20 June 2008

Berbagai Komentar tentang Pemerasan terhadap TKI di Bandara Sukarno-Hatta

Updated 23 Juni 2008
Banyak orang telah menyaksikan kejadian pemerasan dan diskriminasi terhadap para warga negara yang bekerja di luar negeri ketika mereka pulang dan sampai di bandara Sukarno-Hatta di Cengkareng. Mungkin sekarang saatnya kita lebih jelas dan terus terang menyatakan dukungan bagi mereka. Siapa yang mau mendukung, kita tunggu sama-sama sumbangannya untuk menambahkan di blog ini komentar, catatan dan pengalaman menyaksikan kejadian pemerasan terhadap para pekerja migran kita.

Berikut ini adalah dukungan dari anggota milis yang bersedia komentarnya diunggah di blog ini atas tulisan dari Savitri Wisnuwardhani berjudul Terminal Neraka bagi Para TKI. Kita tunggu ya ..

--- From: BJD. Gayatri
To: milistifa@tifafoundation.org
Cc: Institute Ecosoc
Sent: Friday, June 20, 2008 12:32:53 AM
Subject: advokasi nyata untuk perubahan kebijakan ... Re: [tifa] Terminal Neraka Bagi BMI
Sesungguhnya, yang diperlukan adalah aksi yang riil atau advokasi yang ampuh,
untuk merubah kebijakan mengenai terminal 3 Cengkareng.

dengan segala hormat kepada penggali cerita atau investigator yang bisa mendapatkan cerita ini.
tapi jika tidak pernah ada tindakan bersama untuk mengubah kondisi Terminal 3 ya, kondisi tersebut tidak berubah.

bagi saya, cerita ini sudah basi, karena sejak sebelum tahun 2000, sudah dapat cerita langgam yang sama dan hingga sekarang tidak berubah.

yang penting, bagaimana kita dapat membantu kawan-kawan penggiat di isyu Buruh Migran, agar dapat mengubah kebijakan pemerintah yang mendukung praktek-praktek pemerasan ini
mulai dari tingkat lokal, hinggap advokasi internasional, misalnya.

Tabik Solidaritas
Gayatri

--- In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, Yuliati Soebeno wrote:
Disinilah tempat Presiden SBY harus menyamar dan meneliti dengan mata kepala sendiri, bagaimana para preman tersebut ber-aksi!

Salam,
Yuli

--- In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, "karta pustaka" wrote:
Setuju. Mari kiga galang petisi. Terminal bobrok ini sudah jadi berita sejak dulu di media. Kompas pun sudah berulangkali menurunkan berita tentang kasus-kasus yang terjadi di terminal ini. Seluruh Indonesia sudah tahu, tapi mengapa pemerintah tetap 'memelihara' terminal ini? Karena jadi sumber duit? Jangan pakai kata 'oknum' lagi lah, karena ini bukan soal oknum, ini sudah premanisme berseragam yang 'direstui' oleh pemerintah.

anggi

--- From: Julianto Prasetio
Date: Thursday, June 19, 2008, 10:45 PM
Boleh, silakan di-upload. Ini malah saya tambah sehingga jadi 3 paragraf. E-mailnya pakai yang ini : juliantoprasetio@yahoo.com supaya tidak dikira e-mail kaleng.

Memang betul ini seringkali terjadi sejak dulu sampai sekarang.

Adanya terminal khusus untuk TKI di Bandara Cengkareng justru membuat mereka terisolir dari perhatian publik (penumpang umum non-TKI). Beberapa kali saya melihat TKI yang nyasar ke jalur penumpang umum diseret dan dipaksa kembali ke jalur TKI oleh oknum2 berseragam coklat. Saya muak sekali melihat kejadian2 itu tapi sekaligus tidak berdaya menolong.

Di airport Solo selama ini tidak terlihat perlakuan buruk pada TKI yang pulang seperti di Cengkareng. TKI bisa check out melalui jalur yang sama dengan penumpang umum. Di airport Manila, Filipina, ada jalur imigrasi khusus untuk TK Filipina tetapi tetap di terminal yang sama. Perlakuan di airport Manila bagus sekali, ada papan ucapan selamat datang di kampung halaman untuk para TK Filipina.

Saya tidak melihat pentingnya pemisahan terminal untuk TKI yang pulang ke Indonesia. Lebih baik mereka diberi jalur imigrasi khusus tetapi tetap check out di terminal yang sama dengan penumpang umum sehingga publik bisa ikut melihat dan 'melindungi' mereka dari perlakuan buruk preman berseragam.

Tks,
Yong


--- On Thu, 6/19/08, Arnold Djiwatampu wrote:
Begini ya,

saya sendiri juga sudah satu atau dua kali menyaksikan mereka (TKI) yang masuk jalur umum digiring kembali ke jalur untuk jalur TKI. Dan kita sering mendengar bagaimana mereka diperas di jalur khusus TKI, bahkan kalau ada yang mau menjemput mereka saja, diusir.

Memang saat ini, belum ada jalur atau sarana yang ampuh yang dapat kita gunakan. Tetapi sebaiknya soal ini tidak menjadi cerita yang disimpan saja, tetapi diolah di dalam benak kita, dan terus menjadi sasaran yang disinergikan di antara kita, dan nanti pada saat ada peluang dilemparkan kembali.

Web yang menyalurkan ajang pemilihan pimpinan negara yang sebentar lagi digulirkan, bisa dijadikan salah satu sasaran untuk menyalurkan pembelaan terhadap kaum TIK yang merupakan salah satu pahlawan bangsa. Sementara itu kita kumpulkan semua fakta yang diperlukan, misalnya kalau bisa kita buktikan secara hukum bahwa pembiaran hal ini oleh aparat negara merupakan suatu pelanggaran tersendir, dan tak berbeda dengan korupsi atau kejahatan.

APhD

---In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, Bambang Soetedjo@... wrote:
Setuju banget. Hapus itu terminal khusus TKI. Kenapa dari semula dibentuk terminal ini? karena para petugas malas kerja dan lebih enak memeras sesama bangsa. Mentalitas yang tidak senang lihat pekerja keras di negara orang sebagai TKI harus dibasmi. Enak banget kerjanya memeras bangsa sendiri yang sudah penuh dengan masalah di negara orang. Emang enak kerja di Luar Negeri??? TKI menjadi sasaran empuk para petugas karena mereka adalah TKI yang berbahasa Indonesia atau bahasa daerah.

Coba kalau mereka salah tunjuk kepada orang asing yang gayanya bagaikan TKI dan harus masuk terminal khusus TKI ternyata mereka orang asia dari lain negara dan bicara hanya bahasa Inggris, pingin tau saya bisa nggak mereka memeras dengan pakai gertak dan sok berdasarkan peraturan tetek bengek. Mual saya dengan kelakuan mereka. Jadi bubarkan saja.

Usul saya: Beri jalur khusus untuk TKI dan jangan terminal khusus. Coba kalau anda ke salah satu negara di Eropa pasti ada.

Penjelasan: European Passport dan All Other Passports. Jadi lakukan seperti mereka dengan petunjuk jelas disamping pemeriksaan.

Jalur masuk para penumpang pesawat lainnya. Kalau tidak berarti diskrimasi terjadi di Bandara dan ini harus diberantas. Mereka sama2 penumpang pesawat dan berhak untuk masuk ke Indonesia kembali tanpa syarat apapun dan jangan jadikan mereka sapi perah. Kerja di LN banyak resikonya dan kerja keras.

Salam
BS

--- In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, berry1168@... wrote:
Betul, sebenarnya terminal itu tdk perlu ada, mereka khan warganegara indonesia juga yg berhak mendapatkan perlakuan yg sama. Terminal tsb malah disalahgunakan oleh oknum2 petugas dan preman yg memaksa tki untuk naik kendaraannya dengan membayar mahal. Apa bedanya dengan wn indonesia lain yg bekerja di perusahaan asing di LN. Kampanyekan pembubaran terminal khusus tki, dan kewajiban aparat utk melindungi dan mengayomi mereka.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

--- From: Santi Kurniasari Hanjoyo
Date: Thu, 19 Jun 2008 03:09:31
Subject: [Forum Pembaca KOMPAS] Re: Terminal Neraka Bagi Para TKI
Jadi ingat setahun lalu saat hendak pulang dari Kuala Lumpur, saya bertemu dengan seorang TKI, namanya mbak Siti, asal Jawa Tengah. Mulanya majikan mbak Siti, seorang ibu tua berwajah ramah dan berjilbab, yang menyapa saya saat antre di airport. Setelah mengetahui saya orang Indonesia, si ibu lantas menitipkan mbak Siti kepada saya, agar setidaknya ada teman di perjalanan.

Ngobrol punya ngobrol, ternyata mbak Siti sangat beruntung mendapatkan seorang majikan yang baik. Sayangnya, setelah tiba di airport Cengkareng, kami terpaksa berpisah. Mbak Siti diajak pergi ke tempat lain oleh sejumlah petugas bandara, sementara saya bisa melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.

Terpikir oleh saya, akan diapakan saja ya mbak Siti oleh para petugas itu? Saya hanya bisa mengucap doa.

Kapan ya TKI bisa merasa nyaman, aman, dan tenteram saat tiba di negeri sendiri?

Salam,
Santi.

Read More...

18 June 2008

Terminal Neraka untuk Para TKI

Savitri Wisnuwardhani

Saya teringat pengalaman tiga minggu yang lalu. Saya bertemu di bandara Soekarno Hatta dengan salah seorang buruh migran yang bekerja di Singapura. Ia mengalami masalah ketika akan keluar dari terminal kedatangan internasional. Pengalaman ini sungguh menyebalkan dan menyesakkan hati. Sulit dikatakan negara tidak terlibat dalam kongkalikong percaloan dan pemerasan terhadap para tenaga kerja Indonesia di luar negeri (TKI). Ceriteranya begini.

Sebut saja perempuan ini Lani ya.. Dia berusia 15 tahun ketika bekerja di Singapura. Lani sudah dua tahun berada di Singapura tapi dia hanya sempat bisa bekerja selama satu bulan, sebelum akhirnya mengalami kasus kekerasan. Tragis benar nasibnya, karena majikan memukulinya. Setelah kasus kekerasan ini dilaporkan ke Kementerian Tenaga Kerja Singapura, dia diwajibkan menunggu kasusnya selesai. Ia menunggu selama hampir dua tahun di salah satu tempat perlindungan yang dikelola oleh sebuah lembaga masyarakat di Singapura. Berdasarkan peraturan, dia tidak boleh bekerja selama kasus belum diselesaikan oleh pemerintah Singapura. Begitulah hukum di Singapura yang ketat mengatur tenaga kerja asing.

Dua tahun sesungguhnya terlalu lama bagi Lani, apalagi tanpa bekerja sama sekali. Lani merasa semakin tidak betah tinggal lebih lama lagi di Singapura dan ingin cepat pulang ke kampung halamannya. Ia selalu berdoa dan berharap kasusnya cepat diselesaikan. Doa dan harapan Lani untuk pulang ke kampung halaman terkabul. Pada akhir Mei 2008 lalu ia mendapatkan izin pulang dari pemerintah Singapura dan mendapatkan tiket pesawat untuk kembali ke Indonesia.

Senang sekali Lani dapat pulang. Ia sudah membayangkan kedua orang tua dan sanak saudara menunggu kedatangannya. Lani lantas mengambil tiket, paspor dan pembatalan ijin kerja yang telah diurus oleh pihak agen. Begitulah hukum di Singapura, hampir semua diurus oleh agen, apalagi kalau buruh migran yang bersangkutan punya masalah. Di Singapura buruh migran tidak bisa langsung bekerja karena harus ada yang merekomendasikan untuk bekerja. Pihak-pihak yang bisa merekomendasikan seperti agen yang diakreditasi pemerintah Singapura dan warganegara Singapura.

Setelah Lani mendapatkan paspor, tiket dan pembatalan ijin kerja dari agen, Lani kemudian jadi khawatir setelah melihat keterangan tujuan perjalanan dalam tiket pesawat kepulangannya. Tiket kepulangan Lani hanya sampai Jakarta. Tidak bisa dialihkan ke daerah lain, ke bandara yang lebih dekat dengan daerah asalnya, karena agen tidak mau direpotkan oleh hal-hal kecil. Padahal pengalihan tujuan kepulangan ke bandara lain bukanlah hal sepele bagi Lani. Ia ingin menghindari Jakarta. Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng, Jawa Barat adalah bandara yang menakutkan bagi Lani. Mengapa? Selama dia di Singapura, dia sering mendapatkan informasi dari teman-teman buruh migran Indonesia tentang praktik-praktik pemerasan di terminal TKI di bandara Soekarno Hatta yang merugikan para buruh migran seperti dipalak, diambil barangnya, dan semacamnya. Dia takut apabila pengalaman teman-temannya itu juga akan menimpanya.

Lani meminta pihak agen hingga hari menjelang keberangkatan untuk mengalihkan tujuan perjalanan dari Jakarta ke Jogyakarta. Dia menyatakan kepada agen bahwa dirinya sanggup meskipun dia harus membayar lagi sejumlah SGD100 (±Rp 680.000). Dia masih mempunyai uang dari pemberian teman-temannya di tempat perlindungan. Namun pihak agen tetap tidak mau dengan alasan tidak mau repot. Dengan terpaksa Lani menerima keputusan ini. Pikirnya, yang penting dirinya pulang dan bertemu dengan keluarga di kampung.

Lani akhirnya mendarat di bandara Soekarno Hatta dengan selamat. Tidak ada halangan apa pun selama di perjalanan. Selain itu, ia tidak sendirian karena dalam pesawat yang ditumpanginya, ada beberapa teman buruh migran yang bekerja di Singapura juga hendak pulang ke kampung halaman.

Setiba di bagian imigrasi, Lani tidak mengalami masalah. Meskipun sempat beberapa saat petugas imigrasi melihat wajah Lani karena antara penampilan dengan foto di paspor berbeda. Setelah urusan imigrasi selesai, dia mengambil kopernya dan dengan percaya diri dia berjalan keluar ke Terminal 2 seperti layaknya semua penumpang pesawat keluar dari bandara. Ketika dia berjalan keluar, ujung ekor matanya melihat beberapa teman yang bersamaan dengannya di pesawat secara otomatis dibawa oleh beberapa petugas BNP2TKI dan Angkasa Pura ke terminal lain. Ke terminal khusus para buruh migran.

Langkah Lani keluar dari terminal “menyebalkan” ini mantap meskipun agak grogi karena banyak petugas penjaga di sekitar Imigrasi seperti petugas Bandara dan petugas BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI). Ketika Lani akan melangkah keluar dari tempat pemeriksaan barang, Lani tiba-tiba dikejar oleh salah satu petugas negara tersebut. Herannya petugas ini tidak mengejar orang di depan Lani yang kebetulan adalah pasangan warganegara Indonesia keturunan Tionghua.

Petugas badan nasional itu menanyakan paspor Lani. Lani tetap ngotot tidak mau memberikan paspornya. Bukankah hanya petugas imigrasi yang memiliki hak memeriksa paspor? Tapi petugas ini kemudian memanggil teman-temannya dan Lani dikerubungi oleh tiga petugas. Dengan terpaksa karena nyalinya lama-lama kendor, Lani menyerahkan paspornya kepada petugas BNP2TKI. Lani lantas diminta untuk jalan ke terminal khusus buruh migran.

Dengan lemas, Lani melangkah ke terminal khusus. Terminal yang sangat ditakutinya dan ditakuti oleh banyak buruh migran di Singapura. Lani lantas menghubungi saya untuk dijemput ke terminal khusus di bandara Soekarno Hatta.

Saya lalu mencari cara untuk dapat masuk ke dalam dengan mendesak salah satu pihak agen perjalanan di bandara Soekarno Hatta. Saya dapat masuk dengan membayar Rp50.000. Betapa mahalnya! Saya tidak berdaya untuk berargumentasi karena sementara itu saya terus ditelpon oleh Lani yang sedang ketakutan.

Setelah saya masuk, saya baru tahu bahwa semua pihak (agen perjalanan, petugas Angkasa Pura, petugas BNP2TKI dan kepolisian) sulit dikatakan apa pun yang lain kalau bukan calo. Sulit pula tidak dikatakan bahwa negara tidak mendukung percaloan ini. Mereka saling bertegur sapa. Dengan bebas saya masuk ke dalam. Saya melihat para petugas Angkasa Pura dan BNP2TKI sebanyak lima belas orang berdiri di luar bagian pemeriksaan imigrasi dan menunggu kedatangan para penumpang penerbangan internasional. Ternyata mereka hanya mencari para TKI. Di situ TKI jadi mangsa empuk.

Akhirnya saya ketemu Lani. Raut mukanya sangat bingung. Saya meyakinkannya untuk ke Terminal 4 di mana diurus kepulangan dan pendataan TKI. Saya katakan saya akan menemuinya di sana. Namun dia tidak mau saya tinggalkan.

Pada situasi yang sangat rumit ini, seseorang berbaju preman tapi mengaku diri seorang polisi, namanya hanya Farid, menyatakan dapat membantu Lani keluar asalkan Lani mau membayar Rp700.000. Saya tidak mau dan siap melawan. Namun Lani tidak mau melawan dan bersikeras mau membayar karena dia takut dan ingin cepat-cepat pulang. Dengan tawar-menawar alot, Farid mau menurunkan tawarannya jadi Rp600.000. Rasanya sungguh terpaksa dalam situasi seperti itu dan sesungguhnya sangat disayangkan tapi mau bagaimana lagi karena kami juga terlibat dalam jalur percaloan.

Farid dapat mengeluarkan kami dengan sangat mulus. Tidak ada hambatan meskipun banyak petugas Angkasa Pura dan BNP2TKI berkeliaran di dalam Terminal 2. Tak seperti dalam cita-cita penataan masyarakat, bukan kewajiban para petugas negara adalah melawan praktik-praktik pemerasan seperti yang kami alami ini.

Akhirnya kami dapat keluar dari terminal neraka ini. Sepanjang perjalanan di dalam bus DAMRI kami terdiam. Saya membayangkan kembali adegan-adegan mengesalkan tadi dan keputusan yang kami ambil. Saya merasa tindakan yang diambil Lani adalah tindakan salah tapi tidak dapat mencegahnya.

Saya lantas menanyakan ke Lani, “Apakah tindakan yang kamu ambil sudah benar?” Lani menjawab, “Saya tidak tahu. Yang penting saya bisa keluar dari terminal neraka ini dan bertemu keluarga saya.” Saya belajar satu hal bahwa aturan main yang korup dan dikondisikan begitu kuat menyebabkan orang lemah tidak punya pilihan lain kecuali bila mereka berani membela diri dengan resiko mendapatkan kekerasan dari pihak yang berwewenang.

Read More...