14 October 2011

Anu Beta Tubat: Pelajaran dari Maybrat


Sejak pendidikan menjadi komoditi yang diperdagangkan dan lembaga pendidikan beralih fungsi dari lembaga sosial menjadi lembaga komersial, pendidikan – apalagi pendidikan bermutu – semakin jauh dari jangkauan kelompok miskin. Kian mahalnya biaya pendidikan membuat keluarga miskin seringkali harus menyerah betapapun anak-anak mereka berprestasi. Bahkan sekadar  bermimpi dapat menyekolahkan anak hanya setingkat SMA saja mereka tak berani lagi. Anak-anak pun mereka paksa untuk  menanggalkan mimpi sejak dini.


Ada anak lulusan SMP yang berprestasi – bahkan pernah mengikuti olimpiade sains di daerahnya – terpaksa menjadi TKI karena orang tua tak mampu lagi membiayai pendidikannya. Ada lagi anak dari keluarga miskin yang nekat mengikuti tes dan diterima di perguruan tinggi negeri terpaksa mengundurkan diri karena bapaknya yang hanya buruh tani tak mampu membiayai. Rasa frustasi mendorongnya lari ke luar negeri menjadi TKI.

Read More...

“Kalau Bukan Kami Siapa Lagi?”: Kisah Guru SD di Pedalaman



Yang namanya guru mangkir, tidak menjalankan kewajibannya sebagai guru alias  libur panjang tidak mengajar itu sudah jamak terjadi di sekolah dasar di Papua. Tidak heran kalau banyak anak lulusan SD di Papua tidak tahu membaca, menulis dan berhitung dengan baik. Di tengah fenomena guru mangkir, memang tidak mudah menemukan sosok guru yang bisa jadi panutan. Tapi bukan berarti di sana tidak ada lagi guru yang punya dedikasi terhadap profesinya.  Meski sedikit jumlahnya, kita masih bisa temukan guru yang punya motivasi kuat menjadi guru bukan sekadar untuk mendapatkan pekerjaan tetapi demi mendidik anak-anak. Salah satu dari yang sedikit itu adalah Antonia Korain, guru sekaligus kepala sekolah SD di Kampung Mosun, Distrik Aifat Utara, Kabupaten Maybrat, Papua Barat.

Antonia Korain
Antonia Korain, 42 tahun, ibu tiga anak yang lahir dan besar di kampung Mosun ini sejak kecil memang sudah bercita-cita menjadi guru. Alasannya, sekolah di kampungnya kekurangan guru. Lebih dari itu, ia ingin menjadi guru bukan sekadar untuk mendidik anak-anak tetapi juga mendidik anak-anak supaya mau menjadi guru. “Bayangkan, kalau tidak ada lagi yang mau menjadi guru, akan jadi apa bangsa ini”, katanya.

Tekad kuatnya untuk menjadi guru itulah yang membuatnya menolak beasiswa untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA). Kesukaannya mengajar memantapkan pilihannya untuk melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Sebelum diangkat menjadi kepala sekolah SD pada tahun 2008, ia sudah 20 tahun mengajar di sekolah pedalaman.

Setelah membaca suka duka Antonia dalam menjalani profesinya sebagai guru SD di pedalaman, anda akan sependapat dengan kami, yaitu bahwa Antonia Korain adalah seorang guru istimewa. Simaklah kisahnya berikut ini.

Read More...

04 October 2011

SURAT TERBUKA

Untuk DIREKTUR SOEGENG SARJADI SCHOOL OF GOVERNMENT

Tentang

PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PEMBERIAN PENGHARGAAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK ATAU AWARD ON GOOD GOVERNANCE DARI
SOEGENG SARJADI SCHOOL OF GOVERNMENT (SSSG)
Pada BADAN NASIONAL PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA (BNP2TKI)


Kepada
Yth. Direktur Eksekutif
Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG)
Di Jakarta
Dengan hormat,
Sebagaimana diketahui, pada peringatan dua tahun peringatan Sekolah Kepemerintahan Soegeng Sarjadi (Soegeng Sarjadi School of Government) dan peringatan hari Konstitusi UUD 1945 ke-66 tanggal 18 Agustus 2011, Soegeng Sarjadi School of Government telah memberikan penghargaan tata kelola pemerintahan yang baik atau award on good governance pada lembaga BNP2TKI. Penghargaan yang diberikan pada BNP2TKI adalah penghargaan untuk kategori “memberikan respon publik yang cepat dan tercapainya akuntabilitas” (public responsiveness and accountability).

Read More...

Sekolah Dasar di Pedalaman Papua: Mereka Butuh Dukungan Kita

Seorang guru SMA di Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat, terpaksa menghentikan pelajaran yang baru saja dimulainya. Sakit kepala berat tiba-tiba saja menyerangnya, setelah ia menunjuk beberapa muridnya untuk membaca. Segera ia tinggalkan kelas, masuk ke ruang guru dan menelan dua tablet obat sakit kepala. Ia begitu shock ketika menghadapi kenyataan, muridnya belum lancar membaca. Hari itu adalah hari pertamanya mengajar di Papua.


Kalau pada tingkat SMA saja masih ada murid yang belum lancar membaca, tentulah di tingkat SMP lebih banyak lagi siswa yang belum lancar membaca. Rupanya beban mengajar para guru SMP di Papua tidaklah ringan. Buruknya kondisi pelayanan pendidikan dasar di Papua memaksa mereka untuk mengambil sebagian besar tanggung jawab yang harusnya diemban oleh para guru SD, yaitu membuat anak-anak lancar membaca.

Beratnya beban guru membuat para guru SMP juga tidak tuntas dalam menyelesaikan masalah yang ditinggalkan para guru SD. Tidak ada pilihan bagi para guru SMP selain menyerahkan sisa masalah itu kepada guru SMA. Artinya, meskipun siswa di SMP-nya belum lancar membaca, mereka tetap saja melepaskan siswanya untuk melanjutkan pendidikan ke SMA.

Read More...