29 October 2006

Nama Perempuan Itu “Bernama”

Yan Koli Bau

MENGHUNI sebuah gubuk reyot berdinding gedhèg bambu dengan celah selebar tiga jari di sana-sini yang sudah miring ke barat mengikuti tiupan angin timur yang kencang, beratap ilalang dan sudah bocor-bocor. Ini bukan impian siapa pun. Namun itulah nasib seorang perempuan empat puluhan yang tak dikenal orang banyak. Tak kurang para pejabat pemerintah. Padahal rumahnya hanya sepelempar batu jauhnya dari jalan antarnegara Republik Indonesia dan Republica Democratica Timor Leste. Kira-kira 130 kilometer dari Kupang, ibukota Nusa Tenggara Timur yang dinamakan “Kota Kasih”.
Perempuan itu bukan saja tak dikenal tetapi juga kehidupannya tak diketahui banyak orang. Mungkin juga tak ingin diketahui. Ia tinggal bersama seorang anak laki-lakinya yang dukuk di kelas tiga sekolah dasar. Seorang lagi kakaknya yang masih sekolah, dan .. seorang anak berusia dua tahun dua bulan yang belum bisa duduk, bahkan tak dapat bergerak, kecuali minum dan menangis sejak bangun hingga tertidur kapan saja. Dia kelelahan ketika mencapai umur satu setengah tahun. Setelah menderita sakit anak bungsu ini buta hingga sekarang! Wajahnya ditumbuhi rambut antara antara dua sampai lima sentimeter. Kulit keriput seperti kain kumal. Kaki dan tangan sulit digerakkan. Perut buncit. Para ahli kesehatan dan pejabat publik menyebutnya menderita “marasmus kwashiorkhor”.

Ibu ini menuturkan bahwa ia mempunyai lima orang anak. Dua di antaranya bekerja di kota SoE sebagai “anak kandang” di peternakan seorang pejabat agama. Seorang lagi bekerja serabutan di kota yang sama. Penghasilan kedua anak ini tak menentu dan setiap mendapat uang. Salah satu atau keduanya kembali menjumpai ibu mereka dan membawa uang seadanya untuk membeli bahan makanan berupa beras atau jagung beberapa kilogram untuk makanan ibu dan adik-adiknya. Jika masih tersisa, uang itu dipergunakan untuk mengupah orang agar membersihkan ladang yang mereka miliki.

Ketika kami menemui satu dari dua anaknya di SoE, anak itu membenarkan semua yang dikatakan ibunya. Saya kagum. Di persimpangan antara kematian dan kehidupan ternyata masih ada orang yang berkata jujur. Dan dia bukan seorang ahli agama, bukan pengkhotbah, bukan pejabat publik, bukan pula ilmuwan, tetapi seorang perempuan desa yang sangat miskin tak berpendidikan tinggi dan berada di ujung kehidupan karena derita. Tiga kali saya mengunjungi ibu ini.

Dalam kunjungan saya, ibu ini menuturkan bahwa dia pernah ditinggal dua kali oleh suaminya. Pertama ketika hamil anak ketiga, kemudian kembali dan kedua ketika sedang hamil anaknya yang menderita marasmus itu. Suaminya tak kembali sampai sekarang. Sang suani pergi dan menikahi perempuan lain, lalu tinggal bertetangga, tak jauh dari anak-anak dan isteri pertamanya, kira-kira 500 m jauhnya. Ketika belum berpisah, mereka mempunyai dua bidang kebun ladang yang digarap bergantian setiap dua tahun. Mereka bukan berladang berpindah, tetapi berladang menetap bergantian lokasi. Dan ladang ini memberi mereka cukup bahan makanan. Apabila hasil ladang tak mencukupi. Si ibu mencari tambahan dengan menjual hasil kebun berupa pisang, ubi-ubian, serta kayu api ke kota.

Suatu ketika, tutur ibu itu, sang suami berubah sikap dan bertindak kasar sampai pada akhirnya tidak pulang ke rumah di malam hari. Kejadian serupa diulangi sang suami berkali-kali hingga akhirnya minta bercerai dengan isteri pertama. Sang isteri tak setuju, tetapi tak dapat berbuat banyak sebab dalam tradisi di kampung itu, lelaki menentukan bercerai atau tidak sebab lelaki membayar mas kawin. Demikianlah perceraian itu terjadi tanpa proses hukum dan tanpa persetujuan lembaga agama yang sebenarnya melarang perceraian. Anak-anak menjadi terlantar. Sang ibu harus berperan sebagai ibu sekaligus ayah. Dalam kondisi demikian tak ada anak yang mampu meneruskan studi ke SLTP sehingga mereka menerima tawaran seorang pemimpin agama untuk mengajak anak sulung dan anak kedua ke kota.


Kejutan besar terjadi, ketika suatu saat (mantan) suami mengajak rujuk kembali dengan janji akan meninggalkan isteri kedua yang sudah beranak satu dan kembali kepada isteri pertama dan anak-anaknya. Sang isteri rupanya masih sangat percaya dan berharap suaminya kembali sehingga menerima kembali (mantan) suaminya. Padahal saat itu isteri kedua sedang hamil. Suasana keluarga biasa-biasa saja. Isteri pertama yang tulus itu kemudian dikejutkan (dan disakiti lagi?) ketika sang suami menunggui (mantan) isteri keduanya melahirkan anak kedua. Setelah persalinan itu sang suami jarang pulang kembali ke rumah isteri pertamanya sampai pada akhirnya meninggalkan isterinya sah untuk kedua kali tanpa proses hukum atau prosedur keagamaan. Padahal saat itu isteri pertama sedang mengandung lagi, dan kemudian terlahir anak bungsu mereka dengan nama Y yang menderita marasmus kwashiorkhor.

Ibu anak Y yang menderita marasmus koashiokor dan buta ini juga menuturkan bah¬wa letak rumah saudara sekandungnya tak jauh dari rumahnya sendiri dan jum¬lahnya empat orang. Akan tetapi mereka enggan menolong si ibu yang malang ini karena tidak senang dengan kelakuan (mantan) suaminya. Setelah ditinggalkan untuk perta¬ma kalinya, saudara-saudara ibu itu menghendaki agar mereka bercerai secara sah. Akan tetapi kesediaan Ibu itu menerima kembali mantan suaminya mebuat saudara ibu itu marah dan tidak mau menolongnya.

Kondisi Ibu ini sangat memprihatinkan, bahkan untuk mengambil jatah bantuan di puskesmas yang berjarak sekitar tujuh kilometer saja ibu ini tidak mempunyai uang untuk membiayai angkutan perdesaan. Sementara anaknya yang sakit sudah keha¬bisan makanan (susu) dan menangis tiada henti.

Berbagai pertanyaan silih berganti mampir dalam benak saya, misalnya: bagaimana mungkin seorang lelaki yang dilahirkan oleh perempuan dan sudah beristeri dengan sejumlah anak tega meninggalkan isteri dan anaknya, apalagi salah satunya menderita marasmus koashiokhor? Bagaimana mungkin sang (mantan) suami bisa kawin dengan perempuan lain dan tinggal berdekatan dengan (mantan) isteri dan anak-anaknya yang dalam penderitaan luar biasa? Mengapa ketika isterinya hamil, sang lelaki mencari isteri lagi dan kembali kepada isteri sahnya ketika isteri kedua hamil dan kembali meninggalkan isteri syah ketika sang isteri hamil (anak bungsu yang menderita marasmus)?

Semua pertanyaan in tidak mudah dijawab. Mungkin karena dorongan seksual sang suami melebihi rasa tanggungjawab kebapakannya. Mungkin karena tekanan ekonomi. Mungkin karena tetangga sedang tidur lelap. Para pemimpin agama sedang memimpin ibadah syukuran. Para pejabat publik sedang kunjungan keluar negeri dan studi banding atau rapat komisi, rapat koordinasi, atau .. mungkin karena .., karena ..

Pada akhirnya saya kembali menjumpai beberapa orang pejabat untuk menanyai lebih jauh mengenai kasus ini. Jawabannya hampir seragam, “karena kemiskinan, karena adat-istiadat yang mendudukkan perempuan pada posisi subordinat terhadap lelaki, dan sebagainya.

Salah satu pertanyaan tersisa adalah mengapa beberapa orang pejabat tidak mengetahui kondisi ini, dan mengapa mereka yang mengakui mengetahui kondisi ini tapi tak mengetahui nama si Ibu dan anak yang menderita itu? Barangkali nama tidak sangat penting untuk mereka, tetapi bagaimana orang dapat mengungkapkan rasa empatinya kepada seseorang kalau mengenal namanya saja tidak?

Dan .. ketika berpamitan dengan seorang pejabat, sekali lagi saya menanyakan nama suami, isteri dan anak yang menderita busung lapar. Tetapi pejabat itu membelokkan arah perbincangan kami dengan cara sangat bersemangat dan meyakinkan saya bahwa mereka sering memberi bantuan, mengunjungi ibu dan anak itu, tetapi .. lupa namanya.
Saya dengan spontan membantu bapak itu dan mengatakan bahwa nama ibu itu “BERNAMA” dan anaknya bernama “Y” sambil berharap dalam hati “semoga Dia yang telah memulai pekerjaan baik di antara kita akan menyelesaikannya ..”

Saya berpamitan pulang untuk menulis surat kepada Anda dalam blog ini.

Salam.**

Read More...

28 October 2006

Untuk Olkes dan Danny

Olkes Dadilado yang baik,

Kami memang pernah melakukan assessment di tiga lokasi eks-pengungsi Timtim di kabupaten Kupang. Salah satunya di desa Noelbakin. Kondisi mereka memang memprihatinkan, baik secara fisik maupun keadaan sosial ekonomi mereka. Cukup banyak ditemukan anak-anak bergizi buruk di lokasi-lokasi tersebut. Bahkan beberapa di antara mereka meninggal tanpa ada yang membantu maupun mencatat. Kondisi hidup mereka masih lebih baik ketika mereka masih "berstatus" sebagai pengungsi karena banyak lembaga internasional yang membantu mereka.

Namun, dengan pencabutan status pengungsi mereka, praktis mereka harus memperjuangkan nasib mereka sendiri. Ternyata tak mudah juga membantu mereka karena pengalaman-pengalaman sebelumnya mereka banyak diberi janji tanpa ada realisasinya sehingga mereka sudah sulit percaya kepada orang-orang luar yang datang untuk membantu.

Memang harus ada kerja sama di antara para LSM dan pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah mereka. Kalau tidak, nasib mereka tak akan berubah. Seberapa jauh persoalan ini menjadi keprihatinan bagi lembaga-lembaga swadaya setempat? Agak sulit untuk sebuah lembaga yang berbasis di Jakarta, seperti The Institute for Ecosoc Rights, untuk mengangkat masalah semacam ini.


Untuk Danny,

Terimakasih Anda telah me-link blog ini ke blog Anda. Kami malah sebenarnya telah membuat link ke blog Anda beberapa saat sebelumnya di blog kami. Tanpa perlu merasa harus minta izin lho … Coba deh berkunjung ke technorati yang canggih itu, lalu masukkan alamat blog Anda ke dalam dialog box "search for" untuk melihat link yang telah kami buat ke blog Anda. Bukankah membuat link ke suatu blog atau website mana pun, sebenarnya adalah penghormatan untuk yang di-link? Gampangnya, bukankah untuk menghormati seseorang kita tak perlu minta izin? Asal siap diusir? :)

Belum lama ini sebenarnya kami mengadakan semiloka dari temuan awal penelitian kami tentang fenomena busung lapar di Nusa Tenggara Timur. Sayang, karena padatnya acara, kami tak sempat berkontak. Namun, seperti Anda bisa baca pada post ini yaitu surat terbuka kami kepada kawan Olkes barangkali bisa Anda sambungkan keprihatinannya? Kerja di daerah kami lakukan dengan membangun linkage dan jaringan, dengan semua keterbatasannya. Sementa ra itu, kami berupaya mengoptimalkan cakupan basis kami di pusat.

Atau barangkali kita bisa kontak lebih jauh lagi kalau bisa membuat konferensi dengan telpon internet, misalnya. Secara terpisah nanti dapat kita bicarakan bukan? Ada banyak kemungkinan seperti VOIPRakyat, proyek Gizmo, tapi layanan Skype barangkali dapat membuat kita terhubung secara gratis lewat internet untuk mengembangkan diskusi. Seandainya memang ada akses layanan broadband di tempat Anda, kontak dan diskusi bukan mustahil. Barangkali dapat kita coba. Sejauh ini masih akan ada kegiatan campaign untuk masalah busung lapar di Indonesia yang harus kami lakukan dalam hari-hari dekat ke depan ini.

Salam hangat.**

Read More...

16 October 2006

Buruh Migran (Perempuan) Rentan terhadap HIV/AIDS

Josephine

Sudah tak sedikit pekerja migran kita yang terjangkit virus HIV/AIDS. Karena kerentanan setiap tahapan migrasi, jumlah para penderita tetap tinggi. Apa yang bisa kita lakukan untuk para pahlawan devisa ini?

Berapa Buruh Migran Terjangkit HIV/AIDS sejak 1993??

  • Tahun 1993-1998: ditemukan tiga orang TKI yang bekerja di Brunei Darussalam yang terinfeksi HIV/AIDS, 2 di antaranya perempuan,Tahun 2003: tercatat 69 calon TKI (24 laki-laki dan 45 perempuan) yang tak jadi berangkat karena terinfeksi HIV (Data YPI, 2003),
  • Tahun 2004: Dari 233.626 calon TKI tujuan Timur Tengah yang melakukan tes kesehatan, teridentifikasi 203 (0.087%) positif HIV/AIDS,
  • Tahun 2005: dari 145.298 calon TKI tujuan Timur Tengah yang melakukan tes kesehatan, teridentifikasi 131 (0.09%) positif HIV/AIDS,
  • Kasus di Filipina: 28% orang dengan HIV/AIDS.

Kolega The Institute for Ecosoc Rights, Josephine dari Yogyakarta, membagikan oleh-oleh informasi untuk kita setelah menghadiri pelatihan fasilitator bertajuk “Informasi HIV/AIDS bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/Solidaritas Perempuan(SP)/Serikat Buruh(SB)” di Bogor, 11-14 September 2006.HIV dan Buruh Migran

Banyaknya para korban virus pelemah ketahanan tubuh ini menunjukkan semakin cepatnya perubahan zaman. Sekarang banyak perempuan yang bermigrasi untuk mencari pekerjaan di mana mereka dibayar lebih baik dibandingkan negara asal mereka. Diperkirakan saat ini para migran perempuan mengisi hampir separuh pekerja migran di seluruh dunia. Proses migrasi yang menentukan ”pilihan” pekerjaan terhadap perempuan meliputi pekerjaan reproduktif (pekerjaan rumah tangga dan hiburan) menjadikan mereka rentan, karena pada sektor tersebut berada di luar cakupan perlindungan hukum dalam pekerjaan terutama Kode Undang-Undang Perburuhan.

Untuk menggambarkan pentingnya migran perempuan dalam pekerjaan rumah tangga, beberapa angka dikutip di sini. Tahun 2000 di Hongkong pekerja rumah tangga migran berjumlah lebih dari 202.900. Antara 1999 s.d. Juni 2001, 691.285 perempuan Indonesia meninggalkan negaranya (angka ini menggambarkan 72% dari total migran yang berasal dari Indonesia) sebagai pekerja rumah tangga.

Akibat kemiskinan, fakta menunjukkan bahwa semakin banyak perempuan menjadi pencari nafkah satu-satunya dalam keluarga mereka. Hal ini menyebabkan naiknya jumlah perempuan yang dengan senang hati mengambil kesempatan untuk mencari nafkah di luar negeri.

Penyebaran virus

Sejak awal 1980an, HIV telah menginfeksi lebih dari 60 juta orang. Masih banyak orang yang memiliki pemahaman yang keliru tentang HIV/AIDS. HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Dia menyerang sel darah putih yang merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh manusia. Sedangkan AIDS diartikan sebagai suatu kumpulan gejala penyakit yang disebabkan karena menurunnya sistem kekebalan tubuh. Ada tiga tahap perkembangan HIV menjadi AIDS, yaitu stadium awal inveksi HIV dan window periode (masa jendela); stadium tanpa gejala atau HIV+, dan stadium dengan gejala dan stadium AIDS.

Kasus HIV/AIDS sebenarnya seperti fenomena gunung es. Hanya 10.156 kasus terdeteksi, padahal diperkirakan ada 90.000 sampai130.000 kasus terjadi di Indonesia. Hal ini karena orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) kurang mendapatkan informasi. Mereka tak menyadari dirinya terinfeksi. Di sisi lain ada cukup banyak kasus orang yang sudah tahu dirinya terinfeksi, enggan memeriksakan diri dan justru memilih untuk bunuh diri. Mungkin karena kurang pendampingan sehingga mereka terganggu secara psikologis.

Penularan HIV

Virus HIV terdapat dalam cairan seksual (cairan vagina dan air mani), darah, dan air susu ibu (ASI). Orang dapat terinfeksi HIV melalui kegiatan yang menyebabkan terjadinya pertukaran cairan, misalnya ketika berhubungan seksual, bayi yang diberikan ASI, dan penggunaan narkoba dengan alat suntik yang sama. Jadi, kalau bersentuhan, ciuman, tukar menukar alat makan, tidak akan terinfeksi penyakit AIDS.

Tidak mudah untuk mengetahui apakah seseorang terinfeksi HIV atau tidak. Jika Anda ingin tahu bagaimana ciri-ciri orang dengan HIV+, bercerminlah! Ciri-ciri fisik seseorang pengidap HIV+ sama saja dengan orang normal. Satu-satunya cara untuk mengetahui seseorang terinfeksi HIV adalah melalui tes darah untuk melihat ada atau tidaknya antibodi HIV. Ada tiga macam Tes HIV: Tes Screening, Tes Konfirmasi dan Tes Alternatif.

Tes HIV idealnya melalui proses Voluntary Counseling and Testing (VCT). Biasanya tes sejenis ini dilakukan secara rahasia, sukarela dan jelas tujuannya dengan pendamping. Namun ada pula tes yang dilakukan secara paksa karena diwajibkan (mandatory), seperti yang terjadi pada buruh migran indonesia (BMI). Hal ini justru bertolak belakang dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 38/2004: “Tidak boleh mewajibkan adanya tes HIV secara mandatory atau tes HIV secara wajib bagi pekerja/buruh dalam proses rekrutmen”. KEP.68/MEN/IV/2004 dan Kaidah ILO tentang HIV/AIDS di dunia kerja juga menyatakan dengan tegas bahwa tindkan HIV tidak boleh dilakukan secara mandatory.

Sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan HIV. Obat yang sekarang ada yaitu ARV (Anti Retroviral) yang digunakan sebagai terapi untuk menghambat berkembangbiaknya virus dalam tubuh. Terapi ARV memberikan kesempatan pada ODHA untuk hidup lebih produktif.

Apakah Buruh Migran rentan terhadap HIV/AIDS?

Perlu menjadi catatan juga bahwa kerentanan buruh migran terhadap HIV/AIDS terjadi di setiap tahapan migrasi. Keadaan mereka rentan karena terjebak dalam trafficking. Di dalamnya ada unsur perekrutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan dengan ancaman, paksaan, kekerasan, penculikan, pemalsuan penyalahgunaan wewenang, dll. Proses trafficking terjadi mulai saat perekrutan sampai dengan tahap pulang ke negara asal.

Kerentanan buruh migran dalam trafficking dipengaruhi situasi dan kondisi yang ada: para buruh migran berusia 14-50 tahun dalam usia produktif untuk bekerja dan seksual aktif. Hubungan seksual tidak aman, bermigrasi tidak bersama pasangan seksual (suami/istri), bekerja minimal dua tahun, tidak memiliki akses kesehatan yang memadai, rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan, menjalani tes kesehatan masal yang tidak higienis.

Strategi jitu terhindar dari virus HIV

Beberapa tips ini penting untuk diketahui para BMI untuk terhindar dari situasi kerentanan terhadap HIV ini.

  • Jangan sampai terjebak dalam masalah trafficking! Caranya? Lakukan migrasi aman!
  • Lengkapi dengan dokumen atau surat-surat yang aman
  • Cari informasi sebanyak-banyaknya tentang negara tujuan, pekerjaan yang ditawarkan, persyaratannya, agen penyalur, akses bantuan, dll.
  • Waspada terhadap situasi dan beberap pihakl yang dapat mendorong terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual, penipuan, bujuk rayu, dll.
  • Lakukan perlawanan dan laporkan kepada pihak berwajib ketika terjadi pelecehan dan kekerasan seksual maupun penipuan
  • Mencatat dan menghubungi tempat-tempat yang bisa membantu bila ada masalah.


Untuk menghidari kerentanan terhadap HIV ini beberapa wanti-wanti ini juga perlu diperhatikan.

  • Pastikan penggunaan jarum suntik yang steril
  • Hindari bertukar jarum suntik atau alat-alat tajam atau tusuk
  • Gunakan selalu kondom saat berhubungan seks beresiko
  • Bila ada IMS (Infeksi Menular Seksual seperti gonorhoe, sypilis, kutil kelamin, herpes genitalis, ulkus mole/chancroid, kutu kelamin dan scabies)
  • Jika memiliki masalah, bicarakan kepada orang yang dapat dipercaya atau encari tempat rujukan.


Tahap Perkembangan HIV menjadi AIDS

Stadium awal infeksi HIV dan Window Period (masa jendela). Tidak semua penderita menunjukkan gejala, tapi kebanyakan menunjukkan gejala seperti flu, letih, dan panas yang berlangsung selama 1-2 minggu. Pada tahap awal infeksi yakni 3-6 bulan sejak tertular HIV, tubuh belum membentuk antibodi secara sempurna, sehingga tes darah akan menunjukkan positif. Masa 3-6 bulan disebut ‘masa jendela’. Pada periode ini, orang tersebut sebenarnya sudah sangat potensial menularkan HIV pada orang lain. Hasil positif biasanya diperoleh setelah melewati masa 6 bulan setelah masuknya HIV tersebut.

Stadium tanpa gejala atau HIV+. Pada umumnya berlangsung selama 5-10 tahun. Pada tahap ini tidak menunjukkan gejala apapun, penderita seperti orang sehat tetapi sistem kekebalan tubuh akan menurun. Pada orang normal, didapatkan CD4: 450-1.200 sel per ml. Bila sel CD4 tersebut menurun sampai 200 atau kurang maka penderita akan masuk stadium AIDS.

Stadium dengan gejala dan stadium AIDS. Terjadi ketika kekebalan tubuh penderita telah sangat menurun. Sehingga pada tahap ini penderita mudah sekali diserang penyakit berbahaya yang mengambil kesempatan untuk muncul saat kekebalan tubuh sangat lemah (infeksi oportunistik). Penyakit-penyakit yang terutama terjasi adalah: selalu terasa lelah, pembengkakan kelenjar pada leher atau lipatan paha, panas yang berlangsung 10 hari, keringat malam, penurunan berat badan yang tidak bisa dijelaskan akibatnya, TBC, diare yang berkangsung lama, infeksi jamur pada mulut dan tenggorokan, kanker kulit (Sarkoma Kaposi), gangguan sistem syaraf pusat, dll.


Tiga Macam Tes HIV

Tes Screening dilakukan sebagai tes tahap pertama karena lebih mudah dilakukan, lebih murah dibandingkan tes konfirmasi. Tes Screening bisa dilakukan dengan dua cara: ELISA (Enzym Linked Immuno Sorbent Assay) dan RAPID test, ELISA digunakan untuk mencari antibodi HIV yang ada dalam darah seseorang. Sifat tes ini sangat sensitif dalam membaca kelainan darah. RAPID Test relatif lebih murah dan pelaksanaannya cepat (Hasil diperoleh kurang dari 20 menit). Tes ini memiliki sensivitas lebih dari 99% dan spesifik lebih dari 98%.

Tes Konfirmasi dilakukan setelah diperoleh hasil yang positif dari tes screening. Tes yang digunakan adalah Western Blot. Tes ini juga melihat kehadiran antibodi HIV dengan lebih akurat, namun tes ini jauh lebih mahal dibanding ELISA.

Tes Alternative sering digunakan sebagai dasar pertimbangan pemberian obat bagi seseorangyang HIV+. Tes yang biasa digunakan adalah CD4 Count Test (Tes perhitungan CD4) dan Viral Load. CD4 Count Test mengukur dampak dari virus HIV terhadap sistem kekebalan tubuh. Dengan mengukur berapa banyak sel CD4 di dalam darah maka dokter dapat menentukan seberapa besar kerusakan pada sistem kekebalan tubuh. Seseorangyang sehat memiliki 500-1500 sel CD4 dalam setiap milimeter darahnya. Bila jumlah sel CD4 berada dibawah 500 dianjurkan untuk menjalani terapi pengobatan untuk penyakit-penyakit simptomatik. Viral Load mengukur jumlah virus HIV dalam darah. HIV terus-menerus berbiak dan melipatgandalkan dirinya dalam aliran darah. Lebih besar jumlah Viral Load, lebih cepat HIV berkembangbiak, dan lebih cepat sistem kekebalan tubuh dirusak. Hasil tes di atas 5.000-10.000 termasuk kategori tinggi.

Masalah HIV/AIDS adalah masalah kita bersama!**

Read More...

04 October 2006

And now I change my mind who is to blame

Sri Maryanti

Digg!

WHEN I told my friend that I had not got a train ticket to go to Solo for Lebaran holiday, he suggested me to buy an economy class ticket at Senen station, Jakarta. I was dismayed by his suggestion. Doesn't he know how horrendous the economy class condition is during the holiday season and most of all during Lebaran? Getting the ticket may not be a big problem, but getting into the train would be a huge problem. When it comes to transportation, the hectic of Lebaran holidays is unmatched. There have not been any changes or improvement whatsoever. This has been my concern for years.

Last year, I took a business class train i.e. Senja Utama from Solo to Jakarta. As a matter of fact, there is almost no difference between the business class and the economy class. The station was already overcrowded. It was completely chaotic. Maybe most people happen to have the same mindset that “In order to get a chance to be together with the family on Lebaran day, everything is worth sacrifying.”

When the train that I was waiting for finally arrived, I was surprised to see how packed it was . There were so many passengers inside. I got discouraged. I was wondering if I could really make it into that jam-packed train wagon and reach my seat. Although the fare increased unbelievably during the Lebaran season, the service has not changed a bit. It was as bad as it has always been. To make things worse, the station was also crammed with the ticket scalpers. I think what they have been doing all this time is to take advantage. The worse situation is, the more advantage they would take.

I had bought the ticket with a seat number but it was useless. Despite the fact that the train was already full with people, those supposedly would-be passengers were still trying hard to get into the train. They brought their luggages and other large boxes. It was appaling that no one inside the train was willing or making some efforts to open the doors of the train wagon although thousands of people were waiting outside.

Then came this man who looked like a soldier banging on the train's door angrily. It did not take him very long to have the door opened for him. Someone opened it from inside the train. As it was expected, everybody else was trying to get in. What a terrifying scene to see how they were jostling against each other! They were fighting for the chance to enter the train. I saw one of them could not brought with him the luggage as they were left out of the train. A baby was forcefully slipped into the train through the window. Believe it or not but the window’s panes could actually be opened for as wide as 25 centimetres only. However, the baby seemed to be able to move her body like a cat while entering the tight pane.

For a moment I was hesitated whether to take that train or to get the refund for my ticket. But I decided to take the train for I realised later on that it was an inevitable situation. In such a hard situation anybody would take that only few chances ‘to survive’ regardless other people. Callous, aggresive, even brutal attitude and behaviour maybe deemed normal in such situation. One could no longer judge whether anybody’s actions are right or wrong.

I was fighting my way through the crowd to get into the train. I can not help but smelling their nasty sweats. After one hour, I finally reached my seat as it was really hard for me to find in which wagon my seat was. And, as you may have thought, somebody had taken my seat. When I asked him to move, he only moved his buttock a bit. He just kept silent and did not utter a single word. What he did was only giving me a bit more space where I could hardly put my butt on. And, it was not even his seat. He had taken my seat and what really infuriated me was the fact that he did not even seem to care or at least feel guilty about it. As if it had not been enough, this man who was travelling with his family had two other members of his family sitting with us at the same seat which was supposedly only for 2 people. So I shared the seat with 4 people, 3 adults and 1 child. In addition, a woman and her baby were down there lying close to my feet. Awkwardly, I sat and tried to sleep for more than 10 hours on that damned trip. There go my Lebaran trip!

In case you forget, that was actually a business class train. It would be hard to imagine how the condition in the economy class would look like at time like this. One wagon could actually only accomodate about 80 people yet I was convinced that at that time there were definitely more than 150 people in my wagon. I could not recall how many more who were sitting and lying and standing on the corridor.

As the train left Solo, two passengers were quarrelling as they found their tickets were having exactly the same seat numbers.

And now I change my mind who is to blame.**


Relevant sidelinks:



Read More...

03 October 2006

Seperti Akhir Sebuah Doa

CMG Gegaleja

Seorang pembaca blog memberikan tanggapannya secara terpisah. Namun kemudian ia bersedia tulisannya diunggah di sini setelah dilakukan konfirmasi dan suntingan.

Membaca cerita ‘Siang Ubi, Malam Juga Ubi’, tulisan Iswanti Suparma dalam blog ini, saya jadi teringat waktu kecil. Saya pernah mengalami hal serupa. Waktu itu sekitar 1970-an di Flores. Memang itu yang ada. Hanya ubi dan ubi dan ubi. Paling hanya pada saat-saat pesta keagamaan seperti Natal, Paskah, Komuni Pertama, kami menikmati hidangan ‘makanan pokok’ yang lain. Atau mendapatkan bantuan berupa bulgur (katanya sih makanan ini adalah makanan ternak) dan susu yang didapat dari misi atau bantuan dari negeri-negeri asing. Kalau para dermawan itu pergi, saya mengalami lagi keadaan semula. Ubi dan ubi lagi.

Namun, pesona alam semesta ini mengantarkan "sosok yang mengandung ubi dan ubi siang dan malam ini" ke Jakarta tahun 1991. Di ibukota pada 1992 saya membaca sebuah makalah penelitian seorang dosen bernama Felix Sitorus dan Alex Weka. Yang terakhir ini adalah paman saya. Kalau gak salah berjudul "Poverty Alleviation in East Nusa Tenggara", sebuah studi kasus. Para peneliti ini mengatakan dua hal yang menyebabkan kawasan ini "is mired in poverty for so long". Kayak doa, hanya dijawab ‘amin’, kedua sebab itu adalah pertama, ‘keterbatasan ekologis’ dan kedua, ‘kemiskinan struktural’.

‘Keterbatasan ekologis’, maksudnya adalah curah hujan rendah, kemarau panjang; topografi dengan tanah-tanah miring dan berbatu-batu semakin menambah sawah dan ladang sulit menghasilkan panen yang berlimpah. Sementara, yang dimaksudkan dengan ‘kemiskinan struktural’ beracu pada kebijakan-kebijakan publik baik dari pemerintah maupun dari tetua adat. Keduanya telah menyebabkan terjadinya proses pemiskinan masyarakat Nusa Tenggara Timur.

Yang dimaksudkan dengan jebolnya kebijakan pemerintah adalah praktik-praktik yang terkait dengan proses penyaluran anggaran dari pusat ke daerah. Pemotongan anggaran terjadi di daerah tingkat satu, tingkat dua, kecamatan, desa, kepala dusun. Yang akhirnya diterima masyarakat adalah sisa-sisa potongan. Sekarang keadaannya sedikit berbeda dengan dulu, karena dulu tak terdengar nyaris apa-apa, tapi sekarang tersiar kabar korupsi merajalela di daerah-daerah. Ditambah pula masalah pajak yang dikenakan secara pukul rata baik untuk yang punya dan tidak punya tanah atau lahan garapan. Lalu ada pula kebijakan yang diambil oleh para tetua adat: Ternak yang berkeliaran karena dilepas begitu saja lalu merusak tanaman-tanaman milik orang lain ditombak atau dibunuh. Akibatnya keadaan ekonomi keluarga-keluarga pemilik ternak berkeliaran yang sebenarnya sudah miskin itu jadi lebih sulit lagi karena mereka kehilangan binatang-binatang peliharaan mereka.

Karena sangat tergerak, kemudian saya tanyakan kepada orang-orang tua di keluarga saya tentang makalah itu. Kebetulan waktu itu paman saya sedang berada di Flores dan saya tanyakan kepada ame* Alex: "Ke manakah hasil penelitian Ame tersebut?" "Penelitian ini akan diseminarkan di Kupang lalu diserahkan kepada pemerintah," Jawab Ame Alex. Di situlah ujung akhirnya. Mentok lagi ke pemerintah.

Di Jakarta, kaum muda dari Flores berkumpul atas dasar suatu keprihatinan lalu dicoba dibentuk sebuah wadah "Pusat studi yang berbasis dan berorientasi ke Flores dan NTT" dengan tujuan untuk mengembangkan dan mempercepat proses pembangunan di NTT pada umumnya dan Flores khususnya. Tapi yang terjadi: mereka hanya berbicara di Jakarta, tidak terjun ke daerah, untuk bergumul dengan persoalan persoalan masyarakat, memberikan jalan keluar atau setidaknya menggelitik kesadaran masyarakat. Itu semua tidak jalan.

Saya berterima kasih kepada teman-teman yang telah terjun ke lapangan dan mengangkat masalah kemiskinan, busung lapar, dll. di daerah tersebut. Saya sangat bergembira bila upaya teman-teman nantinya melebihi apa yang telah dilakukan oleh para peneliti Felix Sitorus dan kawannya itu.**

*ame artinya paman dalam bahasa setempat.

Read More...

02 October 2006

Suka Duka Penelitian Kepustakaan

Savitri Wisnuwardhani

HI guys, ternyata penelitian kepustakaan itu tidak gampang lho! Apalagi dengan keterbatasan kita memaknai data. Aku sampai kesal karena mendapatkan data yang kita inginkan ternyata banyak rintangannya. Menurut temanku, ada perbedaan yang mencolok antara perpustakaan atau litbang yang ada di Indonesia (dua tempat sebagai preferensiku) dengan yang di negeri-negeri maju. Mereka lebih profesional dan lengkap.

Bayangkan, di litbang Kompas yang selengkap itu, data yang ada tidak semuanya dapat diakses. Contohnya, aku mau mencari data mengenai busung lapar. Terus aku coba cari indeksnya di bank data digital di lantai tiga gedung Kompas di Palmerah itu. Bayangkan kalau seandainya ada web khususnya dan petunjuk "tujuh langkah penelitian pustaka"-nya seperti yang berasal dari perguruan tinggi kesohor itu. Tapi apa yang terjadi?

Pertama, kadang komputernya suka nge-hèng alias ga bisa dibuka untuk beberapa menit. Berapa cost waktu yang kukeluarkan untuk menunggu data itu keluar. Kalau waktuku bisa dibayar dengan uang, bisa bayangkan berapa kerugian yang telah kukeluarkan! Kedua, belum lagi tidak semua data dapat dibuka dan di-copy (padahal aku sudah siap dengan duit lho) karena menurut salah satu petugas yang aku tanyai ngejawab: “Programnya lagi rusak dan kami belum bisa menjanjikan sampai kapan data itu ada.” Menyebalkan bukan? Cost waktu dan transport yang aku keluarkan tidak sebanding dengan data yang aku dapatkan.. Inilah Indonesiaku.

Keesokan harinya, aku pergi ke Perpustakaan Nasional (Mudah-mudah link-nya berfungsi. Mohon maaf, kalau ga bisa). Katanya, di sana tersedia dokumen negara dari tahun 1900. Gila gak? Dengan rasa ingin tahu yang sangat tinggi dan ingin mendapatkan data yang lebih lengkap daripada pencarianku sebelumnya tentang sejarah busung lapar, maka pergilah aku ke Salemba. Aku naik ke lantai delapan karena di situlah dokumen itu disimpan. Udara menuju ke lantai atas itu terasa pengap. Barangkali debu-debu awal abad 20-an masih mengendap di sana.

Tapi rasa pengap itu agak terobati, karena pertama kali aku menjejakkan kakiku di ruang itu, aku terperangah dan terpana. Kalau aku bisa berteriak, maka kemungkinan besar bunyinya: “WOW aku berada di sebuah kenangan sejarah!” Ini pengalaman yang menarik bagiku. Bayangkan di sana ada berpuluh-puluh mungkin sampai ratusan (aku ga ngitung) kliping berita koran dari berbagai judul dan memang benar masih ada yang berasal dari tahun 1900. Lembar kliping koran itu berwarna coklat dengan sampul warna biru untuk melindungi lembaran-lembaran gaèk itu.

Lembar demi lembar kucari dan kubuka-buka untuk mendapatkan data yang ingin kudapatkan. Pengalaman membuka dan membaca isi berita kliping koran ini sangat menarik. Sepertinya aku memasuki sebuah ruang masa lalu dengan mesin waktu. Untuk membuka setiap lembar kliping koran perlu hati-hati karena kualitas kertasnya sudah rapuh dan banyak dimakan rayap serta berdebu.. Maklum dokumen tuwir. Pengalamanku ini membenarkan apa kata seorang ahli perpustakaan sendiri. Sebenarnya para pengunjung tak diingatkan sama sekali untuk berbuat dan bersikap bagaimana. Misalnya bahwa harus hati-hati membuka, supaya dokumen tak rusak dan supaya si pembuka dokumen tidak bersin-bersin. Semuanya masih “tradisional”. Berarti dokumen-dokumen rapuh itu terancam punah!

Namun di balik kekagumanku pada isi Perpustakaan Nasional, ada juga kejengkelan. Ternyata masalahku di litbang Kompas terulang lagi. Bahkan kali ini lebih parah. Mereka tidak punya indeks berita lengkap! Yang ada baru setelah tahun 1980 padahal data yang ingin kucari antara 1967 sampai 1978. Itulah dukaku..

Kapan ya kita bisa melihat dan mengelola data sebagai suatu harta yang tidak bernilai harganya? Sekarang di internet pun orang sudah bisa mengunduh buku-buku tua seperti yang ditawarkan oleh Google Search Book. Coba bayangkan jika dokumen-dokume tua itu sudah keburu rusak sebelum bisa dibikin digital. Mungkinkah kita berharap dari kalangan IT Indonesia ada yang mau bermurah hati dan berlapang kocek seperti Google?

Hallo Google Indonesia how are u doing? Why don’t you include in your Search Book also those in Indonesian language? Yang bisa ditemui sejauh ini hanya dalam bentuk snippet atau limited views. Atau mungkin aku salah mengerti karena google.co.id itu sekedar terjemahan doang?**

Read More...