Showing posts with label hukum. Show all posts
Showing posts with label hukum. Show all posts

07 February 2014

Sulya, Empat Kali Jadi Korban Perampasan Lahan

Sulya


Sejak 2009 saya mengalami empat kali perampasan tanah oleh perusahaan perkebunan sawit. Dua kali perampasan tanah dilakukan PT Bangkit Usaha Mandiri (BUM), masing-masing seluas 27 hektar kebun karet dan 5 hektar kebun karet lainnya. Perampasan lahan yang dua lagi dilakukan PT Bumi Hutan Lestari (BHL), masing-masing seluas 4 hektar kebun buah-buahan yang di dalamnya ada tanaman karet dan 9 hektar ladang padi. Tanpa sepengetahuan saya, perusahaan membakar dan merusak kebun dan ladang. Saya sudah berulangkali menyampaikan protes ke pihak perusahaan dan mengadu ke lembaga adat, pemerintah desa, kecamatan, dan kepolisian untuk meminta tanah saya dikembalikan. Protes saya tak ditanggapi. Perusahaan membayar preman untuk mengancam dan meneror saya. Saya dipaksa menerima ganti rugi sebesar Rp 13,5 juta untuk 27 hektar kebun yang berisi ribuan pohon karet dan Rp 20 juta untuk 4 hektar kebun buah-buahan. Uang Rp. 13,5 juta yang saya dapat dari PT.BUM tak sebanding dengan dana yang sudah saya keluarkan untuk menanam karet. Biaya pembersihan lahan saja Rp 500 ribu per hektar, tidak termasuk biaya pembelian bibit, penanaman dan perwatan. Bisa menghabiskan Rp 3 juta rupiah untuk setiap hektarnya.”  (Sulya,  warga desa Mirah Kalanaman, kecamatan Katingan Tengah, kabupaten Katingan)

Read More...

05 April 2011

Pengiriman TKI Untuk Bayar Utang Luar Negeri

US$ 2,6 miliar kiriman TKI setiap tahun

Chelluz Pahun

Unjuk Rasa penolakan kekerasan terhadap TKI
Direktur International Banking and Financial Institution BMI, Farouk A. Alwyni Bank Muamalat Indonesia (BMI) menandatangi kerja sama dengan Maybank Malaysia Berhad dan Bank Muamalat Malaysia di bidang usaha remittance atau jasa pengiriman uang. Ada 450 tempat yang bisa digunakan nasabah di seluruh Malaysia. Menurut Farouk tercatat US$ 2,6 miliar kiriman TKI setiap tahun. Hal ini sebagaimana diliris oleh TEMPO Interaktif (03/06/2011) 

Sementara itu Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemanakertrans) mengumumkan, sumbangan devisa dari tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri, selama tahun 2009 mencapai 6,6 milyar dolar AS.

Read More...

11 August 2009

Kutunggu Keadilan di Langit Jakarta

(Refleksi Aliansi Rakyat Miskin dalam Advokasi Menolak Perda Ketertiban Umum)

Oleh : Sri Maryanti

Setelah proses panjang advokasi penolakan pemberlakuan 'Perda Kontroversi' yang sarat dengan nuansa pelanggaran hak asasi manusia dan berpotensi besar memicu kekerasan, Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan pada tanggal 27 Juli 2009 kemarin sebagai jawaban atas permohonan uji materiil yang diajukan pihak kelompok miskin melawan gubernur DKI . Keputusan tersebut sungguh sangat melukai hati kami sebagai kelompok miskin di Jakarta. Putusan tersebut banyak dilingkupi ketidakjelasan yang wajib kami pertanyakan keadilannya. Para penggugat langsung dianggap tidak sah hak gugatnya. Para hakim sama sekali tidak mempedulikan isi gugatan kami.

Sementara itu, dalam keseharian, praktek-praktek kekerasan sebagai akibat implementasi dari peraturan tersebut semakin memakan banyak korban di kalangan kelompok miskin di Jakarta. Modus-modus tindakan kekerasan yang terjadi makin berkembang ke tingkat yang lebih mengerikan.

Ganasnya Perda Ketertiban Umum
Dalam catatan Institut EcosocRights, jika dalam satu bulan terdapat 1.000 orang di Jakarta dan sekitarnya kehilangan pekerjaan atau tempat tinggal karena penggusuran dan penangkapan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), angka itu masih terbilang kecil. Rata-rata jumlah korban penggusuran setiap bulannya mencapai 3.200 orang. Sebagian besar terjerat oleh Perda DKI No 8 Tahun 2007 mengenai Ketertiban Umum.

Sebegitu ganas perda ini menghabisi kelompok informal di ibu kota. Memprihatinkan. Apalagi modus-modus penangkapan dan penggusurannya semakin mengerikan. Teman kami seorang pengamen, Dede Armila sampai sering dicekam rasa takut saat harus memegang gitar di jalanan. Apalagi setelah beberapa kali ia lihat cara Satpol PP menangkapi mereka dengan cara yang makin licik. Mereka bagi-bagi sembako pada emak-emak gelandangan dan pengamen atau permen dan makanan kecil pada anak jalanan. Setelah ngumpul, tiba-tiba Satpol PP mengepung. Mereka ditangkapi dan dimasukkan dalam mobil yang berkerangkeng. 'Kami menyebut mobil itu dengan istilah kaleng kerupuk.' Hal seperti ini sering sekali terjadi di daerah Tomang, Jakarta Barat.

Sebenarnya perda kontroversi ini mulai jadi bahasan kami sejak September 2007. Waktu itu gubernur DKI masih dipegang Sutiyoso. Perda tersebut sungguh meresahkan kami karena banyak sekali pasal-pasal yang mengancam kehidupan orang miskin di Jakarta. Gelombaang protes pedagang kaki lima, pengamen, waria, perempuan yang dilacurkan, anak jalanan, dan orang miskin bermunculan. Berbagai aksi demontrasi digelar di kantor-kantor instansi pemerintah. Kami datangi kantor gubernur, kantor DPRD, Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Istana Negara untuk meminta para pejabat negara agar tidak sekejam itu membuat aturan. Tampaknya kami seperti bicara dengan tembok. Bahkan salah satu pegawai Depdagri yang menemui kami, dengan ringan berkata "Kenapa mesti berjualan di trotoar? Kenapa tidak cari pekerjaan menjadi buruh cuci pakaian?" Kami sampai tidak bisa menjawab.

Beginilah kalau kita dipimpin oleh para pejabat yang tidak tahu susahnya menjadi buruh cuci. Orang dilarang mencari kesempatan lebih baik dari buruh cuci. Jadi saat pejabat Depdagri membahas perda ini di sebuah hotel mewah di kawasan pantai Ancol, tidak ada bayangan apapun tentang nasib orang-orang miskin ini akibat peraturan yang sedang mereka bahas. Perda itu diloloskan begitu saja.

Saking kesalnya, kami kemudian ngamen. Hasil ngamen kami serahkan kepada presiden sebagai ungkapan kekecewaan kami pada negara yang tidak melindungi kami. Tapi polisi melarang kami mendekati pasukan penjaga istana yang akan kami titipi duit tersebut. Polisi itu berjanji akan menyerahkan uang itu ke Sekretariat Negara untuk diserahkan ke SBY. Tentu kami tahu, polisi itu hanya membual. Usaha lain untuk mendekati presiden adalah dengan menitipkan pesan pada salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Kami wanti-wanti betul agar ia menyampaikan dampak buruk yang diakibatkan pemberlakuan perda ini. Rasanya juga tidak ada hasilnya. SBY tetap membiarkan perda ini berlaku.

Sebelumnya, beberapa akademisi dari berbagai latar belakang ilmu (planologi, hukum, filsafat, arsitek, sosiologi dan lingkungan) juga pernah mencemooh draft peraturan daerah ini karena terdapat banyak keanehan dalam rumusannya. Mereka sampai membuat acara bertajuk 'Mati Ketawa ala Perda' pada bulan puasa 2007. Kritik mereka bukan sekedar guyonan kosong, namun di dasarkan pada hasil kajian terhadap perda ini. Bayangkan, seorang warga kota bisa di denda hingga Rp20 juta hanya karena membeli makanan di kaki lima yang tidak mendapat ijin pemerintah. Benar-benar sinting. Berikutnya hasil kajian mereka kami lampirkan dalam gugatan maupun surat penolakan kepada pemerintah. Dukungan juga mengalir dari lembaga internasional COHRE (Center on Housing Rights and Eviction). Mereka mengirimkan petisinya kepada pemerintah agar membatalkan perda tersebut. Mereka juga melampirkan hasil kajian kasus serupa di India. Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) juga sempat melayangkan surat penolakan yang disertai hasil kajian mereka kepada Depdagri.

Tahun berganti, pejabat pun berganti. Fauzi Bowo naik menjadi Gubernur DKI. Tak ada kemajuan apapun untuk masalah ini. Gubernur yang baru cenderung mendiamkan proses pemberlakuan perda ini terus berjalan dan meloloskannya ke Depdagri. Akhirnya terpaksa kami menempuh upaya hukum terakhir. Bulan Februari 2008 kami mengajukan gugatan uji materiil keberatan terhadap perda ini ke MA. Kami mengantarkan berkas gugatan tersebut dalam sebuah iringan demonstrasi massa orang miskin ke kantor lembaga tinggi negara ini agar mereka tahu, gugatan ini adalah harapan jutaan orang miskin di Jakarta.

Keadilan Terpenjara
Berbulan-bulan lamanya masalah ini seperti membeku di kantor Mahkamah Agung. Pernah kami coba menanyakan perkembangan kasus ini langsung ke kantor mereka. Kami dipingpong dari ruangan ke ruangan. Memang ada komputer di lobi yang bisa dipakai untuk melihat perkembangan gugatan. Waktu itu kami tidak menemukan gugatan kami terdaftar dalam komputer tersebut. Untung teman-teman dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH-Jakarta) masih rajin memantau perkembangan kasus ini.

Sampai pada akhir Juli lalu, kami dikejutkan oleh sepucuk surat dari MA yang berisi keputusan atas gugatan kami. Surat bernomor 56/P.PTS/VII/2009/P/HUM/2008 tersebut memberitakan bahwa para hakim menolak gugatan kami dan menghukum kami dengan membayar biaya perkara satu juta rupiah. Alasan penolakan adalah para penggugat dianggap tidak sah.

Pupus sudah harapan mendapatkan keadilan dari lembaga tinggi negara yang katanya agung itu tanpa pernah kami dipanggil sekalipun untuk dimintai keterangan. Bahkan kapan dan dimana sidang itu berlangsung kami tak pernah diberi tahu. Yang kami pertanyakan, seharusnya para penggugat diperiksa sah tidaknya satu persatu. Jika hanya sebagian yang tidak sah, maka proses hukum berjalan terus karena ada sebagian penggugat yang sah dan harus dilindungi haknya. Tapi pada kasus ini tidak begitu. Seluruh penggugat langsung dianggap tidak sah bahkan tanpa mempertimbangkan pentingnya isi gugatan.

Kini kami tidak hanya memprotes isi perda ini, namun kami juga memprotes proses yang dijalankan di MA. Mekanisme tersebut sangat tertutup dan tidak membuka peluang lebih untuk mengupayakan kebenaran. Hakim-hakim itu seperti bersembunyi di ruang-ruang tertutup gedung MA. Tak pernah kami tahu atau mengenal bahkan melihat wajah mereka. Bagaimana mereka bisa memutuskan sesuatu untuk kami tanpa mereka mengenal dan mengerti maksud kami. Seharusnya MA membuat mekanisme peradilan yang lebih baik dan lebih memungkinkan tercapainya kebenaran.

Apa yang Kami Dapat?
Tentu kalau dilihat dari tercapai tidaknya tuntutan kami, sangat sedikit kemajuan yang kami capai. Namun proses dua tahun bekerja bersama dalam wadah yang menampung banyak organisasi dengan corak yang berbeda-beda ini adalah capaian tersendiri. Selama rentang waktu tersebut telah terjadi proses saling mengenali dan saling mengerti satu sama lain. Tentu konflik di antara organisasi ini pernah terjadi, namun yang lebih dominan adalah kerja sama yang saling men-suport satu sama lainnya. Berbagai hal sulit bisa kami lewati tanpa banyak beban.

Hal lain yang bisa dikatakan sebagai kelebihan Aliansi Rakyat Miskin adalah semangatnya untuk tetap terus berusaha berjuang. Meski kalah di MA, sedikit pun tidak menyurutkan niat elemen-elemen di dalamnya untuk mencari terobosan dalam mengupayakan penolakan terhadap peraturan yang tidak adil ini. Kemungkinan proses komplain di Mahkamah Konstitusi akan dijajaki.

Kedepannya kami berharap Aliansi Rakyat Miskin akan bertahan terus menghadapi hari-hari di Jakarta dengan penuh semangat mengedepankan kepentingan bersama. Jalan masih panjang, keadilan tetap harus diperjuangkan.**

Lihat isi Perda DKI No 8 Tahun 2007

Hasil kajian KOMNAS HAM terhadap isi perda

Read More...

08 November 2004

Mother, daughter jailed for hitting maid

Today Online, 4 Nov 2008

Ansley Ng

SHE joined the family in March last year as a domestic helper, but barely three months into the job, she was abused by her employers who slapped, kicked and clipped her ears with clothes pegs.

Yesterday, the culprits — 33-year-old Mazlinda Mohamed and her 57-year-old mother Zahara Zainal Abidin — were jailed six and four weeks respectively by District Judge F G Remedios for mistreating their maid.

The court was told that the maid, Indonesian Tita Julita, 27, was employed byMazlinda’s husband in their Pasir Ris home. Six other people lived in the householdand the maid was tasked with general chores.

The abuse first started on June 13 when Mazlinda, who was pregnant at the time, slapped Ms Julita for not cleaning a bathroom sink thoroughly.

The next morning, while Ms Julita was cleaning the sink again, Mazlinda kicked her twice in the back after scolding her for not washing the toilet properly.

According to court documents, there were no visible injuries from the kicks.

Mazlinda was charged with two counts of voluntarily causing hurt.

Her mother, Zahara, was similarly charged. She scolded the maid in July last year for not clipping the curtains in the living room to the window grill.

Later, Zahara took some clothes pegs from her storeroom and after slapping the maid’s cheeks, she clipped Ms Julita’s ears with the pegs and pulled her hair.

Zahara also used a sandal to hit the maid.

Ms Julita left the apartment later, taking refuge at the Indonesian Embassy. A police report was filed the next day.

Speaking to the media after her clients were sentenced, defence lawyer Soraya Ibrahim said the acts were “spur of the moment” actions and that there was no “pattern of abuse”.

Ansley Ng

ansley@mediacorp.com.sg

Read More...