24 October 2007

27 Tahun Menjual Perbatasan Indonesia — Timor Leste

Yanuarius Koli Bau

Hampir dapat dipastikan bahwa Kota Atambua tidak lagi asing bagi dunia, setidaknya bagi para pekerja kemanusiaan dan badan-badan dunia. Kota ini dikenal karena dua alasan. Pertama, karena letaknya di perbatasan antara Indonesia—Timor Portugis sebelum koloni Portugis itu berintegrasi dengan Indonesia pada tahun 1976; kedua, karena pembunuhan staf Badan PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) ketika mereka mengurus warga eks-pengungsi Timor Timur setelah jajak pendapat (1999). Dan —mungkin— yang ketiga, karena Atambua dan daerah perbatasan ”sudah terlalu sering dijual”, baik oleh pemerintah, gereja maupun kalangan lembaga-lembaga swadaya masyarakat.

’Penjualan’ pertama dimulai ketika terjadi perang saudara di Timor Portugis sebagai bagian jajahan Portugal pada tahun 1974 sampai terjadinya integrasi dengan Indonesia pada tahun 1976 dan sepanjang 1976 sampai jajak pendapat 1999, ’penjualan’ tetap berlanjut. Babakan kedua ’penjualan’ perbatasan ini dimulai sejak jajak pendapat yang mengawali berpisahnya provinsi Timor Timor dari Indonesia dan menjadi sebuah republik bernama Republica Democratica de Timor Leste (RDTL).

Jika menyimak sejumlah dokumen atau proposal yang diajukan oleh beberapa lembaga, tampak jelas target ’penjualan’ itu bermacam-macam, antara lain masyarakat perbatasan dan eks-pengungsi yang sangat sulit dan miskin hidupnya. Mereka tidak mendapat fasilitas pelayanan dasar yang manusiawi. Lalu apa bentukan ’penjualan’-nya? Menurut para ’penjual’, bentuk kegiatan ’penjualan’ itu adalah ”kegiatan pelayanan kesehatan” —termasuk makanan, pendidikan, perumahan, penerangan, dsb., ”pembangunan infrastruktur” (karena keadaannya tidak memadai), ”integrasi sosial” (karena proses-prosesnya terhambat oleh berbagai konflik), ”kamtibmas” (tidak aman karena masih juga sering terjadi bentrok-bentrok), dan seterusnya.

Ujung dari semua penjualan itu bermuara pada tiga hal. Pertama, tumpahnya dana dalam jumlah sangat besar baik pada ’penjualan’ pertama maupun ’penjualan’ kedua; kedua, bertambahnya kesenjangan antara kaum miskin yang ’dijual’, di satu pihak, dan para ’penjual’ beserta rombongannya, di lain pihak; dan ketiga, semakin tidak bertanggungjawabnya masyarakat atas dirinya sendiri, alias semakin tergantung.

Mengenai ujung pertama agak sulit dikatakan sebab sulit diketahui jumlah dana yang dibagikan atas nama «’pemberdayaan’ kaum miskin di daerah perbatasan» selama ini. Sumber penting dan tepercaya yang saya kenal di Atambua mengatakan bahwa selama tiga tahun pemerintahan bupati setempat sudah menuang investasi melebihi Rp1 trilium tapi hasilnya malahan orang miskin bertambah banyak.

Pada ujung kedua, kesenjangan antara kaya dan miskin sangat mencolok di kota Atambua. Uji indeks Gini atau Oshima bisa bikin hidup ini jadi pahit sekali, sebab dengan mata telanjang saja tampilan fisik rumah, kendaraan bahkan kondisi fisik (badan) antara si kaya dan pejabat dengan si miskin atau rakyat seumumnya sangat jelas.

Ujung ketiga tampak jelas dari sikap apatis masyarakat menyangkut kepentingannya sendiri. Pembangunan gedung sekolah, rumah guru, kantor camat dan rumah dinas pegawai kecamatan bahkan jalan raya yang dulunya dikerjakan secara gotong-royong oleh rakyat sekarang hanya tinggal mimpi. Tidak ada lagi warga masyarakat yang peduli. Bahkan tempo hari ketika saya sempat sampai di lokasi itu dan menanyakan arah jalan, warga masyarakat setempat dengan lantang mengatakan jalan ke tempat itu sudah sangat rusak sebab ”sudah lama pemerintah tidak memperbaikinya”. Saya terheran dan menangis dalam hati. Kepentingan siapakah dengan adanya jalan itu? Untuk pemerintah atau untuk pelestarian budaya masyarakat setempat?

Masalah yang berputar-putar di kepala saya adalah bagaimana caranya agar rakyat dan daerah perbatasan tidak terus menerus dijual oleh para pejabat pedagang dan pedagang pejabat, sebaliknya masyarakat perbatasan diberdayakan agar tidak tergantung dan tidak apatis terhadap kepentingannya sendiri? Bagaimana agar semua dana yang diperoleh atas nama daerah dan masyarakat perbatasan baik yang dikelolah pemerintah, gereja, maupun lembaga-lembaga swadaya dan siapa pun yang lain, dapat diperiksa oleh auditor independen dan hasilnya dipublikasikan secara transparan agar tidak terjadi transaksi jual-menjual di atas transaksi jual-menjual yang lain sehingga akibatnya masyarakat tetap miskin dan menderita? Adakah lembaga atau pihak yang dapat membantu menyelesaikan kedua persoalan saya ini atau memberikan contoh yang baik untuk ditiru oleh semua orang?**

Atambua/Kupang-NTT; ykolibau@yahoo.com

Read More...