Sinar Harapan meraih mutu terbaik dalam memberitakan kondisi buruh migran, sementara Antara.co.id tersering memberitakan. Tapi apa yang ada di balik kehebatan mereka? Benarkah media massa peduli pada nasib buruh migran? Komentar editor Sinar Harapan menarik kita simak. Ia nyaris menyatakan wartawan pembela nasib buruh migran datang dari "sono"-nya.
Dalam sambutan yang disampaikan setelah penganugerahan penghargaan, Wahyu Dramastuti, seorang editor dari harian Sinar Harapan —yang telah mendapatkan predikat sebagai media massa yang secara kualitatif paling peduli pada kondisi buruh migran— menyatakan bahwa di medianya terdapat para wartawan yang sejak sebelum bekerja sebagai wartawan di media itu memang sudah memiliki sikap kepembelaan terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat miskin, termasuk buruh migran. Pengelola atau pun redaksi tidak membentuk mereka secara khusus. Tapi, para editor tidak menutup untuk menerbitkan features yang mendalam tentang pelanggaran hak asasi manusia atau masalah-masalah kemiskinan atau masalah-masalah sosial yang lain. Itulah penjelasannya mengapa kiranya dalam tulisan-tulisan surat kabarnya masih menyisakan adanya features yang lebih mendalam mengupas kondisi buruh migran.
Tampaknya Wahyu nyaris hendak mengatakan bahwa memang “dari sononya” jika ada wartawan sanggup atau sampai memperlihatkan laporan yang secara jurnalistik mengupas sampai mendalam kondisi kaum miskin dalam tulisan-tulisan mereka. Dengan kata lain, barangkali ia juga hendak mengatakan, capaian jurnalistik yang tinggi tentang kepedulian sosial tidak dapat begitu saja dilatihkan dalam training-training jurnalisme. Ya tentu saja tafsir ini juga belum tentu harus demikian keadaannya. Setidaknya sejauh ini yang dikatakannya dapat berlaku, sebab bukankah sampai sekarang tampaknya belum ada usaha khusus untuk melatih para wartawan agar jadi lebih peduli pada masalah-masalah kepembelaan terhadap hak asasi manusia.
Wahyu juga menyatakan apa yang diharapkannya, yaitu bahwa media massa mohon dibuka suatu peluang atau kesempatan untuk bisa menyusun laporan-laporan khusus yang terkait dengan keadaan para korban pelanggaran hak asasi, atau kondisi sosial yang memungkinkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran, dsb. Ia mencontohkan misalnya dengan mengikuti liku-liku jalur migrasi kerja ilegal seperti di perbatasan antara Indonesia dan Malaysia.
Manajemen media massa yang lebih kurang memiliki kemampuan pembiayaan tentu akan kesulitan untuk memberi tugas pada wartawannya untuk menyusun laporan-laporan investigasi yang lebih dalam dan lebih jauh lokasi-lokasi peristiwanya. Untuk media meanstream yang lebih banyak punya modal dan lebih banyak punya personel wartawan tentunya akan lebih mudah. Tapi mengapa mereka belum tertarik melakukannya atau mendanai para wartawannya sendiri? Mungkin karena features mendalam semacam ini belum tentu membuat media akan jadi lebih beruntung secara keuangan (misalnya, pemasang iklan jadi lebih banyak). Atau, barangkali, karena kurangnya perspektif, pemahaman dan pengandaian. Jika yang terakhir ini yang dominan, maka upaya penghargaan pada media massa atas laporan berdimensi hak asasi tak akan cukup. Perlu sikap khusus untuk melakukan diseminasi atau penyadarian dari arah para pekerja hak asasi manusia bagi media massa.
Caption foto
Foto 1: Penghargaan untuk Sinar Harapan
Foto 2: Penghargaan untuk Antara.co.id
Foto 3: Sambutan dari komisioner Komnas HAM Stanley Prasetyo Adi
Link ke foto-foto yang lain dalam Picasa
Link ke foto penghargaan pada AntaraPhoto
Link berita:
AntaraNews.co.id, 18 Des 2008: AntaraNews, Sinar Harapan Dapat Penghargaan Peduli Buruh Migran
Link media release berisi dasar penghargaan:
20 December 2008
Apakah media massa peduli pada nasib buruh migran?
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 3:05 AM 1 komentar
19 December 2008
Agen PRT Migran dari Neraka
Yang frustrasi jelas tak hanya para buruh migran, tapi juga majikan. Mungkin bagus kita simak kekecewaan seorang majikan asal Malaysia yang kami terjemahkan dari terbitan The Star Online, 18 Desember 2008 berikut ini ..
Saya adalah satu dari ribuan korban ditipu oleh para agen PRT dan agensi-agensi dan yang paling buruk dari semuanya adalah bahwa saya tidak tahu kepada agensi-agensi atau kantor-kantor yang mana saya harus melaporkannya.
Hanya dalam tahun ini saja, saya sudah berurusan dengan enam orang PRT di rumah saya. PRT yang pertama harus kembali ke Indonesia karena kontraknya sudah habis setelah bekerja selama tiga tahun pada saya.
Kemudian saya pergi ke agensi yang sama untuk mendapatkan PRT yang baru. Tapi, ketika saya dapati biodata dan riwayat hidupnya dipalsukan, saya putuskan untuk meminta semua uang deposit. Agensi itu juga menunda pengembalian uang saya itu hampir selama satu bulan.
Kemudian saya mencari agensi lain karena petugasnya menjanjikan pada saya akan memberikan seorang PRT dalam waktu satu bulan. Tapi saya ternyata harus menunggunya selama dua bulan. PRT ini kerjanya tidur terus, bangun terlambat dan pada suatu malam saya mendapat telepon aneh dari seorang laki-laki Indonesia yang meminta PRT ini.
Hari berikutnya kami melihat dia sudah mengemasi kopernya seolah-olah dia sedang bersiap-siap mau melarikan diri. Kami menelpon agensi bersangkutan untuk mengambilnya lagi dan mengembalikan semua uang deposit. Proses penyelesaian masalah ini juga memakan waktu hampir satu bulan.
Lalu di bulan Agustus, kami membuat janji dengan sebuah agensi PRT yang sudah sangat mapan dari Klang. Kami memperoleh PRT pada bulan Oktober, tapi sungguh PRT ini sungguh membuat saya ketakutan, karena dia menderita kondisi jiwa yang parah, yang disebut schizophrenia.
Agensi itu berbohong dan memalsukan laporan medis PRT yang bersangkutan, maka saya menuntut pengembalian uang deposit. Tapi agensi itu enggan mengembalikan uang deposit dan malah meminta saya agar saya mau menerima pengganti PRT itu dan karenanya saya harus menunggu sampai dua bulan.
Pada hari yang dijanjikan PRT itu datang, agensi itu memberitahu saya bahwa PRT itu telah melarikan dari agensi Indonesia karena masalah-masalah keluarga.
Saya kesal dan menuntut pengembalian uang deposit itu lagi, tetapi mereka enggan memberikannya pada saya dan memberi saya seorang PRT yang “sudah siap” tapi dia datang dengan nama lain yang sementara itu dipalsukan sampai agensi itu menyelesaikan masalah dokumen-dokumennya.
Saya tak punya pilihan tidak mengambil PRT ini. Tapi, saya jadi ketakutan, belum lagi satu minggu PRT ini melarikan diri ketika semua anggota keluarga saya tidur.
Saya baru tahu PRT itu telah hilang setelah saya bangun pagi harinya.
Ia mencuri beberapa barang dari rumah saya, dan ketika saya menelpon agensi itu hari itu juga, mereka hanya bisa mengatakan, “Maaf hari ini hari libur dan saya berada di luar tempat kerja. Saya sedang berlibur bersama keluarga dan saya akan menghubungi Anda lagi dua atau tiga hari lagi.”
Saya marah, lalu saya pergi ke kantor polisi untuk melapor. Sampai hari ini, agensi itu masih saja enggan mengembalikan uang deposit.
Mengapa pemerintah tidak berbuat sesuatu menangani kasus-kasus ini?
Saya mempunyai tiga anak berusia lima, tiga dan satu tahun. Mereka berada di tangan PRT-PRT semacam ini.
Siapa yang bertanggung jawab jika terjadi hal-hal semacam ini? Ke mana kami harus melapor? Kapan para agen dan agensi-agensi itu akan berhenti berbohong, reputasi palsu dan janji-janji kosong?
CHRISY,
Sungai Buloh, Selangor (Malaysia)
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 6:03 PM 0 komentar
Label: buruh migran, Malaysia
03 December 2008
“Kami Membutuhkan Buku-buku, Siapa Mau Bantu?”
Begitu anak-anak terkucil di dua wilayah adat terpencil Kedang dan Leragere, di kabupaten Lembata, NTT, berseru di blog ini. Tapi, mengapa kami anak-anak terpencil butuh buku-buku? Kami ingin pintar. Itu jawabannya. Tapi untuk jadi pintar dan berguna sangat sulit bagi kami anak-anak terkucil dan terpencil ini. Selain biaya hidup tinggi, sarana infrastruktur tak tersedia secara mudah bagi warga masyarakat. Jarak sekolah dengan rumah amat jauh. Di kecamatan Kedang dan Leragere, kabupaten Lembata, NTT, anak-anak harus berjalan berkilo-kilo meter di medan jalan berat berbatu-batu untuk bisa sampai di gedung sekolah. Kondisi jalan sangat buruk. Tak ada angkutan desa. Sekolah-sekolah kekurangan buku pelajaran. Hiburan dan sarana alternatif pendidikan untuk mereka tidak ada. Jarang ada sekolah dasar yang memiliki perpustakaan. Ketiadaan perpustakaan di sekolah makin menghambat proses belajar dan perkembangan anak secara intekektual, emosional maupun sosial. Pengetahuan anak menjadi terbatas dan mengakibatkan terbatasnya pula jangkauan cita-cita dan harapan yang bisa mereka rumuskan.
Mimpi dan cita-cita yang patah. Kemiskinan amat sering membatasi kemajuan perkembangan bakat, kreativitas dan karakter anak-anak di wilayah-wilayah terpencil. Kedang dan Leragere merupakan salah satu daerah kecamatan terpencil di kabupaten Lembata. Di sana tersebar ribuan anak-anak yang menyimpan mimpi dan ingin menggapai kemajuan. Sayang, kondisi alam yang sulit, kemiskinan yang membalut masyarakat, ditambah kebijakan pemerintah yang korup dan kurang menganggap penting pendidikan, mematahkan mimpi dan cita-cita mereka. Bahkan di keluarga-keluarga yang sangat miskin dipekerjakan menjadi buruh bangunan untuk menyokong perekonomian keluarga. Rumitnya persoalan di daerah terpencil tersebut mengakibatkan hilangnya lingkungan yang mendukung tumbuh-kembangnya anak untuk menjadi pribadi-pribadi yang utuh, bebas dan bermartabat..
Boleh tahu tentang keadaan daerah kami yang sangat terpencil? Leragere berada di daerah ketinggian perbukitan di kabupaten Lembata. Jaraknya 50 km dari ibukota kabupaten. Sedangkan Kedang berada di wilayah pesisir yang membentang di kaki-kaki perbukitan yang berjarak 75 km dari ibukota kabupaten. Lembata sendiri adalah kabupaten baru dan hasil dari pemekaran kabupaten Flores Timur. Di dua wilayah tersebut anak-anak (dan masyarakat) hidup tanpa listrik di siang hari. Bahkan di Leragere tak ada listrik sama sekali baik siang maupun malam. Mereka belajar dengan lampu minyak sebagai penerangan. Radio dan televisi sulit didapat di Leragere. Media cetak tidak masuk sampai ke wilayah tersebut. Perkembangan informasi dan pengetahuan tidak menjangkau masyarakat di sini. Anak-anak makin jauh dari dua hal penting yang mereka perlukan untuk berkembang.
Ketiadaan sarana transportasi yang bisa menjangkau daerah tersebut menghambat mobilitas masyarakat setempat. Barang-barang kebutuhan sehari-hari sangat mahal. Harganya berlipat-lipat dibanding harga normal di Jakarta misalnya. Beban biaya hidup yang tinggi sering menyebabkan pendidikan dan kebutuhan anak dalam keluarga dikesampingkan. Sekalipun anak-anak tetap disekolahkan, mereka kesulitan menyediakan fasilitas buku bacaan dan maupun alat tulis.
Kondisi alam di kedua daerah tersebut tergolong kering. Kesulitan masyarakat dalam memperoleh air bersih dirasakan pula dampaknya oleh anak-anak. Tidak jarang anak-anak terpaksa turut mencari air di mata air pada musim kering. Pekerjaan mencari air di tempat yang jauh dan berbukit-bukit termasuk pekerjaan berat bagi perempuan dewasa disana. Apalagi jika anak-anak yang harus mengerjakannya. Anak-anak dari keluarga yang sangat miskin mengalami situasi yang lebih parah lagi. Mereka kadang terpaksa bekerja menjadi buruh bangunan demi menyokong perekonomian keluarga. Anak-anak ini menjadi kehilangan kesempatan belajar di bangku sekolah dan menikmati kegembiraan serta kebebasan di masa anak-anak. Mereka terenggut dari dunianya. Anak-anak yang demikian harus diberikan ruang belajar dan berkembang tanpa harus meninggalkan tugas kepada keluarga.
Dijerat korupsi. Meskipun anggaran belanja pemerintah Lembata untuk pendidikan 2007 tampak sangat besar sampai 26 persen atau Rp66.7 milyar, tapi seperlimanya saja yang digunakan untuk program wajib belajar sembilan tahun. Konsentrasinya justru untuk rehabilitasi bangunan sekolah. Sedangkan untuk program pendidikan usia dini jumlahnya sangat kecil yaitu 0,1 persen dari anggaran untuk pendidikan tersebut. Tak sulit memastikan tingkat korupsi di Lembata masih sangat tinggi, sekalipun media massa setempat setiap hari memberitakan korupsi oleh pejabat pemerintah. Situasi ini semakin membuat hak-hak anak Lembata untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu makin diabaikan.
Wajib perlindungan khusus. Pesan dan pelajaran dari semua keadaan ini sangat jelas. Mereka membutuhkan perlindungan khusus. Perlu kita jamin hak anak-anak yang hidup di wilayah miskin dan rentan untuk memperoleh bantuan dan perlindungan khusus. Anak harus sepenuhnya dipersiapkan untuk menghayati kehidupan pribadi dan dibesarkan dalam lingkungan dengan semangat cita-cita tinggi.
Maka penting untuk mengupayakan terbangunnya suatu lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan jiwa serta potensi anak secara sehat dan membebaskan. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak tersebut makin tumbuh menjadi pribadi yang bebas, utuh, menguasai pengetahuan dan berbudi luhur. Maka perintisan unit-unit kegiatan yang menyediakan sarana yang mampu memicu perkembangan bakat, emosi dan karakter anak merupakan kebutuhan mendesak di kedua daerah tersebut. Unit-unit tersebut harus berada di luar struktur sekolah formal agar anak-anak yang putus sekolah maupun yang tidak sekolah bisa menjangkaunya.
Perpustakaan anak merupakan alternatif penting untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Selain menyediakan sumber-sumber pengetahuan untuk mendorong keluasan berfikir anak, perpustakaan ini dapat menjadi tempat berinteraksi, belajar dan bermain yang sehat bagi anak-anak desa. Perpustakaan harus berada tidak jauh dari tempat tinggal anak-anak dan disediakan dengan cuma-cuma.
Kepada para pembaca blog ini, anak-anak ini berseru: Mohon kami dibantu! Siapa yang memiliki buku-buku untuk anak-anak yang layak baca sudilah kiranya menyumbangkannya kepada mereka. Siapa yang bersukarela menyumbangkan bantuan dalam bentuk apa pun yang dapat menolong mereka untuk pemenuhan keperluan perpustakaan ini kami dorong untuk jangan lagi ragu-ragu.
Untuk kejelasan rancangan pengadaan perpustakaan bagi anak-anak Kedang dan Leragere di Kabupaten Lembata, NTT ini mohon diunduh sebuah file dari kaitan internet ini: DOWNLOAD
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 11:18 AM 1 komentar
Label: Kemiskinan, korupsi, Nusa Tenggara Timur, The Institute for Ecosoc Rights
Untuk Hari Ini
Babu Negara
Olkes Dadilado
Education21
Rairo
Geworfenheit
Kodrat Bergerak
Chi Yin
aha!
John's blog
ambar
andreas harsono
bibip
Space & (Indonesian) Society
dreamy gamer
sundayz
wadehel
rudy rushady
Timor Merdeka
G M
Karena Setiap Kata adalah Doa
Sarapan Ekonomi
wisat
Adhi-RACA