Showing posts with label Human trafficking. Show all posts
Showing posts with label Human trafficking. Show all posts

05 April 2011

Pengiriman TKI Untuk Bayar Utang Luar Negeri

US$ 2,6 miliar kiriman TKI setiap tahun

Chelluz Pahun

Unjuk Rasa penolakan kekerasan terhadap TKI
Direktur International Banking and Financial Institution BMI, Farouk A. Alwyni Bank Muamalat Indonesia (BMI) menandatangi kerja sama dengan Maybank Malaysia Berhad dan Bank Muamalat Malaysia di bidang usaha remittance atau jasa pengiriman uang. Ada 450 tempat yang bisa digunakan nasabah di seluruh Malaysia. Menurut Farouk tercatat US$ 2,6 miliar kiriman TKI setiap tahun. Hal ini sebagaimana diliris oleh TEMPO Interaktif (03/06/2011) 

Sementara itu Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemanakertrans) mengumumkan, sumbangan devisa dari tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri, selama tahun 2009 mencapai 6,6 milyar dolar AS.

Read More...

15 August 2008

Rina Widiana: Si TKI Bola Bekel di Malaysia

Wawancara dengan Rina Widiana, 27 tahun, asal Jember, Jawa Timur, sekarang pekerja restoran di Kuala Lumpur

Saya sudah sejak tahun 1996 masuk untuk bekerja di Malaysia. Sekarang, sudah tiga tahun ini, situasi saya lebih baik. Saya bisa bekerja di restoran Jingga di Jalan Off Pudu Raya, Kuala Lumpur, Malaysia. Saya mendapat upah RM40 setiap hari. Suami saya bekerja juga di Kuala Lumpur sebagai buruh bangunan. Kami sewa sebuah kamar tak jauh dari tempat kerja saya seharga RM250 per bulan. Kami masih punya uang sisa untuk dapat dikirimkan ke desa di Jember maupun ke desa suami saya di Flores. Kalau gaji tak terlambat, setiap bulan saya bisa kirim uang kira-kira RM1.000 ke desa.

Rencananya, saya masih ingin satu kali lagi menyambung permit kerja di Malaysia. Setelah itu, insya’allah ada sisa hasil untuk modal usaha, tapi rasanya ada sisa hasil atau tidak, saya akan pulang kampung untuk usaha tani di sana. Saya masih membayangkan enaknya tinggal dan bekerja di kampung, tak perlu sewa rumah, bahan makanan masih murah ..

Memang selama ini, ada saja yang terjadi di kampung yang masih jadi tanggungan saya, seperti orangtua sakit, adik saya juga sakit lalu meninggal, dsb. Saya juga membiayai semua kebutuhan perawatan kakak saya sebelum meninggal. Dia sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit. Mula-mula dia harus membayar Rp6 juta, yang kemudian saya kirim dari sini, sebelum keluar dari rumah sakit. Tapi setelah dua minggu dia sakit lagi. Masuk rumah sakit lagi. Ongkosnya Rp5 juta. Jadi sudah Rp11 juta saya kirimkan. Kebetulan kakak pertama saya hanya bisa membantu Rp1 juta. Lalu waktu kakak yang sakit itu minta dikirim celana Lewis atau cincin, saya segera kirim. Saya berharap kakak cepat sembuh. Rupanya celana dan cincin itu belum dipakai, tapi dia sudah meninggal. Saya kirimkan seluruhnya untuk keperluan perawatan kakak saya sampai Rp14 juta. Kalau ditanya, apa ada hasilnya bekerja di Malaysia. Tentu selalu ada hasilnya, tapi dengan macam-macam keperluan itu, hasil kerja saya jadi tak nampak.

Mengapa memilih bekerja di Malaysia?
Tapi perjuangan kami berlangsung cukup panjang. Saya masuk ke Malaysia tahun 1996 waktu masih umur 16 tahun, tanpa membuat permit. Saya tak dapat izin dari orangtua. Tapi saya nekad beranikan diri sebab hidup di kampung susah. Orangtua saya miskin. Rumah kami reyot. Sementara saya lihat semua orang di desa punya rumah bagus-bagus. Saya kepingin punya rumah. Itu saja keinginan saya. Sekarang orangtua sudah tua. Tak bisa lagi kerja berat-berat. Walaupun ada sawah, masih harus tunggu empat bulan baru panen. Tak ada penghasilan yang didapat setiap harinya.

Saya bersaudara empat orang. Saya anak ketiga. Kakak tertua juga bekerja di Malaysia, di Sungai Buluh. Yang kedua sudah meninggal, baru tiga bulan lalu. Saya tak bisa pulang. Yang keempat tinggal di desa. Dia sedang akan menikah. Anak saya tiga; semua di kampung, diurus oleh nenek mereka. Yang pertama sudah klas lima, yang kedua klas dua. Yang kecil belum sekolah.

Saya minta bantuan tekong dari desa Sumberbaru di Jember untuk bisa bekerja di Malaysia. Saya tidak menggunakan jasa PJTKI karena semua orang di desa saya yang bekerja ke luar negeri tidak ada yang pakai PT. Kata mereka, kalau lewat PT urusan jadi lama, sampai antara satu bahkan dua bulan, kecuali jadi lebih mahal. Lalu kalau lewat PT jadi PRT juga tak bisa memastikan bahwa majikan itu baik. Banyak pekerja rumah diperlakukan kasar. Kalau ada saudara atau anggota keluarga yang bekerja di Malaysia, biasanya mereka juga tidak lagi lewat PT, tapi minta tolong diuruskan saudaranya itu untuk mendapatkan kerjaan.

Mengapa kau memilih bekerja di Malaysia tanpa dokumen lengkap?
Saya keluar dari dan masuk ke Malaysia sampai empat kali. Yang pertama, 1996, seperti sudah saya katakan, saya masuk dengan paspor tapi bekerja tanpa permit; bayar tekong asal desa Sumberbaru, Jember, Rp1,4 juta. Yang kedua, 1998, sama dengan yang pertama, masuk dengan dibuatkan KTP dan paspor di Tanjung Pinang dan tanpa permit kerja Malaysia; bayar tekong orang sekampung, Rp3,7 juta. Tapi, yang ketiga, kira-kira 2002, saya nekad masuk tanpa ‘paspor’; saya naik pongpong (speedboat) dari Dumai, dua jam sampai di Malaysia; dengan bantuan keluarga suami saya di Dumai saya ditemukan dengan tekong yang hanya minta Rp1,2 juta. Dengan jalan pongpong biaya lebih murah. Dan saya mengatasnamakan diri saya asal dari Jember dengan dokumen KTP saja. Saya sampai muntah-muntah kuning dalam speedboat karena guncangan ombak laut. Saya tak tahu persis di mana speedboat berlabuh di pantai Malaysia.

Masa kosongan (tak berdokumen) itu masih berlangsung setengah tahun berikutnya untuk saya. Lalu, ada dua kali pemutihan yang saya alami, yaitu tahun 2002 dan 2004. Ini jadi ongkos murah karena cukup dengan mengurus perpanjangan dokumen di KBRI dengan hanya bayar RM40, lalu bisa beli tiket dan pulang ke Indonesia. Kalau tak ada pemutihan, ini tak bisa karena tekong di sini masih akan minta banyak uang dari kita lagi. Pemutihan tahun 2004 membuat saya bisa pulang lagi --sebelum masuk keempat kalinya untuk kerja lagi di Malaysia-- untuk membuat paspor yang sesuai dengan jatidiri saya, yaitu di Surabaya atas rekomendasi dari agen di Malaysia yang telah punya hubungan kerja ke Indonesia. Saya tidak lagi kosongan sejak dari Indonesia. Di Jember saya menunggu sampai visa datang, baru berangkat ke Malaysia.

Bagaimana riwayat pekerjaan dan kehidupanmu di Malaysia?
Awalnya, setelah sampai di Malaysia, saya bekerja sebagai PRT di Sungai Buluh. Saat itu saya berjumpa dengan suami saya, asal Flores.

Setelah dibuang dari Malaysia akhirnya sampai di Dumai --sebab saya kena tangkap karena tak punya dokumen--, saya tidak mampu membayar urusan paspor (dan penempatan kerja) di Dumai. Pengurusan waktu itu harus bayar sampai Rp3,5 juta. Saya tidak mengurus di Jember karena semua TKI di desa saya menggunakan jasa tekong. Semuanya diuruskan. Jadi, sekali saja, waktu pertama kali berangkat, paspor saya diuruskan di Jember.

Menjelang dua tahun saya di Malaysia, saya pulang bersama calon suami saya untuk menikah. Umur saya waktu itu 16 tahun. Di kampung kami hanya tinggal dua bulan. Lalu kami berangkat lagi ke Malaysia.

Tapi kami bekerja di Malaysia secara kosongan. Keluar dari Indonesia kami hanya menggunakan paspor pelancong. Sampai di Malaysia, visa kami sebelumnya sudah mati. Sudah tak bisa dipakai lagi. Saya kerja di lokasi bangunan di kawasan perkebunan. Saya jadi kongsikong atau kerani. Pekerjaan saya di bagian kebersihan, cleaning service. Tugas saya sapu-sapu, kemas-kemas sisa semen, angkat sampah.

Upah saya kecil. Karena tak punya cukup uang, saya terpaksa tidak membuat permit. Sampai suatu hari di tahun 2000 itu waktu sedang makan siang saya ditangkap polisi. Saya kemudian ditahan di penjara Semenyih, KL, 12 hari.

Bagaimana keadaan di penjara Malaysia?
Di penjara keadaan sangat parah. Tak ada kekerasan langsung tapi keadaan pelayanannya tak layak. Saya jatuh sakit enam hari selama di penjara. Suara saya sampai hilang. Pagi hari hanya diberi air teh tanpa gula, sepotong roti. Lalu kami disuruh berbaris dan jumlah kami dihitung. Makan tengah hari kami hanya diberi nasi dan ikan kering. Kami diberi minum air mentah.

Benarkah dirimu pernah “dijual” selama menjalani proses deportasi?
Setelah itu saya diwajibkan pulang ke Indonesia. Saya dibuang. Saya diantarkan ke Malaka dan digiring pulang dengan tujuan Dumai. Tapi akhirnya kapal tak jadi ke sana. Baru sampai di Bengkalis saya sudah ditukar naik ferry lain. Saya dibawa ke Pakanbaru.

Di pelabuhan Pakanbaru itu kemudian terjadi “jual-menjual”. Saya sebenarnya tak mengerti benar apa yang terjadi. Yang saya tahu, setelah diberi makan dan air, lalu kami disuruh naik bis. Banyak kawan yang cantik-cantik dan body-nya oke, disuruh naik bis. Saya ikut terbawa bis itu. Bis itu membawa kami sampai jauh sekali, di luar kawasan perkampungan, di tengah-tengah hutan tapi ada sebuah rumah besar. Di rumah besar itulah ada banyak preman tapi juga anggota Brimob. Para preman itu memegang clurit dan senter.

Kami minta tolong kepada para polisi itu, tapi mereka menjawab kami, “Kami juga tak bisa dan tak boleh berbuat apa-apa di sini.” Tapi melihat perilaku mereka, buat saya jelas sekali para polisi itu bekerja sama dengan para preman.

Lalu saya mencoba minta tolong orang. Seandainya sepuluh menit saja terlambat, saya pasti sudah kena jual. Ada banyak orang yang mau membeli kami. Saya katakan pada orang itu, “Tolong katakanlah pada mereka bahwa saya ini istri awak. Tolonglah.” Lalu saya minta juga kepadanya untuk mengantar saya ke Dumai. Di sana ada keluarga suami saya yang bisa membantu. Saya bayar Rp50ribu untuk perjalanan semalam sampai di Dumai. Keluarga suami saya kemudian telpon suami saya yang sementara masih di KL. Lalu suami saya menjemput saya di Dumai.

Kami lalu pulang dulu ke Jember. Kemudian kami masuk lagi ke Malaysia tapi kami tetap kosongan. Untungnya, di Malaysia sedang ada ‘pengampunan’ (kelulusan, amnesti). Mereka yang kosongan diizinkan membuat dokumen oleh pihak Imigresen. Itu sangat istimewa karena biasanya mereka tak bisa sama sekali mengurus dokumen. Para agen memasang iklan di surat kabar dan membuka kesempatan untuk membuat dokumen. Kemudian tahun 2005 saya urus dokumen. Dan sudah tiga tahun ini saya pegang dokumen.

Berapa kali ditangkap polisi Malaysia selama tak berdokumen?
Sesungguhnya dulu waktu kosongan, saya sering ditangkap. Mungkin sampai sekitari 20 kali. Itu penangkapan-penangkapan biasa, bisa dirundingkan dengan uang. Suatu ketika dulu, sebelum menikah, waktu jalan-jalan di Kota Raya saya pernah kena tangkap dan dipaksa membayar sampai RM1.900. Lalu waktu kerja di kawasan bangunan, waktu saya keluar untuk beli ikan atau sayuran, beberapa kali saya kena tangkap. Tapi mereka tidak minta banyak, sekitar RM200 atau RM300 atau RM500. Lihat-lihat apa saya bisa pandai bicara dengan polis(i), lalu polis itu merasa kasihan, barangkali dengan RM100 pun orang tertangkap bisa dilepaskan.

Bagaimana tanggapanmu tentang perlakuan pemerintah dan polisi Malaysia?
Banyak orang Indonesia kena tangkap, termasuk yang punya dokumen. Masa yang tak punya dokumen saja lalu dirotan sampai bilur-bilur karena rotannya mengandung racun. Yang kena rotan biasanya sampai dua minggu tak bisa tidur telentang. Pantatnya keluar darah. Mereka bukan rogol atau perampok. Kami bekerja dan menyumbangkan tenaga di sini. Buat apa mereka dirotan-rotan..

Setelah menangkap polis-polis itu masih berdalih dengan banyak sekali alasan dan pertanyaan yang dibuat-buat. Walaupun permit itu asli tapi sangat sering dibantah oleh polis bahwa itu tak asli, palsu, atau segala macam alasan lain. Di sini terlalu banyak polis yang korup atau makan raswa, terutama terhadap orang Indonesia.

Mereka memang mencekik betul rakyat Indonesia. Sedikit-sedikit dan kalau berhadapan dengan situasi macam mana pun, rakyat Indonesia dipersalahkan. Mereka kurang menyebut orang-orang pendatang dari negara lain, entah Bangladesh, Vietnam atau Myanmar. Mengapa selalu orang Indonesia dikambinghitamkan? Tempat-tempat hunian orang-orang pekerja kontrak dari Indonesia disebut-sebut sebagai “sarang” orang Indonesia di dalam koran-koran. Itu bikin malu saja, kan? Memang ada orang-orang Indonesia yang jahat atau tak betul. Tapi janganlah disapu rata semua. Orang yang kerja betul pun kena sapu rata.

Apa yang kauharapkan dari pemerintah Indonesia?
Saya kadang di sini jadi pikir, pemerintah Indonesia itu kurang adil kepada warga negaranya di Malaysia. Buatlah kebijaksanaan sedikit saja kan .. Peduli sedikitlah pada apa yang terjadi pada rakyatnya yang di Malaysia. Tapi pemerintah Indonesia tak peduli, tak mau tahu. Rakyatnya hidup serba susah di sini. Tak ada dokumen jelas susah. Ada dokumen pun susah.

Apa saranmu untuk para pekerja migran dari Indonesia?
Terpulang kepada orang TKI itu sendiri. Tapi janganlah datang kosong seperti saya dulu. Susah jadinya. Jangan dengan niat yang tak baik. Datanglah ke sini kalau betul-betul mau mencari sesuap nasi, tapi janganlah jadi pekerja rumah tangga, karena sudah banyak sekali yang mengalami kasus, macam tak dibayar gaji atau dipukul majikan, disiksa. Banyak sekali saya temui di jalan-jalan itu, perempuan-perempuan yang lari dari majikannya. Beberapa kali saya menolong mereka .. **



Ditulis kembali oleh tim peneliti dari The Institute for Ecosoc Rights

Read More...

07 August 2008

Salendra: Tertipu PJTKI

updated 17 Aug 2008

Nama saya Salendra, umur 37 tahun, lulus SLTA, sekarang jadi pekerja kontruksi, tak berdokumen, di Precint 15, kawasan Putrajaya, Malaysia; asal dari Lampung Selatan.

Saya lari dari majikan saya di sebuah perkebunan pisang di kawasan Yong Peng, kota kecil di bagian selatan negara bagian Johor, Malaysia. Semua dokumen saya dipegang majikan saya, orang Cina. Saya digaji terlalu kecil, sementara pekerjaan berat.

Saya baru saja mulai bekerja di Malaysia, 2007. Usaha saya di desa bangkrut. Lalu saya putuskan untuk jadi buruh migran. Tapi, sampai di sini, besarnya upah saya tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh calo di daerah asal saya, Lampung Selatan, dan yang juga dijanjikan oleh PJTKI yang mengirim saya: PT Mangun Jaya Perkasa di Jakarta Timur. Padahal saya sudah membayarkan uang perekrutan sampai Rp7juta.

Waktu di kebun pisang, upah saya hanya RM21 per hari, lama bekerja sampai 9,5 jam per hari. Potong gaji selama tiga bulan. Tak ada jaminan apa-apa, tak terkecuali untuk kesehatan. Padahal peralatan kerja harus beli sendiri. Selama ini saya baru bisa mengirimkan uang satu kali saja ke desa, sebanyak RM1.400. Anak saya tiga orang di desa. Saya merasa sangat bersalah pada istri saya.

Agen saya di Malaysia namanya Bonhon Sdn. Bhd. Berkantor di jalan menuju Yong Peng. Saya lari menerobos pagar kawat berlistrik bersama dengan dua orang teman yang lain. Masih banyak ada teman-teman lain yang berasal dari Indonesia di perkebunan itu. Semuanya mengalami nasib yang sama, yaitu ditipu oleh PJTKI dan calo.

Sebagai pekerja bangunan, saya sekarang dibantu oleh seorang teman yang jadi sub-kontraktor yang mau mengupah saya sehari RM35. Pekerjaan saya sekarang mengaduk semen di lokasi calon perumahan di Precint 15, Putrajaya. Saya tinggal bersama dengan ratusan pekerja kosongan dari Indonesia, Bangladesh, Myanmar. Saya sangat berharap dapat mengumpulkan uang secukupnya supaya segera bisa pulang ke Indonesia.

Read More...

07 March 2007

Kembalikan Dokumenku!

MENJEJAKKAN kaki di Taiwan tinggal angan-angan kosong bagi Fernawati. Gadis berusia 21 tahun itu gagal bekerja di negeri yang banyak memiliki pabrik itu. Terlantar tanpa teman di Malang, Jawa Timur. Tak ada kepastian. Sementara dokumen pentingnya dirampas. Mungkin tawaran menjadi pekerja rumah tangga saat itu adalah satu-satunya gantungan agar ia bisa selamat.

Kalau diingat-ingat, Fernawati pernah didatangi seseorang bernama J. Budi Santoso di bengkel milik orang tua gadis itu tanggal 24 Februari 2006. Lelaki itu seorang sarjana yang bekerja sebagai PNS. Ia menawari pekerjaan di Taiwan kepada Fernawati dengan sebuah selebaran.

Selang lima hari kemudian lelaki itu datang ke rumahnya. Sore itu ia memastikan kesediaan Fernawati untuk berangkat. Sore itu pula ia pergi lagi. Rupanya malamnya ia menjemput gadis itu. Sebelum berangkat seluruh dokumen penting milik Fernawati diminta. Gadis itu menyerahkan ijasah SMU, kartu keluarga dan surat ijin dari kepala desa. Dengan sebuah mobil Budi membawa gadis itu dari rumahnya di Jl Ki Hajar Dewantoro 42 Sempolan, Silo, Jember.

Ternyata bukan hanya Fernawati seorang yang dibawa. Mobil itu juga menjemput seorang calon TKI dari kecamatan Mumbulsari di rumah Ibu Intan di desa Suren. Mereka masih harus menjemput seorang calon TKI lain di kecamatan Panti.

Tengah malam baru mereka melanjutkan perjalanan. Mereka harus menenpuh jarak kira-kira 120 kilometer untuk mencapai kota Malang. Dini hari tanggal 30 Februari sampailah mereka di Jl Teluk Etna gang VII 96 Malang. Di situlah penampungan cabang PT Prayogo Prajogo berada. Budi meninggalkan Fernawati di sana. Ia berjanji minggu depan akan datang.

Seminggu lamanya gadis itu menunggu sendirian di tempat yang asing. Nyatanya, Budi tak kunjung datang. Ia menelpon lelaki itu. Calo itu bilang, ia batal ke Malang karena temannya sakit di tengah jalan. Ia berjanji akan menelpon Yuni, pemilik tempat penampungan itu dan meminta segera memberangkatkannya.

Apa yang terjadi? Yuni malah mengatakan Fernawati hanya bisa diberangkatkan ke Taiwan jika ia membayar Rp5 juta. Jumlah uang itu kira-kira sepadan dengan nilai seekor sapi dewasa. Gadis itu menolak. Yuni menawarinya bekerja ke Malaysia. Gadis itu tetap menolak. Yuni menjadi tak mau mengurus keberangkatan Fernawati. Ia lemparkan tanggung jawab itu kepada Budi.

Berkali-kali bahkan berhari-hari Fernawati menghubungi Budi dengan telpon. Sekali pun tak pernah diangkat. Ia terlantar di penampungan itu. Dipekerjakan sebagai tukang cuci, masak sekaligus bersih-bersih tanpa bayaran. Ia hanya memperoleh makan sehari dua kali.

Sampai pada akhir Maret 2006, tanpa sengaja seorang pengunjung tempat penampungan itu memberitahukan sesuatu kepadanya. Menurutnya tempat penampungan itu sebentar lagi akan ditutup. Lalu ia membantu Fernawati melarikan diri dari penampungan dan memberinya pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga di rumahnya selama tujuh bulan.

Itulah akhir dari harapan Fernawati untuk bisa bekerja di Taiwan. Sampai saat ini, seluruh dokumen Fernawati tak juga dikembalikan, meskipun ia menghubungi Budi dan mendatangi tempat penampungan tersebut.**


Investigasi dikerjakan oleh Muhammad Cholili dari Gerakan Buruh Migran Indonesia di kabupaten Jember, Jawa Timur. Ditulis ulang oleh Sri Maryanti.

Read More...

05 March 2007

If so what are police’s real jobs?

Where are you, Halima? (2)

THAT night Heri was not at home. The morning after therefore he reached Heri again and thanks God he finally found Heri. This migrant workers broker suggested Sholihin to go to the agency of PT Syafika Jaya Utama, instead of directly helping him, to meet Mamad, the man whom he said had arranged the departure of Halima to supposedly Malaysia.

However, Sholihin’s effort to ask about Halima at that agency’s office did not offer him any clue. Mamad did not appear himself. Sholihin could only meet a staff member of the agency. He then went back to Heri’s house.

And again Heri asked him to go to find Mamad. This time Heri suggested him to go to Heri’s house, while informing Sholihin the address. However, he failed to find Mamad. He met only Mamad’s wife who then only said: “Mamad goes to Jakarta.”

Sholihin thereby referred back to Heri, but the latter seemed to disappear. Sholihin only met Heri’s wife, who gave him the bank saving account. The woman said his husband had gone to see his second wife.

Sholihin kept trying to meet Heri. Sholihin tried six times to find Heri to pressurze him to get information about his sister Halima, but no result at all. When Sholihin met Heri for the last time accompanied by local village official and a student activist, Heri even mentioned something astonishing, saying that he had forgotten to have recruited Halima as migrant worker, kept her in his house and also arranged her departure. So easy an answer and no sense of responsibility at all.

This painful answer had pushed Sholihin to file formal report to local police about missing person. He was accompanied by local migrant workers union’s activists. All of his efforts have so far only resulted in nothing but grief and nuisance. The police officer he met rejected his report arrogantly. Police said his report was not followed up because there were not enough evidences for claim that Heri indeed had recruited Halima.

It is indeed bad experience that he and his family have to shoulder. He lost his sister. And his family lost their daughter.

In order that his report of missing sister be followed up properly, has he to find that evidence in advance? If so what are the police’s real jobs?**

Previous story:
Where are you, Halima? (1) – Missing sister. Missing daughter.

See Indonesian version.

Read More...

Lalu apa tugas polisi?

Di mana Halima? (2)

MALAM itu Heri tak ada di rumah. Paginya ia kembali datang dan baru bisa menemui Heri. Calo itu malah menyuruh Sholihin datang sendiri ke kantor PT Syafika Jaya Utama untuk menemui Mamad, orang yang mengurusi keberangkatan Halima di PJTKI tersebut.

Usahanya datang ke kantor PJTKI di pinggiran kota Jember itu sia-sia. Mamad yang ia cari-cari tak menampakkan batang hidungnya. Ia hanya bertemu dengan stafnya. Merasa tak membawa hasil apa pun, ia pergi ke rumah Heri untuk mencari kepastian.

Heri kembali menyuruhnya menemui Mamad di rumahnya. Keinginan untuk bertemu dengan adiknya membuat Sholihin rela mencari Mamad di rumahnya. Kembali lagi Sholihin kecewa. Karena ia hanya berhasil menemui istri Mamad yang hanya mengatakan: “Mamad pergi ke Jakarta.”

Rupanya Heri pun turut menghilang. Ia hanya bertemu dengan istrinya yang menyodorinya sebuah buku tabungan. Perempuan itu mengatakan suaminya tak bisa ditemui karena berada di rumah istri pertamanya.

Usaha menemui Heri terus ia lakukan. Walaupun sudah enam kali ia menemui Heri untuk mendesaknya melakukan upaya pencarian informasi, tetap tak membawa hasil. Bahkan saat terakhir ia menemui Heri pada tahun 1995 dengan ditemani sekretaris desa, Pandi, dan seorang mahasiswa, Heri memberikan jawaban mencengangkan. Heri mengaku lupa bahwa ia telah merekrut, menampung dan memberangkatkan Halima.

Jawaban menyakitkan ini membuat Sholihin yang ditemani aktivis dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) melaporkan masalah ini ke kepolisian resor Jember. Ternyata usaha ini seperti hanya sebuah pelengkap penderitaan. Kepala Unit “Ruang Pelayanan Khusus” di kantor polisi itu menolak dengan nada tinggi. Laporan mereka tidak bisa diproses karena tidak ada bukti bahwa Halima direkrut oleh Heri.

Demikian buruk nasib yang harus diterima keluarga itu. Halima hilang. Kehilangan adik. Kehilangan anak.

Untuk melaporkan masalah kehilangan seseorang, haruskah keluarga ini mencari barang bukti sendiri? Lalu apa tugas polisi?**

Baca kisah Halima sebelumnya:
Di mana Halima? (1) — Kehilangan Adik. Kehilangan Anak.

Read More...

03 March 2007

Missing sister. Missing daughter.

Where are you, Halima? (1)

SHOLIHIN was not only confused after being treated like ping pong ball, a popular Indonesian expression, saying that he was sent away by a placement agency to police office and back again to the agency several times. Police officers also almost scolded him. Even though he has sacrificed a lot in getting information about her sister, it was to no avail to know and to find her. No one dared to say he or she was responsible of the ‘disappearance’ of this maid who hails from a village in the surrounding of Sentul plantation (Perkebunan Sentul Afdeling) at Suci village in Jember district of East Java.

He was eaten up by this bitter experience. All started after his sister Halima passed vocational high school for small business of SMEA in Panti subdistrict in Jember nine years ago. Halima then asked for permission from her father to allow her to work abroad as a maid. The peasant family was indeed poor that actually her father could not say otherwise. He later tried to find someone who could help her finding the way to work overseas.

Eventually in 1977 he found migrant worker recruitment sponsor named Heri who stayed at Mangli village housing complex at the suburb of Jember district capital. Halima then were taken as a ‘maid candidate’ as she was placed at Heri’s house. During her stay her family visited her three times. At the last visit however they missed meeting Halima since she had been transferred to the Indonesia’s capital of capital of Jakarta, supposedly before departing overseas.

As the family found things seemed to happen as planned, her brother Sholihin then worked in other island of Borneo (Kalimantan) when Halima “was prepared” to go working abroad. Seven months later, Halima sent a message letter that she was about to be sent to Malaysia, a hard country for unskilled migrant workers like from Indonesia or the Philippines. Law has strangely allowed Malaysians to look down Indonesians who mostly look like them physically. Native Malaysians ethnically are very close to many people from western Indonesia’s areas.

In the letter Halima also asked for some money of Rp30.000 (about 4 to 5 $ US in at the time), which she requested to send to PT Syafika Jaya Utama, the agency that made her possible to go overseas. The agency formerly had an office at the Jember city’s suburb but now you will not find it again. She apparently has got her way to Malaysia by then.

However, strange thing started to take place. There were particularly no news at all from Halima even after two years. This no-news anxiety has driven her brother, who only worked as a low-waged worker, to leave his work in Kalimantan and went back home to Jember. He encountered Heri at his house to ask about Halima’s where-about. According to Heri, Halima very likely took longer work contract in Malaysia. Heri succeeded to calm Sholihin’s deep concern, saying that ‘making longer contract was very common among migrant workers overseas.’

Feeling relieved for Heri’s answer, Sholihin went back to Kalimantan to resume his work. However, nothing was happening. No news from her. It was disturbing for him. It was now already the fourth year of no news. This had driven Heri to ask again Heri for responsibility. However, Heri was not home. The morning after he went again to Heri’s place and eventually Sholihin could meet Heri, he was only then being suggested to go himself to the agency’s office to meet a certain Mamad. The latter was claimed as the person of the agency who was in charge to manage Halimah’s and other migrant works’ trip to go abroad. (to be continued)


Read more sooner: What did Sholihin follow up in finding his sister? Was Heri a sponsor who could be taken responsible? Was Heri a ‘sponsor’ or a ‘scalper’, actually? Who was Mamad, a new face in the story? Why was he missing? Was it not actually a human trafficking? Read: If so what are the real police's jobs? Where are you, Halima? (2)*

Click here to see Halima's picture.

About the authors.
Preliminary investigation was conducted by Mohammad Cholili cum suis from the Indonesian Migrant Workers Movement Organization (GBMI) in Jember district, E Java. Sri Maryanti rewrites the story.

See Indonesian version.





Read More...

02 March 2007

Kehilangan adik. Kehilangan anak.

Di mana Halima? (1)

SHOLIHIN (34) tidak hanya pontang-panting dipingpong calo dan PJTKI. Polisi dengan kasar juga menolak pengaduannya. Sampai sekarang adiknya hilang di Malaysia. Dan tak pernah diketemukan lagi. Tak ada satu pihak pun yang berani bertanggung jawab atas hilangnya seorang TKI asal daerah Perkebunan Sentul Afdeling, Kongsi Tengah, Suci, Panti, Jember tersebut.

Kenyataan pahit ini terpaksa ia telan. Bermula saat adiknya, Halima, lulus dari bangku SMEA sembilan tahun yang lalu. Waktu itu Halima meminta ijin kepada ayahnya agar diperbolehkan bekerja di luar negeri. Ayahnya mendukung dan berusaha menemui orang yang bisa membantu Halima bekerja ke luar negeri.

Sampai akhirnya tahun 1997 ayahnya bertemu dengan Heri. Seorang calo yang tinggal di sebuah kompleks perumahan di daerah Mangli, Kaliwates, Jember. Halima dibawa sebagai calon TKI dan ditampung di rumah lelaki tersebut. Selama ditampung Halima sempat dikunjungi keluarganya sebanyak tiga kali. Pada kunjungan ketiga mereka tak sempat bertemu. Halima sudah diberangkatkan ke Jakarta.

Halima berada di Jakarta saat Sholihin memutuskan bekerja di Kalimantan. Tujuh bulan kemudian, lewat selembar surat Halima, Sholihin tahu bahwa adiknya baru akan diberangkatkan ke Malaysia. Lewat surat itu Halima minta dikirimi uang sebesar Rp30.000 lewat PT Syafika Jaya Utama, PJTKI yang memberangkatkannya. “Perusahaan terbatas” itu semula terlihat berkantor di pinggir kota Jember. Sekarang sudah tak akan ditemukan lagi.

Selama dua tahun Sholihin dan keluarganya menunggu-nunggu kedatangan Halima. Namun jangankan kedatangan Halima, kabarnya pun tak datang jua. Ketidakpastian ini mendorong lelaki yang bekerja sebagai buruh ini pulang ke Jember. Ia temui Heri di rumahnya untuk menanyakan kabar Halima. Menurut Heri, kemungkinan Halima memperpanjang kontrak lagi. Heri berhasil menenangkan kegelisahan Sholihin dengan menjelaskan bahwa “perpanjangan kontrak sudah biasa dilakukan anak-anak (muda) sekarang.”

Lega dengan jawaban Heri, Sholihin kembali ke Kalimantan untuk bekerja kembali. Tahun-tahun berikutnya tetap sama. Tak ada satu pun berita yang mengabarkan adiknya. Namun empat tahun menunggu tanpa sebuah kabar membuat lelaki berperawakan pendek dan hitam itu kembali mendatangi Heri.

Malam itu Heri tak ada di rumah. Paginya ia kembali datang dan baru bisa menemui Heri. Calo itu malah menyuruh Sholihin datang sendiri ke kantor PT Syafika Jaya Utama untuk menemui Mamad, orang yang mengurusi keberangkatan Halima di PJTKI tersebut.*

SIMAK KELANJUTANNYA: Bagaimana kelanjutan usaha Sholihin mencari adiknya yang hilang? Apakah Heri seorang calo yang bertanggung jawab? Tidakkah kita sudah gila mengandaikan seorang calo (bisa) bertanggungjawab? Siapakah Mamad? Apa alasan Mamad sampai tak mau ditemui sekalipun? Apakah ia juga hilang seperti Halima? Apakah semua ini bukan praktik jual beli manusia? --
Di mana Halima? (2) - Lalu apa tugas polisi?

Laporan investigasi awal dilakukan oleh
Mohammad Cholili dkk. dari Gerakan Buruh Migran Indonesia di Jember,
dan dikerjakan ulang oleh Sri Maryanti.

Read More...

09 September 2006

Kerja

Sri Maryanti

Apa yang hebat dari dokumen Laborem Exercens? Dan mengapa justru orang-orang yang semestinya memahaminya malah tidak tahu menahu? Bagiku dalam teks itu bertebaran banyak ‘ranjau’ yang sering membuatku bergidik. Telak benar teks itu menggores kesadaranku. Beda sekali dengan pemahaman kerja dalam benak orang sekarang yang bahkan mempertukang dirinya sendiri. Mereka tak tahu lagi untuk apa bekerja kecuali untuk bertahan hidup. Atau sebaliknya, bekerja mati-matian karena rakus.

Ini adalah keterpesonaan seorang yang bukan katolik pada satu dokumen yang dikeluarkan gereja. Laborem Exercens (baca: Dengan Bekerja) ditulis Paus Yohanes Paulus II tahun 1981. Anehnya, banyak orang katolik tidak paham bahkan tidak tahu isi dokumen ini. Bahkan mungkin pastor-pastor juga belum tentu memahaminya. Sungguh sayang. Dan tentu banyak juga orang menjadi sinis memandang dokumen ini dengan argumen bahwa Laborem Exercens tak memberi solusi yang cukup kongkrit terhadap masalah kehidupan manusia terkini.

Aku kagum benar oleh kalimat-kalimat dalam dokumen tersebut yang menaruh penghargaan tinggi pada kerja manusia. Bisa dibayangkan saat para penulisnya mengungkapkannya. Mereka berada dalam tingkat kejujuran yang tinggi sehingga apa yang mereka torehkan adalah buah-buah jiwa yang utuh.

Berikut saya kutip beberapa kalimat yang sebenarnya ada dalam bab yang berbeda-beda, namun aku tergerak untuk merangkainya menjadi satu paragraf.

Dari kerja, manusia memperoleh martabatnya yang istimewa. Penaklukan bumi (dalam arti luas) hanya bisa dilakukan melalui kerja. Bekerja memampukan manusia mencapai kedaulatannya dalam dunia yang kelihatan sebagaimana layaknya baginya. Kerja akan lebih memanusiawikan pelakunya. Kerja adalah kunci persoalan sosial.

Kalimat-kalimat di atas mengingatkanku pada ajaran Islam mengenai fungsi manusia sebagai ‘khalifahtullah fil ardz’. Manusia wakil Tuhan di muka bumi. Berarti manusia mengemban satu tugas untuk memelihara alam semesta ini. Keharmonisan alam semesta hanya bisa dijaga dengan kerja. Kerja menjadi sesuatu yang utama. Mungkin hal ini menjadi sejajar dengan apa yang disampaikan Laborem Exercens.

Kendatipun kerja merupakan sesuatu yang mulia, namun kenyataannya para pelaku kerja justru mengalami berbagai penderitaan dalam menjalani kerja. Hal ini diakibatkan oleh pandangan umum masyarakat yang keliru dalam memaknai kerja. Kerja lebih dipandang sebagai barang dagangan. Buktinya manusia diperdagangkan, bahkan pekerja-pekerja rumah tangga dipajang di toko-toko dan internet.

Tentu banyak lagi yang diungkap oleh dokumen ini terutama dalam menanggapi persoalan modern berupa kesenjangan dan penghisapan satu kelompok manusia terhadap kelompok yang lain. Dan harus tetap diakui bahwa dokumen ini tak seperti teori-teori sosial lainya yang menawarkan rumusan konkrit untuk mengatasi persoalan sosial yang kompleks ini. Namun dokumen ini memantulkan spirit kuat yang selalu mengingatkanku pada hakikat diriku.

Sebab bila manusia bekerja, ia bukan hanya mengubah hal-hal tertentu dan masyarakat, melainkan menyempurnakan dirinya sendiri pula. Manusia menjadi bernilai karena kenyataan dirinya sendiri daripada apa yang dimilikinya.

Banyak orang takut jadi kristen-katolik karena katanya banyak terjadi usaha kristenisasi atau barangkali ‘katolikisasi’. Jangan takut menjadi katolik gara-gara membaca dokumen ini. Sampai sekarang aku tak pernah menjadi katolik. Bahkan sebaliknya, terpancing untuk terus mencari tahu hal serupa di agama-agama lain. Sangat mungkin sekali suatu saat aku bisa mengerti tentang fiqh mengenai kerja.**

Read More...

19 April 2006

STORIES FROM INDONESIAN MIGRANT DOMESTIC WORKERS

Photo's caption: An Indonesian migrant domestic worker was found dead after she fell down from a high floored apartment in Singapore. Source: Video published by the Singaporean Ministry of Manpower, n.y.

Digg!



FROM SINGAPORE: SUICIDES AND FATAL ACCIDENTS

My work was heavy, I worked from 5:30am to 11pm without any rest. .. My food intake was rationed.. I frequently did not feel like eating because I was too stressful, and had no appetite at all. I tried to survive but I became more distressed by the day – a heavy workload, loss of appetite, continuous confinement in the house, shouted at, scolded and beaten.
Eventually I was in despair and it came to a point when I once tried to kill myself. At that time, there was nothing on my mind except committing suicide. I opened the window and I jumped through. I fell from the second floor. I did not know what happened next.

––from an interview conducted by the Institute for Ecosoc Rights with migrant domestic worker 18-year Robingah, from Banyumas, Central Java, Indonesia, working in Singapore in 2001
––Human Rights Watch has published its comprehensive report on the condition of Robingah's friends in Singapore.

FROM TAIWAN: SEXUAL, PHYSICAL ABUSE

Many migrant workers work 16 to 18 hours a day and can't get overtime pay. Furthermore, many workers are not given any days off each week. Some female domestic helpers are even raped or physically abused by their employers. These workers are not only victims of the Taiwanese legal system but also victims of physical and sexual abuse.

––O'Neil, the director of Hope Workers’ Center, Taipei, quoted by Taipei Time, 29 Dec 2003

FROM MALAYSIA: PHYSICAL ABUSES

One day, my female employer was angry when I was ironing clothes. She sternly said I failed to neatly ironing them. And she slapped my face at once. She then forcefully took the hot iron from my hands and put it on my breast ...

––Story of 19-year Nirmala Bonet, Indonesian domestic worker in Malaysia,Kompas, 21 May 2004

FROM HONG KONG: WORK EXTORTION

Along several months working, I met of problems with my employer. The employer always inhibited my freedom. I could not go out from work place, fully working hours and no time for taking rest. I woke up at 6am and went to sleep at 2am. I might not allow going to sleep less than 10pm and only had once meal in a day. Moreover, I only could eat after finishing my work. I got HK$2,200 (~US$283) every month.

––Puji, Indonesian migrant domestic worker from Magetan, East Java, Indonesia, working in Hong Kong – quoted from Suara Indonesia newspaper, January 2003

FROM MIDDLE EAST: DEATH SENTENCES

Madam... I ask you in the name of God and humanity.. to help me because I have no one who could help me here in Saudi Arabia. My poor family has done everything they could but I believe they have lost hope.. I beg you madam to understand my letter.. In this prison.. we cannot have contact with the outside world, we cannot defend ourselves...

––Siti Zainab, 32-year Indonesian domestic worker, from Bangkalan, Madura, East Java; she was reported to be detained. Migrants in Saudi Arabia are forced to suffer in silence and solitude
––Amnesty International, 2000

FROM JAPAN: WOMEN TRAFFICKING

Just before departure, an agency official asked nice Indonesian girl Dewi to sign a work contract she thought decent. She realized she was not given chance to carefully read it. She just signed it yet only on arrival in Japan did Dewi and her friends know that the contract contained an ac-knowledgement of debt for ¥5 million (~US$ 42,491). The girls were told by their Japanese employers that the amount represented the total costs they had to pay back working in Japan. To pay off so huge a debt Dewi was forced to sell her body. .. Every night Dewi was forced to sleep with visitors to the bar.

–-Tempo newsweekly, January 6-12, 2004

WHAT COULD WE LEARN FROM THESE STORIES?

LEGALIZING SLAVERY IN MODERN WOLRD ... Many governments have consented the practice of forced labor or slavery nowadays. You may consider these four facts, firstly, many governments do not recognize the rights of the migrant domestic workers in their respective employment laws; secondly, their consent to the free market regime that everything is subjected to the market mechanism, such as determining wage standard, work placement fees, work conditions, etc.; thirdly, they have also unfairly applied further restrictive measures against migrant work-ers by charging security bonds, deportation, discrimination, and ironically using discourse on trafficking as well, and not chiefly on migrants’ human rights issues, instead; fourth, they allow an exploitative system that takes too high broker and service fees and in turn it conditions appalling women trafficking.

QUOTATION

Forced labor means “.. all work or service which is exacted from any person under the menace of any penalty and for which the said person has not offered himself voluntarily. ..” (ILO’s No.29 Convention on Forced Labor)

Read More...

FACTS ABOUT MIGRANT DOMESTIC WORKERS FROM INDONESIA

Digg!
WITH the globalization of the world economy, migrant workers, especially women, are becoming the essential components and instruments of the global market system. Contemporary labor migration provides a “global workforce” that is mobile, cheap and frequently responsibility-free, both for employers and governments.

DO YOU KNOW?


  • In 2000, the world has 175-million international migrants, half of which are women. Meanwhile, one of 10 of the population of the more developed countries are migrants. And, 800.000 Asian women workers migrate each year.
  • In 2005 Singapore has about 150,000 migrant domestic workers, coming from Indonesia (55%) and the Philippines (40%), and the rest from Sri Lanka, Thailand, Myanmar, India and Bangladesh. From 1999 to 2005, at least 147 migrant domestic workers were killed for suicide and work mishap, mostly fell down from tall buildings; 124 of the latter originate from Indonesia.
  • In 2001 Hong Kong has 85% women of all 652,810 migrant workers from the Asian countries of the Philippines, Indonesia, Thailand, India and Nepal. In 2003 the migrant domestic workers amounted to about 200,000.
  • In 2001 Taiwan has 330,000 migrant workers and 100,000 of them are migrant domestic workers and has 5,900 undocumented migrant workers. Worse, because about 75% of them have fake documentations.
  • In 2001 Japan has had 1,159,000 migrant workers the majority of whom come from South Korea, China and Brazil.
  • In 2003 Saudi Arabia has 500,000 migrant workers and 90% of them are women.
  • In 2003 Malaysia has 233,204 migrant domestic workers, mostly come from Indonesia.


INTERNATIONAL REMITTANCE

  • In 2001 the remittance amounted to US$ 71 billion. This is 17% higher than the financial aid from the official development assistance (ODA) in 1990. This also parallels with 44http://www.blogger.com/img/gl.link.gif% of the total foreign direct investments.
  • In 2003, the remittance of the migrant workers added up to US$ 90 billions.
  • An increase of 10% of this remittance may result in 1,6% decrease of the poor population in developing countries.


WHAT COULD WE LEARN FROM?

Though economic contributions of the migrant workers may be statistically measured, it is a dearth of data to appraise how much the cost that they have to pay and how much suffering they have to endure for the deficiency of protection for them in both sending and receiving countries of migrant workers.

CONTACT ADDRESS

Tebet Timur Dalam VI-C/17
Jakarta 12820 INDONESIA
Ph./Fax: 62-21-830 4153
Email: ecosoc@cbn.net.id; ecosocrights@gmail.com

Read More...

18 April 2006

WHAT SHOULD WE DO TO HELP MIGRANT WORKERS?


Digg!

Caption: Indonesian migrant domestic workers gathered in their hometown to discuss their future plans to fight for their rights.






OUR AGENDA ..

None among receiving countries for migrant workers have ratified the convention of protecting migrant workers, including the United State of America and the member countries of European Union.

Therefore, we call

on all countries:

  • to recognize migrant workers’ rights as basic human rights by ratifying and implementing all international legal instruments that promote and protect the rights of migrant workers,
  • to recognize the rights of migrant domestic workers in their respective employment laws, either in receiving or sending countries of migrant domestic workers
  • to review and improve all migration laws and policies that discriminate migrant workers and undermine their rights
  • to enhance the capacity and the opportunity of women migrant workers toward employment
  • to rehabilitate and compensate the victims of abuse against migrant workers’ rights.

on sending countries of migrant workers:
  • to boost teamwork and cooperation and create solidarity in order to bargain position with the receiving countries of migrant workers

on all international organizations for human rights:
  • to support migrant workers in organizing themselves to fight for their rights.


Basic rights of migrant domestic workers that should be protected and fulfilled:

  • to be paid of national minimum wage
  • to work not more than 10 hours per day
  • to sleep enough at least eight hours daily
  • to health and safety protection
  • to holiday at least one day each month
  • to limitation of work responsibility
  • to eat enough at least three times daily
  • to have proper accommodation facilities
  • to worship
  • and to organize.

CONTACT ADDRESS
Institute for Ecosoc Rights
Tebet Timur Dalam VI-C/17
Jakarta 12820 INDONESIA
Ph./Fax: 62-21-830 4153
Email: ecosoc@cbn.net.id; ecosocrights@gmail.com

Read More...

17 April 2006

The Institute for Ecosoc Rights


LEMBAGA perkumpulan ini bermaksud menegakkan dan memajukan hak-hak asasi manusia di Indonesia, khususnya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Kami juga mengusahakan akuntabilitas publik dari praktik bisnis yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Untuk jadi anggota, calon harus menyetujui anggaran dasar dan anggaran rumah tangga lembaga ini dan semua peraturan perkumpulan dan bersedia melaksanakan usaha-usaha perkumpulan. Calon anggota harus lebih dahulu diusulkan oleh anggota perkumpulan dan direkomendasikan oleh dua organisasi lain. Sumber pendanaan berasal dari usaha-usaha, sumbangan dan hibah tanpa ikatan dan tak bertentangan dengan asas dan tujuan perkumpulan ini.

Program Kerja!

Setiap saat diperlukan jangan kiranya ragu menghubungi kami!




English version

This association targets at helping enforce and advance basic human rights in Indonesia and in the world, particularly economic, social and cultural rights. We also fight for demanding public accountability of business practices that affect people’s lives.

To be a member of this association, the candidate shall be recommended by existing members and by at least two other related organizations.


If you need more information about us, don't hesitate to contact us.

Read More...

10 August 2005

Kusut Terminal Tiga Jakarta

Publikasi, Agustus 2005

KEBERADAAN Terminal III Bandara Soekarno-Hatta sebagai Terminal Khusus bagi TKI sebenarnya ditujukan untuk memberikan perlindungan dan pelayanan bagi TKI yang pulang dari luar negeri. Namun sejak diresmikan pada tahun 1999 hingga sekarang, keberadaan Terminal III masih problematis.

Di satu sisi, TKI dari luar negeri yang hendak kembali ke daerah asal memang membutuhkan perlindungan dan pelayanan, khususnya pelayanan transportasi. Tidak sedikit TKI yang tidak tahu bagaimana caranya bisa sampai ke rumah mereka yang ada di pelosok-pelosok pedesaan dengan aman dan nyaman. Bahkan bagi TKI yang tidak sukses atau pulang bermasalah, bukan sekedar pelayanan transportasi yang mereka butuhkan, tetapi juga pendampingan dan penganan kasus. TKI yang pulang tanpa membawa uang dan atau dalam kondisi depresi, akan sangat terbantu oleh adanya pelayanan khusus di Terminal III.

Di sisi lain, sistem pelayanan untuk pemulangan TKI yang dibangun pemerintah lewat mekanisme Terminal III, pada kenyataannya memang rawan penyelewengan. Pengelolaan pemulangan TKI di Terminal III yang mestinya mengedepankan perlindungan bagi TKI, dalam pelaksanaannya tidak terlepas dari orientasi bisnis. Ketika pemerintah – dalam hal ini Depnakertrans – memutuskan untuk memindahkan Terminal III ke Ciracas, muncul perdebatan dalam masyarakat. Masalah yang diperdebatkan tidak lagi mengarah pada perlu tidaknya Terminal III, tetapi telah beralih pada perlu tidaknya Terminal III dipindahkan ke Ciracas. Masalah inilah yang melatarbelakangi dilakukannya kajian terhadap sistem transit untuk pemulangan TKI.

Hasil kajian menunjukkan, sistem pengelolaan pemulangan TKI di Terminal III masih sarat dengan kepentingan bisnis dan belum sepenuhnya berorientasi pada perlindungan TKI. Pengelolaan pemulangan TKI yang masih sarat dengan kepentingan bisnis ini kian dipertegas dengan tidak adanya pelayanan bagi TKI yang pulang lewat Pelabuhan Tanjung Priok. Padahal tidak sedikit TKI yang pulang lewat Pelabuhan Tanjung Priok itu yang bermasalah. Mereka itu juga membutuhkan bantuan dan pelayanan.

Kini pemerintah, dalam hal ini Depnakertrans, telah membuat kebijakan baru di Terminal III. Salah satu kebijakan itu adalah diberlakukannya larangan bagi keluarga TKI untuk menjemput anggota keluarganya yang pulang bekerja dari luar negeri. Belum bisa dipastikan, apakah kebijakan ini memberikan dampak positif bagi perlindungan TKI ataukah membuka peluang bagi meluasnya kasus lama, di mana TKI menjadi obyek penipuan, pemerasan dan perampasan selama dalam perjalanan. Satu hal pasti yang sampai kini belum berubah dalam hal pengelolaan pemulangan TKI di Terminal III adalah belum adanya transparansi dan akuntabilitas terhadap pengelolaan dana yang dipungut dari TKI sebagai biaya pelayanan.

Selama belum ada sistem pelayanan yang transparan dan akuntabel, sulit diharapkan akan terwujud sistem pemulangan TKI yang berorientasi perlindungan. Untuk itu, perlu ada upaya monitoring terus menerus terhadap sistem pemulangan TKI di Terminal III. Upaya monitoring ini akan lebih efektif apabila dilakukan oleh TKI sendiri sebagai pihak yang mengalami dan paling berkepentingan dengan adanya Terminal III. Dalam hal ini kami berharap, hasil kajian ini dapat membantu berbagai pihak di dalam melakukan monitoring dan mengupayakan perlindungan bagi TKI.*

Jakarta, Agustus 2005
The Institute for Ecosoc Rights

Read More...