Sri Maryanti
Tinggal bersama keluarga pedesaan terpencil di Buyasuri, kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur sangatlah menarik. Keluarga tak hanya terdiri dari ayah, ibu, anak dan rumah saja. Kalau kita perhatikan lebih teliti ada perangkat dan pranata lain yang menyertai satuan kehidupan kecil tersebut. Hewan memiliki peran dan hubungan yang tak lepas dari kehidupan anggota keluarga.
Hampir sebagian besar rumah keluarga di Buyasuri dijaga oleh anjing. Mereka menyebutnya "au eko boyang". Di saat malam sudah larut dan orang-orang sudah lelap, anjing-anjing ini akan menggonggong jika ada orang asing masuk ke perkampungan. Suaranya mampu membangunkan penghuni rumah. Jadi jangan heran, kalau kita sembarangan masuk ke pekarangan orang malam-malam bisa dikeroyok oleh anjing-anjing tersebut. Tak hanya itu. Masyarakat adat setempat percaya bahwa rumah tanpa anjing akan membawa rasa sepi bagi penghuninya.
Di jalan-jalan dekat pedesaan Lodoblolong (di luar Buyasuri) juga sering dijumpai anjing-anjing membuntut tuannya menuju kebun. Di beberapa daerah perbukitan di Kedang, anjing berguna untuk keperluan berburu. Begitu anak panah mengenai sasaran, anjing tersebut akan mengejar dan melacak lokasi sasaran yang sudah terluka.
Keluarga-keluarga di sini memiliki dongeng menarik yang berhubungan dengan perpecahan masyarakat dan soal anjing. Kebetulan Buyasuri masuk wilayah Kedang. Dulu masyarakat Kedang sangat kompak dan bersatu. Hingga pada suatu hari mereka mengadakan pesta di atas gunung. Dalam pesta itu mereka menyembelih babi lalu dibagi-bagi ke semua yang datang. Namun daging babi tersebut tidak cukup. Walau tidak cukup dan ada yang tidak kebagian, mereka terus saja bertandak bersama. Satu sama saling bergandeng tangan sambil melingkar, menari dan menyanyi. Dengan iringan lirik seperti berikut ini.Namang ita hele
Hamang te lamang
Nedung te hedung
Lirik itu adalah ajakan untuk menyanyi dan menari bersama. Mereka lagukan nyanyian itu sambil terus bertandak.. Tiba-tiba anjing-anjing berdatangan dari segala arah. Rupanya mereka mendengar nyanyian itu dan merasa diajak menari juga. Mereka ikut bertandak dalam pesta. Melihat anjing-anjing juga bertandak, orang itu bubar sendiri-sendiri. Rusak sudah kekompakan itu. Bagi mereka melihat anjing bertandak adalah hal tabu. Yang pantas menari adalah manusia. Hal itu sebenarnya semacam sindiran.Kisah tersebut mengajarkan nilai-nilai luhur dalam masyarakat. Manusia yang tidak peka terhadap persoalan bersama dianggap sama dengan anjing. Kisah itu dipercaya sebagai awal perpecahan masyarakat di Kedang. Sejak itu Kedang terbagi menjadi beberapa bagian. Saat ini Kedang dipecah menjadi dua menurut wilayah administratif. Kecamatan Omesuri dan Buyasuri. Kisah ini juga tak banyak diketahui oleh anak-anak muda sekarang. Tidak tertutup kemungkinan masih ada versi lain dari cerita ini.
Selain anjing, keluarga-keluarga di sini juga banyak memiliki babi. Walau ada yang menaruh di pekarangan, babi umumnya ditaruh di kebun. Kebun adalah tanah garapan yang letaknya di luar desa. Biasanya di pinggir-pinggir hutan. Babi betina dewasa yang siap kawin akan dibawa ke pekarangan menunggu babi jantan birahi. Mereka lalu dikawinkan. Jika proses pembuahan cukup akan dikembalikan ke kebun. Mereka dibawa ke pekarangan pada masa-masa perkawinan agar mudah diawasi. Mereka lebih banyak ditaruh di kebun agar tidak mengganggu perasaan saudara mereka yang muslim. Di Buyasuri separo penduduk beragama katholik dan setengahnya lagi beragama muslim.
Selain babi, mereka memelihara kambing. Kambing ditempatkan di pekarangan diikat pada sebatang pohon.
Hewan lain yang dijumpai di habitat ini adalah nyamuk. Nyamuk sangat banyak ditemui. Nyamuk tumbuh subur disini karena perkampungan ini banyak sekali terdapat bak-bak air penampung air hujan. Maka tak heran kalau dimusim kering yang jarang ada hujan, nyamuk tetap ganas menyerang.**
06 November 2008
Anjing di Lembata
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
6:24 PM
1 komentar
Label: budaya, gaya hidup, Nusa Tenggara Timur, petani
21 August 2008
Jika Tuhan memakai sepatu hak tinggi ..
Iswanti
Sepatuku baru, kubeli di salah satu mall di Orchad, Singapura.
Sepatu baruku memiliki hak tinggi, sekitar tujuh senti.
Walaupun hak tinggi, tapi rasanya nyaman sekali di kaki.
Teknologi tinggi memungkinkan membuat sepatu-sepatu yang nyaman di kaki, apalagi dengan bahan bagus, dan tentu saja harga bagus.
Aku mencoba sepatuku kupakai di trotoar Orchad.
Ternyata, yang bikin nyaman bukan hanya sepatunya, tetapi juga trotoar yang
memungkinkan kita berjalan menggunakan sepatu apa pun,
termasuk hak tinggi sepuluh senti sekalipun.
Hal yang tidak mungkin kulakukan di trotoar di Jakarta.
Masih untung jika ada trotoar ..
Trotoar di Jakarta sepertinya tak ada
yang cukup nyaman untuk dipakai pejalan kaki,
apalagi pakai sepatu dengan hak tinggi.
Untuk bisa berjalan di trotoar di Jakarta ..
kita harus berantem dengan sepeda motor yang naik ke trotoar,
bertoleransi dengan pedagang kaki lima,
atau banyak lubang mengangga
yang membuat kita mesti pasang mata hati-hati.
Ah susahnya berjalan kaki di Jakarta.
Ah, jika saja Tuhan memakai sepatu hak tinggi ..
mungkin kita akan agak perhatian dengan trotoar..
sebab katanya negara kita sangat berketuhanan.
Jadi kalau Tuhan senang mengenakan sepatu hak tinggi,
kita akan ramai-ramai membangun trotoar yang bagus.
Sayang ya, kita hanya menafsirkan Tuhan ada di rumah-rumah ibadah,
sehingga hanya rumah ibadah yang dipercantik.
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
10:36 PM
1 komentar
Label: Aku bertanya .., gaya hidup, Indonesia, Kota, puisi, Singapore
19 December 2007
Meja Kangguru: Memecahkan Dilema Ruang Sempit
Betapa sulitnya setiap kali kami mau bekerja di ruang kantor yang sempit. Itu karena meja bekas yang kami dapat dari garage sale ternyata panjang sekali dan lebar sekali. Tentu saja jadi berat. Kadang-kadang memang diperlukan meja panjang untuk menampung rapat-rapat agak besar untuk hadirin sampai sebanyak 20 orang. Tapi lebih sering kami hanya mengadakan pertemuan kecil dengan tiga atau empat orang saja.
Bagaimana jalan keluarnya? Supaya, meskipun ruang sempit, tapi tetap tak kehilangan meja panjang, namun juga bisa sesuai dan leluasa ketika hanya ada rapat untuk beberapa orang saja? Bagaimana pula nanti kalau ada rapat dan hadir banyak orang?
Meja "kangguru"-lah pemecahannya! Meja ini "punya anak", bisa sampai dua anak meja di dalam "perut" induk meja. Bisa satu anak saja yang dikeluarkan, tapi juga bisa kedua-duanya. Hebat kan?Meja macam ini, yang sering disebut juga "meja ekstensi" (extension table), bisa memecahkan masalah rumah tangga kalau kita sedang mau terima tamu-tamu dalam jumlah yang lebih banyak. Sekalipun kita hanya punya rumah tipe mungil, tapi toh bisa melayani tamu-tamu keluarga. Kalau biasanya hanya dua atau tiga orang, kini bisa kita akomodir dalam meja makan untuk delapan atau sepuluh orang. Setidaknya lebih dari lima orang.
Tukang kayu handal, bernama Pak Karnadi dari Kebon Baru, Jakarta, siap meladeni Anda. Sebelum kena gusur, Pak Kar dulunya tukang becak. Tapi dasar orangnya rajin belajar, dia kursus menukang kayu tahun 1980-an. "Saya pernah membuat almari berbentuk lokomotif," katanya bangga.
Harganya sih kagak mahal. Bisa bervariasi, tergantung permintaan model (oval, heksagonal, rectangular). Bisa nego, tentunya, minimum Rp 1,5 juta (+ biaya angkut) untuk satu buah meja. Spesifikasi bahan: kombinasi multipleks, kayu kamper, engsel 'rusa' dari nikel.
UNTUK PEMESANAN HUBUNGI:
ENDAH, The Institute for Ecosoc Rights,
Jl. Tebet Timur Dalam VI C No.17, Jakarta
T: 021-830 4153; E: ecosoc@cbn.net.id
(mulai pkl 10:00, hari kerja)
Keterangan foto
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
1:58 PM
0
komentar
Label: Aku bertanya .., Ekonomi, gaya hidup, Kemiskinan, The Institute for Ecosoc Rights
01 August 2007
Apakah harus menahan diri saat ia harus pipis atau pup?
Sri Maryanti
Seorang teman tiba-tiba datang kepadaku. Ia menanyakan apakah aku punya pembalut wanita dengan daya tampung lebih? Rupanya ia salah membeli jenis pembalut.
Aku tak memiliki pembalut yang ia maksud. Lalu aku sarankan agar ia tetap memakai pembalut yang ia miliki. Kukatakan juga jika ingin aman harus rajin menggantinya sesering mungkin.
“Masalahnya saya tidak bisa bebas bergerak ke mana-mana di tempat kerja saya,” jawabnya membuatku terkesiap. Aku baru ingat bahwa ia bekerja sebagai kasir di area parkir di gedung sebuah kompleks stasiun televisi.
Baru terbayang di benakku sekarang betapa susahnya menjadi kasir di area parkir. Ia harus berjam-jam duduk di sebuah pos, mengamati setiap mobil yang datang dan mencatat nomor polisinya sebelum si pengendara memperoleh karcis. Sampai-sampai ia harus memakai jenis pembalut yang tahan lama sampai waktu istirahat datang.
Betapa tidak sehatnya cara kerja demikian. Walaupun ia sudah memakai pembalut berdaya serap lebih, menurut sebuah majalah perempuan yang pernah kubaca, setelah darah ha’id keluar selama empat jam, akan didapati kuman-kuman di dalamnya. Maka perempuan harus rajin-rajin mengganti pembalut saat ha’id. Ya Tuhan!
Seorang dokter yang kutanya mengenai hal ini juga mendukung pendapat majalah tersebut. Ia bilang bagian pribadi perempuan akan lembab saat haid karena cairan darah. Keadaan ini membuat bakteri di sekitar vagina mudah berkembang biak. Jadi disarankan agar perempuan yang sedang ha’id sering berganti pembalut. Frekuensi penggantiannya tergantung pada banyak sedikitnya cairan yang keluar.
Lantas, bagaimana nasib temanku yang bekerja di sektor jasa parkir itu? Apakah ia harus menahan diri saat ia harus pipis atau pup? Apalagi tempat kerjanya berada di sebuah basement gedung. Pasti tidak banyak terdapat kamar kecil di sana. Aku tak berani menanyakan hal itu karena takut ia tersinggung.**
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
2:15 PM
0
komentar
Label: gaya hidup, kesehatan, perempuan
30 June 2007
Ibu-ibu di depan sekolah TK
Sri Maryanti
Pagi di sebuah TK di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Di sela-sela anak-anak yang tengah bermain dan berlari-lari, sekelompok ibu-ibu ngobrol sambil mengawasi anak-anaknya. Satu sama lain tampak saling mengenal dengan baik. Rutinitas bertemu itu membentuk interaksi dan kebiasaan yang unik. Namun tak pelak lagi, semua itu butuh biaya.
Apakah keputusan-keputusan masing-masing ibu dalam kelompok tersebut dalam mengeluarkan uang lebih didorong oleh keinginan dalam dirinya melalui perhitungan yang cukup? Atau justru faktor eksternal yang lebih mempengaruhi?
Seorang ibu mengaku hampir setiap bulan pasti menerima undangan ulang tahun untuk anaknya yang belajar di TK. Untuk itu, ia mesti mengeluarkan uang kado. Uang transportasi mesti mereka keluarkan jika ulang tahun jatuh pada hari Minggu yang otomatis perayaannya sering di luar sekolah. Apalagi rumah mereka tak selalu berdekatan. Kadang ada yang agak di luar kota.
Pengeluaran menjadi bertambah. Ada perasaan tak enak kalau tidak datang karena setiap hari mereka bertemu. Selain itu, anak-anak sering merengek minta datang ke pesta semacam itu. Lantas pesta ulang tahun menjadi semacam kebiasaan.
Orangtua tidak tega mengelak saat anak-anak mereka minta dipestakan saat ulang tahunnya. Pesta semacam itu juga sering jadi alat persaingan untuk memperlihatkan kemampuan finansial mereka.
Menjelang akhir bulan puasa seorang ibu lainnya mengeluh. Ia mesti mengeluarkan Rp50.000 untuk iuran. Iuran itu dimaksudkan sebagai “Tunjangan Hari Raya” untuk kepala TK dari kumpulan ibu-ibu tersebut. Ibu itu tak bisa mengelak karena ide tersebut disepakati oleh sebagian besar kelompok ibu-ibu itu.
Memang ada ibu-ibu yang memiliki otoritas dalam dirinya untuk memutuskan tidak mengikuti trend yang ada begitu saja. Namun jumlahnya tak banyak.
Kebetulan di sekolah tersebut, para guru sudah biasa memperoleh bingkisan dari orangtua murid. Ini sering terjadi pada saat kelulusan murid. Di beberapa SD di Tebet, ada guru-guru yang terbiasa menerima kenang-kenangan saat kenaikan kelas.
Selain itu kalangan tersebut juga memiliki kegiatan arisan. Pada waktu-waktu tertentu mereka belanja bersama untuk mengusir kebosanan menunggu jam pulang sekolah. Gosip dan konflik sesama ibu-ibu sering membentuk geng-geng tersendiri di antara mereka.
Namun begitu, mereka mengaku juga memperoleh manfaat dalam pergaulan itu. Mereka bisa saling tukar informasi mengenai tugas sekolah anaknya dan kebutuhan-kebutuhan lainya. Seperti tempat les yang baik, dokter yang baik, tempat berbelanja barang kebutuhan anak, dll. Ada juga seorang ibu yang mencoba mengembangkan bisnis dengan memanfaatkan kelompok itu sebagai pangsa pasarnya, mulai dari jual beli parfum, pakaian, kue-kue kering sampai asuransi.
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
3:24 PM
2
komentar
Label: budaya, gaya hidup, Jakarta, perempuan
Untuk Hari Ini
Babu Negara
Olkes Dadilado
Education21
Rairo
Geworfenheit
Kodrat Bergerak
Chi Yin
aha!
John's blog
ambar
andreas harsono
bibip
Space & (Indonesian) Society
dreamy gamer
sundayz
wadehel
rudy rushady
Timor Merdeka
G M
Karena Setiap Kata adalah Doa
Sarapan Ekonomi
wisat
Adhi-RACA