27 September 2006

Tak Ada Lagi 7 Piring 8 Mangkok di Sikka

Sri Palupi

SIKKA, kabupaten tersempit di Nusa Tenggara Timur (NTT), pernah kesohor di dunia sebagai kabupaten yang sukses dengan program konservasi lahan kering. Anugerah Kalpataru pertama pun jatuh di kabupaten ini. Sikka juga dikenal sebagai daerah pencetak tokoh-tokoh penting di tingkat nasional. Ini dimungkinkan karena dalam sejarahnya orang Sikka adalah orang pertama di NTT yang mengenal pendidikan.
Jaman “kemakmuran” Sikka bisa dikenali lewat filosofi masyarakat tradisionalnya, yang menyebut Sikka sebagai “lepo sareng woga kela”. Artinya, rumah yang bahagia dengan isinya yang sejahtera. Orang Jawa bilang “gemah ripah loh jinawi”. Kesejahteraan ini tergambar dari pola makan tradisional masyarakat Sikka, yang dilambangkan dengan “7 piring 8 mangkok”. Dengan pola makan seperti ini, menurut pakar budaya setempat, masyarakat Sikka tradisional tak mengenal adanya masalah gizi buruk.

Kini, wajah negeri nyiur melambai ini telah banyak berubah. Kekeringan, banjir, angin badai, hama penyakit, datang silih berganti. Tak ada lagi “7 piring 8 mangkok” yang jadi kebanggaan masyarakat Sikka. Jangankan tujuh piring, mencari satu piring saja sudah sulit. Lalu apa penyebab hilangnya piring dan mangkok itu, dan apa kaitannya dengan masalah gizi buruk di kabupaten ini?

Menurut Oscar Mandalawangi, pakar budaya di Sikka, makanan tradisional orang NTT pada umumnya dan Sikka khususnya, mengandung gizi yang lengkap. Kalau orang modern menyebut makanan bergizi itu “4 sehat 5 sempurna”, orang NTT menyebutnya “7 piring 8 mangkok”. Dalam tradisi orang NTT, makan yang sehat itu ibaratnya piringnya harus tujuh dan mangkoknya harus delapan. Artinya, makanannya harus lengkap, bermacam-macam makanan menjadi menu harian. Ada nasi, jagung, umbi-umbian, pisang, kacang-kacangan, dan lain-lain makanan yang ada di ladang. Ini simbol kesejahteraan di NTT, khususnya Sikka. Tapi sekarang, pola makan seperti ini sudah berkurang.

Pola makan orang NTT sekarang sudah bergeser, dari pola makan beragam ke pola makan nasi. Ini terjadi karena pemerintah terlalu memanjakan tanaman padi. Dari sistem pertanian sampai pendidikan di sekolah, yang ditonjolkan hanya padi dan nasi. Di sekolah anak-anak diajarkan untuk memperbanyak makan nasi. “Guru-guru sekarang tahunya nasi, tidak lagi jagung,” keluh Oscar Mandalawangi. Dari pendidikan itulah orang menangkap, nasi itu makanan nomor satu. Jagung dan umbi-umbian itu makanan kelas dua. Dulu orang NTT makan nasi hanya untuk upacara. Untuk sehari-harinya makanan mereka beragam. Tapi karena tanaman padi lebih diutamakan, pola makan beragam pun menghilang. Umbi-umbian sudah berkurang, padahal dulu banyak macamnya.

Perubahan pola pangan ini didorong oleh perubahan pola pertanian, yang terjadi sejak revolusi hijau dilancarkan. Sebagian besar penduduk Sikka dulunya adalah petani ladang tradisional dengan pola tanam tumpangsari yang dijalankan berdasarkan aturan adat. Sistem pertanian tradisional ini mengarah pada upaya untuk menjaga sekaligus memulihkan kesuburan lahan. Upaya pemeliharaan kesuburan lahan ini dilakukan lewat pencegahan erosi dan penanaman secara tumpangsari. Pencegahan erosi dilakukan dengan membuat tanggul-tanggul kayu dan parit. Pola tanam tumpangsari dilakukan dengan menanam beragam jenis tanaman dalam satu lahan yang sama. Selain ditujukan untuk penganekaragaman produksi dan mengurangi resiko gagal panen, pola tanam tumpangsari ini juga dimaksudkan untuk mencegah erosi, penghematan lahan dan menghindari terik matahari yang dapat merusak lahan. Pendeknya, masyarakat tradisional bertahan hidup dengan menjalankan pertanian yang sesuai dengan kondisi fisik NTT yang kering dan miskin air.

Sistem pertanian tumpangsari, selain mencegah kerusakan lingkungan juga mendukung ketahanan pangan. Dalam satu kebun atau ladang, tanaman pangan ditanam dengan sistem berlapis-lapis. Dimulai dengan tanaman menjalar, seperti labu kuning, yang ditanam di pinggir kebun. Labu ini kalau tua dimakan buahnya, pada saat muda buah dan kuncup bunganya dimanfaatkan untuk sayur. Tanaman labu ini menghalangi babi hutan, kera dan landak masuk ke dalam kebun. Sebelum menyerang tanaman pangan dalam kebun, hewan liar tersebut sudah kenyang dengan daun labu dan buahnya. Dengan adanya labu yang malang melintang ini, tikus pun enggan masuk ke dalam kebun.

Setelah labu, pada lapis kedua ditanam kacang-kacangan. Ada kacang panjang, kacang kecipir, kacang gudhe, dll. Pada saat muda kacang-kacangan ini menjadi sumber sayuran dan pada saat tua disimpan sebagai cadangan makanan di saat musim kering. Kecipir kering digoreng dan dimakan dengan sayur daun ubi atau daun pepaya. Menurut pengakuan bupati Sikka, pejabat pertanian , dan warga setempat, makanan seperti ini sudah cukup mengenyangkan.

Pada lapis ketiga ditanam tanaman jenis sorgum: sorgum, jewawut, jagung solor, dll. Selain sebagai sumber pangan, tanaman sorgum ini juga mencegah burung-burung memakan padi. Dengan adanya sorgum yang lebih tinggi dari padi, burung-burung itu akan memakan sorgum terlebih dahulu dan tidak lagi makan padi. Pada lapis berikutnya barulah ditanam tanaman padi dan jagung (pare-lele) sebagai tanaman utama. Tetapi di lapis ini pun tidak hanya padi dan jagung yang ditanam, tetapi masih dicampur dengan ramuan tradisional, tanaman sorgum atau jewawut atau jagung solor dan sayuran, seperti mentimun. Dengan cara ini kalau masih ada hama masuk menyerang tanaman utama, maka hama itu akan hinggap duluan ke jagung solor atau jewawut, yang batangnya lebih tinggi dari padi atau jagung. Ada juga tanaman umbi-umbian, seperti ubi jalar dan ubi kayu. Semua jenis tanaman yang ada di ladang ditanam dengan jarak waktu tertentu sehingga tidak saling mengganggu.

Selain pola tanam tradisional ini, masyarakat Sikka juga mengenal sistem “hongèn”: di pinggir kebun, di sisi kiri kanan, ditanam tanaman-tanaman non-pangan, seperti sirih, bambu, kemiri, pinang, nangka, dll. Kalau nanti kebutuhan pangan tidak mencukupi untuk sumber ekonomi, mereka masih bisa jual tanaman non-pangan.

Sistem perladangan dengan pola tanam tumpangsari ini dulu memang mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduk sekaligus menjamin kelestarian alam. Namun meningkatnya tekanan penduduk terhadap daya dukung lahan membuat sistem ini semakin tidak adaptif dan sulit diterapkan karena lahan semakin terbatas. Apalagi kabupaten Sikka luasnya hanya 7.000 km persegi. Dari jumlah itu, luas daratannya hanya 1.400 km persegi, dengan kepadatan penduduk nomor dua tertinggi di NTT setelah kota Kupang. Akibatnya, sejak 1950 warga Sikka dan warga NTT pada umumnya setiap tahun mengalami rawan pangan. Di NTT kemudian dikenal yang disebut sebagai ’bulan lapar’, yang berlangsung berbulan-bulan, dengan kondisi parah antara Nopember–Pebruari. Selama bulan-bulan ini warga meramu makanan yang berasal dari umbi-umbian liar (pida atau ondo) dan batang enau atau aren (R Dewa 1993).

Mulai 1960 tekanan penduduk atas daya dukung lahan semakin tinggi. Atas prakarsa misi Katolik melalui Ikatan Petani Pancasila, petani diarahkan untuk melakukan konservasi lahan dengan sistem terasering dengan menggunakan lamtoro sebagai tanaman penopang teras. Di atas teras-teras inilah petani bercocok tanam secara menetap, tak lagi dengan sistem ladang berpindah. Perubahan ini terjadi seiring dengan pengenalan pupuk kimia yang mulai banyak digunakan sejak program revolusi hijau mulai dilancarkan.

Sejalan dengan diperkenalkannya pupuk kimia dalam sistem pertanian menetap dengan terasering, diperkenalkan pula jenis tanaman perdagangan, seperti kakao, cengkeh, dll. Pengenalan tanaman perdagangan ini semula dimaksudkan untuk menganekaragamkan sumber pendapatan petani. Awalnya tanaman perdagangan ini hanya ditanam di sebagian kecil lahan, yaitu di bagian paling rendah, tanpa menghilangkan tanaman pangan dari ladang atau kebun penduduk. Namun setelah terbukti bahwa tanaman perdagangan bisa dengan cepat mendatangkan uang, banyak petani memperluas tanaman perdagangan ini sampai ke seluruh ladang. Pertanian tanaman pangan dengan sistem terasering ini pada akhirnya hanya menjadi teknologi transisi antara sistem perladangan berpindah ke budidaya tanaman perdagangan.

Sejak awal 1970-an, oleh pemerintah daerah setempat budidaya tanaman perdagangan dijadikan usahatani alternatif untuk mengatasi rawan pangan dan sekaligus mencegah kecenderungan perluasan perladangan. Namun dalam perkembangannya justru berbalik menjadi salah satu faktor penyebab beralihnya kegiatan perladangan ke arah hutan tutupan. Budidaya tanaman perdagangan menimbulkan masalah baru dalam pelestarian lingkungan alam. Hutan berubah menjadi kebun cengkeh dan kakao (R Dewa 1993).

Penanaman kakao semakin meluas dengan diperkenalkannya kakao hibrida, 1982, oleh pemerintah setempat guna menunjang peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Perladangan semakin merambah ke puncak-puncak gunung dan mengancam kawasan hutan yang semestinya berfungsi sebagai daerah penyangga sumber-sumber air di lereng-lereng gunung. Penanaman kakao ini pun tidak disertai dengan upaya konservasi seba¬gaimana telah diperkenalkan sebelumnya. Sistem terasering melalui ’lamtoronisasi’ telah ditinggalkan semenjak lamtoro diserang hama kutu loncat. Pemerintah provinsi NTT pada saat itu menginstruksikan agar seluruh lamtoro di NTT ditebang, tanpa memberikan alternatif tanaman konservasi pengganti.

Kini kakao —sebagai komoditi unggulan di Sikka— telah diserang hama penyakit dan tiga tahun terakhir ini tak lagi menghasilkan. Hujan berlebihan membuat cengkeh juga tidak berbunga dan harga vanili sudah jatuh, dari Rp300.000/kg menjadi Rp15.000–Rp25.000/kg. Kini, bukan hanya Sikka tapi juga mayoritas daerah NTT, menghadapi masalah serius dalam hal kerusakan lingkungan dan rendahnya produktivitas. Akankah masyarakat NTT, khususnya Sikka akan mengambil pelajaran dari seluruh proses revolusi pertanian ini? Belum bisa dipastikan.

Yang sudah pasti adalah bahwa perubahan pola konsumsi pangan yang didorong oleh perubahan sistem pertanian turut andil dalam melahirkan dan memperluas masalah gizi buruk. Bukan hanya di Sikka, tapi juga di sebagian besar wilayah NTT. Anak-anak yang dulunya memperoleh makanan beragam (jagung, ubi, pisang, kacang-kacangan) sebagai makanan pokok, kini lebih banyak makan nasi atau bubur kosong tanpa sayur apalagi lauk. Pemiskinan telah merampas “7 piring 8 mangkok” dari kehidupan anak-anak di Sikka dan daerah NTT lainnya.**

Acuan

Remigius Dewa. 1993. 'Perubahan Pranata Pengelolaan Lahan pada Komunitas Peladang di Nusa Tenggara Timur: Kasus Lio dan Iwanggete di Flores'. Dalam Ekonesia: A Journal of Indonesian Human Ecology, edisi bulan Mei.

Ilya Moeliono and Ben Polo Maing. 2004. The Riung Conservation Area in Flores, Indonesia: Lessons from Failure in Improving Governance, Managing Conflicts, and Inducing Institutional Reform, Paper to be presented at the 10th IASCP Biennial Conference in Oaxaca, Mexico, 9-16 August 2004.

J. K. Metzner. 1976. Lamtoronisasi: An Experiment in Soil Conservation. Bulletin of Indonesian Economic Studies: Vol 12, Number 1/March 1976.

Read More...

26 September 2006

Siang Ubi, Malam Juga Ubi!

Iswanti Suparma

NAMANYA Defianus Kaka. Jenis kelaminnya laki-laki. Umurnya 1,7 tahun, tapi berat badannya hanya berkisar enam kilogram. Anak malang yang berbadan layu ini belum bisa berjalan. Defianus Kaka juga mengidap penyakit kambuhan gangguan saluran nafas ISPA dan malaria. Beberapa saat lalu —April 2006— dia baru saja keluar dari RS Caritas, Waitabula, karena marasmus.

Barangkali pertanyaan saya tak beda dengan yang Anda pikirkan. Makan apa Defianus ini, sampai semua tulang iganya tampak bersembulan dari tubuhnya yang telanjang?
Oh ya, dia telanjang bukan karena mau bergaya karena saya akan memotretnya, melainkan memang begitulah kesehariannya. Dia tidak berpakaian. Kalau tidur saja berselimut. Dalam foto, yang ada di sebelahnya adalah kakak kandung, dan yang lain adalah “Om”.

Bingung? Bagi orang luar Sumba, mungkin membingungkan, tapi tidak bagi orang Sumba. Maksudnya begini .. Defianus Kaka memiliki dua saudara kandung. Keduanya juga masih balita (lima tahun dan tiga tahun 10 bulan). Kristina Kaka adalah ibu dari ketiga balita ini.

Sementara itu, Kristina masih tinggal di tempat orangtuanya, pasangan Andreas Kodi Mete dan Margaretha Pati Bebe yang memiliki delapan anak. Kristina adalah anak pertama dari pasangan ini. Dan dua anak terakhir dari pasangan ini juga masih balita. Nah, anak bungsu pasangan Andreas dan Margaretha yang berumur 2,5 tahun inilah yang berfoto dengan kedua keponakannya. Satu adik perempuan Kristina sudah menikah, dengan satu anak berumur empat bulan.

Jadi, totalnya, dalam rumah panggung beratap daun ilalang berukuran sekitar delapan kali enam meter, tempat tinggal mereka itu, terdapat 14 jiwa, dan enam di antaranya adalah balita. Hal lazim di Sumba kiranya ibu dan anak perempuannya “berlomba” susul-menyusul dalam melahirkan.

Untuk menghidupi 16 jiwa, Andreas hanya mengandalkan 30 pohon jambu mete di kebunnya yang tak seberapa luas. Dari panen jambu mete, paling banyak Andreas hanya mengantongi Rp300.000. Kalau harga turun, malah paling hanya Rp200.000. Di sela pohon jambu mete, ditanami padi yang paling banyak menghasilkan satu karung atau lima blèk kaleng biskuit Winston. Atau, kalau ditanami jagung, hanya menghasilkan sekitar tiga sampai lima ‘bola’ (ukuran tempurung kelapa).

Kekurangan pangan? Sudah tentu! Untuk mencukupi kebutuhan pangannya, beberapa anak, Margaretha dan Andreas, bekerja sebagai buruh untuk membersihkan kebun jambu mete milik orang lain. Itu pun boleh dikatakan masih tak cukup.

Sehari, mereka paling hanya makan dua kali. Biasanya Margaretha memasak dua kali dalam sehari, dengan ukuran panci sembilan liter. Panci sebesar itu dipenuhi dengan ubi kayu. Paling-paling, Margaretha akan menambah masak sayuran, yang juga dari daun ubi.

Ubi inilah yang sehari-hari dimakan Defianus Kaka dengan saudara-saudaranya yang lain yang masih balita. Pagi ubi, siang ubi dan malam juga ubi! Makanan mereka tidak beda dengan makanan orang dewasa, mungkin bedanya hanya sedikit dihaluskan. Apa daya? Hanya itu kemampuan mereka. Syukur-syukur ada program PMT (Pemberian Makanan Tambahan) dari posyandu atau puskesmas, yang datangnya tidak tentu, tergantung ada proyek atau tidak dari Dinas Kesehatan! Jika tidak ada, ya sudah. Terima nasib!**


Acuan: Departemen Kesehatan RI, Tabel Baku Rujukan Penilaian Status Gizi Anak Perempuan dan Laki-laki, Usia 0 s.d. 9 Bulan, menurut Berat Badan dan Umur

Read More...

22 September 2006

Nasib Kangkung Oeba

Savitri Wisnuwardhani

SEKARANG Anda tak akan bisa lagi makan kangkung dari Oeba yang hijau, segar dan lezat itu, kalau Anda ke kota Kupang, ibukota Nusa Tenggara Timur. Soalnya, para petaninya sekarang sudah digusur oleh pembangunan hotel berbintang.

Campuran yang khas antara jenis tanah dan pasir setempat membuat “kangkung Oeba” tumbuh dengan subur dan menggiurkan selera. “Kangkung ini dulunya menjadi kebanggaan masyarakat Kota Kupang,” kata teman asal ibukota NTT. Tapi, sekarang kangkung itu sangat sulit ditemukan lagi di pasar-pasar kota itu. Apa yang kemudian dilakukan oleh para petani itu —sebagai silih penggusuran dan kehilangan pekerjaan— untuk menghidupi keluarga mereka?
Padahal, bukankah kangkung (Ipomoea aquatica) adalah sayuran yang relatif murah? Dan sebenarnya juga mudah dijangkau oleh masyarakat miskin sekalipun. Restoran-restoran mahal pun membutuhkan dan menawarkan ke para pelanggan mereka. Para blogger pun menawarkan berbagai menu kangkung. Baru lihat fotonya sudah bikin ngiler. Tak diragukan kangkung sedap sekali. Kandungan nutrisi sayuran ini adalah zat besi yang sangat bagus untuk pertumbuhan anak dan ibu hamil.

Dari hasil penelitian independen oleh The Institute for Ecosoc Rights, sayuran itu sendiri terbukti sudah mampu mencegah banyak anak balita dari keluarga miskin terhindar dari busung lapar, asal orangtua mereka tekun memberi makan sayur pada anak-anak mereka. Proporsi bedanya di antara keluarga-keluarga yang selalu memberikan sayuran kepada anak-anak mereka mendekati selisih antara 43% untuk anak-anak gizi buruk dan 61% untuk yang bergizi baik (klik Tabel). Bukankah lumayan dahsyat dampak pemberian sayur pada kondisi gizi anak-anak balita NTT di tengah-tengah mahalnya harga lauk-pauk seperti ikan dan daging yang nyaris tak terjangkau oleh keluarga miskin?

Hanya di kota Kupanglah tumbuh jenis kangkung ini, yang menurut banyak orang rasanya sangat enak. Kangkung ini disebut dengan nama “kangkung Oeba” karena hanya tumbuh di daerah Oeb di dalam kota Kupang. Batangnya lebih besar dan daun-daunnya lebih lebar. Bahkan menurut beberapa ibu yang dulu sering memasaknya, kangkung ini lebih tahan panas bila dibandingkan dengan kangkung biasa. Itulah sebabnya, jika dimasak warnanya lebih kelihatan masih hijau segar.

Entah kapan dan di mana lagi para petani bisa menumbuhkan jenis kangkung ini. Persoalan pencaplokan tanah itu masih menggantung dan tak ditemukan kata putus yang menjamin rasa keadilan masyarakat. Sejarah konflik tanah ini juga sudah panjang. Dulu lahan pertanian kangkung Oeba dipegang hak miliknya oleh tujuh orang setempat. Kemudian disewakan kepada pihak Tentara Nasional Indonesia - Angkatan Darat. Setelah sewa habis, tanah itu dikembalikan kepada salah satu dari tujuh pemilik lahan itu. Tahun 1988 Kantor Badan Pertanahan Nasional/Agraria menetapkan tanah itu sebagai tanah negara yang dikuasai pemerintah. Tahun 2005 kepemilikan tanah itu “tiba-tiba” tanpa sepengetahuan para pemegang hak milik sudah beralih ke tangan seorang investor yang siap akan menyulapnya dalam sekejap jadi hotel mewah.

Akibatnya, sulit untuk dihindarkan, banyak warga terutama para petani, baik para petani pemilik dan penggarap, protes keras terhadap rencana pembangunan hotel yang pasti tak akan ada banyak manfaat komprehensifnya untuk para petani. Pertengahan 2005 bersama dengan anak-anak dan istri masing-masing, mereka mendesak Gubernur Piet A. Tallo agar membatalkan rencana walikota S.K. Lerik.

Petani kangkung Oeba yang berjumlah delapan kepala keluarga itu akhirnya pasrah dan mengalah berhadapan dengan ketidakadilan. Sebab, tuntutan kebutuhan keluarga terus menantang mereka menemukan pekerjaan-pekerjaan lain yang bisa langsung menghasilkan untuk keperluan rumah tangga sehari-hari. Sekarang mereka beralih pekerjaan, misalnya, jadi pedagang karena sudah kehilangan lahan tanah untuk bercocok tanam. Banyak sekali petani yang bernasib seperti petani kangkung Oeba ini.

Perlahan namun pasti mereka tergusur oleh pembangunan yang berorientasi pada jasa dan perdagangan. Perubahan ini menyebabkan keluarga-keluarga itu menjadi lebih rentan terhadap kekurangan pangan dan rawan pendapatan. Sebagai petani kangkung mereka sudah tak punya harapan lagi. Mereka juga sulit menjadi mandiri lagi jika menanam tanaman lain di lahan lain entah di mana. Buntutnya mereka mengandalkan pekerjaan seperti buruh pabrik, buruh bangunan, pedagang asongan, pekerja serabutan, dll. yang tak tentu masa depannya di tengah kehidupan kota yang semakin menyudutkan peranan mereka.

Begitulah konsekuensinya ketika petani terpaksa beralih ke pekerjaan-pekerjaan lain dan tak bisa lain kecuali mengandalkan pekerjaan jasa dan perdagangan di kota. Ada banyak kejanggalan yang sulit kita mengerti mengapa kepentingan para petani –sekalipun mereka tinggal di wilayah yang berkategori kota– sangat kurang diperhatikan.

Dalam persoalan tata ruang kota Kupang, ternyata proporsi lahan sawah berpengairan mencapai hampir 60 persen dari keseluruhan penyebaran sawah sejenis di propinsi NTT —jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang ada di daerah pedesaan yang hanya sebesar 43,37 persen. Tapi, mengapa petani disingkirkan begitu saja? Boleh dikesampingkan kepentingannya? Semestinya kebijakan kota memberi penekanan pada masih perlunya pengembangan pertanian dan kegiatan ekonomi rakyat, sekalipun berkenaan dengan kebijakan perkotaan. Namun, para petani itu kini tergusur.

Kapan kita akan menjadi bangsa maju yang mendasarkan pembangunan umum ini di atas landasan pertanian yang kuat, di mana anak-anak masyarakat sederhana pun bisa menikmati sayuran yang bermineral tinggi seperti kangkung Oeba itu? Kapan? Apakah Anda masih sabar menunggu lagi?**

Read More...

09 September 2006

Kerja

Sri Maryanti

Apa yang hebat dari dokumen Laborem Exercens? Dan mengapa justru orang-orang yang semestinya memahaminya malah tidak tahu menahu? Bagiku dalam teks itu bertebaran banyak ‘ranjau’ yang sering membuatku bergidik. Telak benar teks itu menggores kesadaranku. Beda sekali dengan pemahaman kerja dalam benak orang sekarang yang bahkan mempertukang dirinya sendiri. Mereka tak tahu lagi untuk apa bekerja kecuali untuk bertahan hidup. Atau sebaliknya, bekerja mati-matian karena rakus.

Ini adalah keterpesonaan seorang yang bukan katolik pada satu dokumen yang dikeluarkan gereja. Laborem Exercens (baca: Dengan Bekerja) ditulis Paus Yohanes Paulus II tahun 1981. Anehnya, banyak orang katolik tidak paham bahkan tidak tahu isi dokumen ini. Bahkan mungkin pastor-pastor juga belum tentu memahaminya. Sungguh sayang. Dan tentu banyak juga orang menjadi sinis memandang dokumen ini dengan argumen bahwa Laborem Exercens tak memberi solusi yang cukup kongkrit terhadap masalah kehidupan manusia terkini.

Aku kagum benar oleh kalimat-kalimat dalam dokumen tersebut yang menaruh penghargaan tinggi pada kerja manusia. Bisa dibayangkan saat para penulisnya mengungkapkannya. Mereka berada dalam tingkat kejujuran yang tinggi sehingga apa yang mereka torehkan adalah buah-buah jiwa yang utuh.

Berikut saya kutip beberapa kalimat yang sebenarnya ada dalam bab yang berbeda-beda, namun aku tergerak untuk merangkainya menjadi satu paragraf.

Dari kerja, manusia memperoleh martabatnya yang istimewa. Penaklukan bumi (dalam arti luas) hanya bisa dilakukan melalui kerja. Bekerja memampukan manusia mencapai kedaulatannya dalam dunia yang kelihatan sebagaimana layaknya baginya. Kerja akan lebih memanusiawikan pelakunya. Kerja adalah kunci persoalan sosial.

Kalimat-kalimat di atas mengingatkanku pada ajaran Islam mengenai fungsi manusia sebagai ‘khalifahtullah fil ardz’. Manusia wakil Tuhan di muka bumi. Berarti manusia mengemban satu tugas untuk memelihara alam semesta ini. Keharmonisan alam semesta hanya bisa dijaga dengan kerja. Kerja menjadi sesuatu yang utama. Mungkin hal ini menjadi sejajar dengan apa yang disampaikan Laborem Exercens.

Kendatipun kerja merupakan sesuatu yang mulia, namun kenyataannya para pelaku kerja justru mengalami berbagai penderitaan dalam menjalani kerja. Hal ini diakibatkan oleh pandangan umum masyarakat yang keliru dalam memaknai kerja. Kerja lebih dipandang sebagai barang dagangan. Buktinya manusia diperdagangkan, bahkan pekerja-pekerja rumah tangga dipajang di toko-toko dan internet.

Tentu banyak lagi yang diungkap oleh dokumen ini terutama dalam menanggapi persoalan modern berupa kesenjangan dan penghisapan satu kelompok manusia terhadap kelompok yang lain. Dan harus tetap diakui bahwa dokumen ini tak seperti teori-teori sosial lainya yang menawarkan rumusan konkrit untuk mengatasi persoalan sosial yang kompleks ini. Namun dokumen ini memantulkan spirit kuat yang selalu mengingatkanku pada hakikat diriku.

Sebab bila manusia bekerja, ia bukan hanya mengubah hal-hal tertentu dan masyarakat, melainkan menyempurnakan dirinya sendiri pula. Manusia menjadi bernilai karena kenyataan dirinya sendiri daripada apa yang dimilikinya.

Banyak orang takut jadi kristen-katolik karena katanya banyak terjadi usaha kristenisasi atau barangkali ‘katolikisasi’. Jangan takut menjadi katolik gara-gara membaca dokumen ini. Sampai sekarang aku tak pernah menjadi katolik. Bahkan sebaliknya, terpancing untuk terus mencari tahu hal serupa di agama-agama lain. Sangat mungkin sekali suatu saat aku bisa mengerti tentang fiqh mengenai kerja.**

Read More...