Sri Maryanti
Aku agak terhenyak membaca satu artikel liputan khusus tentang energi di Majalah Time edisi 25 Februari 2008. Desert Dream, Mimpi Padang Pasir, begitu judulnya. Sebuah liputan tentang mega proyek pengembangan sumber energi alternatif dan berkelanjutan di kota Masdar, satu kota kecil di dekat ibu kota negara Uni Emirat Arab. Mereka menyebutnya Masdar Initiative.
Apakah memang benar-benar sudah terjadi perubahan paradigma dalam masyarakat dan pelaku bisnis di Timur Tengah? Bukankah yang dituding sebagai pemasok terbesar penyebab efek rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global adalah pembakaran bahan bakar fosil? Bukankah negara-negara Timur Tengah termasuk Emirat Arab adalah negara pemasok terbesar minyak tanah dunia? Bukankah seharusnya mereka termasuk salah satu pihak pertama yang paling terancam oleh isu perubahan iklim?
Proyek itu sangat spektakuler. Bahkan terdengar radikal dan tak pernah terjadi di tempat lain. Di saat dunia lantang meneriakkan masalah perubahan iklim, Emirat Arab —sebagai negara kelima pengekspor minyak terbesar dunia dan karenanya jadi negara terkaya urutan keenam dan berindeks ke-39 atau termasuk golongan negara berkategori “high” dalam daftar capaian pembangunan kemanusiaan (HDI) menurut PBB— mengambil langkah maju. Mereka tak hanya membangun pembangkit energi terbaik dari lempeng surya di satu area luas di tengah padang pasir guna menyangga kebutuhan energi berskala besar untuk suatu kota, bahkan mereka juga membangun sistem kota masa depan yang holistik. Slogannya zero-waste, zero-carbon.
Mereka merencanakan kota dengan sistem transportasi yang menggunakan kereta bertenaga magnet dan bebas mobil, pengolahan sampah yang diuraikan kembali dan didaur ulang dan juga sistem pembuangan limbah yang canggih dan tak bergantung pada minyak dan gas. Lalu untuk memperoleh air bersih, mereka melakukan proses desalinisasi air laut yang digerakkan dengan tenaga surya. Selain itu penduduknya juga akan mengonsumsi energi dari sumber yang bisa diperbarui.
Tentu proyek itu memerlukan biaya yang sangat mahal karena didukung teknologi inovatif dan rumit yang diuji selama delapan belas bulan di lapangan oleh para peneliti. Oleh karenanya pemerintah setempat membanggakan betul proyek itu. Banyak orang menganggap bahwa negara ini akan menjadi pelopor pembaruan energi di masa mendatang. Qatar dan Mesir lalu mengikuti langkah negara ini. Mereka mulai tak ragu berinvestasi di bidang riset energi alternatif. Hatem Khairy, konsultan energi dari Mesir malah berani bilang “Masa depan produksi minyak dan gas suram.”
Lagi, pertanyaanku adalah apakah memang benar-benar sudah terjadi pergeseran paradigma dalam masyarakat, pemerintah dan pelaku bisnis di negara tersebut? Bukankah yang dituding sebagai pemasok terbesar penyebab efek rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global adalah pembakaran bahan bakar fosil? Dan negara-negara Timur Tengah termasuk Emirat Arab adalah negara pemasok terbesar minyak tanah dunia? Jadi kalau isu perubahan iklim membesar dan menggelembung maka akan menekan perekonomian negara-negara kaya tersebut.
Bayangkah kalau iklim dunia semakin memburuk, apakah isu perubahan iklim tak akan menekankan negara-negara kaya itu? Apakah mereka terlalu pandai menangkap isu dan menjadikannya sebagai peluang bisnis? Kemungkinan ini bisa saja terjadi. Toh Norman Foster, arsitek Inggris yang mencipta dan merancang proyek ini, bilang bahwa tak ada proyek yang lisensinya gratis. Foster pasti dibayar mahal dalam proyek ini. Yang jelas proyek ini dibiayai oleh para investor lokal dan sebagian lagi investor-investor asing. Tapi, apakah negara besar lain seperti Amerika Serikat, Inggris atau negara-negara Eropa lainnya kalah pintar dan kaya dibandingkan Emirat Arab sehingga tak mampu membeli dan mengambangkan teknologi dari Norman Foster tersebut. Sampai sekarang, belum ada kabar yang sehebat ini dari negara-negara itu. Bahkan di Amerika Serikat pemerintah federal masih perlu terus diteriaki oleh para aktivisnya agar membuat kebijakan untuk mengurangi emisi karbon.
Tapi kalau memang benar proyek tersebut mampu menghasilkan alternatif energi yang tidak merusak alam, setidaknya ada dua hal penting yang perlu dicatat sebagai kemungkinan. Pertama, memang sudah terjadi satu kemajuan berupa penemuan baru yang berguna untuk kehidupan manusia dimasa mendatang. Kedua, mungkin sudah ada tanda-tanda pergeseran respons yang lebih baik dari pelaku bisnis global. Selama ini kalangan bisnis dituduh sebagai pelaku kerusakan alam tetap bertahan dengan berbagai kamuflase. Tapi kali ini agak lain. Mereka sedikit mengubah tindakan ke arah yang relatif sedikit mempertimbangkan “kepentingan bersama” ataukah justru “life-style para penguasa negara kaya berduit?” Jika dibandingkan negara lain seperti Jerman, Amerika Serikat, Prancis, Rusia dan RRCina yang cenderung memilih energi nuklir sebagai alternatif —walaupun masih banyak diprotes masyarakatnya yang tidak percaya keamanan penggunaan energi nuklir—, pilihan Emirat Arab tampaknya lebih bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.**
Links
27 February 2008
Babak Baru Milik Para Raja Minyak?
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 10:47 AM 0 komentar
Label: Kota, Leadership, lingkungan, Research
07 February 2008
Mengapa saya ingin kembali ke Malaysia?
Barangkali ceritera dari Malaysia ini layak kita baca dan kita sadari. Benarkah Malaysia tak seburuk seperti kita dan mereka bayangkan sendiri? Seandainya Anda presiden atau perdana menteri negara mana pun, apakah kebijakan rasial yang akan Anda terapkan? <—— Malaysia Today, 20 Desember 2007
Oleh Discordant Dude
Saya seorang warga negara biasa dari Malaysia. Sekarang saya tinggal di Inggris, sudah hampir setengah tahun. Saya tak pernah merasa sungguh-sungguh jadi warga bangsa Malaysia seperti sekarang ini, justru setelah saya sampai di Inggris.
Saya bangga punya jatidiri sebagai seorang Cina Malaysia. Saya tak pernah merasa lelah untuk menjelaskan kepada siapa pun bahwa yang disebut dengan orang Cina tak serta-merta berarti bahwa ia berasal dari Republik Rakyat Cina, Hong Kong atau Taiwan.
Ketika saya berjalan menuju tempat kerja saya di sebuah hostel di sini, baru-baru ini saya diumpat-umpat dengan kata-kata kasar oleh orang setempat, yang pada dasarnya bernada anti-ras dan pelecehan agama. Saya kesal dan marah, karenanya tak begitu menyadari seriusnya masalah ini. Langsung saja saya laporkan kejadian ini ke yang berwewenang.
Hari berikutnya ada telpon dari boss saya. Ia menyuruh saya untuk bertemu dengan wakil manager dari kompleks perumahan, termasuk hostel di mana saya bekerja, karena laporan saya dipandang sangat serius. Singkat ceritera, wakil manajer itu lalu membantu saya mengisi laporan resmi mengenai pidana menyatakan perasaan kebencian. Akibatnya orang itu dipecat dari hostel beberapa minggu kemudian.
Saya pikir semua urusan sudah selesai. Tapi kemudian hari ini saya mendapat sebuah pesan dari seorang polisi. Ia meninggalkan nomor telpon kontaknya. Ia bertanya apakah saya berkeinginan untuk melanjutkan kasus ini. Ia juga mengatakan bahwa lain kali kasus pelecehan semacam ini dapat dilaporkan langsung kepadanya, jika saya merasa tidak enak menggunakan jalur tempat kerja saya.
Sebagai seorang non-warga negara Inggris, saya merasa sangat dilindungi oleh hukum negara ini. Di sini tak mau saya katakan bahwa Inggris memiliki sistem yang sempurna atau bahwa rasisme tak ada dalam masyarakat Inggris. Tapi setidaknya secara kelembagaan saya terlindung dari sikap-sikap diskriminatif langsung seperti prasangka-prasangka rasial dan keagamaan.
Saya tak pernah mengalami sebelumnya bahwa rasisme ditangani secara serius seperti yang baru saja saya alami. Barangkali hal ini karena saya dibesarkan di sebuah lingkungan di mana diskriminasi ras telah dilembagakan dan diterima sebagai bagian utuh dari kehidupan kami di Malaysia. Setelah 50 tahun merdeka, sistem pendidikan, kebijakan ekonomi dan politik kami masih dikendalikan berdasarkan perbedaan ras. Saya merasa kami sama sekali belum terbebaskan dari kungkungan mentalitas kolonial “divide et impera”.
Mungkin juga ini disebabkan karena saya tidak melihat persoalannya dari perspektif yang lebih luas berdasarkan hukum dan kebijakan negara kami. Tapi jelas saya tak sendiri dalam hal ini. Berbalikan dari hasil-hasil pemilihan umum yang heboh yang dikutip-kutip oleh pemerintah kami setiap kali ada kritk-kritik, saya yakin sekali bahwa kenyataan di sekitar kami sesungguhnya sangat berbeda.
Saya kenal juga mahasiswa-mahasiswa (asal Malaysia) yang menolak pulang ke Malaysia setelah selesai belajar. Di Malaysia sendiri juga banyak terdapat mahasiswa-mahasiswa yang telah lulus tapi kemudian bekerja di luar sistem yang ada. Banyak kawan dan keluarga-keluarga yang tak merasa puas. Mereka semua tak punya cara-cara lain kecuali menghabiskan waktu menggerutu di warung-warung “mamak”. Setidak-tidaknya dapat saya katakan bahwa hukum dan kebijakan negara kami sesungguhnya merusak jiwa dari bangsa kami.
Bagaimana mungkin kita mau percaya bahwa hasil pemilihan umum sungguh-sungguh menggambarkan kesadaran publik dan kesadaran politik jika para menteri yang bekerja untuk kantor perdana menteri itu jelas-jelas mengatakan dalam suatu wawancara dengan TV al-Jazirah bahwa pandangan-pandangan pihak oposisi tidak memiliki bobot apa pun?
Hal ini berbalikan dengan sistem demokrasi. Bagaimana mungkin kita bisa percaya bahwa pemilihan umum yang dijalankan itu memang bersih dan adil, jika usaha-usaha untuk membuka perdebatan secara publik tentang berbagai masalah itu justru dikecilkan maknanya dengan sebutan “kekanak-kanakan” dan pertikaian sepele, remeh-temeh?
Ya, saya memang membuat perbandingan antara Inggris dan Malaysia. Baru-baru ini perdana menteri Malaysia mengatakan bahwa keamanan masyarakat merupakan kepentingan utama. Tapi terus-terang saya sungguh-sungguh tidak lebih merasa aman dan terlindungi oleh sistem hukum negara asing daripada yang sekarang saya alami (di Inggris). Hari-hari saya yang pendek di Inggris telah menyadari saya bahwa penegakan hukum yang mampu meredakan rasa takut saya terhadap diskriminasi dibandingkan dengan lama hari-hari saya di Malaysia bertemu dengan polisi-polisi Malaysia yang melakukan intimidasi dan suap-menyuap.
Semua jadi lebih rumit lagi ketika saya sadari kesenjangan antara apa yang ditulis di surat-surat kabar utama dibandingkan dengan kenyataan pribadi yang ada di sekitar saya. Media massa mengatakan bahwa mereka yang tak puas itu hanyalah segelintir saja dalam masyarakat Malaysia, tapi rasanya semua orang di sekitar saya merasa tidak puas. Media juga mengatakan bahwa hanya minoritas saja dari antara para polisi itu korup, tapi sebaliknya semua orang yang saya kenal setidaknya pasti tahu satu ceritera jelek tentang polisi. Perkiraan berapa jumlah peserta demo yang baru-baru ini terjadi rasanya sulit dipercaya dibandingkan dengan apa yang saya lihat di Youtube.
Tak mau saya katakan di sini bahwa Malaysia sebaiknya meniru begitu saja negara tuan-tuan penjajahnya di masa silam. Tapi jelas banyak sekali hal yang masih harus saya pelajari. Jika saya boleh mengangkat satu langkah perbandingan lagi, negara Inggris sesungguhnya memperlakukan saya, sebagai seorang buruh migran, lebih seperti manusia daripada yang kami, orang Malaysia, lakukan terhadap para buruh migran kami.
Bagaimana mungkin para buruh migran kami itu tidak lebih dari komoditas jika ternyata kami memiliki sebuah undang-undang yang membatasi kehidupan pribadi mereka dan tidak menyediakan apa pun yang sifatnya lebih manusiawi dalam kondisi kerja mereka? Melihat kenyataan bahwa kami mengalienasikan warga negara Indonesia, tetangga kami, di dalam negeri kami, maka tak heran jika mereka tak merasa bahwa kami berasal dari akar budaya yang sama dengan mereka.
Perdana menteri yang terhormat, saya bertanya kepada diri saya sendiri, lagi dan lagi, mengapa saya (dan semua orang lain yang bersikap seperti saya) perlu kembali ke Malaysia? Seorang Cina Malaysia yang biasa tetapi ternyata saya lebih merasa terlindungi oleh hukum, lebih merasa mendapatkan kesempatan yang didasarkan pada kemampuan kami dan dapat memperoleh kehidupan yang lebih nyaman di Inggris.
Satu-satunya alasan yang dapat saya katakan pada diri saya sendiri adalah bahwa Malaysia adalah negara asal saya, negara tambatan diri saya. “Tanah tumpah darahku.” Malaysia adalah masyarakat saya. Di situlah saya ingin menyumbangkan tenaga produktif dan kreatif saya.
Sejauh ini saya sudah mengambil jarak terhadap perasaan-perasaan kebangsaan seperti itu. Para warga negara yang jujur dan setia dalam berjuang untuk Malaysia yang lebih baik justru telah dibikin jadi kelihatan seperti pengkhianat yang paling jahat, didakwa dengan ancaman hukum mati dan dituduh melakukan persekongkolan dengan kelompok-kelompok teroris. Retorika “Ketuanan Melayu” semakin nyaring terdengar dari hari ke hari, memperkuat sistem budaya dan politik, yang justru membuat saya semakin, semakin terasing. Orang-orang yang berada dalam kekuasaan melakukan perubahan justru secara absurd terus menolak kenyataan. Padahal semua orang waras mengakui kebenarannya.
Perdana menteri yang terhormat, saya menulis dan menyatakan pikiran saya ini hanyalah karena saya masih punya kepercayaan dan harapan. Meskipun banyak orang tak lagi ingin pulang ke Malaysia, saya masih ingin bersikap optimistik tentang kemungkinan perubahan. Saya yakin Anda juga masih memegang janji Anda mau bekerja bersama dan untuk masyarakat.
Saya hanyalah seorang Malaysia biasa yang ingin melihat adanya Malaysia yang lebih baik. Saya berdoa agar Anda mau mendengarkan suara-suara keprihatinan dan agar Anda mau memperkuat keyakinan saya bahwa Malaysia adalah negeri untuk semua orang – tak peduli apa suku, ras, agama atau kepercayaannya.**
See: Youtube - Bersih Demonstration, 10/11/2007 in KL, Malaysia
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 10:37 AM 1 komentar
Label: Civil society, Kebijakan, Konflik, Malaysia, pemerintah, politik, Reform, tanggapan masyarakat
05 February 2008
Waria di Otakku
Sri Maryanti
Ada yang terbersit di otakku, di suatu sore. Bagaimana para gay dan lesbi memikirkan hari tuanya? Apakah keturunan juga masih merupakan hal yang penting? Kalau tidak sekarang, pertanyaan ini akan muncul sewaktu-waktu. Apalagi ketika aku melihat waria.
Waktu pertama kali mengenal si Angle, teman wariaku, aku langsung bisa menangkap kesan resah walaupun ia tampil ceria. Ternyata benar. Tak lama kemudian teman baruku yang kelihatan jauh lebih gaul dan modis daripada aku ini mengeluhkan sesuatu. Kalau mau ke toilet umum, ia selalu merasa tak nyaman. Kalau masuk ke toilet lelaki, orang-orang yang ada di sana sering memandang geli. Mereka tampak ingin menertawakannya. Kalau masuk ke toilet perempuan, orang-orang di toilet ini sering seperti terganggu oleh kehadirannya. Seolah-olah ia tidak berhak masuk ke tempat tersebut.
Ah.. seharusnya memang ada toilet khusus untuk mereka. Konon di Brazil sudah mulai banyak toilet umum yang menyediakan ruang khusus untuk waria.
Orang-orang seperti Angle tak hanya resah karena urusan toilet. Mereka ini mendamba-damba dunia yang lembut dan ramah kepada mereka. Tapi ternyata dunia tak seperti yang ada dalam angan-angan. Berapa banyak orang yang tidak mempermasalahkan pilihan gender waria itu sah apa tidak? Apalagi dalam masyarakat yang menganggap agama sebagai sesuatu yang sudah final dan paling benar. Tak mudah bagi mereka untuk hidup di dalamnya. Apalagi kalau menyangkut urusan cinta. Ruwettttttt .. deh.
Gimana enggak? Lha wong .. yang sanggup memahami mereka saja jumlahnya masih sedikit. Apalagi yang benar-benar sanggup menjadi sandaran hati mereka. Kan logikanya jumlahnya makin langka.
Tapi ya.. itulah konsekuensi yang menyertai pilihan mereka dalam situasi saat ini. Negara dan hukum tak menghitung mereka sebagai satu kelompok yang memiliki identitas yang berbeda. Mencari kerja jadi sulit saat mereka harus memakai identitas waria. Coba, mana ada formulir urusan apa pun yang menyediakan kata “waria” dalam pilihan gender? Bahkan ada kasus-kasus mereka harus kehilangan pekerjaan tiba-tiba begitu ada yang mengaku dirinya waria.
Naaah.. gimana dengan urusan masa depan? Padahal sebagian dari mereka bukan heteroseks. Semua orang kan umumnya memimpikan sebuah keluarga yang bisa menaungi. Kalau keluarga, okelah .. itu masih bisa diusahakan, namun untuk memperoleh keturunan sebagai penerus, bagaimana menyelesaikannya? Mungkin mengadopsi anak bisa jadi alternatif. Tapi apakah sudah ada undang-undang yang membolehkan adopsi anak oleh seseorang yang tidak berpasangan sebagai suami istri? Ahhh.. labirin kehidupan ini masih tetap rumit bagi mereka.
Atau, apakah semua pertanyaanku ini bias dan salah karena aku seorang heteroseksual?
Links:
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 10:11 PM 1 komentar
Label: gay, tanggapan masyarakat
01 February 2008
Apa Kami Mesti Menyebut Diri “Orang Kaya”?
Sri Maryanti
Aku tahu untuk urusan-urusan tertentu kadang rasa kekeluargaan masyarakat kita begitu kuat. Namun yang aku tidak mengerti, kenapa gara-gara salah seorang staf suatu departemen pemerintahan meninggal dunia bisa menyebabkan satu unit bagian departemen tersebut tidak berfungsi. Parahnya lagi, urusan yang menyangkut kepentingan banyak orang jadi terabaikan karenanya. Apakah mereka tidak memiliki sistem pembagian pekerjaan yang baik sehingga urusan melayat tidak sampai menjadikan kantor tidak beroperasi?
Begini ceritanya, suatu hari aku bersama teman-teman lain dari yang mewakili kelompok masyarakat miskin bersepakat dengan departemen dalam negeri republik ini untuk mengadakan pertemuan audiensi untuk membahas satu peraturan daerah yang menyangkut nasib orang banyak. Kami bersepuluh akhirnya datang pada hari yang ditentukan. Ini adalah audiensi kami yang kedua karena sebelumnya kami juga telah bertemu mereka.
Nah...bayangan kami pembicaraan di pertemuan ini akan lebih lancar karena sudah ada pembicaraan yang sama sebelumnya. Ternyata pihak Depdagri yang menemui kami tidak mengerti perkembangan topik yang hendak kami bicarakan. Mengapa demikian? Karena petugas yang menerima kami bukan orang yang seharusnya mengurusi urusan tersebut. Ia bekerja untuk bidang lain.
Lalu ke mana petugas yang seharusnya menemui kami? Ternyata salah satu staf di bidang di mana petugas itu menjabat ada yang meninggal sehingga tidak ada satu pun petugas di bagian itu yang bisa menemui kami. Akhirnya pertemuan tidak menghasilkan kesepakatan apa pun, karena petugas yang menemui kami tidak memiliki informasi atau kewenangan yang cukup atas masalah ini. Padahal kami sudah menyiapkan pertemuan ini melalui rapat bahkan seorang teman sampai rela lembur sampai jam tiga pagi untuk menyiapkan materi. Mereka hanya berjanji bahwa aspirasi kami akan ditampung. Kami kecewa. Mungkin wartawan yang meliput juga kecewa karena pertanyaannya tidak bisa memperoleh jawaban.
Kami jadi bertanya, kok bisa ya .. kematian salah satu staf pemerintah mengakibatkan kepentingan kelompok masyarakat miskin jadi terabaikan. Bukan kami tidak simpati dengan meninggalnya pegawai tersebut, namun seharusnya kalau mereka tidak siap dengan pertemuan hari itu kenapa tak memberitahu terlebih dahulu sehingga diundur. Dengan demikian kedatangan kami tak sia-sia. Apakah karena kami membawa-bawa nama kelompok orang miskin sehingga dianggap kurang penting dibanding kematian staf mereka? Atau apakah kami harus berganti nama dengan sebutan "Kelompok Orang Kaya" sehingga lebih dipertimbangkan? Kami sungguh tidak mengerti.
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 2:47 PM 0 komentar
Label: Kebijakan, pemerintah
Untuk Hari Ini
Babu Negara
Olkes Dadilado
Education21
Rairo
Geworfenheit
Kodrat Bergerak
Chi Yin
aha!
John's blog
ambar
andreas harsono
bibip
Space & (Indonesian) Society
dreamy gamer
sundayz
wadehel
rudy rushady
Timor Merdeka
G M
Karena Setiap Kata adalah Doa
Sarapan Ekonomi
wisat
Adhi-RACA