Sri Palupi
Kalimat bijak di atas diucapkan seorang bapak, Yie Gae Tjie namanya. Ia pemilik galeri di kota Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Di luar kota Maumere, nama Yie – begitu ia menuliskan namanya – barangkali tidak banyak dikenal. Namun siapa sangka kalau sosok etnis Cina kelahiran Maumere ini sesungguhnya adalah pejuang hak asasi.
Di galerinya yang menjual barang-barang seni dan tenun ikat itu untuk pertama kalinya saya mengenal Pak Yie. Kulit putih dan mata sipitnya yang tipikal etnis Cina membuat saya berpikir, ternyata ada juga orang Cina di Flores ini yang mau mengembangkan tenun ikat. Hal yang tidak biasa menurut pandangan saya. Maklumlah, kepala saya yang kecil ini masih belum sepenuhnya terbebas dari stereotip tentang orang Cina.
Ketika akan kembali ke Jakarta, saya sempatkan mampir ke galeri Pak Yie. Bukan untuk membeli kain tenun koleksinya, tetapi untuk bertanya satu hal saja: Apa yang membuatnya tertarik mengembangkan tenun ikat? Ternyata jawaban atas satu pertanyaan itu jauh mengalir dan membuat saya berkesimpulan, Pak Yie seorang pejuang hak asasi dengan keberanian yang jarang dimiliki orang-orang Cina pada umumnya. Kenapa saya menyebutnya demikian?
Simaklah kisahnya berikut ini.
28 July 2009
'Membiasakan Kebenaran, bukan Membenarkan Kebiasaan!'
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 1:44 PM 3 komentar
Label: budaya, Ekonomi, Kebijakan, Kekerasan, Kemiskinan, lingkungan, Nusa Tenggara Timur, politik, puisi, tanggapan masyarakat
24 July 2009
Gimana toh pak Presiden?
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta, 11 Juni lalu, mengungkapkan keseriusan-nya soal perlindungan TKI.
”Setiap saya berbicara dengan kepala pemerintahan negara sahabat, saya menitip agar TKI diberikan perhatian, dilindungi, dan diberikan hak-haknya,” katanya.
Wah.. wah.. kalau ukuran keseriusan SBY hanya sebatas 'titipan' saja, pantesan saja korban seperti Atin Suprihatin masih terjadi dan mungkin akan terus terjadi.
Wah.. wah.. kalau ukuran keseriusan SBY hanya sebatas 'titipan' saja, pantesan saja korban seperti Atin Suprihatin masih terjadi dan mungkin akan terus terjadi.
Gimana toh pak Presiden?
Albert
Link:
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 12:25 PM 0 komentar
Label: buruh migran, Kebijakan, pemerintah
Subscribe to:
Posts (Atom)
Untuk Hari Ini
Babu Negara
Olkes Dadilado
Education21
Rairo
Geworfenheit
Kodrat Bergerak
Chi Yin
aha!
John's blog
ambar
andreas harsono
bibip
Space & (Indonesian) Society
dreamy gamer
sundayz
wadehel
rudy rushady
Timor Merdeka
G M
Karena Setiap Kata adalah Doa
Sarapan Ekonomi
wisat
Adhi-RACA