Bila kita melakukan perjalanan dari kota Palangkaraya sampai kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah, kita akan menyaksikan satu panorama tunggal dalam wujud perkebunan sawit. Kalau perjalanan itu kita lanjutkan sampai ke perbatasan Kalimantan Barat, kita akan temukan satu lingkup kecil wilayah adat yang hutannya relatif masih rapat. Di wilayah ini bermukim komunitas adat Delang, sebuah komunitas adat yang sejak lama bersepakat untuk menjaga keutuhan hutan dan wilayah adat mereka di tengah serbuan investasi perkebunan sawit dan pertambangan di Kalimantan Tengah.
21 August 2014
Komunitas Adat Delang yang Ingin Menjadi Tuan ditanah Sendiri
Diposting oleh
chelluz
di
11:37 AM
0
komentar
Label: budaya, kalimantan tengah, Kebijakan, pemerintah, pendidikan, perempuan, sawit, The Institute for Ecosoc Rights
02 April 2014
Kewajiban Negara Bayar ”Diyat”
Diposting oleh
chelluz
di
10:21 AM
0
komentar
Label: buruh migran, Civil society, hukuman Mati, Kekerasan, perempuan
07 February 2014
Anak Putus Sekolah di Lokasi Pertambangan
Ayahnya meninggal saat konflik Timor Timur pasca jajak pendapat tahun 1999, sementara Ibunya sejak 2009 menjadi tenaga kerja ke Malaysia.
Ana hidup bersama saudara ibunya yang juga bekerja mengali batu mangan.
Lubang yang menyupai sebuah sumur kecil ini adalah hasil kerjanya dalam sebulan. Setiap hari dari pukul 09.00 pagi hingga pukul 17.00 petang Ana mengais tanah mencari batu batu mangan. sehari Ia berhasil mengumpulkan 3 hingga 4 kilogram batu mangan yang saat itu seharga Rp. 1.200/kg.
Di lokasi yang sama Ana tidak sendiri, masih ada Anis (9 tahun) dan Anus ( 10 tahun) kakak beradik, Meri (11 tahun) yang juga putus sekolah dan Fransiska (9 tahun) yang sama sekali belum tidak pernah sekolah. Saat anak lain bersekolah dan bermain mereka malah berada di lokasi pertambangan dan bekerja keras mencari uang. Pemerintah setempat tak pernah "menyapa" anak anak ini untuk kembali ke bangku sekolah.
Foto : @Chelluz.ecosocrights.2011
Lokasi: kecamatan Atambua Barat-Kab. Belu, NTT
Terkait :
Buruh murah tanpa jaminan keselamatan & kesehatan kerja
Anak Putus Sekolah Jadi Penggali Batu Mangan
Diposting oleh
chelluz
di
2:10 AM
0
komentar
Label: daerah, Kemiskinan, lingkungan, Mining, Nusa Tenggara Timur, pendidikan, perempuan, putus sekolah, tambang
06 February 2014
Buruh murah tanpa jaminan keselamatan & kesehatan kerja
Lihatlah foto ini, karena tak ada tempat berteduh yang selayaknya disediakan oleh perusahaan, para buruh ini bernaung persis di samping ekskavator tambang. Air untuk cuci tangan pun tak tersedia sama sekali sehingga mereka makan makanan bawaan sendiri dengan jari-jari tangan yang masih kotor dengan bahan dasar tambang mangan beracun.
Perusahaan semestinya menyediakan jaminan makan untuk para buruh yang bekerja untuk perusahaan itu sendiri. Tetapi perusahaan mengabaikan pentingnya jaminan makan untuk para buruh.
Foto diambil pada 2009 oleh @ecosocrights di kawasan tambang mangan PT Sumber Jasa Asia di kampung Torongbesi, kecamatan Reok, kabupaten Manggarai, Nusatenggara Timur.
Sudah lumayan banyak terdapat links di internet terkait dengan kasus pelanggaran hak-hak dasar manusia yang dilakukan oleh PT SJA ini, di antaranya sbb.:
- PERNYATAAN SIKAP JATAM NTT
- Para Tokoh Agama NTT Peduli Pada EKOSOB
- Kampanye internasional dari Intercontinental Cry Magazine untuk menyelesaikan masalah pelanggaran PT SJA: INDONESIA: HALT MINING THAT THREATENS INDIGENOUS PEOPLES
- Karena kasus ini sampai sekarang tidak selesai juga, maka ada desakan dari pihak keuskupan setempat: Terkait Tambang Torang Besi, JPIC Keuskupan Ruteng: Pemkab Manggarai Tidak Bertanggung Jawab
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
5:36 PM
0
komentar
Label: buruh, Nusa Tenggara Timur, perempuan, tambang
02 March 2010
Meeting at children ward
By SRI MARYANTI (updated Nov 26, 2009)
When I looked at them, I immediately asked why their face looks so old. Though the two women's age was not much different from mine. Even Mama Blandina's face looked as if she was fifties while in fact she was 35 years old. There seemed to be a problem with these women. What I guessed was true, not long after talking with Ms. Blandina, her eyes became wet as soon as she told me her live. So it was with Mama Helena.
Holding her youngest child is two and a half years old, Blandina Mafani told her story. In a relatively young age, she had given birth six times. And six times did he give birth without medical help. Even more sad, for most pregnant women from the Tulleng village in Lembur subdistrict in Alor have never checked the baby to a health center or clinic. Fortunately, there were traditional midwives in the village who could be asked during childbirth. So she did not know her baby's weight at birth. Thus she did not quite understand what normal and healthy child at birth.
Health center was far away. Midwives and health workers had never visited the house. But there were more problems. Her husband forbade her to go to the clinic for this. When her youngest child was seriously ill, he remained adamant not to take him to the hospital. After some neighbors forced her, she let his son suffering from malnutrition be taken to the clinic. It was the reason why the child ended in the ward because the health center was not able to serve him. She did not participate family planning because the husband prohibited her. Some people in
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
6:18 AM
0
komentar
Label: busung lapar, English-version, Nusa Tenggara Timur, perempuan
25 November 2009
Pertemuan di Bangsal Anak
Oleh SRI MARYANTI (update 26/11/2009)
Saat aku menatap mereka, aku segera bertanya mengapa wajah mereka terlihat demikian tua. Padahal umur dua perempuan itu tidak berpaut jauh denganku. Bahkan wajah Mama Blandina yang masih berumur 35 tahun seperti perempuan usia limapuluhan. Sepertinya ada masalah dengan para perempuan di bangsal anak itu. Benar rabaanku, tidak lama setelah mengobrol dengan Ibu Blandina, matanya segera basah seiring dengan ceritanya. Demikian juga dengan Mama Helena.
Sambil menggendong anak bungsunya yang berusia 2,5 tahun, Ibu Blandina Mafani bertutur. Dalam usianya yang tergolong muda, ia telah melahirkan enam kali. Dan enam kali pula ia melahirkan tanpa pertolongan tenaga medis. Yang lebih miris lagi, selama hamil perempuan dari desa Tulleng, kecamatan Lembur, kabupaten Alor ini tak pernah memeriksakan bayinya ke puskesmas atau ke klinik. Untung ada dukun beranak di desanya yang bisa dimintai tolong saat melahirkan. Jadi ia tidak tahu berat badan anaknya ketika lahir. Dengan demikian ia juga tidak begitu paham apakah anaknya normal dan sehat saat lahir.
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
5:37 PM
1 komentar
Label: budaya, busung lapar, Kebijakan, Kemiskinan, kesehatan, masyarakat adat, Nusa Tenggara Timur, perempuan, petani
15 August 2008
Rina Widiana: Si TKI Bola Bekel di Malaysia
Wawancara dengan Rina Widiana, 27 tahun, asal Jember, Jawa Timur, sekarang pekerja restoran di Kuala Lumpur
Saya sudah sejak tahun 1996 masuk untuk bekerja di Malaysia. Sekarang, sudah tiga tahun ini, situasi saya lebih baik. Saya bisa bekerja di restoran Jingga di Jalan Off Pudu Raya, Kuala Lumpur, Malaysia. Saya mendapat upah RM40 setiap hari. Suami saya bekerja juga di Kuala Lumpur sebagai buruh bangunan. Kami sewa sebuah kamar tak jauh dari tempat kerja saya seharga RM250 per bulan. Kami masih punya uang sisa untuk dapat dikirimkan ke desa di Jember maupun ke desa suami saya di Flores. Kalau gaji tak terlambat, setiap bulan saya bisa kirim uang kira-kira RM1.000 ke desa.
Rencananya, saya masih ingin satu kali lagi menyambung permit kerja di Malaysia. Setelah itu, insya’allah ada sisa hasil untuk modal usaha, tapi rasanya ada sisa hasil atau tidak, saya akan pulang kampung untuk usaha tani di sana. Saya masih membayangkan enaknya tinggal dan bekerja di kampung, tak perlu sewa rumah, bahan makanan masih murah ..
Memang selama ini, ada saja yang terjadi di kampung yang masih jadi tanggungan saya, seperti orangtua sakit, adik saya juga sakit lalu meninggal, dsb. Saya juga membiayai semua kebutuhan perawatan kakak saya sebelum meninggal. Dia sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit. Mula-mula dia harus membayar Rp6 juta, yang kemudian saya kirim dari sini, sebelum keluar dari rumah sakit. Tapi setelah dua minggu dia sakit lagi. Masuk rumah sakit lagi. Ongkosnya Rp5 juta. Jadi sudah Rp11 juta saya kirimkan. Kebetulan kakak pertama saya hanya bisa membantu Rp1 juta. Lalu waktu kakak yang sakit itu minta dikirim celana Lewis atau cincin, saya segera kirim. Saya berharap kakak cepat sembuh. Rupanya celana dan cincin itu belum dipakai, tapi dia sudah meninggal. Saya kirimkan seluruhnya untuk keperluan perawatan kakak saya sampai Rp14 juta. Kalau ditanya, apa ada hasilnya bekerja di Malaysia. Tentu selalu ada hasilnya, tapi dengan macam-macam keperluan itu, hasil kerja saya jadi tak nampak.
Mengapa memilih bekerja di Malaysia?
Tapi perjuangan kami berlangsung cukup panjang. Saya masuk ke Malaysia tahun 1996 waktu masih umur 16 tahun, tanpa membuat permit. Saya tak dapat izin dari orangtua. Tapi saya nekad beranikan diri sebab hidup di kampung susah. Orangtua saya miskin. Rumah kami reyot. Sementara saya lihat semua orang di desa punya rumah bagus-bagus. Saya kepingin punya rumah. Itu saja keinginan saya. Sekarang orangtua sudah tua. Tak bisa lagi kerja berat-berat. Walaupun ada sawah, masih harus tunggu empat bulan baru panen. Tak ada penghasilan yang didapat setiap harinya.
Saya bersaudara empat orang. Saya anak ketiga. Kakak tertua juga bekerja di Malaysia, di Sungai Buluh. Yang kedua sudah meninggal, baru tiga bulan lalu. Saya tak bisa pulang. Yang keempat tinggal di desa. Dia sedang akan menikah. Anak saya tiga; semua di kampung, diurus oleh nenek mereka. Yang pertama sudah klas lima, yang kedua klas dua. Yang kecil belum sekolah.
Saya minta bantuan tekong dari desa Sumberbaru di Jember untuk bisa bekerja di Malaysia. Saya tidak menggunakan jasa PJTKI karena semua orang di desa saya yang bekerja ke luar negeri tidak ada yang pakai PT. Kata mereka, kalau lewat PT urusan jadi lama, sampai antara satu bahkan dua bulan, kecuali jadi lebih mahal. Lalu kalau lewat PT jadi PRT juga tak bisa memastikan bahwa majikan itu baik. Banyak pekerja rumah diperlakukan kasar. Kalau ada saudara atau anggota keluarga yang bekerja di Malaysia, biasanya mereka juga tidak lagi lewat PT, tapi minta tolong diuruskan saudaranya itu untuk mendapatkan kerjaan.
Mengapa kau memilih bekerja di Malaysia tanpa dokumen lengkap?
Saya keluar dari dan masuk ke Malaysia sampai empat kali. Yang pertama, 1996, seperti sudah saya katakan, saya masuk dengan paspor tapi bekerja tanpa permit; bayar tekong asal desa Sumberbaru, Jember, Rp1,4 juta. Yang kedua, 1998, sama dengan yang pertama, masuk dengan dibuatkan KTP dan paspor di Tanjung Pinang dan tanpa permit kerja Malaysia; bayar tekong orang sekampung, Rp3,7 juta. Tapi, yang ketiga, kira-kira 2002, saya nekad masuk tanpa ‘paspor’; saya naik pongpong (speedboat) dari Dumai, dua jam sampai di Malaysia; dengan bantuan keluarga suami saya di Dumai saya ditemukan dengan tekong yang hanya minta Rp1,2 juta. Dengan jalan pongpong biaya lebih murah. Dan saya mengatasnamakan diri saya asal dari Jember dengan dokumen KTP saja. Saya sampai muntah-muntah kuning dalam speedboat karena guncangan ombak laut. Saya tak tahu persis di mana speedboat berlabuh di pantai Malaysia.
Masa kosongan (tak berdokumen) itu masih berlangsung setengah tahun berikutnya untuk saya. Lalu, ada dua kali pemutihan yang saya alami, yaitu tahun 2002 dan 2004. Ini jadi ongkos murah karena cukup dengan mengurus perpanjangan dokumen di KBRI dengan hanya bayar RM40, lalu bisa beli tiket dan pulang ke Indonesia. Kalau tak ada pemutihan, ini tak bisa karena tekong di sini masih akan minta banyak uang dari kita lagi. Pemutihan tahun 2004 membuat saya bisa pulang lagi --sebelum masuk keempat kalinya untuk kerja lagi di Malaysia-- untuk membuat paspor yang sesuai dengan jatidiri saya, yaitu di Surabaya atas rekomendasi dari agen di Malaysia yang telah punya hubungan kerja ke Indonesia. Saya tidak lagi kosongan sejak dari Indonesia. Di Jember saya menunggu sampai visa datang, baru berangkat ke Malaysia.
Bagaimana riwayat pekerjaan dan kehidupanmu di Malaysia?
Awalnya, setelah sampai di Malaysia, saya bekerja sebagai PRT di Sungai Buluh. Saat itu saya berjumpa dengan suami saya, asal Flores.
Setelah dibuang dari Malaysia akhirnya sampai di Dumai --sebab saya kena tangkap karena tak punya dokumen--, saya tidak mampu membayar urusan paspor (dan penempatan kerja) di Dumai. Pengurusan waktu itu harus bayar sampai Rp3,5 juta. Saya tidak mengurus di Jember karena semua TKI di desa saya menggunakan jasa tekong. Semuanya diuruskan. Jadi, sekali saja, waktu pertama kali berangkat, paspor saya diuruskan di Jember.
Menjelang dua tahun saya di Malaysia, saya pulang bersama calon suami saya untuk menikah. Umur saya waktu itu 16 tahun. Di kampung kami hanya tinggal dua bulan. Lalu kami berangkat lagi ke Malaysia.
Tapi kami bekerja di Malaysia secara kosongan. Keluar dari Indonesia kami hanya menggunakan paspor pelancong. Sampai di Malaysia, visa kami sebelumnya sudah mati. Sudah tak bisa dipakai lagi. Saya kerja di lokasi bangunan di kawasan perkebunan. Saya jadi kongsikong atau kerani. Pekerjaan saya di bagian kebersihan, cleaning service. Tugas saya sapu-sapu, kemas-kemas sisa semen, angkat sampah.
Upah saya kecil. Karena tak punya cukup uang, saya terpaksa tidak membuat permit. Sampai suatu hari di tahun 2000 itu waktu sedang makan siang saya ditangkap polisi. Saya kemudian ditahan di penjara Semenyih, KL, 12 hari.
Bagaimana keadaan di penjara Malaysia?
Di penjara keadaan sangat parah. Tak ada kekerasan langsung tapi keadaan pelayanannya tak layak. Saya jatuh sakit enam hari selama di penjara. Suara saya sampai hilang. Pagi hari hanya diberi air teh tanpa gula, sepotong roti. Lalu kami disuruh berbaris dan jumlah kami dihitung. Makan tengah hari kami hanya diberi nasi dan ikan kering. Kami diberi minum air mentah.
Benarkah dirimu pernah “dijual” selama menjalani proses deportasi?
Setelah itu saya diwajibkan pulang ke Indonesia. Saya dibuang. Saya diantarkan ke Malaka dan digiring pulang dengan tujuan Dumai. Tapi akhirnya kapal tak jadi ke sana. Baru sampai di Bengkalis saya sudah ditukar naik ferry lain. Saya dibawa ke Pakanbaru.
Di pelabuhan Pakanbaru itu kemudian terjadi “jual-menjual”. Saya sebenarnya tak mengerti benar apa yang terjadi. Yang saya tahu, setelah diberi makan dan air, lalu kami disuruh naik bis. Banyak kawan yang cantik-cantik dan body-nya oke, disuruh naik bis. Saya ikut terbawa bis itu. Bis itu membawa kami sampai jauh sekali, di luar kawasan perkampungan, di tengah-tengah hutan tapi ada sebuah rumah besar. Di rumah besar itulah ada banyak preman tapi juga anggota Brimob. Para preman itu memegang clurit dan senter.
Kami minta tolong kepada para polisi itu, tapi mereka menjawab kami, “Kami juga tak bisa dan tak boleh berbuat apa-apa di sini.” Tapi melihat perilaku mereka, buat saya jelas sekali para polisi itu bekerja sama dengan para preman.
Lalu saya mencoba minta tolong orang. Seandainya sepuluh menit saja terlambat, saya pasti sudah kena jual. Ada banyak orang yang mau membeli kami. Saya katakan pada orang itu, “Tolong katakanlah pada mereka bahwa saya ini istri awak. Tolonglah.” Lalu saya minta juga kepadanya untuk mengantar saya ke Dumai. Di sana ada keluarga suami saya yang bisa membantu. Saya bayar Rp50ribu untuk perjalanan semalam sampai di Dumai. Keluarga suami saya kemudian telpon suami saya yang sementara masih di KL. Lalu suami saya menjemput saya di Dumai.
Kami lalu pulang dulu ke Jember. Kemudian kami masuk lagi ke Malaysia tapi kami tetap kosongan. Untungnya, di Malaysia sedang ada ‘pengampunan’ (kelulusan, amnesti). Mereka yang kosongan diizinkan membuat dokumen oleh pihak Imigresen. Itu sangat istimewa karena biasanya mereka tak bisa sama sekali mengurus dokumen. Para agen memasang iklan di surat kabar dan membuka kesempatan untuk membuat dokumen. Kemudian tahun 2005 saya urus dokumen. Dan sudah tiga tahun ini saya pegang dokumen.
Berapa kali ditangkap polisi Malaysia selama tak berdokumen?
Sesungguhnya dulu waktu kosongan, saya sering ditangkap. Mungkin sampai sekitari 20 kali. Itu penangkapan-penangkapan biasa, bisa dirundingkan dengan uang. Suatu ketika dulu, sebelum menikah, waktu jalan-jalan di Kota Raya saya pernah kena tangkap dan dipaksa membayar sampai RM1.900. Lalu waktu kerja di kawasan bangunan, waktu saya keluar untuk beli ikan atau sayuran, beberapa kali saya kena tangkap. Tapi mereka tidak minta banyak, sekitar RM200 atau RM300 atau RM500. Lihat-lihat apa saya bisa pandai bicara dengan polis(i), lalu polis itu merasa kasihan, barangkali dengan RM100 pun orang tertangkap bisa dilepaskan.
Bagaimana tanggapanmu tentang perlakuan pemerintah dan polisi Malaysia?
Banyak orang Indonesia kena tangkap, termasuk yang punya dokumen. Masa yang tak punya dokumen saja lalu dirotan sampai bilur-bilur karena rotannya mengandung racun. Yang kena rotan biasanya sampai dua minggu tak bisa tidur telentang. Pantatnya keluar darah. Mereka bukan rogol atau perampok. Kami bekerja dan menyumbangkan tenaga di sini. Buat apa mereka dirotan-rotan..
Setelah menangkap polis-polis itu masih berdalih dengan banyak sekali alasan dan pertanyaan yang dibuat-buat. Walaupun permit itu asli tapi sangat sering dibantah oleh polis bahwa itu tak asli, palsu, atau segala macam alasan lain. Di sini terlalu banyak polis yang korup atau makan raswa, terutama terhadap orang Indonesia.
Mereka memang mencekik betul rakyat Indonesia. Sedikit-sedikit dan kalau berhadapan dengan situasi macam mana pun, rakyat Indonesia dipersalahkan. Mereka kurang menyebut orang-orang pendatang dari negara lain, entah Bangladesh, Vietnam atau Myanmar. Mengapa selalu orang Indonesia dikambinghitamkan? Tempat-tempat hunian orang-orang pekerja kontrak dari Indonesia disebut-sebut sebagai “sarang” orang Indonesia di dalam koran-koran. Itu bikin malu saja, kan? Memang ada orang-orang Indonesia yang jahat atau tak betul. Tapi janganlah disapu rata semua. Orang yang kerja betul pun kena sapu rata.
Apa yang kauharapkan dari pemerintah Indonesia?
Saya kadang di sini jadi pikir, pemerintah Indonesia itu kurang adil kepada warga negaranya di Malaysia. Buatlah kebijaksanaan sedikit saja kan .. Peduli sedikitlah pada apa yang terjadi pada rakyatnya yang di Malaysia. Tapi pemerintah Indonesia tak peduli, tak mau tahu. Rakyatnya hidup serba susah di sini. Tak ada dokumen jelas susah. Ada dokumen pun susah.
Apa saranmu untuk para pekerja migran dari Indonesia?
Terpulang kepada orang TKI itu sendiri. Tapi janganlah datang kosong seperti saya dulu. Susah jadinya. Jangan dengan niat yang tak baik. Datanglah ke sini kalau betul-betul mau mencari sesuap nasi, tapi janganlah jadi pekerja rumah tangga, karena sudah banyak sekali yang mengalami kasus, macam tak dibayar gaji atau dipukul majikan, disiksa. Banyak sekali saya temui di jalan-jalan itu, perempuan-perempuan yang lari dari majikannya. Beberapa kali saya menolong mereka .. **
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
8:54 AM
0
komentar
Label: buruh migran, daerah, Human trafficking, Jember, Kemiskinan, Malaysia, perempuan
25 January 2008
Kartini Pakistan
Sri Maryanti
Mukhtaran Bibi adalah janda desa yang miskin, buta huruf dan tak pernah menyakiti siapa pun. Seperempat abad lebih ia hidup terpenjara dalam masyarakat adat yang feodal dan barbar di sebuah desa kecil di provinsi Punjab, Pakistan. Ia baru melihat penjara kehidupan itu setelah peristiwa buruk menghancurkan kehormatannya pada pertengahan 2002. Tiba-tiba ia bangkit menjadi perempuan perkasa yang berdiri tegak menuntut keadilan atas haknya sebagai perempuan. Ia melawan adat yang mengijinkan perempuan korban perkosaan menanggung hukuman sementara pelakunya bebas bergentayangan. Perjuangannya menjadikan ia sebagai simbol kekuatan perempuan Pakistan yang memperjuangkan harga diri dan martabat kaumnya sebagai manusia utuh.
Foto diambil dari sini. Sumber dan resensi buku berjudul In the Name of Honor (A True Story) - Atas Nama Kehormatan, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2007; Diterjemahkan dari bahasa Prancis, Déshonoré, ditulis oleh Mukhtar Mai. Link
Cerita tersebut ditulis sendiri oleh Mukhtaran Bibi dengan bantuan Marie-Therese Cuny berdasarkan kisah hidupnya dalam sebuah buku dengan judul asli “In The Name of Honor”. Buku ini hampir mirip dengan yang ditulis R.A. Kartini dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Ia menuturkan kisahnya yang tak hanya mengharu biru seperti fiksi, namun juga refleksi pergulatannya melawan ketakutan, depresi, rasa terhina dan tipu muslihat akibat perkosaan massal yang dilakukan didepan umum yang merupakan putusan hukuman adat yang picik yang dibungkus agama.
Mukhtaran harus datang memohon ampun kepada dewan adat di desanya untuk menebus kesalahan yang sebenarnya tak pernah dibuat adik laki-lakinya. Adiknya yang masih kanak dianggap menodai kehormatan suku Mastoi, kelompok yang berkuasa dan dominan di desannya. Anak itu dituduh main mata dan memperkosa perempuan suku Mastoi yang umurnya jauh lebih tua. Namun kedatangan Mukhtaran bukan disambut dengan ampunan sebagaimana yang ia banyangkan. Dewan dirja memutuskan hukuman pemerkosaan massal untuk menebus kesalahan adiknya.

Justru penderitaan yang telah meluluhlantakkan pribadinya itu menyebabkan ia berani berteriak mengungkapkan fakta di depan hukum. Keberanian itu tak pernah dimiliki perempuan Pakistan sebelumnya. Kasusnya menjadi sejarah baru bagi gerakan penegakan hak-hak perempuan Pakistan.
Keberanian perempuan muslim itu membangkitkan simpati dan dukungan dari banyak pihak. Namanya mencuat keluar melampaui ruang sempit biliknya. Begitu juga masyarakat internasional lantas juga mengenal dan mendukungnya. Bahkan perdana menteri Pakistan turut campur tangan dalam pengurusan kasusnya.
Namun perjuangan yang ia usahakan tidaklah mudah ditempuh. Jalan menuju damai harus ia lewati di bawah tekanan dan teror. Pemerintah Pakistan tak sepenuhnya mendukung usahanya. Ia sempat dianggap sengaja memperburuk citra negaranya di dunia internasional. Pengadilan sempat membebaskan para pelaku pemerkosaan yang membawa bayangan kematian pada perempuan itu.
Mukhtamar Bibi tak pernah menyerah. Ia belajar dan merefleksikan banyak hal. Kesadaran tentang apa yang seharusnya dimiliki kaumnya makin berkembang. Lalu ia menjadi perempuan bercita-cita besar yang memimpikan sebuah gedung sekolah untuk perempuan agar mereka tidak ditipu setiap kali mencari keadilan.
Buku tersebut adalah sebuah protes seorang perempuan yang mewakili jutaan perempuan lain di Pakistan yang diamputasi haknya, ditekan, ditipu, diperkosa dan selalu dikorbankan untuk menebus kesalahan keluarga akibat dianggap mencoreng kehormatan suku tertentu. Buku ini juga mengkritik struktur kasta dalam masyarakat yang mengakibatkan banyak penderitaan perempuan dari kasta rendah yang tidak jarang berujung pada kematian atau bunuh diri akibat rasa hancur harga dirinya.
Perempuan yang kemudian disebut dengan panggilan Mukhtar Mai (kakak perempuan yang terhormat) itu juga membongkar lembaga perkawinan adat sebagai alat tukar-menukar perempuan di antara suku untuk menghindari konflik. Perkawinan sering menjadi penjara bagi perempuan yang hanya diperbolehkan diam menerima apa pun yang diharuskan adat padanya. Banyak perempuan mati dalam penjara perkawinan akibat penderitaan yang tak tertahankan.
Melalui torehan ini Mai menceritakan bagaimana ia mengusahakan perbaikan bagi nasib banyak perempuan di negaranya. Sampai buku ini selesai ditulis, masih banyak perkosaan-perkosaan terjadi menimpa perempuan-perempuan di sana. Mirip Kartini, melalui pendidikan pada anak-anak perempuan di sekolah yang ia rintis, Mai berusaha memotong rantai kekerasan tersebut.**
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
7:28 PM
0
komentar
Label: perempuan
14 January 2008
“Anak Haram yang Dilupakan Keberadaannya”
Savitri W. & Prasetyohadi
TKI adalah anak haram dari pembangunan yang gagal.” Inilah pernyataan dari salah satu nara sumber dalam kegiatan diskusi publik, 13 Desember 2007 di Lembaga Penelitian Universitas Jember, Jember, yang bertemakan “Skema Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Tingkat Kabupaten – Aspek Perekrutan, Pendidikan dan Pembiayaan di Tingkat Kabupaten”. Istilah “anak haram” itu sejajar dengan sikap masyarakat yang tidak memandang penting keberadaan para TKI dan bahkan ada kecondongan mempersalahkan mereka. Tidak jarang stigma masyarakat terhadap TKI cukup kuat datang dari kalangan pemerintah, PPTKIS dan bahkan dalam komunitas masyarakat itu sendiri.
Itulah gambaran yang melekat ketika para peserta diskusi publik itu membahas masalah TKI dan kemungkinan legislasi peraturan daerah (perda) untuk perlindungan TKI di kabupaten ini. Dari seluruh proses lobby dalam kegiatan advokasi kebijakan publik ini, tampak respons para pihak tak cukup padu sehingga masih membutuhkan proses-proses lanjutan untuk mencapai kemungkinan mengangkat raperda perlindungan TKI di tingkat publik. Pihak pemerintah daerah dan DPRD belum melakukan komunikasi yang langsung mengarah pada masalah penataan perlindungan TKI di kabupaten. Disnakertans Jember belum merespons positif bentuk payung hukum perda untuk perlindungan TKI. Dalam kegiatan diskusi publik itu Ka-Disnakertrans Jember M.Thamrin menyatakan menyerahkan legislasi peraturan daerah ini kepada DPRD.
Caption: Para ibu mantan TKI ini sudah tidak mau lagi jatuh ke pola berulang jadi TKI karena hasil kerja mereka habis dikomsumsi untuk hal-hal tak terencana. Tapi mereka masih ragu-ragu dengan membangun ‘koperasi’. Namun, kini Disnakertrans Jember bersedia menguatkan para mantan TKI dengan menyelenggarakan kegiatan pelatihan pemberdayaan ekonomi. Foto diambil ketika mereka sedang mendiskusikan masalah TKI, Februari 2007 di salah satu rumah mantan TKI di desa Watukebo, kecamatan Ambulu, Jember.
Mengapa penting bahwa ada perda perlindungan TKI? Perda ini sangat prospektif mengurangi permasalahan krusial yang menimpa TKI. Dengan perda ini pihak-pihak yang terlibat dalam masalah TKI akan sangat diuntungkan karena masyarakat semakin mempercayai pemerintah dalam mencapai pemerintahan yang baik (good governance). Pemerintah akan sangat dibantu oleh masyarakat dalam menjalankan programnya. Reputasi kinerja PPTKIS membaik. Dan akhirnya tentu saja perda ini sangat bermanfaat bagi para TKI karena keselamatannya dijamin.
Lihat/klik dua tulisan lain yang terkait:
* Kabupaten Banyumas: "Keterbukaan yang Memberi Harapan"
* Kabupaten Tulang Bawang: "Antara Kemauan, Keraguan & Ketakberdayaan"
Namun, sejauh ini pihak eksekutif baru sampai pada pernyataan kesediaan memberikan perlindungan. Tidak dalam bentuk suatu peraturan daerah, tetapi dengan program-program seperti: 1) mengaktifkan balai latihan kerja berwujud program pendidikan untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan para calon TKI asal Jember sebelum diberangkatkan ke PPTKIS di luar kabupaten Jember, 2) menangani kasus deportasi dan 3) mengajak pihak bank bekerja sama untuk memberikan skema kredit kepada calon TKI yang akan bekerja ke luar negeri.
Sementara itu pihak DPRD, terutama Komisi D yang mengurus masalah kesejahteraan masyarakat termasuk untuk perlindungan TKI, sesungguhnya sudah menyatakan sikap membela kepentingan para TKI, terutama karena tak sedikitnya kasus-kasus dan berbagai masalah yang dialami oleh para TKI. Pihak DPRD merasa perlu bahwa perda ini segera digolkan. Namun pendalaman isi raperda masih tetap perlu dikembangkan lagi bersama dengan mereka. Diperlukan upaya-upaya terfokus untuk mendorong dan mengawal raperda secara lebih mendalam lagi terutama bagi para anggota DPRD agar memberikan perhatian lebih konkrit. Upaya ini dipandang penting dilakukan secara terus-menerus mengingat berbagai kesibukan anggota-anggota DPRD seperti konsolidasi kepada basis, penyusunan anggaran APBD (2008) dan kesibukan-kesibukan lainnya yang mengharuskan mereka untuk keluar dari kantor.
“Mudah-mudahan bukan sekedar basa-basi,” ujar seorang nara sumber lain dalam diskusi publik itu. Oleh karena itu perlu adanya organisasi setempat yang sepenuhnya mengawal raperda ini untuk tahap-tahap selanjutnya. Sejauh ini telah tersedia ‘pintu-pintu masuk’ bagi pembahasan raperda seperti sikap Komisi D DPRD Jember yang sudah sepakat dengan isu ini dan penyerahan pihak pemerintah daerah agar perda sebaiknya diinisiasikan oleh DPRD. Organisasi lokal yang bersedia mengawal adalah Gerakan Buruh Migran Jember (GBMI) sebagai bagian sekaligus solidaritas kerja dari kerangka advokasi lebih luas yang dikerjakan oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).
Untuk percepatan pembahasan raperda, tentunya diharapkan isu perlindungan TKI melalui raperda ini tidak hanya menjadi keprihatinan komisi D yang kebetulan mayoritas anggotanya berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan merupakan partai terbesar dalam perolehan suara pada pemilu tahun 2004 di kabupaten ini. Mestinya partai ini berinisiatif lebih cepat, apalagi ada dukungan sepenuhnya dari arah tokoh-tokoh agama yang tergabung dalam ormas besar Nahdlatul Ulama agar nasib TKI sungguh-sungguh diperhatikan. Namun perpecahan internal yang melanda partai ini tampak sangat berdampak pada kinerja publik para anggota DPRD-nya. Sekalipun demikian, beberapa di antara mereka tetap memegang tekad bekerja sungguh-sungguh dan melihat bahwa dengan mengangkat isu melindungi TKI, partai ini akan mendapatkan kredit pemulihan nama baik di hadapan masyarakat.
Fraksi kedua terkuat yakni PDIP ternyata juga merasa bahwa permasalahan TKI harus segera diatasi melalui raperda. Bahkan Zahrony, salah satu anggota PDIP, menyatakan bahwa PDIP akan membahas raperda yang kami usulkan di DPRD.
Namun, dalam prosesnya sampai sejauh ini, upaya mendekati negosiasi antarpara pihak menuju ke raperda perlindungan TKI sesungguhnya tidak semudah membalikkan tangan. Proses yang kami lalui terasa cukup berbelit dan tak langsung menuju sasaran kegiatan. Hal ini terutama karena kuatnya pertahanan pihak kemapanan politik ekonomi di kabupaten ini. Apalagi jika diingat telah ada pencabutan yang dilakukan oleh Depdagri terhadap ratusan perda, termasuk satu perda yang sebelumnya telah diusulkan wewenang kabupaten Jember namun ternyata dipandang mengandung retribusi atas berbagai kegiatan ekonomi yang dilakukan di kabupaten (Kompas, 1 April 2006). Selama ini ada anggapan di kalangan elit politik di berbagai kabupaten di Indonesia, termasuk di Jember, bahwa perda digunakan sebagai sarana meningkatkan pendapatan asli daerah. Karenanya, dengan adanya pembatalan berbagai perda oleh Depdagri itu, dapat difahami mengapa terdapat resistensi laten dari elit daerah terhadap pemerintah pusat. Perda dipandang bukan solusi. Elit eksekutif daerah berpandangan bahwa kebijakan nasional dan lobby internasional pemerintah untuk perlindungan TKI sesungguhnya belumlah memungkinkan daerah dengan mudah begitu saja melakukan implementasi perlindungan terutama jika diutamakan ada preferensi pencegahan berbagai masalah percaloan TKI di desa-desa.
Mengingat semua kerumitan hubungan-hubungan politik tersebut, atas usulan berbagai pihak baik dari kalangan masyarakat sipil maupun pemda terutama Disnakertrans di Jember, kami diminta tidak hanya menghembuskan isu tentang raperda tapi juga mengajak para pihak untuk mendorong adanya kegiatan atau program jangka pendek dan menengah dalam kerangka perlindungan TKI. Raperda menjadi tujuan untuk jangka panjang. Hal ini bersesuaian dengan latar belakang dan kerangka mengapa kami melakukan penelitian advokasi ini yaitu belum kuatnya respon dari para pengambil keputusan untuk mengurus TKI terutama di kalangan internal pemerintah kabupaten sendiri. Dibutuhkan kegiatan-kegiatan penyambung yang memungkinkan kita mengangkat perspektif kepentingan dari para TKI sendiri.
***
Peran pemerintah. Memang telah banyak kegiatan preventif seperti sosialisasi mengenai migrasi yang aman sudah dilakukan hingga tingkat desa. Sedangkan kegiatan rehabilitasi yang sudah dilakukan adalah membentuk satgas penanganan kasus dan bantuan hukum yang melibatkan para stakeholders setempat. Selain itu, ada peningkatan anggaran untuk perlindungan TKI tahun 2008 yang semula dianggarkan Rp 50 juta menjadi dua kali lipat. Kegiatan lainnya adalah penguatan ekonomi desa dengan membina kelompok-kelompok di desa agar dapat memanfaatkan potensi dan kekayaan desa. Namun setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi mengapa meskipun telah dilakukan program-program oleh Disnakertrans Jember, belum banyak perbaikan bagi kebutuhan mendesak terhadap perlindungan TKI.
Kedua, karena keterbatasan perspektif program pemerintah daerah yang pada gilirannya tidak didukung oleh anggaran pendanaan yang memadai, sehingga sebagai dampaknya, masih terlalu sedikit desa dan kecamatan menjadi sasaran kegiatan dan program Disnakertrans. Luas dan tersembunyinya masalah percaloan TKI di pedesaan kabupaten juga mempersulit munculnya ancangan pemikiran tentang pencegahan, seperti monitoring dan pendataan TKI di desa-desa. Seandainya diprogramkan kegiatan pencegahan, maka akan harus dilakukan secara bertahap dari tahun ke tahun.Caption: Diskusi publik membahas perlindungan TKI yang diselenggarakan di Lembaga Penelitian Universitas Jember, Desember 2007, yang dihadiri oleh pemerintah, masyarakat, PPTKIS. Insert: Kadisnakertrans Jember Drs. M. Thamrin sedang memaparkan kerangka kerja kantornya. Kehadirannya melerai kebekuan hubungan masyarakat dan pemerintah.
Sementara itu, dari sisi strategi advokasi, kegiatan advokasi ini akhirnya perlu berpaling dari kerumitan politik itu menuju usaha membenahi fokus komunikasi di kalangan masyarakat sipil terlebih dahulu, sebelum melakukan lobby lebih jauh untuk mengajak para pemangku kepentingan seperti pemda (terutama Disnakertrans dan Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten). Sedangkan dari sisi pendekatan yang kami tempuh, sosialisasi hasil penelitian yang menawarkan perspektif mengenai pentingnya perlindungan kepada TKI asal Jember kami lakukan dengan berbagai cara. Baik dalam jumlah kecil antara 10 orang hingga lebih dari lima puluh orang. Rangkaian kegiatan seperti diskusi kelompok terfokus (FGDs), workshop, lobby dan diskusi publik merupakan cara untuk menampung pendapat dan menguji hasil penelitian mengenai raperda perlindungan TKI yang telah dibuat dan mengoreksi arah advokasi yang berusaha kami tempuh.
Masukan dari kecamatan dan kelurahan. Pihak kecamatan dan kelurahan memberi tanggapan positif mengenai raperda perlindungan TKI. Pihak desa merasa bahwa perlu ada peraturan yang melindungi TKI. Kepala desa sering menjadi korban ketika warganya pergi keluar dan apabila warganya mengalami masalah, maka kepala desa juga akan mendapatkan teguran. Mereka sangat berharap ada kegiatan yang melibatkan kepala desa seperti pengurusan TKI berada di desa, bahkan mereka mengusulkan warga yang berangkat melalui desa, terlebih dahulu dilepas dari desa. Tidak hanya itu saja, mereka meminta adanya sosialisasi mengenai tatacara bekerja ke luar negeri yang benar dan aman dan mengajak organisasi TKI atau pemerintah daerah dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Kegiatan-kegiatan ini apabila dilaksanakan akan mengurangi percaloan di tingkat desa dan adanya pendataan yang lebih baik.
***
Caption: Diskusi kelompok dengan para tokoh Serikat Petani Independen (Sekti) di Ambulu, Jember, Oktober 2007, melahirkan gagasan perlunya ‘konsultansi perencanaan’ bagi para calon TKI.Organisasi petani sebagai ‘orangtua TKI’ akhirnya menyadari bahwa para TKI bukan lagi ‘anak-anak haram’ (mereka sendiri) seperti tergambar dari kenyataan bahwa selama ini para (mantan) TKI telah mendapatkan stigma sebagai ‘konsumtif’, seperti halnya banyak pihak juga telah melancarkan stigma tersebut. Para TKI juga dipandang merupakan perwujudan dari pergeseran nilai-nilai di pedesaan yang belum dapat diterima oleh masyarakat. Namun masyarakat menyadari bahwa keterlantaran perlindungan TKI adalah “hasil kinerja haram dari kegagalan pembangunan”. Disadari bahwa mengapa warga miskin di desa-desa berpaling dari masalah desa ke migrasi kerja dengan jadi TKI adalah karena mereka merupakan lapis terbawah dan termiskin di antara sejumlah 50 persen kelompok miskin di kabupaten ini. Kegagalan penanganan masalah kemiskinan oleh pemerintah telah berdampak jauh sampai ke keadaan bahwa wewenang kabupaten tak mampu mengetahui siapa saja, berapa banyaknya, mengapa anak-anak perempuan desa mengadu nyawa dan mengadu nasib menjadi TKI di luar negeri, dst., sementara disadari pula bahwa sejauh ini sama sekali tidak ada skema perlindungan bagi hidup dan nyawa mereka.
Karenanya dalam diskusi kelompok terarah (FGD), 4 Oktober 2007 di kecamatan Ambulu, mereka mengancangkan kemungkinan intervensi untuk para mantan TKI agar tak konsumtif dengan cara menawarkan pendidikan mengenai perencanaan hasil kerja kepada calon TKI. Diharapkan setelah pulang, para TKI dapat mengelola hasil kerja dengan lebih baik. Organisasi TKI yang diwakili GBMI dalam diskusi itu juga diterima oleh Sekti dan karenanya berkomitmen akan memberikan pendidikan dan pelatihan bagi calon TKI di 20-an kecamatan dampingan Sekti.
Jaringan serikat petani dan nelayan —sebut saja serikat rakyat— di tingkat kabupaten Jember juga mampu mendorong advokasi ini untuk dapat mendongkrak leverage isu perlindungan TKI sehingga dapat menawar kepada Disnakertrans Jember untuk bersedia membuka komunikasi publik yang lebih konstruktif, sembari mengajak organisasi TKI untuk masuk ke ranah negosiasi kebijakan di tingkat kabupaten. Serikat rakyat sebagai bagian dari kalangan pegiat masyarakat sipil melihat bahwa ketidakadilan tampak mencolok dalam ketidakseimbangan antara apa yang diberikan oleh para TKI kepada pemerintah dan alokasi dana untuk program TKI di kabupaten ini.
Untuk rancangan APBD Jember 2007, program untuk TKI hanya dianggarkan Rp50 juta saja —menurut informasi terakhir dari Ka-Disnakertrans sudah naik menjadi dua kali lipatnya— , sementara mereka menyadari bahwa setidaknya setiap calon TKI yang merekrut dan ditempatkan oleh PPTKIS yang sah diakui pemerintah telah membayar sebanyak US$15 kepada pemerintah pusat. Penarikan sebesar US$15 kepada setiap TKI juga diakui oleh Menakertrans, Erman Suparno (Kompas, 30 Januari 2007).
Isu kesenjangan ini mampu menarik perhatian dan keprihatinan dari jaringan petani yang menyadari diri mereka sebagai ‘orangtua’ atau ‘yang ada kait-mengait langsung’ dengan masalah TKI di kabupaten ini. Isu ini memancing mereka untuk mengancangkan bahwa jika ada tim kerja di tingkat kabupaten yang melibatkan baik pemerintah, bisnis, maupun masyarakat sipil, maka urusan perlindungan TKI dapat lebih dijamin kelanjutannya di masa depan jangka pendek ini.
Diskusi publik yang kami dorong pelaksanaannya untuk mencari solusi itu akhirnya mengarahkan para peserta pada keyakinan bahwa semua upaya ini tidak akan berhenti pada diskusi publik itu sendiri tapi bahwa kelanjutannya hanya mungkin dilakukan jika tim kerja itu melibatkan semua pihak yang terkait sejak awal perencanaan. Salah satu di antara isu yang mungkin ditarik adalah bahwa untuk memungkinkan berbagai pihak di daerah mengimplementasikan program perlindungan TKI di tingkat kabupaten, mereka perlu menagih kepada pemerintah pusat pendanaan yang diperlukan secara lebih seimbang.
Peran akademisi. Sementara itu, peran akademisi yakni Lembaga Penelitian Universitas Jember (Lemlit Unej) sebagai pihak netral dan terhormat di kalangan masyarakat Jember, kami libatkan untuk ikut serta dalam kegiatan ini. Sebagai panitia penyelenggara dalam kegiatan diskusi publik yang diadakan pada tanggal 14 Desember 2007, Lemlit lewat Pusat Studi Wanita menawarkan respons positif terhadap masalah TKI. Mereka telah familiar dengan isu TKI karena isu ini adalah satu bidang telaah di lembaga ini yang telah melakukan penelitian tentang TKW di desa-desa di kabupaten Jember. Diancangkan Lemlit membantu menghembuskan isu TKI ini kepada pemerintah daerah sehingga segera terjaring bentuk-bentuk perlindungan kepada TKI secara lebih konkrit.
Peran PPTKIS. Dari kalangan bisnis perekrutan dan penempatan sendiri, PPTKIS dan cabang PPTKIS berpendapat tidak perlu ada penataan hukum di tingkat daerah. Mereka beranggapan bahwa UU No 39 tahun 2004 sudah baik. Hanya saja, menurut mereka, “kelemahan dari UU tersebut adalah adanya penyimpangan implementasi.” Mereka menyarankan pula bahwa calo atau sponsor dilegalkan karena tanpa bantuan mereka, para TKI tidak memahami persyaratan dan bisa bekerja ke luar negeri. “Calo atau sponsor menjadi corong informasi yang tidak dibayar oleh pemerintah,” kata salah satu pejabat PPTKIS di Jember. Hal ini dapat dimengerti mengingat sedikitnya jumlah PPTKIS yang berbasis di Jember atau cabang PPTKIS yang membuka kantor secara resmi di kabupaten ini. Dari hasil penelitian tampak jelas bahwa jauh lebih banyak sponsor/calo bekerja dan mencari para calon di antara keluarga-keluarga petani termiskin dari kabupaten ini tapi PPTKIS yang membayar mereka berada di luar jangkauan dan pantauan Disnakertrans Jember. Lobby PPTKIS di hadapan pemerintah setempat kurang memadai sehingga mereka lebih mengambil opsi jalan aman.
Akhir kata, pembelajaran yang didapat setelah berinteraksi langsung maupun tidak langsung dengan masyarakat Jember dapat direfleksikan bahwa pemahaman akan isu TKI ini sudah mulai diperhatikan oleh pemerintah Jember. Pendekatan perlindungan hukum masih merupakan hal baru bagi mereka. Masih tarik ulur mengenai pentingnya perda dan apa keuntungannya bagi saya (pemerintah daerah). Di Jember, hanya ada satu PPTKIS pusat dan selebihnya adalah PPTKIS cabang/perwakilan. Ini pula yang membuat pemerintah daerah merasa tidak perlu ada perda.
Namun dari semua itu, yang patut diacungi jempol adalah sikap otentik para pemangku kebijakan dalam mengekspresikan pendapatnya. Mereka tidak malu untuk bersikap menolak atau menerima raperda ini. Sikap ini membantu kami dalam melakukan pendekatan-pendekatan alternatif lainnya.
Kelemahan dari program ini adalah keterbatasan waktu yang menyebabkan kami tidak dapat intens untuk berbicara dan bertukar pikiran kepada para pihak terutama para pengambil kebijakan. Istilah umumnya “tak kenal maka tak sayang” sangat mempengaruhi perspektif mengenai TKI.
Harapan kami, kesadaran masyarakat akan pentingnya raperda semakin utuh sehingga mereka tidak takut dalam mengambil kebijakan yang pro kepada TKI. Apabila raperda ini belum dapat dilakukan segera, maka setidaknya untuk jangka pendek, masyarakat dan pemerintah mulai berkoordinasi, bekerja bersama dalam mengupayakan perlindungan TKI.**
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
10:12 AM
0
komentar
Label: buruh migran, Civil society, daerah, Jember, Kebijakan, Kemiskinan, pemerintah, perempuan, petani, Reform, Research, tanggapan masyarakat
01 August 2007
Apakah harus menahan diri saat ia harus pipis atau pup?
Sri Maryanti
Seorang teman tiba-tiba datang kepadaku. Ia menanyakan apakah aku punya pembalut wanita dengan daya tampung lebih? Rupanya ia salah membeli jenis pembalut.
Aku tak memiliki pembalut yang ia maksud. Lalu aku sarankan agar ia tetap memakai pembalut yang ia miliki. Kukatakan juga jika ingin aman harus rajin menggantinya sesering mungkin.
“Masalahnya saya tidak bisa bebas bergerak ke mana-mana di tempat kerja saya,” jawabnya membuatku terkesiap. Aku baru ingat bahwa ia bekerja sebagai kasir di area parkir di gedung sebuah kompleks stasiun televisi.
Baru terbayang di benakku sekarang betapa susahnya menjadi kasir di area parkir. Ia harus berjam-jam duduk di sebuah pos, mengamati setiap mobil yang datang dan mencatat nomor polisinya sebelum si pengendara memperoleh karcis. Sampai-sampai ia harus memakai jenis pembalut yang tahan lama sampai waktu istirahat datang.
Betapa tidak sehatnya cara kerja demikian. Walaupun ia sudah memakai pembalut berdaya serap lebih, menurut sebuah majalah perempuan yang pernah kubaca, setelah darah ha’id keluar selama empat jam, akan didapati kuman-kuman di dalamnya. Maka perempuan harus rajin-rajin mengganti pembalut saat ha’id. Ya Tuhan!
Seorang dokter yang kutanya mengenai hal ini juga mendukung pendapat majalah tersebut. Ia bilang bagian pribadi perempuan akan lembab saat haid karena cairan darah. Keadaan ini membuat bakteri di sekitar vagina mudah berkembang biak. Jadi disarankan agar perempuan yang sedang ha’id sering berganti pembalut. Frekuensi penggantiannya tergantung pada banyak sedikitnya cairan yang keluar.
Lantas, bagaimana nasib temanku yang bekerja di sektor jasa parkir itu? Apakah ia harus menahan diri saat ia harus pipis atau pup? Apalagi tempat kerjanya berada di sebuah basement gedung. Pasti tidak banyak terdapat kamar kecil di sana. Aku tak berani menanyakan hal itu karena takut ia tersinggung.**
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
2:15 PM
0
komentar
Label: gaya hidup, kesehatan, perempuan
27 July 2007
Ibu Emi: Dengan Pertanian Organik Tak Ada Lagi yang Terbuang
Gerakan Petani Manggarai untuk Membela Kehidupan (1) (2) (3) (4)
Ibu Emi hanya memiliki lahan tidak lebih dari seperempat hektar sawah. Dengan lahan sesempit itu, ia mengeluarkan biaya untuk pupuk TSP (Trisodium phosphate) dan Urea sedikitnya Rp 300.000. Dengan biaya sebesar ini, sawahnya hanya mampu menghasilkan tiga sampai empat karung beras. Setelah mengenal pertanian organik, ia kemudian beralih menjadi petani organik.
Empat tahun sudah Ibu Emi menjadi petani organik. Tiga tahun pertama dia masih menggunakan pupuk organik buatannya sendiri dengan biaya hanya Rp 50.000 untuk membayar tenaga pengolah pupuk. Dengan biaya tersebut, ia mendapatkan satu ton pupuk organik. Pada tahun keempat, ia tidak lagi menggunakan pupuk organik. Ia hanya menerapkan cara mengolah dan menanam secara organik. Kini hasil sawahnya tidak lagi tiga atau empat karung seperti sebelumnya, tetapi sudah meningkat menjadi tujuh karung.
Pertanian organik membuatnya semakin menyadari, tidak ada lagi bahan yang terbuang. Semua bahan yang ada di sekitarnya bisa diolah menjadi pupuk yang sangat bermutu. Dengan menjual pupuk buatannya sendiri, dia bisa menerima pemasukan tambahan Rp 1 – 1,5 juta per bulan. Kebutuhan sayur untuk keluarga pun bisa dicukupinya sendiri. Bahkan hasil sayur pun masih bisa dijual karena tidak habis dikonsumsi sendiri. Satu pohon tomat yang ia tanam di samping rumahnya, misalnya, bisa berbuah sampai 40 buah dan tidak habis bila dimakan sendiri.
Di tengah keruwetan persoalan kemiskinan dan bencana yang melanda bumi Nusa Tenggara Timur, para petani sederhana itu toh masih bisa melihat titik terang menuju kemandirian. Para elit politik-ekonomi di NTT yang dalam hal pendidikan jauh lebih baik dibandingkan para petani itu semestinya bisa melihat lebih jelas lagi titik terang untuk bangkit dari kemiskinan.
Sayangnya, masih banyak elit politik-ekonomi di NTT yang tidak mau sedikit rendah hati untuk belajar dari kearifan orang-orang kecil dan merasa diri paling tahu apa yang terbaik bagi rakyat. Tidak sedikit elit di NTT ini yang masih saja silau dengan gemerlapnya materi yang ditawarkan pemodal besar dan memilih pendekatan yang berorientasi pada keuntungan jangka pendek tetapi dengan resiko kerusakan jangka panjang yang mereka bebankan pada rakyat.
Lihat saja bagaimana industri pertambangan mulai dijadikan alternatif peningkatan PAD di beberapa kabupaten di NTT, meskipun para elit itu tahu betul betapa kondisi ekologi NTT yang telah rusak dan rawan bencana itu tidak layak untuk dijadikan daerah industri pertambangan. Bagi mereka, kehidupan lebih baik berarti rumah mewah, mobil wah dan berlimpahnya rupiah. Upaya menjaga bumi NTT dari kerusakan dan kehancuran adalah perkara nomor sekian. Sebab yang pertama-tama menanggung bencana bukanlah mereka, para elit itu, melainkan rakyat.
Jangankan belajar dari orang kecil, yang terjadi justru sebaliknya. Orang-orang kecil yang membela kehidupan dan menolak industri pertambangan yang jelas-jelas merusak kehidupan itu seringkali mereka nilai sebagai orang-orang yang belum tercerahkan dan karenanya tidak paham apa artinya kehidupan lebih baik. Betapa jauh jarak sudut pandang antara elite politik-ekonomi dan orang-orang kecil dalam memaknai kehidupan lebih baik di bumi NTT ini.
Tidak heran kalau perkara penolakan penambangan emas oleh warga di kabupaten Lembata – NTT pun akan mereka nilai sebagai perkara ketidakpahaman rakyat. Sebab para elite itu tak pernah bertanya pada rakyat dan juga tak peduli apa artinya kehidupan lebih baik di mata rakyat.
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
6:16 PM
0
komentar
Label: busung lapar, Kemiskinan, Mining, Nusa Tenggara Timur, perempuan, petani, politik, tanggapan masyarakat
30 June 2007
Ibu-ibu di depan sekolah TK
Sri Maryanti
Pagi di sebuah TK di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Di sela-sela anak-anak yang tengah bermain dan berlari-lari, sekelompok ibu-ibu ngobrol sambil mengawasi anak-anaknya. Satu sama lain tampak saling mengenal dengan baik. Rutinitas bertemu itu membentuk interaksi dan kebiasaan yang unik. Namun tak pelak lagi, semua itu butuh biaya.
Apakah keputusan-keputusan masing-masing ibu dalam kelompok tersebut dalam mengeluarkan uang lebih didorong oleh keinginan dalam dirinya melalui perhitungan yang cukup? Atau justru faktor eksternal yang lebih mempengaruhi?
Seorang ibu mengaku hampir setiap bulan pasti menerima undangan ulang tahun untuk anaknya yang belajar di TK. Untuk itu, ia mesti mengeluarkan uang kado. Uang transportasi mesti mereka keluarkan jika ulang tahun jatuh pada hari Minggu yang otomatis perayaannya sering di luar sekolah. Apalagi rumah mereka tak selalu berdekatan. Kadang ada yang agak di luar kota.
Pengeluaran menjadi bertambah. Ada perasaan tak enak kalau tidak datang karena setiap hari mereka bertemu. Selain itu, anak-anak sering merengek minta datang ke pesta semacam itu. Lantas pesta ulang tahun menjadi semacam kebiasaan.
Orangtua tidak tega mengelak saat anak-anak mereka minta dipestakan saat ulang tahunnya. Pesta semacam itu juga sering jadi alat persaingan untuk memperlihatkan kemampuan finansial mereka.
Menjelang akhir bulan puasa seorang ibu lainnya mengeluh. Ia mesti mengeluarkan Rp50.000 untuk iuran. Iuran itu dimaksudkan sebagai “Tunjangan Hari Raya” untuk kepala TK dari kumpulan ibu-ibu tersebut. Ibu itu tak bisa mengelak karena ide tersebut disepakati oleh sebagian besar kelompok ibu-ibu itu.
Memang ada ibu-ibu yang memiliki otoritas dalam dirinya untuk memutuskan tidak mengikuti trend yang ada begitu saja. Namun jumlahnya tak banyak.
Kebetulan di sekolah tersebut, para guru sudah biasa memperoleh bingkisan dari orangtua murid. Ini sering terjadi pada saat kelulusan murid. Di beberapa SD di Tebet, ada guru-guru yang terbiasa menerima kenang-kenangan saat kenaikan kelas.
Selain itu kalangan tersebut juga memiliki kegiatan arisan. Pada waktu-waktu tertentu mereka belanja bersama untuk mengusir kebosanan menunggu jam pulang sekolah. Gosip dan konflik sesama ibu-ibu sering membentuk geng-geng tersendiri di antara mereka.
Namun begitu, mereka mengaku juga memperoleh manfaat dalam pergaulan itu. Mereka bisa saling tukar informasi mengenai tugas sekolah anaknya dan kebutuhan-kebutuhan lainya. Seperti tempat les yang baik, dokter yang baik, tempat berbelanja barang kebutuhan anak, dll. Ada juga seorang ibu yang mencoba mengembangkan bisnis dengan memanfaatkan kelompok itu sebagai pangsa pasarnya, mulai dari jual beli parfum, pakaian, kue-kue kering sampai asuransi.
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
3:24 PM
2
komentar
Label: budaya, gaya hidup, Jakarta, perempuan
12 April 2007
Membongkar kungkungan perempuan dari dapur
Model Kelompok Pendidikan Terpadu Berbasis Komunitas: Pengalaman Sr. Gertrudis di Yayasan Serafim di Sumba Barat
Iswanti Suparma
PENDIDIKAN kelompok perempuan yang dilakukan Yayasan Serafim merupakan sebuah terobosan. Model pendekatan yang dipelopori Sr. Gertrudis ini tak hanya menyelamatkan penderita busung lapar dari kematian yang tengah mengancam, tetapi juga mampu membuat masyarakat lebih berdaya. Kini para lelaki dan ketua adat melihat sudut pandang baru. Pendekatan ini telah mengubah sikap dan perilaku warga desa.
Yayasan Serafim awalnya memiliki pelayanan panti asuhan dan kelompok pendidikan ketrampilan perempuan. Pelayanan pendidikan ketrampilan ini diberikan pada kelompok yang dikelola oleh para suster. Peserta pendidikan adalah perempuan-perempuan yang putus sekolah, perempuan yang lari dari keluarga karena dipaksa menikah dan lainnya. Dari sinilah kelompok-kelompok itu berkembang.Pelayanan ini dimotori oleh Sr. Gertrudis dengan penuh pengabdian. Ia bekerja tanpa mengenal lelah untuk membangun kelompok-kelompok pendidikan perempuan. Setiap kelompok memiliki anggota sekitar 30-35 orang. Kepada kelompok-kelompok inilah, biarawati tersebut memberikan pendidikan seperti menenun, memasak, mendidik anak, bercocok tanam atau ketrampilan lain yang mereka butuhkan. Masyarakat umum ternyata membutuhkan uluran tangan para suster untuk mendapatkan ketrampilan.
Mengapa masyarakat miskin itu bersemangat mencari-cari suster Gertrudis untuk belajar darinya? Ternyata, berbeda dari para petugas penyuluh lapangan (PPL), biarawati ini giat mendatangi warga, memahami budaya setempat, memberi berbagai contoh nyata dan mampu memberikan inspirasi serta menunjukkan hasil konkret yang langsung dapat dinikmati oleh masyarakat miskin.Sr. Gertrudis melatih para perempuan yang membutuhkan dan memintanya. Syaratnya mereka harus berkelompok, bukan individu. Sehingga sangat nyata bahwa keinginan itu datang dari masyarakat. Bahkan untuk memastikan bahwa keinginan itu datang dari masyarakat, suster tersebut mempersyaratkan beberapa hal yang harus dipenuhi. Persyaratan tidak hanya diberlakukan pada perempuan-perempuan dalam kelompok itu, melainkan juga melibatkan warga yang tinggal di sekitar kelompok.
Syarat yang diminta Sr. Getrudis adalah harus ada tanah, rumah, pekarangan yang khusus dibuat untuk kegiatan kelompok itu. Syarat ini menyebabkan para laki-laki dan seluruh komunitas di desa ikut terlibat. Mereka harus membuat kelompok. Para tetua kampung mesti menyediakan tanah. Para suami membangun rumah dan pekarangan. Di rumah itulah diadakan kegiatan pendidikan ketrampilan rutin. Persyaratan itu memaksa semua anggota masyarakat terlibat, baik perempuan maupun laki-lakinya, bahkan tetua kampung atau aparat desa.
Hasilnya sekarang para suami tidak lagi sungkan untuk mengurus anak-anak ketika para perempuan belajar. Para suami juga membantu mengurus pekerjaan rumah tangga. Untuk kelompok-kelompok yang dilayani, proses pendidikan bersama ini bahkan dapat dikatakan telah berhasil mengubah cara pandang mereka terhadap adat yang mengungkung perempuan di dapur, meningkatkan pengetahuan tentang gizi dan kesehatan serta sekaligus meningkatkan ekonomi rumah tangga.Kegiatan yang dilakukan sebisa mungkin melibatkan seluruh komunitas. Untuk pendidikan ketrampilan menenun, laki-laki datang membawa bambu dan kemudian membuat alat tenun yang akan digunakan untuk belajar. Untuk latihan memasak dan belajar mengolah makanan bergizi, para laki-laki terlibat dalam kegiatan menanam sayuran di pekarangan dan kebun kelompok. Sr. Gertrudis hanya membantu memberikan bibit dan ketrampilan bercocok tanam.
Hasil latihan memasak dinikmati anak-anak dari komunitas itu secara bersama-sama. Sebelum ada pelatihan ini, para ibu sering mengeluh anaknya tidak mau makan di rumah. Namun, anehnya saat pelatihan memasak mereka mau makan sayur yang diolah bersama tersebut. Dengan cara itu, Sr. Gertrudis telah menunjukkan bahwa bukan soal makanan yang membuat anak tidak mau makan tetapi cara pengolahannya.
Kegiatan lain yang dilakukan adalah pengembangan ternak kelompok. Mereka bisa memilih kambing, unggas, babi, sapi atau kerbau. Mereka juga diajak untuk peduli terhadap lingkungan, dengan kegiatan pengadaan dan pemeliharaan air dan penghijauan. Setiap biji sayur atau buah tidak boleh dibuang, melainkan harus ditanam.
Pendidikan ini menekankan pada masyarakat untuk kembali menanam tanaman-tanaman lokal. Selain itu juga mengajarkan berbagai cara mengolah makanan lokal agar lebih menarik dan tidak membosankan. Upaya ini dilakukan untuk mengembalikan pola makan asli dalam keluarga yang selama ini telah berubah mengandalkan beras, yang sebenarnya tidak mampu mereka sediakan sendiri. Selama ini hasil produksi beras mereka tidak cukup dan mereka harus membeli. Ini menyebabkan penambahan pengeluaran keluarga, padahal mereka bisa mengandalkan bahan makanan pokok asli seperti jagung, umbi-umbian serta kacang-kacangan.
Selain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sendiri, usaha-usaha tersebut juga untuk menambah penghasilan dan pendapatan keluarga. Keuntungan kelompok sebagian digunakan untuk kas kelompok, sebagian dibagikan pada anggota.
Kegiatan kelompok ini tidak hanya meningkatkan kualitas hidup keluarga, tetapi juga kualitas seluruh anggota. Misalnya, berkat keuntungan yang diperoleh dari kerja kelompok, mereka bisa memasang listrik. Dengan adanya kelompok juga lebih memudahkan mereka berhubungan dengan aparat desa, puskesmas, posyandu dan rumah sakit.
Yayasan Serafim berawal dari sebuah program penguatan masyarakat yang dibentuk oleh RS Caritas di Waitabula, Sumba Barat, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Program ini mengemban visi dan misi yang sangat luhur, yaitu menghadirkan kerajaan Allah dan berpihak pada masyarakat miskin dengan semangat kemitraan. Visi ini diinspirasi oleh semangat keruhanian para suster ADM yang mengembangkan pelayanan RS Caritas. Dengan visi dan semangat ini, community development tersebut berusaha memperluas, membela dan memberdayakan masyarakat kecil dan lemah. Karena perkembangan kelembagaan yang cepat, program ini dilepaskan dari RS Caritas, dengan membentuk yayasan tersendiri sejak 1991, yang disebut Yayasan Serafim.
Dalam menangani masalah gizi buruk – khususnya pada kasus anak-anak yang mengalami gizi buruk dan menderita penyakit-penyakit yang menjadi parah karena gizi buruk, RS Caritas melakukan penanganan langsung secara kuratif dengan pengobatan dan pemberian makanan tambahan. Sementara itu, untuk penanganan jangka panjang dan berkelanjutan dilakukan oleh Yayasan Serafim melalui program penguatan masyarakatnya.**
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
9:26 PM
0
komentar
Label: busung lapar, Kemiskinan, Nusa Tenggara Timur, perempuan
05 April 2007
Models of ending hunger in Indonesia
HERE are approaches to end hunger in Indonesia but all of them are separated one from the other with strong short-term projects as a dominant paradigm. Which one is the best? Looking into the nature of each and the possible supporting and team working relation among them may help us to figure out what kind of approach is suitable, effective and efficient in tackling hunger in Indonesia.
What likely needed at last is appropriated implementing media programs that bridge and unite all of those diverse existing hunger-fights efforts to be transformed into common lessons learned ..
First model is complementary food program, locally called Paket PMT. This program model identifies malnutrition and hunger as problem specifically struck each individual family and that the problem is strongly associated to “disaster” almost God made. None could be taken responsible for such widespread phenomenon of ‘malnutrition’ affecting infants. Hunger in East Nusa Tenggara, for instance, has been declared as “extra-ordinary happenings” (kejadian luar biasa) that the central government needs to address with parachuting helps and aids, particularly in the form of additional foods.
Families with malnourished infants are given foodstuffs or instant foods. Monitoring activities are conducted by health cadres from among the community members in cooperation with the sub-district health centre (puskesmas). Apart from the government, international bodies and international NGOs also actively conduct such model of ending hunger in East Nusa Tenggara with distributing biscuits, instant noodles, and instant porridges. This approach is rapid and short-term because if not promptly helped those malnourished infants may die tomorrow. However, since this model is mostly not followed by long-term activities, very few sustainable impacts could be expected from the hunger-stricken communities. Though very useful on the spot rescuing the hungry, this model tends to target poor people as merely aid objects, financially high cost, fails to develop the existing potential of the poor families and communities to resolve hunger and other related problems.
Second model is feeding center yet does not involve the families with malnourished infants to take part in it. Case study of this model found in Southern Timor Tengah (TTS) in NTT is not very different from the first one but the malnourished, sick infants were put in noutrient center and directly taken care by social health workers. This model has an effective impact as well, however high cost is unavoidable and also fails to empower poor families and communities. Women or mothers are not involved since this model opts for curative approach and that malnourished infants are specifically perceived as the problem of the concerned families only. In tackling hunger therefore it fails to involve other families in the community in which the distressed family lives. The positive impacts could only be seen among few families, yet paradoxically they realized that the hunger threats are lurking soon ahead.
Third model involves women or mothers’ role in the feeding center. Women are considerred as actors as you may see in a case conducted by a Belgian nurse in Sikka district. Social workers are not needed here as compared to the second model and local foodstuffs are strongly encouraged. Malnourised children are put in the center along with the families and other relatives responsible. In the center, mothers are briefed with diverse useful knowledge and relevant skills while asked to take care of their malnourished infants. Women and the families are expected to continue taking care in the same way after the sick infants recover. However, this program model takes the same high cost and larger communities have not been actively involved with. And it fails to develop the community’s capacity to improve itself. In the long run it is hard for local people to emulate such strong organization or institution to carry out a nutrient-focused center that needs large sums of financial resources.
Fourth model sets up community-based education groups. This kind of approach is tried out in West Sumba by Seraphine Foundation. Women groups are educated while conditioning the community’s initiatives. Nutrient and health education programs are held for women groups while developing local food cooking skills, small economic activities to improve their livelihood, and community organizing. Women group education is also made possible by demanding men or their husbands and other larger families to involve. Members of the communities are encourarged and conditioned to work together in building for instance the education center makeshifts. Men take care of infants while their wives join the education activities. Malnourished infants are tackled together along with the communities. This approach takes much less financial resources since it requires the community’s initiatives to contribute, while addressing other related dimensions needed for tackling hunger. For short-term, immediate activities, this model keenly relies on the role of the existing institutions such as the hospitals in the neighboring localities. It promises however sustainabilty in the future. However, this approach requires strong, highly committed local community organizers that may mobilize people’s initiatives and supports.
What likely needed at last is an appropriated implementing media programs that bridge and unite all of those diverse existing hunger-fights efforts to be transformed into common lessons learned that may be acknowledged and supported by all related stakeholders in the province, i.e. the government, religious groups, academicians, NGO activists, international NGOs, and international bodies that work in the province.
May be you may help them.***
Link
UNICEF's 2002 IDS: Evaluation of Posyandu Revitalization
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
5:31 PM
2
komentar
Label: busung lapar, English-version, Indonesia, Kemiskinan, kesehatan, masyarakat adat, perempuan
29 March 2007
Tiga Puluh Tahun Menggelandang
“Kalau sakit, saya jual baju buat berobat ke puskesmas. Kalau sudah tidak ada yang dijual lagi, saya tidak mau bayar. Kalau dimarahi saya lawan,” ungkapnya disertai senyuman. Wajahnya jadi lebih berkerut karena senyumnya.
Namanya Juriyah. Ia menunjukkan tiga lembar uang ribuan di tangannya. Jumlah itu yang ia peroleh hari itu hingga jam 10.00. Lantas ia memesan teh panas pada seorang pedagang.
Kalau sakit, saya jual baju buat berobat ke puskesmas. Kalau sudah tidak ada yang dijual lagi, saya tidak mau bayar. Kalau dimarahi saya lawan.
Semua pedagang kaki lima di bawah kolong jembatan layang di stasiun kereta rel listrik Tebet, Jakarta Selatan, mengenalnya. Suaranya bersemangat meskipun usianya sekarang sudah 82 tahun. Ia tinggal sebatang kara di Jakarta. Tiga puluh tahun sudah ia tak memiliki rumah dan hidup di jalanan.
Puluhan tahun yang lalu, bersama suaminya ia datang ke Jakarta dari suatu daerah di Sumatra. Tadinya mereka menyewa sebuah rumah di daerah Senen, Jakarta Pusat. Suaminya seorang tukang listrik amatiran. Meninggal dunia setelah kakinya terkena paku dan mengalami infeksi. Begitu juga anaknya semata wayang, penyakit merenggut nyawanya.
Sejak suaminya meninggal, ia tidak sanggup lagi menyewa rumah. Lalu ia menjadi pekerja rumah tangga sampai dua kali. Pada saat ia pergi ke pasar untuk belanja, sebuah mobil menabraknya. Matanya luka parah dan harus dirawat di rumah sakit. Sejak itu tidak ada lagi orang yang mempekerjakannya sebagai pekerja rumah tangga. Setelah 1965 ia mulai hidup di jalanan. Tidur di sembarangan tempat dan menggantungkan hidup dari derma orang.
Sekarang ia tak bisa berjalan jauh dari satu tempat ke tempat lain. Sekarang ia sering merasa kakinya kaku.** (Sri Maryanti)
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
12:43 AM
0
komentar
Label: Kemiskinan, Kota, perempuan
22 March 2007
Why migrant workers remain poor back home?
Savitri Wisnuwardhani
My motivation to work abroad is to have money for buying a big house, land and improving my life. If I do not go, I can’t fulfill my dream. It’s hard to suffice my daily life’s needs.
An interview with an Indonesian migrant worker
POOR people in rural areas have been worse hit by the economic difficulties in third world counties like Indonesia. A case study conducted in migrant workers sending districts in the country features how the villages endure similar problems of poverty. Working overseas is among the solutions taken by poor villagers as almost all Indonesian women going to work overseas admit that their motivation is to improve their difficult life. They got a lot of earnings. But, how do they spend them? Why are they still poor and then go again to work overseas?
Many opinions say about the reasons why people work overseas. Poverty is one of the undeniable reasons. Difficulties to find a work at home countries push them to work overseas. But after returning to Indonesia, why are they still poor though they sent back quite sum of money? The Jember district branch of the Indonesian central bank recently informs that in the first semester of 2006 as many as Rp162 billions (over $US 17.6 millions) have been sent back as the remittance of the migrant workers originating from Jember district. About Rp27 billions a month is supposedly running into the villages in Jember.

The result of our research in 2005 on 92 Indonesian migrants working in Singapore may explain better the picture, saying that motivation of most migrant workers is to get money to buy land (13.7%) and to renovate their houses (19.5%) and for diverse home equipments mostly furniture and electronic products (10%). This tendency takes place because they admittedly want to pursue prestige and perceived success as they live in their villages with having a plot of land to build a good looking houses.
Case study that we conduct in a Jember village shows life’s success in the village is socially measured with having big and decent house. This is among what most migrant workers say when asked why they want to work overseas. No wonder that after returning to their village, they build houses that look like those in real estate. But most of their big, good-looking houses as you may see them from outside do not match with the inside condition. You would only find their genuine identity when you enter to their kitchen and bathroom as compared to their living rooms and the front face of their houses. You would see nearly a stark difference like luxury and simplicity.
This contrast likely shows that they are not well prepared to accept rapid social and economic changes, because they are nearly set up to imitate social trends of life style in big cities. There seems to be a cultural dominance that most people in the village unconsciously follow. Such cultural dominance has far affected their livelihood. Their earnings that they got from at least two-year working overseas would finish only in six months after living back in their origin country. Afterwards they would be back again into their usual condition of poverty.
Regarding rural life style, let’s say, most people in the village would like to behave as if people living in big cities. And they find urban style as if a ‘must-to-do’, something clearly incongruent to their surrounding but they are ready to pay it with high price. Such life style is indeed comparatively very costly that makes them quickly running out of money and understandably they would go working overseas again as unskilled migrant workers.
In this regard it is difficult not to say that in the present social context the TV programs like popular telenovelas have much affected their daily life. Most of the programs tantalize them with luxury and dreams of becoming rich people. Even people in remote areas in Jember district now would already have TV set in their home. Such a dream has unconsciously transformed into what they find it as their needs. You would find it then very contrasting with the actual simplicity of living in rural areas in Indonesia.
Social behavior that prefers of making nice impression than realistic attitude is apparently consequences of the inadequate education and trainings. They lack of proper information and skills on how to use their money to improve their livelihood.
In such a situation there appear overseas work placement sponsors who entice them to easily get a lot of money if they work like in Middle Eastern countries, Malaysia, Singapore, Hong Kong and Taiwan. That kind of easy money is almost straightforwardly associated with what they have seen the like in the telenovelas. Sponsors almost always allure them with sweet promises of quick money disregarding social, cultural condition of their working places in other countries. As a result, they decided to go overseas without any further reasonable considerations such as improving skills and self-confidence in advance.
May be you ask when they could really improve their life and stop being poor? To my opinion, they will only succeed overcoming poverty if they spend their earnings more on small businesses, the benefit of which would directly support their livelihood. In fact there are only as low as five percents of migrant workers who spend their earnings for microfinance activities. As many as 43.2 percents of them, instead, spend their earnings for building comparatively expensive houses and equipments. If they were more interested in spending their money for their economic undertaking, their lives would predictably be better, having more balance with their social environment.**
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
11:11 PM
2
komentar
Label: buruh migran, English-version, Indonesia, Jember, Kemiskinan, perempuan
Untuk Hari Ini
Babu Negara
Olkes Dadilado
Education21
Rairo
Geworfenheit
Kodrat Bergerak
Chi Yin
aha!
John's blog
ambar
andreas harsono
bibip
Space & (Indonesian) Society
dreamy gamer
sundayz
wadehel
rudy rushady
Timor Merdeka
G M
Karena Setiap Kata adalah Doa
Sarapan Ekonomi
wisat
Adhi-RACA