuda Pembebasan. Tinggal di Kabupaten Bandung, dalam harian Pikiran Rakyat, 30 Oktober 2006
Ketidakadilan, kekerasan, dan diskriminasi. Tiga kata inilah yang mungkin mewakili kasus menyedihkan yang menimpa Rahayu, pekerja rumah tangga di Singapura asal Banyumas. Rahayu hanyalah salah satu dari ribuan, bahkan ratusan ribu perempuan pekerja/buruh yang bekerja di luar negeri (Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan lain-lain). Betapa kejamnya perlakuan yang ditimpakan kepada Rahayu. Ancaman pembunuhan, pemerasan, makian, direndahkan martabatnya, gaji tak dibayar, dan sebagainya. Rahayu adalah seorang perempuan dan dari keluarga miskin. Alasan karena perempuan, miskin, dan lemah inilah yang seringkali dijadikan dalih penindasan.
Dikutip dari artikel karya Nur Ahmad yang diterbitkan oleh Rahima: Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan dalam rahima.or.id rubrik Fokus. Kutipan di atas dituliskan setelah penulis mengutip kutipan yang termuat dalam buku Tubuh-Alat dalam Kebungkaman Ruang Privat ... yang memuat kutipan atas ujar seorang buruh migran .. (h.134)
“Di majikan ini, setiap kali saya melakukan kesalahan,(Rahayu, Banyumas, Februari 2005)
majikan selalu ancam akan bunuh saya.
‘Saya bunuh kamu, kerja tidak betul’, begitu katanya.
Suatu kali karena saya ketakutan akan dibunuh, saya lari ke kedutaan.
Di kedutaan, agen dipanggil. Dari kedutaan saya dibawa kembali ke agen.
Di depan orang kedutaan, agen berjanji akan memanggil dan memarahi majikan.
Kalau mau ganti majikan, dia akan carikan. Begitu katanya.
Saya pikir, saya jauh-jauh dari Indonesia ingin sukses.
Sampai di agen, ternyata majikan sudah menunggu.
Di tempat agen, saya dimarahi oleh majikan dan agen.
Mereka bilang, ‘Kamu kurang ajar, tidak tahu diuntung.
Kalau tahu kamu bakalan ngadu ke kedutaan, saya bunuh kamu betulan.’
Kemudian majikan buka dompet.
Dia bayar gaji saya, kalau dihitung semuanya Rp. 8,9 juta. Gaji saya itu diserahkan ke agen.
Di depan saya, majikan bilang ke agen, ‘Nih uang gaji dia, murni gaji dia.
Saya serahkan untuk kamu pakai’.
Saya hanya disuruh lihat, padahal itu hak saya.
Saya dipulangkan ke Indonesia tanpa uang sepeserpun.
Demi Allah, saya pulang hanya bawa satu baju,
dan pakai sandal jepit, seperti orang mau ke pasar.”
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 12:36 PM 0 komentar
Label: buruh migran, Publikasi, Research, Singapore, The Institute for Ecosoc Rights
04 November 2006
Satu Milyar di Malam Ramadhan
Gamma M. Jauhari
KESEMPATAN menarik ini datang pada satu hari di bulan Ramadhan tahun ini. Saya berkesempatan menghadiri undangan salah satu acara buka puasa bersama seluruh keluarga besar saya. Buka bersama kali ini diadakan di salah satu rumah saudara. Kebetulan sekali saudara saya merupakan seorang pengusaha terkemuka yang tinggal di bilangan Pondok Indah. Apa yang saya lihat disana? Dan apa yang menarik dalam acara tersebut?
Apa yang saya lihat setiba di rumah itu sungguh membuat saya terkesima. Sebuah bangunan yang tak hanya sangat megah dan mewah. Disangga pilar-pilar yang teramat kokoh. Menatap angkuh pada siapa pun yang hendak memasukinya. Aroma selera berkelas segera tercium.
Tata ruang dan seni arsitektur dalam ruangan tersebut benar-benar berselera tinggi. Ini pasti semakin menambah sempurna dari nilai bangunannya. Kesempurnaan itu semakin lengkap ketika saya memasuki bagian belakang rumah. Sebuah taman terhampar luas. Sebuah air mancur utama berikut anak sungainya mengalir ke seluruh bagian taman. Satu gazebo utama menjulang megah. Kemegahan gazebo utama itu makin dipermegah lagi oleh gazebo-gazebo lain yang berderetan di sisi kiri dan kanan mendampinginya. Seperti sederetan pengawal yang menjagai sang penguasa.
Bangunan tersebut tampaknya menggambarkan sebuah perkawinan antara sebuah kastil bergaya abad pertengahan dengan kemajuan modernitas di era globalisasi. Sebuah gaya bangsawan baru di abad 21. Tebak berapa nilai rumah itu? Belakangan saya baru tahu rumah itu seharga Rp600 miliar. Sebuah jumlah yang saya sendiri belum pernah seumur hidup bertatapan langsung. Bahkan, terfikirkan pun tak pernah.
Dalam rangkaian acara berbuka puasa dan shalat Tarawih bersama malam itu, hadir pula para tamu kehormatan. Mulai dari rekan-rekan sesama pengusaha hingga para pejabat daerah. Hadir juga gubernur, anggota DPD, DPR, DPRD, dan pejabat-pejabat lain yang berasal dari satu tanah kelahiran yang sama.
Mulanya saya berfikir malam itu merupakan malam ajang gagah-gagahan atas prestasi duniawi yang berhasil dicapai dari masing-masing orang yang hadir di sana. Dan tampaknya dugaan saya tak meleset. Memang seperti itu adanya.
Namun ada satu hal yang sangat menggugah saya. Ketika rangkaian acara shalat Tarawih, sambutan dari tuan rumah, sambutan para pejabat serta acara ceramah usai, acara itu ditutup dengan pengumpulan zakat. Koordinator pengumpulan zakat tersebut adalah satu yayasan yang ditunjuk oleh tuan rumah.
Kawan-kawan, berapa dana yang berhasil terkumpul? Mencengangkan. Dalam seketika Rp600 juta terkumpul dari tamu yang hadir. Jumlah tersebut belum termasuk dana dari tuan rumah. Lebih gila lagi, tuan rumah bersedia menutup angka tersebut hingga menjadi Rp 1 Milyar. Batinku bertanya, “Lalu berapa kekayaan mereka sesungguhnya?”
Mungkinkah ini wujud nyata mimpi-mimpi dari kaum dhuafa di bulan Ramadhan? Kalau benar, bulan ini menjadi satu bulan yang penuh berkah, agar mereka-mereka yang berkelebihan berkenan menyisihkan sebagian dari harta mereka untuk diberikan kepada yang berkekurangan.
Saya jadi berangan-angan. Coba kalau setiap bulan itu bulan Ramadhan. Sehingga setiap hari mereka-mereka yang berkelebihan merasa selalu diketuk pintu hatinya oleh Yang Kuasa. Semestinyakah dalam waktu kurang dari sepuluh tahun bangsa ini akan terlepas dari jeratan kemiskinan yang berkepanjangan? **
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 3:15 PM 5 komentar
Untuk Hari Ini
Babu Negara
Olkes Dadilado
Education21
Rairo
Geworfenheit
Kodrat Bergerak
Chi Yin
aha!
John's blog
ambar
andreas harsono
bibip
Space & (Indonesian) Society
dreamy gamer
sundayz
wadehel
rudy rushady
Timor Merdeka
G M
Karena Setiap Kata adalah Doa
Sarapan Ekonomi
wisat
Adhi-RACA