Showing posts with label masyarakat adat. Show all posts
Showing posts with label masyarakat adat. Show all posts

07 February 2014

Sulya, Empat Kali Jadi Korban Perampasan Lahan

Sulya


Sejak 2009 saya mengalami empat kali perampasan tanah oleh perusahaan perkebunan sawit. Dua kali perampasan tanah dilakukan PT Bangkit Usaha Mandiri (BUM), masing-masing seluas 27 hektar kebun karet dan 5 hektar kebun karet lainnya. Perampasan lahan yang dua lagi dilakukan PT Bumi Hutan Lestari (BHL), masing-masing seluas 4 hektar kebun buah-buahan yang di dalamnya ada tanaman karet dan 9 hektar ladang padi. Tanpa sepengetahuan saya, perusahaan membakar dan merusak kebun dan ladang. Saya sudah berulangkali menyampaikan protes ke pihak perusahaan dan mengadu ke lembaga adat, pemerintah desa, kecamatan, dan kepolisian untuk meminta tanah saya dikembalikan. Protes saya tak ditanggapi. Perusahaan membayar preman untuk mengancam dan meneror saya. Saya dipaksa menerima ganti rugi sebesar Rp 13,5 juta untuk 27 hektar kebun yang berisi ribuan pohon karet dan Rp 20 juta untuk 4 hektar kebun buah-buahan. Uang Rp. 13,5 juta yang saya dapat dari PT.BUM tak sebanding dengan dana yang sudah saya keluarkan untuk menanam karet. Biaya pembersihan lahan saja Rp 500 ribu per hektar, tidak termasuk biaya pembelian bibit, penanaman dan perwatan. Bisa menghabiskan Rp 3 juta rupiah untuk setiap hektarnya.”  (Sulya,  warga desa Mirah Kalanaman, kecamatan Katingan Tengah, kabupaten Katingan)

Read More...

23 January 2014

Kamilus Tupen Jumat: Mantan TKI yang Tengah Membangun Peradaban (bagian 2)

Menerapkan Gagasan

Kegelisahan untuk menjadi dirinya dan menjalani hidup yang sejati membawanya kembali ke kampung setelah 10 tahun menjadi TKI dan dua tahun bekerja di Larantuka. Mimpi membuat badan usaha rakyat dan mengembangkan sistem ekonomi berbasis solidaritas terus bergaung dalam benaknya. Mulailah ia menerapkan gagasannya itu dalam organisasi “Gemohing” yang sudah berjalan di kampungnya. Namun idenya ini mendapat tantangan dari para tua-tua dan kepala desa. Mereka menolak sistem yang ia bangun. Mereka merasa sudah nyaman dengan sistem yang ada. Kamilus dianggap telah mengobrak-abrik sistem yang sudah mapan itu.  Menghadapi tantangan para tua-tua dan kepala desa, Kamilus memilih mundur agar organisasi yang sudah berjalan lama itu tidak hancur. Saat itu ia merasa idenya untuk membangun badan usaha rakyat dan mengembangkan ekonomi berbasis solidaritas belum saatnya untuk dijalankan.

Kerja Gemohing anggota KTL 2
Tahun 2004 Kamilus memutuskan untuk fokus menggarap lahan dan menjadi petani. Ia menanam ubi kayu dan kacang tanah. Oleh para warga di kampungnya ia diejek dan dianggap tidak tahu cara bertani. Namun pada saat panen, warga berubah pikiran dalam menilai Kamilus. Kamilus mampu menunjukkan bahwa hasil produksi ubi kayunya jauh di atas produksi ubi kayu yang dihasilkan warga.

Read More...

11 July 2013

Pesan dari Sarapat

Sarapat adalah nama desa di Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah. Meskipun statusnya sebuah desa di pedalaman, apa yang terjadi di Sarapat memberi gambaran tentang bagaimana Republik ini dikelola.
Beberapa tahun terakhir, masyarakat adat di Desa Sarapat dan sekitarnya berjuang mempertahankan hak hidup berhadapan dengan korporasi tambang dan perkebunan sawit yang memorak-porandakan lingkungan dan kehidupan masyarakat adat. Dalam diskusi bersama warga, saya menangkap pesan penting yang hendak mereka sampaikan kepada segenap warga RI dan penguasanya. Mereka menilai pengelola Republik tengah menjadikan Indonesia bangsa primitif.
Kehilangan kebun
Di Desa Sarapat tinggal seorang kakek berusia lebih dari 80 tahun. Selama ini ia prihatin dengan kondisi masyarakatnya yang tak berdaya ketika pihak korporasi atas seizin pemerintah membabat habis hutan serta merampas hutan adat, tanah ulayat, dan kebun rakyat. Bahkan, hutan anggrek dan hutan tanaman obat yang langka dan tak ternilai harganya habis dibabat. Atas seluruh kehilangan ruang hidup dan masa depannya, warga dipaksa menerima uang tali kasih Rp 1,5 juta per hektar lahan kebun karet.

Read More...

25 November 2009

Pertemuan di Bangsal Anak

Oleh SRI MARYANTI (update 26/11/2009)

Saat aku menatap mereka, aku segera bertanya mengapa wajah mereka terlihat demikian tua. Padahal umur dua perempuan itu tidak berpaut jauh denganku. Bahkan wajah Mama Blandina yang masih berumur 35 tahun seperti perempuan usia limapuluhan. Sepertinya ada masalah dengan para perempuan di bangsal anak itu. Benar rabaanku, tidak lama setelah mengobrol dengan Ibu Blandina, matanya segera basah seiring dengan ceritanya. Demikian juga dengan Mama Helena.

Sambil menggendong anak bungsunya yang berusia 2,5 tahun, Ibu Blandina Mafani bertutur. Dalam usianya yang tergolong muda, ia telah melahirkan enam kali. Dan enam kali pula ia melahirkan tanpa pertolongan tenaga medis. Yang lebih miris lagi, selama hamil perempuan dari desa Tulleng, kecamatan Lembur, kabupaten Alor ini tak pernah memeriksakan bayinya ke puskesmas atau ke klinik. Untung ada dukun beranak di desanya yang bisa dimintai tolong saat melahirkan. Jadi ia tidak tahu berat badan anaknya ketika lahir. Dengan demikian ia juga tidak begitu paham apakah anaknya normal dan sehat saat lahir.

Read More...

27 October 2009

DEKLARASI: ALIANSI MASYARAKAT PEDULI NUSA TENGGARA TIMUR – ALMADI NTT

Kami, perwakilan masyarakat dari 11 kabupaten di NTT, yang terdiri dari kabupaten Manggarai Barat, Manggarai, Manggarai Timur, Ngada, Sikka, Rote Ndao, Lembata, TTS, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sumba Timur, hari-hari ini dikumpulkan oleh keprihatinan terhadap kondisi NTT kini dan ke depan terkait dengan pemiskinan akibat alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat, maraknya korupsi dan merajalelanya kegiatan pertambangan yang mengancam kehidupan dan masa depan masyarakat NTT. Selain keprihatinan atas kondisi tersebut, kami juga disatukan oleh solidaritas atas penderitaan masyarakat NTT, khususnya masyarakat NTT yang hari-hari ini hidupnya dihancurkan oleh kegiatan pertambangan.

Sebagai bagian dari masyarakat sipil di Provinsi NTT, kami terpanggil untuk memperjuangkan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat NTT – khususnya kelompok yang rentan terhadap pelanggaran hak asasi. Kami menilai, ada persoalan mendasar terkait dengan kemerosotan dan pemiskinan hidup masyarakat NTT akibat penyelewengan APBD, korupsi dan kegiatan pertambangan yang semakin mempersempit ruang hidup masyarakat.

Read More...

14 August 2009

Proyek Hutan Bakau Memperdaya Petani Lembata??

Surat Terbuka untuk Menteri Kehutanan RI

Yang Terhormat Bapak Menteri Kehutanan,

Pada akhir Juni 2009 telah datang pada kami sekelompok petani asal Kabupaten Lembata, provinsi NTT, yang dipimpin bapak AS. Hadung Boleng bin Yusuf. Kebetulan pada waktu itu kami sedang berada di Lembata, sehingga kami dapat bertemu langsung dengan mereka dan berkunjung ke lokasi di mana mereka tinggal. Mereka datang mewakili 214 petani anggota Kelompok petani Penyangga Abrasi Laut/Alam Darat (KLOMPPAL/D), yang pada tahun 2004 menjadi mitra kerja dinas kehutanan dalam pelaksanaan proyek pengembangan hutan mangrove pola partisipatif di Kabupaten Lembata. Mereka datang pada kami dengan satu tujuan, yaitu mengadukan masalah yang mereka hadapi terkait pelaksanaan proyek. Menurut mereka, sampai proyek berakhir, tidak diketahui secara pasti berapa sesungguhnya besar anggarannya. Mereka menilai, proyek pengembangan hutan mangrove itu telah dijalankan secara tidak transparan dan terkesan manipulatif.

Sudah lama mereka mencium adanya ketidakberesan dalam proyek itu. Mereka mulai yakin akan adanya manipulasi sejak mereka diminta menandatangani Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS) baru, yang isinya jauh berbeda dari SPKS lama. Pada SPKS lama, tertera anggaran proyek sebesar Rp 38.228.000. Selain itu, mereka juga diperintahkan untuk membakar SPKS lama. ‘Kenapa harus dibakar?’ pikir mereka. Apa yang tertulis dalam SPKS baru itulah yang membuat mereka kemudian merasa telah menjadi korban manipulasi pihak dinas kehutanan Kabupaten Lembaga. Mengapa?

Saat melihat lembaran SPKS baru yang hendak mereka tandatangani, ketua kelompok petani membaca, dalam lembaran itu tertulis angka Rp 12.000 per hari kerja, 214 petani aktif dan 424 hari kerja. Jika dikalkulasikan secara matematis, jumlah uang yang diterima kelompok petani itu semestinya 1.088.832.000. Namun pada kenyataannya mereka hanya menerima uang sebesar Rp 32.128.666 yang dibagikan untuk 214 petani. Ini berarti, dengan 424 hari kerja sebagaimana tertulis dalam catatan pihak dinas kehutanan, setiap petani hanya dibayar Rp 400 per hari kerja. Padahal dalam SPKS baru itu disebutkan, petani dibayar Rp 12.000 per hari kerja. Jauh sekali selisih yang diterima petani dengan yang tertera dalam SPKS.

Indikasi manipulasi bukan hanya dalam hal pembayaran upah kerja. Ketua kelompok petani itu mengaku, pihaknya juga pernah diminta petugas dari dinas kehutanan untuk menandatangani berkas atau blanko kosong. Selain itu, ketua kelompok petani juga diminta menandatangani kwitansi pembayaran anakan pohon bakau dan ajir oleh pihak dinas kehutanan. Padahal anakan bakau dan ajir (kayu penyangga) itu didapat petani bukan dari dinas kehutanan, tetapi dari usaha para petani itu sendiri. Tak sepeser pun uang mereka terima sebagai ganti pengadaan anakan bakau dan ajir (kayu penyangga). Ironisnya, dengan target penanaman 50.000 pohon bakau dan 10.000 cadangan di lahan seluas 10 hektar (maaf, sebelumnya kami salah ketik [50 hektar] red. 24/8/2009) yang ditetapkan pihak dinas kehutanan sebagai target, petani mengaku telah berhasil menanam bakau sebanyak 90.000 batang di lahan seluas 15,5 hektar. Jauh melebihi target yang ditetapkan pihak dinas kehutanan.

Awal Kisah
Apa sebenarnya yang mendorong para petani itu rela menanam bakau melebihi target? Selain kecintaan mereka pada lingkungan, rupanya ada iming-iming sejumlah besar uang dari pihak dinas kehutanan. Sebagai kelompok pecinta alam yang tinggal di pinggir-pinggir pantai di wilayah Lembata, tepatlah bila mereka dipilih pihak dinas kehutanan Kabupaten Lembata sebagai mitra kerja dalam pelaksanaan proyek pengembangan hutan mangrove. Para petani itu sendiri tak mampu menyembunyikan kegembiraan mereka ketika dalam sosialisasi proyek pihak dinas kehutanan mengatakan, ‘Proyek ini anggarannya sangat besar, sehingga kalian jangan kaget atau jantungan kalau melihat jumlah anggaran yang tertera dalam proyek itu nanti!’

Apa yang terjadi, ternyata tak sesuai janji. Meski proyek sudah cukup lama berjalan, papan proyek belum juga dipasang. Berulangkali petani mendesak agar dinas kehutanan segera memasang papan proyek. Mereka ingin tahu berapa sesungguhnya anggaran proyek yang dikatakan sangat besar itu. Setelah didesak para petani, pada 27 Desember 2004 seorang staf dinas kehutanan secara diam-diam, pada malam hari, memasang papan proyek di lokasi proyek. Setelah papan proyek dipasang, esok harinya seorang pegawai dinas kehutanan mendatangi salah seorang ketua kelompok yang tinggal di Lamahora, Kelurahan Lewoleba Timur dan menyampaikan pesan, ‘Papan proyek sudah dipasang. Jika kalian tidak senang dengan anggaran yang tertera, silahkan lapor ke mana saja!’ Dalam papan proyek itu tertera anggaran sebesar Rp 47.546.000. Jumlah yang jauh lebih rendah dari yang dibayangkan petani, mengingat ada 214 petani yang dilibatkan dinas kehutanan dalam proyek itu.

Dalam perjalanan, ketua kelompok petani diminta menandatangani kwitansi pembayaran sebesar Rp 32.128.686. Penyerahan uangnya sudah dilakukan sebelum penandatanganan kwitansi dilakukan. Padahal dalam SPKS yang ditandatangani petani pada 20 Oktober 2004 tertera anggaran proyek sebesar Rp 38.228.000. Ketua kelompok petani memang menandatangani kwitansi senilai 38 juta, namun uang yang mereka terima hanya sebesar Rp 32 juta. Sisanya, menurut pihak dinas kehutanan, untuk bayar pajak. Meski hanya terima uang satu kali, namun ketua kelompok petani itu mengaku menandatangani dua kwitansi. Satu kwitansi senilai Rp 32 juta – jumlah yang riil diterima petani dan satu lagi kwitansi senilai Rp 38 juta.

SPKS Ganda
Persoalan ketidakberesan proyek sebenarnya sudah dianggap selesai oleh kelompok petani itu kalau saja pihak dinas kehutanan tidak membawa masalah baru. Pada tanggal 6 Januari 2005, pihak dinas kehutanan kembali mendatangi kelompok petani. Petugas itu merayu ketua kelompok petani agar bersedia menandatangani SPKS baru yang mereka katakan hanya sebagai persyaratan administratif untuk laporan ke Jakarta. Saat itu ketua kelompok petani mempertanyakan, mengapa dalam satu proyek bisa ada dua SPKS. Ditanya tentang adanya SPKS ganda, pihak dinas kehutanan meminta ketua kelompok agar SPKS yang lama dibakar saja. Meski merasakan adanya kejanggalan, namun toh ketua kelompok petani tidak kuasa menolak permintaan dinas kehutanan. Dengan berat hati, SPKS yang baru itu mereka tandatangani.

Sebelum menandatangani SPKS baru, mereka sempat membaca, dalam lembaran SPKS itu tertera angka Rp 12.000 per hari kerja, 214 petani yang bekerja, dan rincian hari kerja sebagai berikut: 200 hari kerja, 100 hari kerja, 64 hari kerja, dan 60 hari kerja, yang jumlah totalnya ada 424 hari kerja. Logikanya, dengan ditandatanganinya SPKS yang baru itu, kelompok petani dan dinas tenaga kerja mengakui bahwa ada 214 petani yang telah bekerja selama 424 hari, dengan upah Rp 12.000 per hari kerja. Angka-angka inilah yang kemudian membuat petani berpikir. Kalau benar angka-angka itu yang dilaporkan ke Jakarta, berarti dalam proyek itu petani seharusnya menerima uang sebesar Rp 12.000 X 424 hari kerja X 214 orang = 1.088.832.000. Begitulah yang mereka pikirkan. Padahal mereka merasa hanya menerima uang sebesar Rp 32.128.686, tidak kurang dan tidak lebih. Ketika mencerna kembali apa artinya angka-angka yang mereka baca dalam lembaran SPKS yang baru, muncul kesadaran bahwa mereka telah diperdaya pihak dinas kehutanan.

Tidak terima dengan ‘tipu daya’ yang dilakukan pihak dinas kehutanan, kelompok petani itu memutuskan untuk mempertanyakan perihal anggaran proyek itu ke instansi yang lebih tinggi. Mereka mengutus perwakilan kelompok datang ke Jakarta untuk meminta penjelasan langsung dari Bapak Menteri. Sampai di Departemen Kehutanan mereka mendapatkan informasi bahwa seorang anggoa DPRD Lembata, Drs. Arsyad Mohammad, baru saja bertemu Bapak Menteri. Utusan para petani itu hanya diterima oleh staf departemen kehutanan yang berjanji akan mengurus kasus mereka. Rupanya, menurut para petani itu, pihak dinas kehutanan Kabupaten Lembata telah mencium rencana petani untuk datang ke Jakarta. Jadi mereka mendahului para petani menemui Bapak Menteri. ‘Pantas’, pikir mereka, ‘staf departemen kehutanan itu sudah tahu bahwa kami datang dari Lembata, padahal kami belum memperkenalkan diri’. Mereka menduga, anggota DPRD Lembata itulah yang menginformasikan pada pihak departemen kehutanan perihal kedatangan mereka.

Tidak berhasil bertemu dengan Bapak Menteri, para petani itu kemudian mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menanggapi laporan para petani itu, KPK mengirim surat ke Kejaksaan Agung. Dengan surat nomor R.757/D.PIPM/KPK/IV/2005 tertanggal 15 April 2005 yang ditandatangani Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat Junino Jahya, KPK meminta Kejaksaan Agung menindaklanjuti laporan para petani itu. Pihak Kejaksaan Agung sendiri telah memerintahkan Kejaksaan Kabupaten Lembata untuk segera menindaklanjuti pengaduan para petani. Diperintahkan pula agar dalam waktu kurang dari 54 hari berkas penanganan kasus sudah harus sampai di tangan Kejaksaan Agung RI. Namun yang terjadi, kasus ini dipetieskan oleh kejaksaan Kabupaten Lembata. Ketua kelompok petani memang sempat dipanggil pihak kejaksaan kabupaten Lembata untuk dimintai keterangan, namun tidak ada proses lebih lanjut. Bahkan pihak kejaksaan mengancam akan memenjarakan mereka bila keterangan mereka tidak benar. Berulangkali para petani itu mendatangi kejaksaan untuk mempertanyakan kasus mereka, namun tidak pernah ada jawaban yang memuaskan.

Berbagai aksi telah mereka lakukan untuk menuntut penjelasan atas kasus yang mereka hadapi. Namun tidak ada satupun pihak pemerintah di Lembata yang memberikan perhatian pada kasus mereka. Ketidakpedulian ini bisa dimengerti mengingat begitu banyak kasus manipulasi dalam proyek-proyek besar bernilai milyaran di Kabupaten Lembata juga didiamkan. Padahal menurut pengakuan para petani itu, bukan uang yang pertama-tama mereka perjuangkan, tetapi kejelasan tentang anggaran proyek. Kalau benar terjadi manipulasi dalam pelaksanaan proyek, mereka ingin kasus manipulasi itu diproses secara hukum. Mengapa dalam satu proyek bisa ada dua SPKS dengan dua anggaran yang berbeda, itulah yang tidak bisa mereka terima. Ketika proyek akan dimulai, pihak dinas kehutanan bicara terbuka pada petani. Tetapi ketika proyek berjalan, mereka main kucing-kucingan.

Pada kami, para petani itu menitipkan sejumlah dokumen untuk diserahkan kepada pihak-pihak yang dapat membantu mereka mengungkap kasus tersebut. Berdasarkan pada apa yang mereka ceritakan dan dokumen-dokumen yang mereka berikan itulah kami menulis surat ini.

Melalui surat ini kami berharap Bapak Menteri bersedia memenuhi permohonan para petani yang menuntut adanya penjelasan secara jujur dan terbuka terkait kasus yang mereka alami sebagai mitra dinas kehutanan Kabupaten Lembata dalam pelaksanaan proyek pengembangan hutan mangrove tahun 2004. Kami yakin, dengan adanya penjelasan secara jujur dan terbuka akan dapat memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap Dinas dan Departemen Kehutanan. Demikian surat ini kami sampaikan, atas perhatian dan keseriusan Bapak dalam menanggapi pengaduan kelompok petani tersebut kami mengucapkan terima kasih.

Jakarta, 12 Agustus 2009
The Institute for Ecosoc Rights


Sri Palupi
Direktur


Tembusan:
1. Yth. Kepala Kejaksaan Agung Jakarta
2. Yth. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
3. Yth. Bapak Gubernur NTT
4. Yth. Bupati Lembata
5. Yth. Ketua DPRD Kabupaten Lembata
6. Yth. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Lembata
7. Yth. Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Lembata
8. Yth. Ketua Komnas HAM Jakarta
9. Yth. Direktur ICW Jakarta

Read More...

07 July 2008

Aneh Tapi Nyata di Lembata

Sri Palupi

Lembata, kabupaten di ujung timur pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang baru sewindu berdiri kini tengah dilanda masalah. Pasalnya, pemerintah kabupaten (Pemkab) Lembata hendak menjadikan pulau kecil ini sebagai area penambangan emas. Meskipun saya belum mengenal Lembata dengan baik, namun sedih juga mendengar pulau sekecil itu akan dijadikan area pertambangan.

Sudah sejak lama saya ingin mengenal Lembata dari dekat. Keinginan ini baru kesampaian pada awal 2008 lalu. Meski hanya beberapa hari saja singgah di Lembata, namun perjalanan yang singkat itu telah membuat saya jatuh cinta pada pulau ini dan berniat untuk kembali lagi ke sana. Pada pertengahan Juni 2008 untuk kedua kalinya saya datang ke Lembata.

***

Lembata adalah kabupaten dan sekaligus sebuah pulau kecil dalam gugusan pulau-pulau di perairan sekitar Kabupaten Flores Timur, provinsi NTT. Meskipun sudah sejak tahun 1954 masyarakat Lembata berjuang untuk mendapatkan otonomi pemerintahan, namun baru pada 15 Oktober 1999 lalu Lembata resmi menjadi kabupaten baru, terpisah dari kabupaten Flores Timur. Pulau seluas 126.638 hekter itu kini dihuni tidak kurang dari 116.000 jiwa.

Seperti kebanyakan daerah di daratan NTT, Lembata tergolong daerah kering, dengan 3-4 bulan saja musim hujan dan 7-8 bulan musim kemarau. Pada bulan-bulan kemarau pulau ini sangat kering dan gersang. Meski demikian, Lembata adalah pulau yang indah, kaya dengan obyek wisata daratan dan bahari, dengan kekhasan budaya yang tidak ada di pulau lain. Budaya menangkap ikan paus dengan perahu dan alat tangkap tradisonal dengan diawali ritual adat adalah salah satu obyek wisata bahari sekaligus wisata budaya yang paling menarik. Selain itu, masyarakat di pulau ini juga memiliki sistem perekonomiann unik dalam bentuk jual beli dengan cara barter (pertukaran barang) yang dikenal dengan sebutan Gelu Gore (Lamaholot) atau Kelung Lodong (Kedang).


***

Perjalanan saya kali ini lebih panjang, meskipun tidak sampai dua minggu. Banyak hal yang saya pelajari dari Lembata. Salah satunya adalah banyaknya kejanggalan tidak masuk akal, yang terjadi di kabupaten ini. “Aneh tapi nyata”, begitulah teman-teman saya menyebutnya. Kali ini saya hanya akan menceritakan beberapa saja dari seluruh keanehan yang sulit dipercaya telah terjadi di kabupaten yang tergolong miskin ini.

Keanehan pertama: ”Satu bupati, tiga kantor.” Mana ada seorang bupati punya tiga kantor. Aneh memang, tapi itulah kenyataan yang ada di Lembata. Terdapat tiga kantor bupati di kabupaten ini.

Kantor pertama, yang kini masih difungsikan sebagai kantor bupati adalah bangunan lama yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat Lembata jauh sebelum Lembata mendapatkan otonominya. Bangunan yang berdiri sejak 1960-an ini bisa dibilang bangunan bersejarah. Bangunan itu pantas disebut sebagai “monumen” yang menandai kegigihan masyarakat Lembata dalam memperjuangkan otonominya. Demi otonomi Lembata, pada waktu itu setiap warga yang datang ke Lewoleba – kini ibukota kabupaten Lembata, rela membawa batu kali dan pasir sebagai sumbangsih mereka bagi berdirinya gedung pemerintah Lembata. Tanah dan kayunyapun berasal dari sumbangan masyarakat.

Kantor kedua adalah bangunan setengah jadi yang berdiri megah di atas bukit. Berlawanan dengan kantor pertama, bangunan setengah jadi ini pantas disebut sebagai monumen “korupsi” di Lembata. Sebab pembangunan kantor kedua ini terhenti di tengah jalan karena adanya indikasi penyelewengan. Kualitas bangunan jauh lebih rendah dari besaran biaya yang dikeluarkan. Kalaupun bangunan ini diteruskan, katanya, tidak akan ada yang mau berkantor di sana. Menurut informasi orang-orang lokal, pondasinya pun tidak memenuhi persyaratan sehingga dikhawatirkan bangunan akan roboh bila sedikit saja diterpa badai atau gempa. Kini yang bisa kita saksikan hanyalah kerangkanya saja. Padahal konon khabarnya pembangunan kantor kedua ini menelan biaya tidak kurang dari satu milyar rupiah.

Meski sudah ada dua kantor bupati, namun bupati Lembata, Andreas Duli Manuk, masih merasa perlu membangun kantor baru. Kantor ketiga kini tengah dibangun di Laranwutun, Kecamatan Ile Ape, dengan biaya tidak kurang dari 7,6 milyar rupiah. Bersamaan dengan pembangunan kantor ketiga ini dibangun pula kantor kedua untuk DPRD Lembata, yang menelan biaya sedikitnya 2,3 milyar.


Keanehan kedua
: ”Banyak gedung dibangun dan kemudian ditelantarkan”. Ketika saya diajak berkeliling Lewoleba dan sekitarnya, bukan hanya tiga kantor bupati yang saya jumpai tetapi juga bangunan-bangunan baru yang dibiarkan terlantar. Padahal bangunan-bangunan itu bisa dibilang ”mewah” untuk ukuran Lembata yang miskin. Sebut saja di antaranya adalah rumah dinas ketua dan para wakil ketua DPRD yang kosong dan terlantar; rumah dinas bupati yang kini jadi tempat merumput ternak kambing; tempat pelelangan ikan (TPI) yang kini mulai rusak; pabrik es; kantor kecamatan, dll. Pemkab Lembata telah menghabiskan milyaran rupiah untuk mendirikan seluruh bangunan baru yang kini dibiarkan terlantar itu. Padahal, sekali lagi, Lembata tergolong kabupaten miskin. Aneh bukan?

Mengapa bangunan ”mewah” untuk rumah dinas pejabat eksekutif dan legislatif kabupaten Lembata itu ditelantarkan? Secara sinis warga setempat memberi alasan bahwa mereka (para pejabat eksekutif dan legislatif) tidak bersedia menempati rumah dinas itu karena perabotannya belum lengkap. Katanya, kulkas belum ada, mesin cuci pun belum tersedia. Jawaban semacam ini tidak lain adalah sindiran masyarakat terhadap para pejabat pemerintah dan DPRD yang mereka nilai suka menghambur-hamburkan uang rakyat.

Alasan lain datang dari ”orang dalam” pemkab Lembata yang tidak bersedia disebut namanya. Menurut mereka, para pejabat (eksekutif dan legislatif) tidak menempati rumah dinas dan memilih untuk tinggal di rumah pribadi karena adanya tunjangan ”sewa rumah” sedikitnya sebesar Rp 10 – 15 juta per tahun. Bila mereka menempati rumah dinas, berarti mereka tidak lagi mendapatkan tunjangan sewa rumah. Dengan kata lain, lebih untung bila menempati rumah sendiri ketimbang menempati rumah dinas. Dengan menempati rumah sendiri setidaknya ada tambahan penghasilan yang lumayan.


Keanehan ketiga: ”Begitu banyak dinas pemerintah belum memiliki kantor.” Keanehan ketiga ini terkait dengan keanehan pertama dan kedua. Ketika bupati dan DPRD tengah membangun kantor baru dan di saat banyak bangunan-bangunan baru ditelantarkan, hampir 50 persen dinas di kabupaten Lembata belum memiliki kantor sendiri. Mereka masih menyewa rumah-rumah warga untuk dijadikan kantor. Bahkan Bappeda Kabupaten Lembata pun belum memiliki kantor. Sungguh sulit dipercaya, sewindu otonomi Lembata, banyak dinas belum punya kantor, sementara bupati dan DPRD punya kantor lebih dari satu. Di saat dinas-dinas yang vital untuk pembangunan Lembata belum memiliki kantor, pemerintah dan DPRD memilih untuk membangun gedung-gedung baru dan kemudian menelantarkannya. Ironis.

Keanehan keempat: ”Daerah rawan bencana dijadikan area pertambangan.” Hasil eksplorasi umum oleh beberapa kuasa pertambangan menunjukkan, secara geologi Lembata termasuk daerah yang memiliki potensi bahan galian vital, seperti emas dan tembaga. Artinya, kabupaten ini memiliki potensi investasi di sektor pertambangan. Meski potensi industri pertambangan dimiliki oleh Lembata, bukan berarti bahwa indutri pertambangan layak dikembangkan di pulau ini. Selain alasan daya rusak pertambangan yang tidak bisa dipulihkan, pertambangan di Lembata juga akan membawa dampak serius terkait dengan eksistensi pulau Lembata itu sendiri beserta kehidupan di dalamnya. Mengapa? Lembata tergolong daerah kering dan gersang. Bila industri pertambangan dikembangkan di daerah ini, bisa jadi bukan hanya kerusakan lingkungan yang dihadapi Lembata, tetapi juga kehancuran sebuah pulau. Bahkan sangat mungkin terjadi bahwa di pulau yang kecil itu tidak akan ada lagi kehidupan. Sebelum ada pertambangan saja, masyarakat di kabupaten ini sudah kesulitan memperoleh air. Apalagi bila ada industri pertambangan yang terbukti bukan hanya rakus air, tetapi juga berpotensi menghancurkan kuantitas dan kualitas air yang sudah terbatas itu.

Selain daerah kering, pulau Lembata yang secara topografis memiliki kemiringan antara 0-75% itu, juga merupakan daerah yang sangat rawan bencana. Sebab letak Lembata berada pada jalur lempeng bumi yang senantiasa bergerak. Posisi Lembata juga berada dalam lingkaran sabuk api (ring of fire) dengan gunung-gunung api yang aktif, baik di darat maupun di laut (selatan pulau Lembata). Salah satunya adalah gunung berapi Ile Ape. Dengan kondisi seperti ini, pertambangan hanya akan membuat pulau Lembata rentan bencana. Bahkan bukan tidak mungkin bahwa penambangan akan membuat pulau kecil ini tenggelam, seperti yang pernah terjadi pada pulau lain di dekat pulau Lembata. Terlebih bila mengingat sebagian besar pulau Lembata masuk dalam wilayah Kontrak Karya Pertambangan PT Merukh Lembata Cooper.

Padahal Lembata sudah pernah punya pengalaman buruk dengan tambang. Sejak tahun 1984 Lembata, khususnya di wilayah Atanila dan Tanah Merah, pernah menjadi area pertambangan barid. Atanila dan Tanah Merah kini menjadi wilayah tercemar, rawan longsor dan banyak warganya sakit karena minum air yang tercemar. Bahkan lubang-lubang bekas tambang di wilayah ini sampai sekarang masih menganga, belum ditutup. Perusahaan tambang pergi begitu saja dengan meninggalkan sederet masalah yang harus ditanggung sendiri oleh masyarakat. Padahal sebelum ada tambang, Atanila dan Tanah Merah adalah daerah hijau, tidak pernah punya masalah dengan longsor dan airnya pun sangat jernih. Rupaya derita masyarakat Atanila dan Tanah Merah akibat pertambangan tidak cukup memberi pelajaran bagi bupati dan DPRD. Mereka tetap beriman pada mitos bahwa tambang itu menyejahterakan.

Keanehan kelima: “Pemkab dan DPRD Lembata menghalalkan segala cara untuk mempercepat proses penambangan”. Upaya meloloskan proyek pertambangan ini mereka tempuh dengan berbagai cara, di antaranya: 1) bupati menandatangani MoU dengan pihak perusahaan tambang tanpa sepengetahuan DPRD; 2) bupati dan ketua DPRD memberikan rekomendasi bagi perusahaan tambang untuk mendapatkan kontrak karya tanpa melalui mekanisme pleno DPRD; 3) pihak pemkab Lembata mengancam masyarakat untuk menghentikan pembangunan di wilayah di mana masyarakatnya menolak tambang; 4) membujuk pemimpin gereja untuk menarik dan memindahtugaskan ke luar Lembata pastor yang vokal dan gigih mendampingi masyarakat dalam menolak tambang. Meski berbagai cara sudah dijalankan, namun pemkab Lembata tetap tidak mampu membungkam suara masyarakat yang dengan tegas menolak tambang.

BERITA PENOLAKAN PEMBUKAAN TAMBANG DI LEMBATA

Kini pemkab Lembata tengah menjalankan skenario “konflik horisontal” untuk memecah belah masyarakat. Masyarakat yang ada di wilayah bakal tambang dihadapkan dengan masyarakat di luar wilayah bakal tambang. Ada juga rekayasa penyerahan tanah ulayat oleh beberapa orang warga yang notabene bukanlah pemilik/penguasa tanah ulayat. Isu agama (SARA) pun digunakan untuk membangun konflik antar kelompok masyarakat. Sekelompok orang dipakai untuk melempari masjid. Sebaliknya, sekelompok orang juga dipakai untuk menghadang dan memalak pastor. Namun masyarakat tidak terpancing oleh isu SARA ini dan sekali lagi, bupati gagal mematahkan penolakan masyarakat atas proyek tambang.

Sebelumnya Bupati juga pernah mencoba untuk membujuk dan memberikan sejumlah uang pada bapak Abu Sama, seorang tetua adat dan tokoh masyarakat muslim Lembata yang dikenal vokal dalam menolak tambang. Namun untuk kesekian kalinya bupati harus menelan kekecewaan karena ternyata bapak Abu Sama tidak dapat dibeli. Lihatlah foto segepok uang dengan kartu nama bupati di atasnya. Uang itu ia terima dari staf bupati kala ia dipanggil menghadap bupati untuk diajak berbincang soal tambang. Uang beserta kartu nama yang dibungkus dalam amplop itu sampai sekarang ia simpan sebagai barang bukti. Foto itu saya ambil ketika saya berjumpa dengan bapak Abu Sama di Lembata.

Gagal membujuk dan membeli tokoh adat dan pemimpin masyarakat, pemkab Lembata menggunakan cara-cara kekerasan. Para pemimpin dan tokoh masyarakat yang vokal dalam menolak tambang diteror habis-habisan dengan berbagai cara, termasuk ancaman pembunuhan. Rumah-rumah mereka pun dilempari batu, kegiatan mereka dipantau dan dihadang. Meskipun bupati telah menempuh berbagai cara halus dan kasar untuk menundukkan masyarakat, namun masyarakat tak bergeming sedikitpun dari sikap tegas mereka untuk menolak tambang. Bagi mereka, tolak tambang adalah harga mati.

Skenario konflik horisontal yang dipakai pemkab Lembata untuk meloloskan proyek pertambangan adalah sebentuk pengkhianatan atas spirit dan cita-cita otonomi Lembata yang telah diperjuangkan masyarakat Lembata sejak tahun 1954. Melalui pernyataan 7 Maret 1954, para pemimpin, tokoh masyarakat (adat dan agama) dan para pejuang otonomi Lembata telah bersepakat untuk membebaskan rakyat Lembata dari perseteruan “Paji dan Demon”, yakni politik adu domba ciptaan penguasa kolonial, dan membebaskan rakyat dari keterbelakangan, kemelaratan, keterisolasian, kemiskinan dan kebodohan. Saya yakin, bupati dan DPRD yang adalah warga asli Lembata memahami betul sejarah dan spirit perjuangan otonomi Lembata ini. Bahkan ketika Lembata disahkan sebagai kabupaten dan mendapatkan otonominya, visi misi perjuangan otonomi Lembata yang tertuang dalam statement 7 Maret 1954 itu kembali dibacakan di depan pejabat bupati.

Di penghujung perjalanan kembali ke Jakarta saya mulai berandai-andai. Andai bupati dan DPRD Lembata cukup punya satu kantor saja, andai mereka tidak merasa perlu membangun gedung-gedung baru yang kemudian ditelantarkan, andai mereka mau sedikit saja mendengarkan aspirasi rakyatnya, andai mereka mau belajar dari kasus Atanila dan Tanah Merah, andai mereka rajin turun ke lapangan dan melihat betapa berlimpahnya potensi laut, pertanian, dan keindahan alam Lembata yang belum tergarap, tentulah mereka tidak akan memilih tambang sebagai prioritas untuk pembangunan. Sayang, bupati dan DPRD Lembata telah terkena kutukan raja Midas, yang membuat mereka lebih tergiur kilaunya emas daripada keselamatan pulau dan rakyat Lembata. Konon khabarnya sekian milyar rupiah plus fasilitas pribadi bakal diterima bupati dan ketua DPRD, Petrus Boliona Keraf, bila mereka berhasil meloloskan proyek pertambangan di Lembata.

Sepertinya bupati dan DPRD sudah tutup mata pada sejarah Lembata. Padahal mereka tahu betul bahwa pulau Lembata dulunya menjadi tempat pengungsian warga dari pulau tetangga yang telah tenggelam bertahun-tahun silam. Bila nantinya Lembata juga terancam tenggelam, kemana lagi masyarakat itu akan mengungsi?. Sulit dipercaya bahwa sekian milyar rupiah yang dijanjikan perusahaan tambang bisa membuat bupati dan DPRD tega menjual tanah Lembata, menjadikan pulau indah itu terancam tenggelam dan membiarkan rakyat hidup dalam kecemasan. Padahal mereka itu lahir, besar, hidup dan dihidupi oleh tanah air Lembata. Sungguh aneh tapi nyata.**

Silakan lihat foto-foto lain dari Lembata dengan KLIK DI SINI.

Read More...

28 July 2007

Martinus Lagu: Menjadi Petani Organik Lebih Untung daripada Jadi Tukang

Sebelum jadi petani organik, Om Tinus adalah tukang bangunan. Sebagai tukang bangunan, pekerjaannya jauh lebih berat dari petani. Selain itu ia juga sering meninggalkan keluarganya kalau lagi dapat pekerjaan yang jauh dari desanya. Meski pekerjaannya berat, penghasilannya sebagai tukang boleh dibilang rendah. Dalam waktu 1-2 bulan, ia hanya mendapatkan penghasilan tak lebih dari Rp 1-2 juta.

Setelah mengenal pertanian organik, ia melihat ada peluang yang bisa diraih. Ia tinggalkan pekerjaannya sebagai tukang dan beralih menjadi petani organik dengan usaha utamanya memproduksi pupuk organik. Setiap hari ia bisa memproduksi rata-rata 1,5 ton pupuk organik, dengan harga jual Rp 1.000; per kg. Bisa dihitung berapa rupiah yang bisa ia terima setiap harinya. Padahal dia tidak mengeluarkan uang sedikitpun untuk membuat pupuk organik karena ia menggunakan kotoran hewan sendiri yang dikandangkan dan bahan-bahan lain yang ada di sekitarnya.

Karena pembuatan pupuk ia lakukan di rumah, maka selain membuat pupuk, Om Tinus juga bisa mengerjakan pekerjaan lain, seperti menanam sayur untuk konsumsi keluarga sendiri. Dengan menghasilkan bermacam-macam sayur tanpa biaya, dia pun bisa menghemat sekitar Rp 200.000 per bulan, karena tidak lagi mengeluarkan uang untuk membeli sayur. Selain itu, dia juga menjual EM4 dan pestisida organik.

Keuntungan lain datang dari sawahnya yang kecil, yang diolahnya secara organik. Dia tidak menggunakan pupuk untuk sawahnya, tetapi hanya menerapkan pengolahan dan cara tanam secara organik. Hasilnya, produksi meningkat, sementara pengeluaran untuk mengolah sawah menurun, karena tidak perlu lagi beli pupuk kimia. Dengan meningkatnya produksi, jumlah beras yang dibeli pun menurun. Kini, pekerjaan Om Tinus selain lebih ringan, penghasilannya pun jauh lebih besar.

Read More...

23 July 2007

Stefanus Aba: Pertanian Organik Meningkatkan Produksi

Gerakan Petani Manggarai untuk Membela Kehidupan



Sebelum kami menerapkan pertanian organik, kami masih pakai pertanian kimia. Setelah ada penerapan pertanian organik ada peningkatan hasil produksi. Ketika pakai pupuk kimia, lahan seluas 0,8 ha hanya menghasilkan 24-25 karung yang rata-rata bobotnya 100 kg. Sementara dengan pupuk organik di luasan lahan yang sama, hasilnya bisa mencapai 28-32 karung dengan berat antara 110-120 kg. Bobot gabah hasil pertanian organik lebih berat daripada bobot gabah hasil pertanian kimia.

Dengan pertanian organik, petani hanya tanam satu pohon pada satu titik tanam, jadi lebih hemat benih. Dulu waktu pakai pola kimia, perlu 20 kg benih untuk pembibitan, sedangkan sekarang hanya membutuhkan paling banyak 10 kg (bahkan ada sisa!). Ketika tanam 3 pohon pada satu titik tanam, dari 3 pohon tersebut paling banyak bisa mencapai 9 anak. Kalau tanam 1 pohon per titik tanam, jumlah anak bisa mencapai 18-20 anak. Ada perubahan tekstur tanah juga. Pada saat memakai pupuk kimia tanah menjadi padat dan jika kering terbelah. Karena padat dan terlalu keras, sebelum dibajak, tanah harus direndam dulu selama 1-2 minggu. Setelah pakai pupuk organik, tanah menjadi lebih gembur dan mudah dibajak. Karena lebih gembur, cukup 2 hari saja tanah direndam air sebelum dibajak.

Read More...

19 July 2007

Hilarius Man: Pertanian Organik Mengembalikan Tradisi “DODO”

Sri Palupi

Gerakan Petani Manggarai untuk Membela Kehidupan (1) (2) (3) (4)


Perubahan macam apa yang terjadi dalam hidup para petani yang beralih dari pertanian kimia ke pertanian organik ini? Berikut adalah kesaksian mereka yang tinggal di daerah Pagal, kecamatan Cibal, kabupaten Manggarai – Nusa Tenggara Timur.

Sebelum mempraktekkan pertanian organik, Hilarius Man, 65, yang 30 April 2007 lalu terpilih sebagai Kepala Desa Nenu, kecamatan Cibal, kabupaten Manggarai ini adalah mantan kepala Koperasi Unit Desa (KUD). Sejak 1990 sampai 1999 ia menjabat sebagai kepala KUD. Sebagai kepala KUD, tentu saja ia akrab dengan produk-produk pertanian kimia. Sebab KUD sendiri diakuinya lebih banyak berperan sebagai penyalur pupuk-pestisida kimia. Meskipun sudah beralih ke pertanian organik, ia masih saja didatangi dan dibujuk agen distribusi pupuk dan pestisida kimia untuk menjadi kaki tangannya.

Pengalamannya sebagai petani organik berawal dari kedekatannya dengan rohaniwan yang berkarya di daerahnya. Rohaniwan inilah yang memperkenalkannya dengan pertanian organik. Keinginannya untuk tahu dan belajar banyak tentang pertanian organik mendorongnya bergabung dengan Paguyuban Tani “Ongko”, yang sejak tahun 1999 telah mempraktekkan pertanian organik. Ia sendiri kemudian menjadi ketua paguyuban. Nama “Ongko” sengaja dipilih karena “Ongko” adalah lagu tradisional yang menjadi simbol persatuan dan persaudaraan masyarakat. Sejak bergabung dengan paguyuban Ongko, (Bapak) Hila, begitu ia biasa dipanggil, telah menjalani berbagai pelatihan, mulai dari pelatihan pertanian organik, pelatihan untuk konservasi dan pengolahan lahan miring dengan sistem terasering, sampai pelatihan kesehatan dengan memanfaatkan tanaman obat. Dalam paguyuban ini pula petani belajar dan mempraktekkan segala hal baru yang mereka dapatkan dari ekopastoral.

Caption: Panen padi organik 2006

Pertanian organik yang dijalankan Paguyuban “Ongko” ini telah mengubah, bukan saja hidup petani secara individual tetapi juga “hidup bersama” dalam masyarakat. Praktek pertanian organik telah mengembalikan tradisi “Dodo” yang telah lama menghilang dari kehidupan petani akibat praktek pertanian kimia yang membuat petani hidup sendiri-sendiri dan juga sebagai akibat pendekatan proyek yang dijalankan pemerintah. Dulu petani hidup secara bergotong royong. Semua pekerjaan di lahan dan di desa dikerjakan bersama seturut berjalannya tradisi dodo. Tradisi dodo membuat masyarakat petani punya jadual kerja bersama, termasuk gotong royong memperbaiki sekolah. Tetapi ketika semua pekerjaan diproyekkan pemerintah, tradisi dodo ini semakin punah. Semua kerja dihitung dengan uang. Kini dengan pertanian organik, petani didorong untuk mengerjakan pekerjaan pertanian secara bersama, mulai dari pembuatan pupuk, pengolahan lahan, tanam dan panen. Sedikit demi sedikit, Paguyuban Ongko berhasil menghidupkan kembali tradisi dodo yang menjadi kebanggaan masyarakat Manggarai, khususnya Cibal.

Hila mengaku, dengan pertanian organik, petani juga tertantang untuk terus belajar dan bereksperimen menemukan hal-hal baru dengan bahan-bahan lokal. Sebagai contoh, para petani organik di daerahnya menggunakan tuak atau moké (minuman yang dihasilkan dari pohon enau) sebagai pengganti EM4 (Effective Microorganism Fluid, larutan yang mengandung mikroorganisme pengurai) dalam membuat bokashi (pupuk organik). Moké yang dicampur dengan batang pisang yang diiris kecil-kecil dan ditutup selama dua minggu ternyata bisa menjadi pengganti larutan EM4 yang siap dicampur dengan bahan-bahan lain (daun gamal, jerami, batang pisang, dedak, abu dapur dan kotoran ternak) untuk membuat pupuk organik. Pembuatan pupuk organik dengan bahan moké ini dikerjakan petani secara bersama. Petani yang tidak memiliki pohon enau, bisa membeli moké di pasar dengan harga Rp2.000 per liter. Pestisida pun dibuat secara alami dari daun gamal, bunga matahari liar dan daun mimba. Namun demikian, petani organik hampir tak pernah menggunakan pestisida alami ini karena semenjak menerapkan pertanian organik, serangan hama di lahan mereka semakin berkurang. Awalnya memang ada hama putih yang menyerang padi berumur 2-3 minggu, namun hama ini menghilang setelah ditebarkan abu dapur. Kini para petani organik tak lagi dipusingkan oleh hama dan penyakit yang menyerang lahan mereka.

Dengan pertanian organik, biaya produksi yang ditanggung petani untuk menanam padi menjadi jauh lebih kecil dibandingkan ketika petani menerapkan pertanian kimia. Bayangkan, dengan pertanian kimia, untuk 1 hektar lahan sawah petani membutuhkan 200 kg urea dan 100 kg TSP, dengan harga Rp 75.000 untuk 50 kg pupuk. Belum lagi biaya pestisida dan bibitnya. Sementara dengan biaya tersebut, hasilnya tak sebanding dengan para petani organik, yang hanya butuh moké untuk membuat bokashi. Dengan pertanian kimia, lahan sawah seluas kira-kira 0,75 hektar yang dimiliki Hila menghasilkan 8-9 karung padi. Sementara dengan pertanian organik, lahan yang sama bisa menghasilkan 16-17 karung. Bobot padinya pun berbeda. Satu karung beras organik punya bobot 100 kg, sementara satu karung beras non organik bobotnya tidak sampai 100 kg. Petani merasakan betul perbedaan berat ini. Bukan itu saja. Sejak ia dan keluarganya mengkonsumsi produk-produk organik, ia dan keluarganya merasa lebih sehat, tidak mudah lelah dan sakit seperti sebelumnya.

Meski pertanian organik telah terbukti mengembalikan kehidupan petani dan ekosistem pertanian yang telah lama hilang direnggut praktek pertanian kimia, Hila sendiri menyesalkan bahwa belum semua petani di desanya mau beralih ke pertanian organik. Namun baginya sikap petani seperti ini bisa dimengerti, sebab selama ini petani telah dibuat manja oleh kemudahan-kemudahan yang ditawarkan pertanian kimia. Pupuk tinggal dibeli dan tabur, petani tak usah bersusah payah membuatnya. Dari segi tenaga, pertanian kimia memang lebih ringan, tetapi berat dari segi biaya dan produktivitasnya. Meskipun belum beralih ke pertanian organik, namun ia melihat, petani non-organik mulai menyadari betapa besar perbedaan produktivitas lahan mereka dengan lahan para petani organik. Padi di lahan non organik mereka sering hampa, tak berisi dan lebih sering pula diserang hama.

Kini Hila telah terpilih sebagai kepala desa. Ia punya peluang lebih banyak untuk mengajak petani beralih ke pertanian organik. Dalam kampanyenya sebagai calon kepala desa, ia mengajukan program pengembangan pertanian organik di desa Nenu, mulai dari pengembangan lahan pekarangan sampai lahan sawah. Bisa jadi program inilah yang menghantarkannya menjadi kepala desa.**

Photos credit: PJIC-Indonesia

Read More...

18 July 2007

Gerakan Petani Manggarai untuk Membela Kehidupan

Sri Palupi

Gerakan Petani Manggarai untuk Membela Kehidupan (1)

Gerakan Petani Manggarai untuk Membela Kehidupan (2)

Caption 1: Kelompok petani ”Tunas Muda” menyiapkan lahan untuk menanam sayur (photos credit: PJIC-Indonesia)

Dalam perjalanan dari Labuan Bajo (kabupaten Manggarai Barat) ke Ruteng (kabupaten Manggarai), Provinsi Nusa Tenggara Timur, saya membaca satu iklan besar terpampang di pinggir jalan. Isinya menawarkan pestisida ROUND UP produk perusahaan Monsanto. Tak disangka, produk perusahaan pertanian transgenik itu telah merambah hingga ke desa-desa terpencil di ujung barat pulau Flores. Monsanto sendiri adalah perusahaan transnasional di bidang agribisnis yang selama ini dikenal menawarkan ‘kehidupan’ namun dengan cara-cara yang menghancurkan sumber penyangga kehidupan umat manusia lewat mutasi faktor penentu keturunan dan pupuk serta pestisida kimianya. Ketika para elit politik-ekonomi, akademisi dan pakar pertanian turut melancarkan usaha Monsanto dalam mengintervensi kehidupan petani dan ekologi pertanian di negeri ini, penolakan justru datang dari para petani sederhana dari berbagai pelosok desa. Salah satunya adalah petani di daerah Pagal, kecamatan Cibal, kabupaten Manggarai, NTT.

Di daerah tersebut terdapat sedikitnya lima paguyuban petani, perempuan dan pemuda tani yang meninggalkan sistem bertani kimiawi dan beralih ke pertanian organik selaras alam. Gerakan ini dimulai pada tahun 1999, ketika sekelompok rohaniwan lokal mulai mempraktekkan sistem pertanian organik di lahan dan pekarangan tempat mereka tinggal dan berkarya di tengah masyarakat petani. Tindakan ini dilandasi oleh keprihatinan akan semakin hilangnya kekayaan hayati, rusaknya hutan dan ekosistem akibat pendekatan pembangunan yang eksploitatif terhadap lingkungan, yang mementingkan kepentingan sesaat dan abai akan akibat jangka panjang terhadap sumber-sumber kehidupan. Bencana yang terus melanda NTT dari tahun ke tahun dalam bentuk banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kelaparan adalah gejala kerusakan sumber kehidupan yang melatarbelakangi lahirnya gerakan pertanian organik di kabupaten Manggarai, khususnya di daerah Pagal.

Caption 2: Pelatihan pengolahan tanaman obat

Hasil dari tindakan para rohaniwan yang berawal dari lahan sendiri ini ternyata menarik minat para petani untuk belajar. Terjadilah dialog antara para petani dengan rohaniwan tentang sistem belajar bersama. Dibuatlah kemudian sekolah kehidupan alternatif, tempat semua orang dapat belajar, mengembangkan kreativitas, kemandirian, tanggung jawab dalam suasana persaudaraan dan kesederhanaan. Berbagai pelatihan dijalankan dalam sistem kelompok, di antaranya:
1) pelatihan pertanian organik, yang terdiri dari pembuatan pupuk organik, persiapan lahan, pemberdayaan pekarangan, penanaman sayur-sayuran, tanaman obat (toga) dan tanaman lain, pembibitan dan budidaya padi secara organik dan intensif;
2) pelatihan konservasi yang dilanjutkan dengan praktek penanaman pohon-pohon di daerah mata air, hutan dan lahan kritis, disertai dengan pembibitan kayu lokal;
3) pelatihan dan guliran ternak;
4) pendidikan pertanian organik di sekolah-sekolah, melalui pembuatan modul pertanian organik untuk sekolah, pelatihan guru (SMA, SMP dan SD), kunjungan dampingan ke sekolah pengembang pertanian organik dan lokakarya ekologis untuk siswa;
5) pemberdayaan perempuan dan anak dalam bentuk pelatihan gizi, pelatihan pendayagunaan tanaman obat dan pelatihan pasca panen; dan
6) pembuatan lahan contoh, baik lahan kering, lahan basah, lahan pekarangan maupun hutan keluarga. Dengan cara ini kearifan lokal yang telah lama pudar mulai dihidupkan kembali.


Caption 3: Lahan pekarangan milik rohaniwan di Pagal, Manggarai











Caption 3 dan 4: Lahan pekarangan milik petani di Cancar, Manggarai. Seluruh anggota keluarga bekerjasama membuat pupuk organik














Pembaharuan yang dilakukan para rohaniwan ini tidak hanya berlangsung dalam kehidupan para petani, tetapi juga dalam kehidupan beragama. Kehidupan beragama tidak lagi dijalankan hanya sekedar ritual di seputar altar yang terpisah sama sekali dari keprihatinan dan pergulatan hidup para petani miskin. Semangat ekopastoral menjiwai praktek hidup dan pelayanan para rohaniwan di tengah umat yang mayoritas petani. Para rohaniwan itu terlibat langsung dalam mencari alternatif-alternatif kehidupan bagi para petani yang tinggal di tengah lingkungan yang rusak dan rawan bencana ini. Sebagian dana yang terkumpul dalam kegiatan ibadah pun digunakan untuk menjalankan pelayanan ekopastoral ini.

Caption 5 & 6: Pendampingan Sekolah

Gerakan yang bertolak dari keprihatinan terhadap hidup para petani miskin di lingkungan yang rusak dan rawan bencana ini sedikit demi sedikit membuahkan hasil. Selain meluasnya praktek pertanian organik selaras alam di kalangan petani, dijalankannya konservasi di daerah mata air-hutan-lahan kritis, pertanian organik juga telah dijadikan sebagai muatan lokal di beberapa sekolah SMP dan SMA di daerah Manggarai. Setidaknya 11 sekolah SMP dan SMA yang tersebar di lima kecamatan di kabupaten Manggarai telah menjadikan pertanian organik sebagai muatan lokal. Di saat sekolah-sekolah lain memilih bahasa Inggris dan komputer sebagai muatan lokal, sekolah-sekolah yang bersentuhan langsung dengan kehidupan kelompok petani organik condong untuk memilih pertanian organik sebagai muatan lokal. Kini semakin banyak anak-anak muda dari tingkat SD sampai SMA telah mengenal dan mengalami langsung keunggulan pertanian organik, memahami persoalan ekologi yang ada di sekitar mereka dan menghargai profesi petani sebagai profesi yang tidak lagi dipandang sebelah mata.

Read More...

07 June 2007

Gerakan Buhangu Madangu di Sumba Tengah

Sri Palupi

Di republik ini sudah tak aneh lagi kalau aparat atau pejabat publik terlibat korupsi. Tidak aneh pula kalau yang namanya pejabat publik sekedar menjabat tetapi tidak (banyak) berbuat. Tidak ada yang aneh memang, karena kebanyakan pejabat – yang paling korup sekali pun – merasa diri sudah berjasa dan berbuat banyak bagi rakyat. Di republik ini, yang namanya salah kaprah soal jabatan sudah dianggap lumrah. Jabatan tidak lagi identik dengan tindakan melayani (masyarakat), melainkan kekuasaan yang menuntut upeti dan pelayanan. Pernahkah kita membayangkan, apa yang terjadi ketika seorang aparat atau pejabat publik tiba-tiba mendapat pencerahan dan kemudian menyadari, dirinya tidak berbuat banyak?

Adalah Umbu Sangadji (updated 19 Juni 2007), seorang tokoh masyarakat dan mantan kepala desa Tana Modu, kecamatan Katikutana, kabupaten Sumba Tengah – Nusa Tenggara Timur (NTT), yang tergerak untuk berbuat sesuatu bagi rakyat banyak yang miskin di desanya. Komitmen ini berawal dari kesadarannya sebagai elit desa yang selama ini tidak banyak berbuat bagi rakyat.. Selama 1961-1998 Umbu menjabat sebagai sekretaris desa (sekdes). Selama itu pula ia menyaksikan bagaimana birokrasi pemerintahan dijalankan, bukan untuk melayani masyarakat melainkan memperkaya elit penguasa. Ia menilai, birokrasi semacam ini bisa bertahan sejak pemerintahan Orde Baru karena adanya tradisi ketaatan pada penguasa atau pimpinan birokrasi. Aparat bawahan tidak boleh menolak apa yang menjadi titah penguasa di atasnya. Betapapun korupnya sang penguasa, bawahan harus diam. Prestasi aparat birokrasi dinilai bukan dari tingginya kinerja dalam melayani masyarakat, melainkan tingginya loyalitas pada sang penguasa.

Umbu, yang kini berusia 67-an tahun itu mengaku, selama menjadi sekdes ia menyaksikan demikian banyaknya dana pembangunan yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk mengatasi kemiskinan. Sayangnya, uang pembangunan itu banyak diselewengkan. “Kuitansi dimanipulasi, laporan dipalsukan, uang pembangunan dilenyapkan,” keluhnya. Ia tahu ke mana larinya uang-uang itu. Tapi apa mau dikata, tradisi dalam birokrasi memaksanya diam.

Sikap “diam” selama 37 tahun menyaksikan ketidakberesan, membuat batin Umbu terganggu. Tahun 1999, di saat ada pemekaran desa, ia berkesempatan menjadi kepala desa. Sayang, ia hanya punya waktu dua tahun dan harus berhenti karena umur. Dalam dua tahun itu pula ia mengaku tak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa menghibahkan sebagian tanah miliknya untuk kepentingan desa. Rasa bersalah karena tidak banyak berbuat semakin menguat semenjak Umbu terpilih sebagai ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) di tahun 2002. “Pada saat itu terjadi pergumulan dalam diri saya. Saya merasa, selama punya jabatan, saya tidak berbuat banyak untuk rakyat. Padahal saya adalah bagian dari elit yang merusak," demikian Umbu bergumam lirih.

“Pada saat itu terjadi pergumulan dalam diri saya. Saya merasa, selama punya jabatan, saya tidak berbuat banyak untuk rakyat. Padahal saya adalah bagian dari elit yang merusak," demikian Umbu bergumam lirih.


Meski ada dorongan kuat untuk berbuat sesuatu, pada awalnya ia tidak tahu apa yang bisa dilakukan. Yang ia tahu, dirinya tergolong kelompok elit di desanya dan kelompok elit ini, menurutnya, jumlahnya sangat sedikit. Tidak sampai 20 persen. Sementara orang miskin jumlahnya paling banyak. Ia juga yakin, yang membuat rusak desanya bukanlah orang miskin yang jumlahnya paling banyak itu, tetapi justru orang-orang elit yang jumlahnya paling sedikit. Keyakinan ini melahirkan tekad, orang elit harus berbuat sesuatu untuk orang banyak yang miskin itu. Sebab orang elit-lah yang paling banyak mengambil hak orang miskin.

Kesadaran sebagai elit desa yang harus berbuat sesuatu bagi mereka yang jumlahnya paling banyak menggerakkan Umbu untuk mendekati kelompok elit di desanya. Pertama-tama ia mengajak adiknya sendiri untuk memikirkan caranya. Mereka kemudian mendekati satu per satu elit di desanya. Beberapa elit berhasil ia dekati dan mereka mulai terjun ke lapangan untuk berdialog dengan para warga miskin di sekitar mereka. Dari sekian banyak persoalan, Umbu melihat beberapa persoalan yang bisa mereka atasi bersama. Di antaranya adalah kerusakan lingkungan, air bersih dan sanitasi, pola pikir dan pola kerja masyarakat. Kaum miskin selama ini dinilai Umbu tidak bisa memanfaatkan hasil produksi secara baik. Hasil panen padi ladang mereka jual, bahkan yang seringkali terjadi, mereka menjualnya dengan sistem ijon. Kebiasaan berjudi di kalangan masyarakat miskin di desanya terbentuk karena pola pikir dan pola kerja mereka. Namun apa yang terjadi pada kelompok miskin ini, menurutnya, bukan sepenuhnya kesalahan mereka. Sebab kaum miskin selama ini lemah aksesnya atas informasi, khususnya informasi yang menyangkut pembangunan. Kondisi inilah yang membuat Umbu prihatin.

Salah satu tindakan konkrit yang dilakukan Umbu bersama para elit di desanya adalah menjadikan sebagian kebun milik mereka sebagai hutan. Mereka juga membangun sumur dan WC untuk komunitas-komunitas miskin. Setiap keluarga elit yang mau bergabung bersama Umbu menyisihkan sedikitnya seperempat hektar kebunnya untuk dihutankan. Ada sembilan sumur dan WC yang mereka bangun untuk kaum miskin di desanya. Mereka juga secara sukarela memfasilitasi pelatihan-pelatihan untuk komunitas-komunitas miskin. Dalam waktu dua tahun Umbu berhasil membentuk kelompok masyarakat mandiri yang disebutnya Buhangu Madangu. Buhangu Madangu, artinya “orang elit mencintai yang banyak”. Meskipun gerakan ini adalah ajakan untuk kaum elit, namun anggota dan pengurusnya tidak terbatas pada kelompok elit. Dalam kelompok masyarakat mandiri yang kini beranggotakan 126 KK dari 253 KK yang ada di desanya, bergabung pula warga dari komunitas-komunitas miskin.

Adakah hasil dari gerakan Buhangu Madangu yang dirintis Umbu? “Dulu, masyarakat enggan menanam pohon. Sekarang, masyarakat sudah mulai berubah pola pikirnya. Mereka sudah mau menanam pohon. Bukan hanya itu. Mereka juga mulai menghargai perempuan. Selama ini perempuan tidak pernah dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan desa. Sekarang, mereka sudah mau melibatkan perempuan dalam setiap pertemuan. Kalau dulu kaum miskin tidak punya akses informasi, kini kaum miskin tidak lagi miskin informasi. Kelompok Buhangu Madangu telah menjadi wadah untuk menampung informasi, baik dari atas maupun dari bawah. Kalau ada proyek-proyek dari luar yang masuk ke desa, misalnya, kelompok Buhangu Madangu-lah menjadi kelompok pelaksana program”, demikian Umbu berkisah tentang perubahan yang terjadi di kampungnya.

Kiprah Umbu tidak berhenti hanya sebatas kampungnya sendiri. Perjumpaannya dengan NGO yang bergerak di isu lingkungan mendorongnya untuk memperluas ruang geraknya. Bersama dengan Umbu Sakala dan Umbu Damaleha, yang sama-sama mantan kepala desa, ia membangun Forum Jaringan Masyarakat “Manupeu Tanadaru (Jama Tada)”. Manupeu Tanadaru adalah nama hutan taman nasional, yang terbentang di sepanjang Sumba Timur, Sumba Tengah dan Sumba Barat. Sesuai dengan namanya, Forum yang beranggotakan 44 orang ini – 22 orang berasal dari masyarakat dan 22 orang lainnya dari aparat pemerintah desa – bekerja dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal. Pada 22 Mei 2007 forum ini resmi menjadi organisasi yang memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Adanya forum yang merupakan kolaborasi antara pemerintah desa dan masyarakat ini telah mendorong 22 desa di kabupaten Sumba Tengah membuat aturan tentang pelestarian alam.

Kalau seorang mantan kepala desa yang tercerahkan saja bisa berbuat seperti itu, tentulah seorang pejabat atau mantan pejabat tinggi bisa berbuat lebih banyak lagi bagi rakyat banyak. Kalau saja kesadaran seperti yang dimiliki Umbu Sangadji menjadi kesadaran kolektif para elit politik-ekonomi di negeri ini, tak perlu menunggu sampai 2030 untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa unggul seperti yang dibayangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Atau setidaknya, dengan adanya kesadaran kolektif dari para elit untuk “mencintai yang banyak”, tak perlu lagi kita bergantung pada hutang luar negeri dalam mengatasi kemiskinan. Sebab para elit itu akan dengan sukarela berbuat banyak bagi kelompok miskin. Atau setidaknya mereka mengembalikan hak kaum miskin yang selama ini telah mereka ambil.**

Read More...

05 April 2007

Models of ending hunger in Indonesia

HERE are approaches to end hunger in Indonesia but all of them are separated one from the other with strong short-term projects as a dominant paradigm. Which one is the best? Looking into the nature of each and the possible supporting and team working relation among them may help us to figure out what kind of approach is suitable, effective and efficient in tackling hunger in Indonesia.

What likely needed at last is appropriated implementing media programs that bridge and unite all of those diverse existing hunger-fights efforts to be transformed into common lessons learned ..


First model is complementary food program, locally called Paket PMT. This program model identifies malnutrition and hunger as problem specifically struck each individual family and that the problem is strongly associated to “disaster” almost God made. None could be taken responsible for such widespread phenomenon of ‘malnutrition’ affecting infants. Hunger in East Nusa Tenggara, for instance, has been declared as “extra-ordinary happenings” (kejadian luar biasa) that the central government needs to address with parachuting helps and aids, particularly in the form of additional foods.

Families with malnourished infants are given foodstuffs or instant foods. Monitoring activities are conducted by health cadres from among the community members in cooperation with the sub-district health centre (puskesmas). Apart from the government, international bodies and international NGOs also actively conduct such model of ending hunger in East Nusa Tenggara with distributing biscuits, instant noodles, and instant porridges. This approach is rapid and short-term because if not promptly helped those malnourished infants may die tomorrow. However, since this model is mostly not followed by long-term activities, very few sustainable impacts could be expected from the hunger-stricken communities. Though very useful on the spot rescuing the hungry, this model tends to target poor people as merely aid objects, financially high cost, fails to develop the existing potential of the poor families and communities to resolve hunger and other related problems.

Second model is feeding center yet does not involve the families with malnourished infants to take part in it. Case study of this model found in Southern Timor Tengah (TTS) in NTT is not very different from the first one but the malnourished, sick infants were put in noutrient center and directly taken care by social health workers. This model has an effective impact as well, however high cost is unavoidable and also fails to empower poor families and communities. Women or mothers are not involved since this model opts for curative approach and that malnourished infants are specifically perceived as the problem of the concerned families only. In tackling hunger therefore it fails to involve other families in the community in which the distressed family lives. The positive impacts could only be seen among few families, yet paradoxically they realized that the hunger threats are lurking soon ahead.

Third model involves women or mothers’ role in the feeding center. Women are considerred as actors as you may see in a case conducted by a Belgian nurse in Sikka district. Social workers are not needed here as compared to the second model and local foodstuffs are strongly encouraged. Malnourised children are put in the center along with the families and other relatives responsible. In the center, mothers are briefed with diverse useful knowledge and relevant skills while asked to take care of their malnourished infants. Women and the families are expected to continue taking care in the same way after the sick infants recover. However, this program model takes the same high cost and larger communities have not been actively involved with. And it fails to develop the community’s capacity to improve itself. In the long run it is hard for local people to emulate such strong organization or institution to carry out a nutrient-focused center that needs large sums of financial resources.

Fourth model sets up community-based education groups. This kind of approach is tried out in West Sumba by Seraphine Foundation. Women groups are educated while conditioning the community’s initiatives. Nutrient and health education programs are held for women groups while developing local food cooking skills, small economic activities to improve their livelihood, and community organizing. Women group education is also made possible by demanding men or their husbands and other larger families to involve. Members of the communities are encourarged and conditioned to work together in building for instance the education center makeshifts. Men take care of infants while their wives join the education activities. Malnourished infants are tackled together along with the communities. This approach takes much less financial resources since it requires the community’s initiatives to contribute, while addressing other related dimensions needed for tackling hunger. For short-term, immediate activities, this model keenly relies on the role of the existing institutions such as the hospitals in the neighboring localities. It promises however sustainabilty in the future. However, this approach requires strong, highly committed local community organizers that may mobilize people’s initiatives and supports.

What likely needed at last is an appropriated implementing media programs that bridge and unite all of those diverse existing hunger-fights efforts to be transformed into common lessons learned that may be acknowledged and supported by all related stakeholders in the province, i.e. the government, religious groups, academicians, NGO activists, international NGOs, and international bodies that work in the province.

May be you may help them.***

Link
UNICEF's 2002 IDS: Evaluation of Posyandu Revitalization

Read More...

18 March 2007

Two poor families in Sikka: How do they fight hunger?

Sri Palupi & Reslian Pardede

POVERTY is definitely not a single, simple reality, yet contradiction may enrich your understanding of what poverty is all about. The following is a case study of two families, both grouped as poor far below the World Bank’s standard, in Sikka district in East Nusa Tenggara province in Indonesia. Both have significant difference in their profile characteristics although both also have comparatively unusual education background.

The first is the couple of Marcellus Magnus and Margaretha Eta, whose child suffers from acute malnutrition. The second is the couple of Fermus Tuka and Martina Teparan, whose child is healthy. First of all, let’s look at how many children do they have. The first, who lives in Maumere town, begets four children, and the second that live in rural site of Baumekot village at Kewapante sub-district owns only one child. It is unavoidable to presume that the family load depends much on how many children do they have, particularly in the degree of attention and the quality of food fed in each family.

Magnus-Eta family has just had a new baby, the fourth child, female, when their third child was receiving food aid program from the local government. Her name was Elisabeth Elsa, 35 months old, was found malnourished after being measured at local community’s baby health service of posyandu (integrated service post). On one side, poor condition of the family has pushed related village midwife to give her food aids for recovery. What makes this family different from other families that have similar children suffering of acute malnutrition is the fact that three out of four children have suffered from acute malnutrition. Two other children have recovered into normal condition, each aged of eight and six years old. On the other side, the economic burden of Tuka family that has only one child is clearly much less heavier that Magnus family that has four children. The only Tuka’s child, named Romanus Oscar, five year old, is in a good condition.
















If you look at the income of each, both families have the same unsteady ones. But Magnus family is slightly better than the other. Like many other families at Baumekot village, Tuka is a commodity crop farmer. The difference with the other one, Tuka has also another source of income. They have a small stall selling daily needs stuffs like instant noodles, coffee powder, sugar, tea, ect. Tuka’s wife, Martina Teparan, manages a barter method of selling to their customers, mostly villagers from the area. The stall allows candlenuts (kemiri), coconuts and other crops be bartered with other daily need items. With the stall Tuka family may survive from difficult economic situations, such as pest that hit their crops that once in the past no additional earnings could add into their meager income. In 2006 they could only take coconuts, the amount of which was not more than 10 kilos each time they pick. Severe pest attacked their cacao, while the clove plants failed to bloom, and until the end of the year the vanilla plants have not ripened the fruits yet.

Different from Tuka family that has a small, simple living place, Magnus family stays on a quite large stoned house. The latter’s house seems not to suit to their economic condition as of why most neighbors would consider them as poor family. In fact the family does not own the house but a non-inherited property of their parent. His work as a non-permanent laborer has rendered their life uncertain. Although he admits to be a stipend-paid gardener at a private local secondary school, in fact he does not receive the honorarium routinely. Magnus often finds himself more unemployed. You can say that he works for one month, but he would be unemployed for other three or four months. His status is a stipend-based laborer but his earnings is not more than semi-unemployed who is paid only when there are concrete, available things to do. If he is lucky, he could gain average income of Rp150,000 (USD16.27) a month. But it has been for some years of no work orders fetching him. What he gets often only suffices for buying rice and corn. In one day in fact they spend at least Rp7,000 for buying rice and corn. They could only rarely consume vegetables, which is a luxury they may consume only if there is some more money remaining.

Apart from lacking of steady work income, Magnus family does not own any plot of land. He only tills a small piece of land, not more than one-fourth hectares, owned by a relative while taking a share. Latest years he could no longer till the land for the many natural calamities hitting the areas like drought, typhoon, flood. In 2006 he could only take 70 kilos of corn and some sweet potatoes, the only crops that have mercy on him. And that small yield does not suffice the needs of his family.

He still has another chore to feed a pig owned by another relative with a share. In this case he is quite different from other families in Sikka district as he feeds the pig to afford his children schooling. In fact in Sikka most people have pigs for customary purposes. He knows that he needs to focus his days and nights to suffice the children’s needs of food and schooling, but he fails yet to materialize what he envisages.

Perhaps there is an uncommon clue that arises from their education background. Magnus and his wife actually have a higher upbringing as compared to other people in the surroundings. Both finished their high schools but it seems higher education does not make any difference for them, particularly from the threat of hunger for their children. Since she is high school graduate, Margaretha knows many things about nutrients and health requirements. She is also diligent to frequent the sessions held by the community health post to have a look to the development of his baby’s weight and to get health services like immunizations. She has personally milked all of her children. Since the beginning of their marriage the couple agreed to follow the family plan program but they failed to have one child be born long enough after the other. She has changed three times of the contraception methods but none is suitable for her. So far it is only herself who decides to use contraception. But now after the fourth child, the husband takes initiative that Margaretha uses spiral method of contraception.

Now if you look into the other child’s parent, they may be said to have worse education background. The parents of baby named Romanus Oscar have only passed elementary school level yet the minimum education seems not to stop them from well nurturing their child. Oscar’s mother, Martina, has quite good knowledge about nutrient and children health although she admits of not understanding about the use of why should milk her child until the child reaches age of 24 months. Until he reaches five years told, Romanus still goes to the community children health post. Martina is also quite concerned about the nutrient of his son’s feeding. When she knows that Romanus does not like eating vegetables, she tries to find other ways with providing him with his preferred soup. Even then when time is difficult to earn a living, though only sweet potatoes that she could provide, she keeps trying to include vegetables while feeding him. This young woman is clear in focusing on her child’s minimum nutrient. More than that, she also emphasizes the routine of the child feeding with three times of meals everyday added by some vegetables. As a result, Romanus has never had any malnourishment problem.

If you compare him with the other family’s children mentioned above, everyday the children are fed with only cooked rice no other menu with it. No vegetables, no side dish like meat, fish, or whatever. The main menu consisting of carbohydrate substance is already hard for them to get. During time of scarcity like then, children often eat only and only sweet potatoes. They admit that during difficult time the grandparents and other relatives from rural areas still support them with foods. From their origin village they still get some help to survive famine. They admit that the children are more sufficed the food if they stay along with the grandparent family in the village. There at least they could have porridge and vegetables and some dried fishes. Not like during their stay in the town, it is indeed difficult for them even to get “empty” rice porridge. Such difficult situations often push Margaretha and her children to leave the town and return to the village to find her parent, knowing that her husband’s income would not suffice their child’s feeding.

The above picture shows that although knowledge capacity of Magnus family may clearly suffice for them to survive from nutritious food lack, poverty definitely has taken away their ability to use such knowledge for survival. As compared to other families in the surroundings, Magnus family is sorted out as very poor, as the neighbors would put it. The local children health service cadre confirms us that they may be considered the poorest in the area. Magnus himself, humbly enough, also confirms such social label. Poverty has made his neighbors exclude him from participating in local festivities. He admits to have never been invited to neighborhood gatherings. During the festivities of first communion, one family may receive up to ten invitations. For Magnus family, it is much relieving to have no invitations at all. No invitation means no obligation to offer financial gifts to afford. Neighbors seem to understand that he would not have anything to offer knowing that even providing foods is difficult for his family. Such attitude apparently is rarely found in the East Nusa Tenggara province that has strong customary practices. Most of them find it embarrassing to be labeled as poor, because in fact they are likely to provide a lot of money to offer as gifts for burdensome social prestige of the tradition.**

Link to sky view of Maumere from wikimapia.

Read More...