Showing posts with label busung lapar. Show all posts
Showing posts with label busung lapar. Show all posts

02 March 2010

Meeting at children ward

By SRI MARYANTI (updated Nov 26, 2009)

When I looked at them, I immediately asked why their face looks so old. Though the two women's age was not much different from mine. Even Mama Blandina's face looked as if she was fifties while in fact she was
 35 years old. There seemed to be a problem with these women. What I guessed was true, not long after talking with Ms. Blandina, her eyes became wet as soon as she told me her live. So it was with Mama Helena.

Holding her youngest child is two and a half years old,
Blandina Mafani told her story. In a relatively young age, she had given birth six times. And six times did he give birth without medical help. Even more sad, for most pregnant women from the Tulleng village in Lembur subdistrict in Alor have never checked the baby to a health center or clinic. Fortunately, there were traditional midwives in the village who could be asked during childbirth. So she did not know her baby's weight at birth. Thus she did not quite understand what normal and healthy child at birth.

Health center was far away. Midwives and health workers had never visited the house. But there were more problems. Her husband forbade her to go to the clinic for this. When her youngest child was seriously ill, he remained adamant not to take him to the hospital. After some neighbors forced her, she let his son suffering from malnutrition be taken to the clinic. It was the reason why the child ended in the ward because the health center was not able to serve him. She did not participate family planning because the husband prohibited her. Some people in

Read More...

25 November 2009

Pertemuan di Bangsal Anak

Oleh SRI MARYANTI (update 26/11/2009)

Saat aku menatap mereka, aku segera bertanya mengapa wajah mereka terlihat demikian tua. Padahal umur dua perempuan itu tidak berpaut jauh denganku. Bahkan wajah Mama Blandina yang masih berumur 35 tahun seperti perempuan usia limapuluhan. Sepertinya ada masalah dengan para perempuan di bangsal anak itu. Benar rabaanku, tidak lama setelah mengobrol dengan Ibu Blandina, matanya segera basah seiring dengan ceritanya. Demikian juga dengan Mama Helena.

Sambil menggendong anak bungsunya yang berusia 2,5 tahun, Ibu Blandina Mafani bertutur. Dalam usianya yang tergolong muda, ia telah melahirkan enam kali. Dan enam kali pula ia melahirkan tanpa pertolongan tenaga medis. Yang lebih miris lagi, selama hamil perempuan dari desa Tulleng, kecamatan Lembur, kabupaten Alor ini tak pernah memeriksakan bayinya ke puskesmas atau ke klinik. Untung ada dukun beranak di desanya yang bisa dimintai tolong saat melahirkan. Jadi ia tidak tahu berat badan anaknya ketika lahir. Dengan demikian ia juga tidak begitu paham apakah anaknya normal dan sehat saat lahir.

Read More...

24 October 2007

27 Tahun Menjual Perbatasan Indonesia — Timor Leste

Yanuarius Koli Bau

Hampir dapat dipastikan bahwa Kota Atambua tidak lagi asing bagi dunia, setidaknya bagi para pekerja kemanusiaan dan badan-badan dunia. Kota ini dikenal karena dua alasan. Pertama, karena letaknya di perbatasan antara Indonesia—Timor Portugis sebelum koloni Portugis itu berintegrasi dengan Indonesia pada tahun 1976; kedua, karena pembunuhan staf Badan PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) ketika mereka mengurus warga eks-pengungsi Timor Timur setelah jajak pendapat (1999). Dan —mungkin— yang ketiga, karena Atambua dan daerah perbatasan ”sudah terlalu sering dijual”, baik oleh pemerintah, gereja maupun kalangan lembaga-lembaga swadaya masyarakat.

’Penjualan’ pertama dimulai ketika terjadi perang saudara di Timor Portugis sebagai bagian jajahan Portugal pada tahun 1974 sampai terjadinya integrasi dengan Indonesia pada tahun 1976 dan sepanjang 1976 sampai jajak pendapat 1999, ’penjualan’ tetap berlanjut. Babakan kedua ’penjualan’ perbatasan ini dimulai sejak jajak pendapat yang mengawali berpisahnya provinsi Timor Timor dari Indonesia dan menjadi sebuah republik bernama Republica Democratica de Timor Leste (RDTL).

Jika menyimak sejumlah dokumen atau proposal yang diajukan oleh beberapa lembaga, tampak jelas target ’penjualan’ itu bermacam-macam, antara lain masyarakat perbatasan dan eks-pengungsi yang sangat sulit dan miskin hidupnya. Mereka tidak mendapat fasilitas pelayanan dasar yang manusiawi. Lalu apa bentukan ’penjualan’-nya? Menurut para ’penjual’, bentuk kegiatan ’penjualan’ itu adalah ”kegiatan pelayanan kesehatan” —termasuk makanan, pendidikan, perumahan, penerangan, dsb., ”pembangunan infrastruktur” (karena keadaannya tidak memadai), ”integrasi sosial” (karena proses-prosesnya terhambat oleh berbagai konflik), ”kamtibmas” (tidak aman karena masih juga sering terjadi bentrok-bentrok), dan seterusnya.

Ujung dari semua penjualan itu bermuara pada tiga hal. Pertama, tumpahnya dana dalam jumlah sangat besar baik pada ’penjualan’ pertama maupun ’penjualan’ kedua; kedua, bertambahnya kesenjangan antara kaum miskin yang ’dijual’, di satu pihak, dan para ’penjual’ beserta rombongannya, di lain pihak; dan ketiga, semakin tidak bertanggungjawabnya masyarakat atas dirinya sendiri, alias semakin tergantung.

Mengenai ujung pertama agak sulit dikatakan sebab sulit diketahui jumlah dana yang dibagikan atas nama «’pemberdayaan’ kaum miskin di daerah perbatasan» selama ini. Sumber penting dan tepercaya yang saya kenal di Atambua mengatakan bahwa selama tiga tahun pemerintahan bupati setempat sudah menuang investasi melebihi Rp1 trilium tapi hasilnya malahan orang miskin bertambah banyak.

Pada ujung kedua, kesenjangan antara kaya dan miskin sangat mencolok di kota Atambua. Uji indeks Gini atau Oshima bisa bikin hidup ini jadi pahit sekali, sebab dengan mata telanjang saja tampilan fisik rumah, kendaraan bahkan kondisi fisik (badan) antara si kaya dan pejabat dengan si miskin atau rakyat seumumnya sangat jelas.

Ujung ketiga tampak jelas dari sikap apatis masyarakat menyangkut kepentingannya sendiri. Pembangunan gedung sekolah, rumah guru, kantor camat dan rumah dinas pegawai kecamatan bahkan jalan raya yang dulunya dikerjakan secara gotong-royong oleh rakyat sekarang hanya tinggal mimpi. Tidak ada lagi warga masyarakat yang peduli. Bahkan tempo hari ketika saya sempat sampai di lokasi itu dan menanyakan arah jalan, warga masyarakat setempat dengan lantang mengatakan jalan ke tempat itu sudah sangat rusak sebab ”sudah lama pemerintah tidak memperbaikinya”. Saya terheran dan menangis dalam hati. Kepentingan siapakah dengan adanya jalan itu? Untuk pemerintah atau untuk pelestarian budaya masyarakat setempat?

Masalah yang berputar-putar di kepala saya adalah bagaimana caranya agar rakyat dan daerah perbatasan tidak terus menerus dijual oleh para pejabat pedagang dan pedagang pejabat, sebaliknya masyarakat perbatasan diberdayakan agar tidak tergantung dan tidak apatis terhadap kepentingannya sendiri? Bagaimana agar semua dana yang diperoleh atas nama daerah dan masyarakat perbatasan baik yang dikelolah pemerintah, gereja, maupun lembaga-lembaga swadaya dan siapa pun yang lain, dapat diperiksa oleh auditor independen dan hasilnya dipublikasikan secara transparan agar tidak terjadi transaksi jual-menjual di atas transaksi jual-menjual yang lain sehingga akibatnya masyarakat tetap miskin dan menderita? Adakah lembaga atau pihak yang dapat membantu menyelesaikan kedua persoalan saya ini atau memberikan contoh yang baik untuk ditiru oleh semua orang?**

Atambua/Kupang-NTT; ykolibau@yahoo.com

Read More...

28 July 2007

Martinus Lagu: Menjadi Petani Organik Lebih Untung daripada Jadi Tukang

Sebelum jadi petani organik, Om Tinus adalah tukang bangunan. Sebagai tukang bangunan, pekerjaannya jauh lebih berat dari petani. Selain itu ia juga sering meninggalkan keluarganya kalau lagi dapat pekerjaan yang jauh dari desanya. Meski pekerjaannya berat, penghasilannya sebagai tukang boleh dibilang rendah. Dalam waktu 1-2 bulan, ia hanya mendapatkan penghasilan tak lebih dari Rp 1-2 juta.

Setelah mengenal pertanian organik, ia melihat ada peluang yang bisa diraih. Ia tinggalkan pekerjaannya sebagai tukang dan beralih menjadi petani organik dengan usaha utamanya memproduksi pupuk organik. Setiap hari ia bisa memproduksi rata-rata 1,5 ton pupuk organik, dengan harga jual Rp 1.000; per kg. Bisa dihitung berapa rupiah yang bisa ia terima setiap harinya. Padahal dia tidak mengeluarkan uang sedikitpun untuk membuat pupuk organik karena ia menggunakan kotoran hewan sendiri yang dikandangkan dan bahan-bahan lain yang ada di sekitarnya.

Karena pembuatan pupuk ia lakukan di rumah, maka selain membuat pupuk, Om Tinus juga bisa mengerjakan pekerjaan lain, seperti menanam sayur untuk konsumsi keluarga sendiri. Dengan menghasilkan bermacam-macam sayur tanpa biaya, dia pun bisa menghemat sekitar Rp 200.000 per bulan, karena tidak lagi mengeluarkan uang untuk membeli sayur. Selain itu, dia juga menjual EM4 dan pestisida organik.

Keuntungan lain datang dari sawahnya yang kecil, yang diolahnya secara organik. Dia tidak menggunakan pupuk untuk sawahnya, tetapi hanya menerapkan pengolahan dan cara tanam secara organik. Hasilnya, produksi meningkat, sementara pengeluaran untuk mengolah sawah menurun, karena tidak perlu lagi beli pupuk kimia. Dengan meningkatnya produksi, jumlah beras yang dibeli pun menurun. Kini, pekerjaan Om Tinus selain lebih ringan, penghasilannya pun jauh lebih besar.

Read More...

Hasil padi melimpah dengan pola tanam baru






















Pola tanam satu anakan untuk setiap titik tanam, jarak 15 x 20 cm, menghasilkan anakan jauh lebih banyak.



Picasa Album Link

Organic Farming in Manggarai, Indonesia

Read More...

27 July 2007

Ibu Emi: Dengan Pertanian Organik Tak Ada Lagi yang Terbuang

Gerakan Petani Manggarai untuk Membela Kehidupan (1) (2) (3) (4)

Ibu Emi hanya memiliki lahan tidak lebih dari seperempat hektar sawah. Dengan lahan sesempit itu, ia mengeluarkan biaya untuk pupuk TSP (Trisodium phosphate) dan Urea sedikitnya Rp 300.000. Dengan biaya sebesar ini, sawahnya hanya mampu menghasilkan tiga sampai empat karung beras. Setelah mengenal pertanian organik, ia kemudian beralih menjadi petani organik.

Empat tahun sudah Ibu Emi menjadi petani organik. Tiga tahun pertama dia masih menggunakan pupuk organik buatannya sendiri dengan biaya hanya Rp 50.000 untuk membayar tenaga pengolah pupuk. Dengan biaya tersebut, ia mendapatkan satu ton pupuk organik. Pada tahun keempat, ia tidak lagi menggunakan pupuk organik. Ia hanya menerapkan cara mengolah dan menanam secara organik. Kini hasil sawahnya tidak lagi tiga atau empat karung seperti sebelumnya, tetapi sudah meningkat menjadi tujuh karung.

Pertanian organik membuatnya semakin menyadari, tidak ada lagi bahan yang terbuang. Semua bahan yang ada di sekitarnya bisa diolah menjadi pupuk yang sangat bermutu. Dengan menjual pupuk buatannya sendiri, dia bisa menerima pemasukan tambahan Rp 1 – 1,5 juta per bulan. Kebutuhan sayur untuk keluarga pun bisa dicukupinya sendiri. Bahkan hasil sayur pun masih bisa dijual karena tidak habis dikonsumsi sendiri. Satu pohon tomat yang ia tanam di samping rumahnya, misalnya, bisa berbuah sampai 40 buah dan tidak habis bila dimakan sendiri.


Di tengah keruwetan persoalan kemiskinan dan bencana yang melanda bumi Nusa Tenggara Timur, para petani sederhana itu toh masih bisa melihat titik terang menuju kemandirian. Para elit politik-ekonomi di NTT yang dalam hal pendidikan jauh lebih baik dibandingkan para petani itu semestinya bisa melihat lebih jelas lagi titik terang untuk bangkit dari kemiskinan.

Sayangnya, masih banyak elit politik-ekonomi di NTT yang tidak mau sedikit rendah hati untuk belajar dari kearifan orang-orang kecil dan merasa diri paling tahu apa yang terbaik bagi rakyat. Tidak sedikit elit di NTT ini yang masih saja silau dengan gemerlapnya materi yang ditawarkan pemodal besar dan memilih pendekatan yang berorientasi pada keuntungan jangka pendek tetapi dengan resiko kerusakan jangka panjang yang mereka bebankan pada rakyat.

Lihat saja bagaimana industri pertambangan mulai dijadikan alternatif peningkatan PAD di beberapa kabupaten di NTT, meskipun para elit itu tahu betul betapa kondisi ekologi NTT yang telah rusak dan rawan bencana itu tidak layak untuk dijadikan daerah industri pertambangan. Bagi mereka, kehidupan lebih baik berarti rumah mewah, mobil wah dan berlimpahnya rupiah. Upaya menjaga bumi NTT dari kerusakan dan kehancuran adalah perkara nomor sekian. Sebab yang pertama-tama menanggung bencana bukanlah mereka, para elit itu, melainkan rakyat.

Jangankan belajar dari orang kecil, yang terjadi justru sebaliknya. Orang-orang kecil yang membela kehidupan dan menolak industri pertambangan yang jelas-jelas merusak kehidupan itu seringkali mereka nilai sebagai orang-orang yang belum tercerahkan dan karenanya tidak paham apa artinya kehidupan lebih baik. Betapa jauh jarak sudut pandang antara elite politik-ekonomi dan orang-orang kecil dalam memaknai kehidupan lebih baik di bumi NTT ini.

Tidak heran kalau perkara penolakan penambangan emas oleh warga di kabupaten Lembata – NTT pun akan mereka nilai sebagai perkara ketidakpahaman rakyat. Sebab para elite itu tak pernah bertanya pada rakyat dan juga tak peduli apa artinya kehidupan lebih baik di mata rakyat.

Read More...

19 July 2007

Hilarius Man: Pertanian Organik Mengembalikan Tradisi “DODO”

Sri Palupi

Gerakan Petani Manggarai untuk Membela Kehidupan (1) (2) (3) (4)


Perubahan macam apa yang terjadi dalam hidup para petani yang beralih dari pertanian kimia ke pertanian organik ini? Berikut adalah kesaksian mereka yang tinggal di daerah Pagal, kecamatan Cibal, kabupaten Manggarai – Nusa Tenggara Timur.

Sebelum mempraktekkan pertanian organik, Hilarius Man, 65, yang 30 April 2007 lalu terpilih sebagai Kepala Desa Nenu, kecamatan Cibal, kabupaten Manggarai ini adalah mantan kepala Koperasi Unit Desa (KUD). Sejak 1990 sampai 1999 ia menjabat sebagai kepala KUD. Sebagai kepala KUD, tentu saja ia akrab dengan produk-produk pertanian kimia. Sebab KUD sendiri diakuinya lebih banyak berperan sebagai penyalur pupuk-pestisida kimia. Meskipun sudah beralih ke pertanian organik, ia masih saja didatangi dan dibujuk agen distribusi pupuk dan pestisida kimia untuk menjadi kaki tangannya.

Pengalamannya sebagai petani organik berawal dari kedekatannya dengan rohaniwan yang berkarya di daerahnya. Rohaniwan inilah yang memperkenalkannya dengan pertanian organik. Keinginannya untuk tahu dan belajar banyak tentang pertanian organik mendorongnya bergabung dengan Paguyuban Tani “Ongko”, yang sejak tahun 1999 telah mempraktekkan pertanian organik. Ia sendiri kemudian menjadi ketua paguyuban. Nama “Ongko” sengaja dipilih karena “Ongko” adalah lagu tradisional yang menjadi simbol persatuan dan persaudaraan masyarakat. Sejak bergabung dengan paguyuban Ongko, (Bapak) Hila, begitu ia biasa dipanggil, telah menjalani berbagai pelatihan, mulai dari pelatihan pertanian organik, pelatihan untuk konservasi dan pengolahan lahan miring dengan sistem terasering, sampai pelatihan kesehatan dengan memanfaatkan tanaman obat. Dalam paguyuban ini pula petani belajar dan mempraktekkan segala hal baru yang mereka dapatkan dari ekopastoral.

Caption: Panen padi organik 2006

Pertanian organik yang dijalankan Paguyuban “Ongko” ini telah mengubah, bukan saja hidup petani secara individual tetapi juga “hidup bersama” dalam masyarakat. Praktek pertanian organik telah mengembalikan tradisi “Dodo” yang telah lama menghilang dari kehidupan petani akibat praktek pertanian kimia yang membuat petani hidup sendiri-sendiri dan juga sebagai akibat pendekatan proyek yang dijalankan pemerintah. Dulu petani hidup secara bergotong royong. Semua pekerjaan di lahan dan di desa dikerjakan bersama seturut berjalannya tradisi dodo. Tradisi dodo membuat masyarakat petani punya jadual kerja bersama, termasuk gotong royong memperbaiki sekolah. Tetapi ketika semua pekerjaan diproyekkan pemerintah, tradisi dodo ini semakin punah. Semua kerja dihitung dengan uang. Kini dengan pertanian organik, petani didorong untuk mengerjakan pekerjaan pertanian secara bersama, mulai dari pembuatan pupuk, pengolahan lahan, tanam dan panen. Sedikit demi sedikit, Paguyuban Ongko berhasil menghidupkan kembali tradisi dodo yang menjadi kebanggaan masyarakat Manggarai, khususnya Cibal.

Hila mengaku, dengan pertanian organik, petani juga tertantang untuk terus belajar dan bereksperimen menemukan hal-hal baru dengan bahan-bahan lokal. Sebagai contoh, para petani organik di daerahnya menggunakan tuak atau moké (minuman yang dihasilkan dari pohon enau) sebagai pengganti EM4 (Effective Microorganism Fluid, larutan yang mengandung mikroorganisme pengurai) dalam membuat bokashi (pupuk organik). Moké yang dicampur dengan batang pisang yang diiris kecil-kecil dan ditutup selama dua minggu ternyata bisa menjadi pengganti larutan EM4 yang siap dicampur dengan bahan-bahan lain (daun gamal, jerami, batang pisang, dedak, abu dapur dan kotoran ternak) untuk membuat pupuk organik. Pembuatan pupuk organik dengan bahan moké ini dikerjakan petani secara bersama. Petani yang tidak memiliki pohon enau, bisa membeli moké di pasar dengan harga Rp2.000 per liter. Pestisida pun dibuat secara alami dari daun gamal, bunga matahari liar dan daun mimba. Namun demikian, petani organik hampir tak pernah menggunakan pestisida alami ini karena semenjak menerapkan pertanian organik, serangan hama di lahan mereka semakin berkurang. Awalnya memang ada hama putih yang menyerang padi berumur 2-3 minggu, namun hama ini menghilang setelah ditebarkan abu dapur. Kini para petani organik tak lagi dipusingkan oleh hama dan penyakit yang menyerang lahan mereka.

Dengan pertanian organik, biaya produksi yang ditanggung petani untuk menanam padi menjadi jauh lebih kecil dibandingkan ketika petani menerapkan pertanian kimia. Bayangkan, dengan pertanian kimia, untuk 1 hektar lahan sawah petani membutuhkan 200 kg urea dan 100 kg TSP, dengan harga Rp 75.000 untuk 50 kg pupuk. Belum lagi biaya pestisida dan bibitnya. Sementara dengan biaya tersebut, hasilnya tak sebanding dengan para petani organik, yang hanya butuh moké untuk membuat bokashi. Dengan pertanian kimia, lahan sawah seluas kira-kira 0,75 hektar yang dimiliki Hila menghasilkan 8-9 karung padi. Sementara dengan pertanian organik, lahan yang sama bisa menghasilkan 16-17 karung. Bobot padinya pun berbeda. Satu karung beras organik punya bobot 100 kg, sementara satu karung beras non organik bobotnya tidak sampai 100 kg. Petani merasakan betul perbedaan berat ini. Bukan itu saja. Sejak ia dan keluarganya mengkonsumsi produk-produk organik, ia dan keluarganya merasa lebih sehat, tidak mudah lelah dan sakit seperti sebelumnya.

Meski pertanian organik telah terbukti mengembalikan kehidupan petani dan ekosistem pertanian yang telah lama hilang direnggut praktek pertanian kimia, Hila sendiri menyesalkan bahwa belum semua petani di desanya mau beralih ke pertanian organik. Namun baginya sikap petani seperti ini bisa dimengerti, sebab selama ini petani telah dibuat manja oleh kemudahan-kemudahan yang ditawarkan pertanian kimia. Pupuk tinggal dibeli dan tabur, petani tak usah bersusah payah membuatnya. Dari segi tenaga, pertanian kimia memang lebih ringan, tetapi berat dari segi biaya dan produktivitasnya. Meskipun belum beralih ke pertanian organik, namun ia melihat, petani non-organik mulai menyadari betapa besar perbedaan produktivitas lahan mereka dengan lahan para petani organik. Padi di lahan non organik mereka sering hampa, tak berisi dan lebih sering pula diserang hama.

Kini Hila telah terpilih sebagai kepala desa. Ia punya peluang lebih banyak untuk mengajak petani beralih ke pertanian organik. Dalam kampanyenya sebagai calon kepala desa, ia mengajukan program pengembangan pertanian organik di desa Nenu, mulai dari pengembangan lahan pekarangan sampai lahan sawah. Bisa jadi program inilah yang menghantarkannya menjadi kepala desa.**

Photos credit: PJIC-Indonesia

Read More...

18 July 2007

Gerakan Petani Manggarai untuk Membela Kehidupan

Sri Palupi

Gerakan Petani Manggarai untuk Membela Kehidupan (1)

Gerakan Petani Manggarai untuk Membela Kehidupan (2)

Caption 1: Kelompok petani ”Tunas Muda” menyiapkan lahan untuk menanam sayur (photos credit: PJIC-Indonesia)

Dalam perjalanan dari Labuan Bajo (kabupaten Manggarai Barat) ke Ruteng (kabupaten Manggarai), Provinsi Nusa Tenggara Timur, saya membaca satu iklan besar terpampang di pinggir jalan. Isinya menawarkan pestisida ROUND UP produk perusahaan Monsanto. Tak disangka, produk perusahaan pertanian transgenik itu telah merambah hingga ke desa-desa terpencil di ujung barat pulau Flores. Monsanto sendiri adalah perusahaan transnasional di bidang agribisnis yang selama ini dikenal menawarkan ‘kehidupan’ namun dengan cara-cara yang menghancurkan sumber penyangga kehidupan umat manusia lewat mutasi faktor penentu keturunan dan pupuk serta pestisida kimianya. Ketika para elit politik-ekonomi, akademisi dan pakar pertanian turut melancarkan usaha Monsanto dalam mengintervensi kehidupan petani dan ekologi pertanian di negeri ini, penolakan justru datang dari para petani sederhana dari berbagai pelosok desa. Salah satunya adalah petani di daerah Pagal, kecamatan Cibal, kabupaten Manggarai, NTT.

Di daerah tersebut terdapat sedikitnya lima paguyuban petani, perempuan dan pemuda tani yang meninggalkan sistem bertani kimiawi dan beralih ke pertanian organik selaras alam. Gerakan ini dimulai pada tahun 1999, ketika sekelompok rohaniwan lokal mulai mempraktekkan sistem pertanian organik di lahan dan pekarangan tempat mereka tinggal dan berkarya di tengah masyarakat petani. Tindakan ini dilandasi oleh keprihatinan akan semakin hilangnya kekayaan hayati, rusaknya hutan dan ekosistem akibat pendekatan pembangunan yang eksploitatif terhadap lingkungan, yang mementingkan kepentingan sesaat dan abai akan akibat jangka panjang terhadap sumber-sumber kehidupan. Bencana yang terus melanda NTT dari tahun ke tahun dalam bentuk banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kelaparan adalah gejala kerusakan sumber kehidupan yang melatarbelakangi lahirnya gerakan pertanian organik di kabupaten Manggarai, khususnya di daerah Pagal.

Caption 2: Pelatihan pengolahan tanaman obat

Hasil dari tindakan para rohaniwan yang berawal dari lahan sendiri ini ternyata menarik minat para petani untuk belajar. Terjadilah dialog antara para petani dengan rohaniwan tentang sistem belajar bersama. Dibuatlah kemudian sekolah kehidupan alternatif, tempat semua orang dapat belajar, mengembangkan kreativitas, kemandirian, tanggung jawab dalam suasana persaudaraan dan kesederhanaan. Berbagai pelatihan dijalankan dalam sistem kelompok, di antaranya:
1) pelatihan pertanian organik, yang terdiri dari pembuatan pupuk organik, persiapan lahan, pemberdayaan pekarangan, penanaman sayur-sayuran, tanaman obat (toga) dan tanaman lain, pembibitan dan budidaya padi secara organik dan intensif;
2) pelatihan konservasi yang dilanjutkan dengan praktek penanaman pohon-pohon di daerah mata air, hutan dan lahan kritis, disertai dengan pembibitan kayu lokal;
3) pelatihan dan guliran ternak;
4) pendidikan pertanian organik di sekolah-sekolah, melalui pembuatan modul pertanian organik untuk sekolah, pelatihan guru (SMA, SMP dan SD), kunjungan dampingan ke sekolah pengembang pertanian organik dan lokakarya ekologis untuk siswa;
5) pemberdayaan perempuan dan anak dalam bentuk pelatihan gizi, pelatihan pendayagunaan tanaman obat dan pelatihan pasca panen; dan
6) pembuatan lahan contoh, baik lahan kering, lahan basah, lahan pekarangan maupun hutan keluarga. Dengan cara ini kearifan lokal yang telah lama pudar mulai dihidupkan kembali.


Caption 3: Lahan pekarangan milik rohaniwan di Pagal, Manggarai











Caption 3 dan 4: Lahan pekarangan milik petani di Cancar, Manggarai. Seluruh anggota keluarga bekerjasama membuat pupuk organik














Pembaharuan yang dilakukan para rohaniwan ini tidak hanya berlangsung dalam kehidupan para petani, tetapi juga dalam kehidupan beragama. Kehidupan beragama tidak lagi dijalankan hanya sekedar ritual di seputar altar yang terpisah sama sekali dari keprihatinan dan pergulatan hidup para petani miskin. Semangat ekopastoral menjiwai praktek hidup dan pelayanan para rohaniwan di tengah umat yang mayoritas petani. Para rohaniwan itu terlibat langsung dalam mencari alternatif-alternatif kehidupan bagi para petani yang tinggal di tengah lingkungan yang rusak dan rawan bencana ini. Sebagian dana yang terkumpul dalam kegiatan ibadah pun digunakan untuk menjalankan pelayanan ekopastoral ini.

Caption 5 & 6: Pendampingan Sekolah

Gerakan yang bertolak dari keprihatinan terhadap hidup para petani miskin di lingkungan yang rusak dan rawan bencana ini sedikit demi sedikit membuahkan hasil. Selain meluasnya praktek pertanian organik selaras alam di kalangan petani, dijalankannya konservasi di daerah mata air-hutan-lahan kritis, pertanian organik juga telah dijadikan sebagai muatan lokal di beberapa sekolah SMP dan SMA di daerah Manggarai. Setidaknya 11 sekolah SMP dan SMA yang tersebar di lima kecamatan di kabupaten Manggarai telah menjadikan pertanian organik sebagai muatan lokal. Di saat sekolah-sekolah lain memilih bahasa Inggris dan komputer sebagai muatan lokal, sekolah-sekolah yang bersentuhan langsung dengan kehidupan kelompok petani organik condong untuk memilih pertanian organik sebagai muatan lokal. Kini semakin banyak anak-anak muda dari tingkat SD sampai SMA telah mengenal dan mengalami langsung keunggulan pertanian organik, memahami persoalan ekologi yang ada di sekitar mereka dan menghargai profesi petani sebagai profesi yang tidak lagi dipandang sebelah mata.

Read More...

07 June 2007

Gerakan Buhangu Madangu di Sumba Tengah

Sri Palupi

Di republik ini sudah tak aneh lagi kalau aparat atau pejabat publik terlibat korupsi. Tidak aneh pula kalau yang namanya pejabat publik sekedar menjabat tetapi tidak (banyak) berbuat. Tidak ada yang aneh memang, karena kebanyakan pejabat – yang paling korup sekali pun – merasa diri sudah berjasa dan berbuat banyak bagi rakyat. Di republik ini, yang namanya salah kaprah soal jabatan sudah dianggap lumrah. Jabatan tidak lagi identik dengan tindakan melayani (masyarakat), melainkan kekuasaan yang menuntut upeti dan pelayanan. Pernahkah kita membayangkan, apa yang terjadi ketika seorang aparat atau pejabat publik tiba-tiba mendapat pencerahan dan kemudian menyadari, dirinya tidak berbuat banyak?

Adalah Umbu Sangadji (updated 19 Juni 2007), seorang tokoh masyarakat dan mantan kepala desa Tana Modu, kecamatan Katikutana, kabupaten Sumba Tengah – Nusa Tenggara Timur (NTT), yang tergerak untuk berbuat sesuatu bagi rakyat banyak yang miskin di desanya. Komitmen ini berawal dari kesadarannya sebagai elit desa yang selama ini tidak banyak berbuat bagi rakyat.. Selama 1961-1998 Umbu menjabat sebagai sekretaris desa (sekdes). Selama itu pula ia menyaksikan bagaimana birokrasi pemerintahan dijalankan, bukan untuk melayani masyarakat melainkan memperkaya elit penguasa. Ia menilai, birokrasi semacam ini bisa bertahan sejak pemerintahan Orde Baru karena adanya tradisi ketaatan pada penguasa atau pimpinan birokrasi. Aparat bawahan tidak boleh menolak apa yang menjadi titah penguasa di atasnya. Betapapun korupnya sang penguasa, bawahan harus diam. Prestasi aparat birokrasi dinilai bukan dari tingginya kinerja dalam melayani masyarakat, melainkan tingginya loyalitas pada sang penguasa.

Umbu, yang kini berusia 67-an tahun itu mengaku, selama menjadi sekdes ia menyaksikan demikian banyaknya dana pembangunan yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk mengatasi kemiskinan. Sayangnya, uang pembangunan itu banyak diselewengkan. “Kuitansi dimanipulasi, laporan dipalsukan, uang pembangunan dilenyapkan,” keluhnya. Ia tahu ke mana larinya uang-uang itu. Tapi apa mau dikata, tradisi dalam birokrasi memaksanya diam.

Sikap “diam” selama 37 tahun menyaksikan ketidakberesan, membuat batin Umbu terganggu. Tahun 1999, di saat ada pemekaran desa, ia berkesempatan menjadi kepala desa. Sayang, ia hanya punya waktu dua tahun dan harus berhenti karena umur. Dalam dua tahun itu pula ia mengaku tak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa menghibahkan sebagian tanah miliknya untuk kepentingan desa. Rasa bersalah karena tidak banyak berbuat semakin menguat semenjak Umbu terpilih sebagai ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) di tahun 2002. “Pada saat itu terjadi pergumulan dalam diri saya. Saya merasa, selama punya jabatan, saya tidak berbuat banyak untuk rakyat. Padahal saya adalah bagian dari elit yang merusak," demikian Umbu bergumam lirih.

“Pada saat itu terjadi pergumulan dalam diri saya. Saya merasa, selama punya jabatan, saya tidak berbuat banyak untuk rakyat. Padahal saya adalah bagian dari elit yang merusak," demikian Umbu bergumam lirih.


Meski ada dorongan kuat untuk berbuat sesuatu, pada awalnya ia tidak tahu apa yang bisa dilakukan. Yang ia tahu, dirinya tergolong kelompok elit di desanya dan kelompok elit ini, menurutnya, jumlahnya sangat sedikit. Tidak sampai 20 persen. Sementara orang miskin jumlahnya paling banyak. Ia juga yakin, yang membuat rusak desanya bukanlah orang miskin yang jumlahnya paling banyak itu, tetapi justru orang-orang elit yang jumlahnya paling sedikit. Keyakinan ini melahirkan tekad, orang elit harus berbuat sesuatu untuk orang banyak yang miskin itu. Sebab orang elit-lah yang paling banyak mengambil hak orang miskin.

Kesadaran sebagai elit desa yang harus berbuat sesuatu bagi mereka yang jumlahnya paling banyak menggerakkan Umbu untuk mendekati kelompok elit di desanya. Pertama-tama ia mengajak adiknya sendiri untuk memikirkan caranya. Mereka kemudian mendekati satu per satu elit di desanya. Beberapa elit berhasil ia dekati dan mereka mulai terjun ke lapangan untuk berdialog dengan para warga miskin di sekitar mereka. Dari sekian banyak persoalan, Umbu melihat beberapa persoalan yang bisa mereka atasi bersama. Di antaranya adalah kerusakan lingkungan, air bersih dan sanitasi, pola pikir dan pola kerja masyarakat. Kaum miskin selama ini dinilai Umbu tidak bisa memanfaatkan hasil produksi secara baik. Hasil panen padi ladang mereka jual, bahkan yang seringkali terjadi, mereka menjualnya dengan sistem ijon. Kebiasaan berjudi di kalangan masyarakat miskin di desanya terbentuk karena pola pikir dan pola kerja mereka. Namun apa yang terjadi pada kelompok miskin ini, menurutnya, bukan sepenuhnya kesalahan mereka. Sebab kaum miskin selama ini lemah aksesnya atas informasi, khususnya informasi yang menyangkut pembangunan. Kondisi inilah yang membuat Umbu prihatin.

Salah satu tindakan konkrit yang dilakukan Umbu bersama para elit di desanya adalah menjadikan sebagian kebun milik mereka sebagai hutan. Mereka juga membangun sumur dan WC untuk komunitas-komunitas miskin. Setiap keluarga elit yang mau bergabung bersama Umbu menyisihkan sedikitnya seperempat hektar kebunnya untuk dihutankan. Ada sembilan sumur dan WC yang mereka bangun untuk kaum miskin di desanya. Mereka juga secara sukarela memfasilitasi pelatihan-pelatihan untuk komunitas-komunitas miskin. Dalam waktu dua tahun Umbu berhasil membentuk kelompok masyarakat mandiri yang disebutnya Buhangu Madangu. Buhangu Madangu, artinya “orang elit mencintai yang banyak”. Meskipun gerakan ini adalah ajakan untuk kaum elit, namun anggota dan pengurusnya tidak terbatas pada kelompok elit. Dalam kelompok masyarakat mandiri yang kini beranggotakan 126 KK dari 253 KK yang ada di desanya, bergabung pula warga dari komunitas-komunitas miskin.

Adakah hasil dari gerakan Buhangu Madangu yang dirintis Umbu? “Dulu, masyarakat enggan menanam pohon. Sekarang, masyarakat sudah mulai berubah pola pikirnya. Mereka sudah mau menanam pohon. Bukan hanya itu. Mereka juga mulai menghargai perempuan. Selama ini perempuan tidak pernah dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan desa. Sekarang, mereka sudah mau melibatkan perempuan dalam setiap pertemuan. Kalau dulu kaum miskin tidak punya akses informasi, kini kaum miskin tidak lagi miskin informasi. Kelompok Buhangu Madangu telah menjadi wadah untuk menampung informasi, baik dari atas maupun dari bawah. Kalau ada proyek-proyek dari luar yang masuk ke desa, misalnya, kelompok Buhangu Madangu-lah menjadi kelompok pelaksana program”, demikian Umbu berkisah tentang perubahan yang terjadi di kampungnya.

Kiprah Umbu tidak berhenti hanya sebatas kampungnya sendiri. Perjumpaannya dengan NGO yang bergerak di isu lingkungan mendorongnya untuk memperluas ruang geraknya. Bersama dengan Umbu Sakala dan Umbu Damaleha, yang sama-sama mantan kepala desa, ia membangun Forum Jaringan Masyarakat “Manupeu Tanadaru (Jama Tada)”. Manupeu Tanadaru adalah nama hutan taman nasional, yang terbentang di sepanjang Sumba Timur, Sumba Tengah dan Sumba Barat. Sesuai dengan namanya, Forum yang beranggotakan 44 orang ini – 22 orang berasal dari masyarakat dan 22 orang lainnya dari aparat pemerintah desa – bekerja dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal. Pada 22 Mei 2007 forum ini resmi menjadi organisasi yang memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Adanya forum yang merupakan kolaborasi antara pemerintah desa dan masyarakat ini telah mendorong 22 desa di kabupaten Sumba Tengah membuat aturan tentang pelestarian alam.

Kalau seorang mantan kepala desa yang tercerahkan saja bisa berbuat seperti itu, tentulah seorang pejabat atau mantan pejabat tinggi bisa berbuat lebih banyak lagi bagi rakyat banyak. Kalau saja kesadaran seperti yang dimiliki Umbu Sangadji menjadi kesadaran kolektif para elit politik-ekonomi di negeri ini, tak perlu menunggu sampai 2030 untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa unggul seperti yang dibayangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Atau setidaknya, dengan adanya kesadaran kolektif dari para elit untuk “mencintai yang banyak”, tak perlu lagi kita bergantung pada hutang luar negeri dalam mengatasi kemiskinan. Sebab para elit itu akan dengan sukarela berbuat banyak bagi kelompok miskin. Atau setidaknya mereka mengembalikan hak kaum miskin yang selama ini telah mereka ambil.**

Read More...

15 May 2007

HERAN, AKU HERAN, AKU HERAN

Yan Koli Bau

SEBAGAI anak tanah yang lahir di Timor saya merasa malu karena para peneliti dari luar lebih dahulu berinisiatif mendalami persoalan seputar kemiskinan di Nusa Tenggara Timur (NTT), bahkan tidak hanya berhasil memahami tetapi sudah melakukan aksi.

Sebagai ungkapan rasa malu saya 'melamar' dan bergabung dengan tim kerja penelitian dari Jakarta itu, menyiapkan serangkaian kegiatan pengamatan dan diskusi tentang hasilnya. Topiknya kemiskinan, gizi kurang, gizi buruk dan busung lapar di Kupang dan di Jakarta. Tak seperti yang saya sangka sebelumnya, ternyata hal-hal yang saya temukan di lapangan sungguh mengherankan.

Pertama, ketika kami berbincang dengan beberapa orang di kantor pemerintah baik di provinsi maupun kabupaten dan di perguruan tinggi mengenai rencana akan melakukan penelitian tentang busung lapar, anehnya, respons mereka serta merta menanyakan berapa nilai proyeknya, berapa honor yang akan dibayarkan kepada orang yang terlibat atau dilibatkan?

Kedua, ada kecenderungan beberapa orang pejabat untuk mengabaikan persoalan serius tentang rendahnya asupan gizi masyarakat karena dianggap berkaitan erat dengan atau bahkan merupakan akibat dari kemiskinan. Umumnya orang beranggapan kemiskinan sendiri sudah menjadi 'trademark' orang NTT sehingga tidak perlu dipersoalkan lagi. Justru aneh jika dipertanyakan, begitu pikir mereka.

Ketiga, ketika tim peneliti mempresentasikan hasil temuan kepada para pejabat pemerintah, tanggapan mereka bagi saya sungguh mengherankan. Sebab mereka mangatakan: ‘Ohhh semua itu saya sudah ngerti, dan sudah kita upayakan; anggaran tahun lalu sekian .. tahun ini sekian .. dan tahun depan kita sudah usulkan sekian ..'

Tiga hal mengherankan ini mungkin hanya saya alami sendiri. Rasanya hanya sedikit orang yang sama-sama merasa heran seperti yang saya rasakan.

Bagaimana mungkin para pejabat birokrasi dan perguruan tinggi itu justru tidak menanyakan inti persoalan yakni kemiskinan dan perwujudannya dalam bentuk masalah gizi, tapi malah menanyakan berapa duitnya? Bagaimana mungkin masih ada pejabat pemerintah dan akademisi masih menanya-nanyakan tentang duit, menganggap kemiskinan dan busung lapar sebagai persoalan usang, padahal tahun 2006 yang lalu saja sudah sebanyak 61 anak mati karenanya?

Dan puncak keheranan terjadi ketika tim peneliti melaporkan hasil risetnya. Pejabat yang dilapori serta merta mengatakan: "Semua saya sudah tahu. Tidak perlu disampaikan lagi .. Langsung saja ke persoalan berikutnya, apa yang perlu dilakukan.”

Dalam hati saya bertanya "kalau sudah tahu semuanya mengapa masih bertanya apa yang harus dilakukan? Apakah yang diketahui itu palsu atau jangan-jangan yang dimiliki merupakan pengetahuan yang menyesatkan sehingga kebijakan yang diambil juga menyesatkan? Di sini, yang saya maksud dengan kebijakan adalah keputusan pejabat publik untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Sekali lagi aku heran .. Mudah-mudahan ke depan keheranan saya ini tidak menular jadi kebingungan bagi orang lain, bagi rekan akademisi, pejabat pemerintah, anggota DPR(D) dan juga teman-temanku tim peneliti. :#

Salam

Read More...

03 May 2007

Wabah Kematian di Sekitar Kita

Sri Palupi

DULU dalam masyarakat Jawa dikenal yang namanya “pageblug”. Pageblug ini semacam wabah kematian yang terjadi akibat serangan dari “makhluk tak dikenal”. Gejalanya, pagi sakit, sore harinya mati. Atau sebaliknya, sore sakit, paginya mendadak mati. Karena menyerang banyak orang, maka kusebutlah pageblug itu wabah kematian. Mereka yang terserang awalnya sakit dan meninggal dengan cepat. Gejala semacam pageblug ini, disadari atau tidak, kini tengah menghantui masyarakat. Tentu pageblug yang sekarang, beda dengan pageblug yang dikenal dalam budaya Jawa dulu.

Ada tiga wabah kematian yang menghantui kita hari-hari ini. Kusebut wabah karena kematian itu bukanlah kematian biasa, melainkan fenomenal, sebagaimana pageblug.

Pertama, kematian ratusan ribu orang akibat rentetan bencana. Dari tsunami, banjir, tanah longsor, dan sederetan bencana lainnya. Seluruh kematian ini menarik perhatian masyarakat dan menggerakkan jutaan orang untuk berkabung. Tenaga dan harta disatukan demi meringankan derita para korban. Kematian ini membuat demikian banyak orang memaknai kembali hidup mereka dengan cara baru. Bencana tsunati, misalnya, membuat manusia merasa demikian kecil. Hilang sudah keangkuhan terhadap materi. Demikian yang terungkap dari para korban yang selamat. Bencana yang menelan korban massal dalam satuan waktu tertentu itu menjadi kanal rasa duka yang memicu semangat untuk sama-sama berjuang menghadapi situasi baru. Situasi tanpa sanak kerabat dan orang-orang dekat, tanpa harta, pekerjaan dan rencana masa depan – yang semuanya musnah ditelan bencana.

Anak korban malnutrisi akut di Sumba Barat 2005Kedua, kematian yang tidak tampak menonjol tetapi meluas secara perlahan. Kematian ini tampil dalam bentuk meluasnya jumlah anak penderita busung lapar. Pada tahun 2005 jumlah anak balita penderita busung lapar yang meninggal mencapai 293 jiwa. Ini yang tercatat. Entah berapa jumlah kematian yang tak tercatat. Pada bulan Januari – Oktober 2006 tercatat 186 anak balita mati akibat busung lapar. Sementara jumlah penderita gizi buruk-busung lapar meningkat dari 1,67 juta pada tahun 2005, menjadi 2,3 jiwa pada tahun 2006. Sampai hari ini, kematian akibat busung lapar terus berlangsung meskipun tidak ada yang mencatatnya secara sistematis. Bukan hanya kematian fisik yang terjadi pada kasus busung lapar, tetapi juga kematian “generasi”. Sebab anak yang menderita busung lapar, meski bisa diselamatkan dari kematian, tetapi mereka hidup dengan otak kosong. Karena terjadi secara perlahan dan satu demi satu, kematian jenis ini tak banyak mendapat perhatian, apalagi solidaritas sosial. Lihatlah sejumlah anak-anak penderita busung lapar yang direkam media ini, tak mampu menggerakkan solidaritas masyarakat sebagaimana kematian akibat bencana.

Eko Haryanto, bocah SD dari Tegal yang mencoba bunuh diri karena tak bisa bayar biaya kegiatan ekstrakurikuler Rp2500 -- istimewaKetiga, serupa dengan jenis yang kedua, kematian ini tidak tampak menonjol, terjadi satu demi satu, tetapi sesekali berhasil menyentak masyarakat. Kematian ini tampil dalam wujud bunuh diri yang terjadi di kalangan kaum miskin. Selama enam bulan pertama di tahun 2003, misalnya, bunuh diri di Jakarta saja telah mencapai 62 kasus. Ini kasus yang dilaporkan ke polisi. Tak tercatat berapa kasus yang tidak dilaporkan. Jumlah kasus ini meningkat 300% dibandingkan tahun sebelumnya. Sampai Juni 2004 lalu, tercatat 38 kasus bunuh diri yang dilaporkan ke polisi. Kasus ini pun terus bertambah tanpa ada yang secara sistematis merekam dan mencatat. Yang membuatku tidak habis pikir, kasus bunuh diri ini juga menimpa anak-anak usia sekolah. Pada anak-anak, kasus bunuh diri meningkat 30%. Kebanyakan korbannya juga kaum miskin.

Masih belum lepas dari ingatan kita, kisah tragis bunuh diri ibu dan anaknya. Seorang ibu yang sedang hamil di daerah Koja, Jakarta Utara, misalnya, memutuskan bunuh diri, dengan membakar diri bersama kedua anaknya, Galang (7 th) dan Galuh (4 th). Dalam surat yang ia tinggalkan untuk suaminya tertulis bahwa dia sudah tidak tahan lagi menanggung kemiskinan dan melihat penderitaan anak mereka yang menderita kanker. Yang menyedihkan lagi, ketika tetangga membawa Galang yang penuh luka bakar ke rumah sakit, pihak rumah sakit menolak karena tidak ada uang jaminan. Juga seorang ibu di Malang, yang karena tak kuat menanggung beban persoalan ekonomi dan keluarga, memutuskan bunuh diri bersama empat anaknya yang masih kecil dengan meminum racun potasium. Racun itu diduga dicampur dengan air, lalu diminumkan kepada keempat anaknya. Setelah anak-anaknya tewas, sang ibu menyusul meminum racun yang mematikan itu. Peristiwa serupa pernah terjadi pada pedagang bubur di Sudirman dan pedagang kaki lima (PKL) di Halim yang memutuskan bunuh diri karena tak tahan menanggung beban hidup dan ancaman penggusuran yang terus mengejar mereka.

Semakin banyaknya warga miskin yang ambil jalan bunuh diri akibat desakan ekonomi, sepantasnya jadi perhatian. Sebab ini menandakan, hidup bersama dalam sebuah entitas bernama negara bangsa menjadi semakin tidak relevan buat kaum miskin. Padahal selama ini kaum miskin sudah teruji dalam hal kemampuannya bertahan menghadapi kesulitan. Mereka selama ini terbukti mampu bertahan di masa sulit sejak negeri ini dilanda krisis. Ketika para konglomerat dilanda depresi berat akibat krisis ekonomi, kaum miskin malah terkesan kian kreatif mensiasati kesulitan. Tapi kini? Bahkan anak-anak mereka pun sudah punya pikiran untuk bunuh diri. Gejala apa ini? Coba bayangkan, Heryanto, seorang murid kelas VI SD di Garut menggantung diri karena malu tidak mampu membayar biaya ekstrakurikuler senilai Rp 2.500. Aman Muhammad Soleh, siswa kelas enam SD di Bekasi, minum racun tikus karena belum bisa bayar uang ujian akhir. Nazar Ali Julian, 13 th, menusukkan pisau ke perutnya akibat tidak tahan menghadapi kemiskinan dan perceraian orang tuanya.

Meningkatnya kasus bunuh diri menandakan, bukan hanya krisis ekonomi yang dihadapi bangsa ini yang semakin parah, tetapi juga krisis hidup bersama kita. Solidaritas tampaknya menjadi semakin langka. Tradisi menanggung dan mengatasi masalah secara bersama dalam berbagai komunitas di negeri ini sudah luruh dan hanyut diterjang badai individualisme, materialisme, sektarianisme, dan konsumerisme.

Bukan hanya kasus busung lapar dan bunuh diri saja yang kian mencolok. Orang gila, gelandangan dan pengemis pun makin banyak kita jumpai di jalanan dan tempat-tempat umum. Mereka juga memadati kereta (KRL Jabotabek) yang setiap hari kutumpangi. Orang gila di kereta jadi bahan tertawaan dan hiburan gratis para penumpang. Dulu, aku masih bisa berkata, kalau mau belajar tentang perilaku masyarakat Indonesia, khususnya golongan ekonomi lemah, naiklah KRL Jabotabek kelas ekonomi. Dalam kondisi padat, sesak, panas dan penat, orang masih bisa ketawa, masih bisa bermain kartu, masih bisa arisan, pacaran, rujakan, dan juga masih bisa omong-omong tentang masa depan. Di situ bercampur baur masyarakat dari berbagai golongan dan para pedagang berbagai barang dan makanan. Para pedagang ini sangat kreatif dalam memanfaatkan peluang, mengemas dan menjajakan barang. Begitulah dulu aku melihat sikap dan perilaku orang miskin di Indonesia, setidaknya di Jakarta. Mereka selalu ada dalam situasi sulit, terus menerus ditekan dan digusur, tapi tetap saja kreatif dalam menyiasati hidup. Mereka tetap saja gembira dan dapat menciptakan kegembiraan di tengah desakan dan tekanan.

Tapi sekarang, apa yang terjadi dengan mereka, kaum miskin, khususnya yang di Jakarta ini? Benarkah survival system mereka sudah tak berdaya sengat? Entah mereka sudah lelah, atau senjata survive mereka sudah terlalu tumpul dan tak kuasa lagi menembus jantung sistem kota yang seolah-olah kian beradab ini? Mengapa virus bunuh diri kian mewabah di kalangan kelompok miskin? Dari dulu, kematian memang tak pernah punya daya sengat bila berhadapan dengan kaum miskin. Tak ada yang mereka takutkan untuk terus bertahan hidup, sebab mereka toh have nothing to loose. Meminjam istilah yang digunakan oleh orang-orang tergusur di Jawa Barat, mereka itu kaum “selon”, artinya berani mempertaruhkan segalanya demi memperjuangkan sejengkal kehidupan. Jadi selama ini mereka bukan berani mati, tetapi berani memperjuangkan hidup, meskipun untuk itu taruhannya adalah kematian. Tapi sepertinya sekarang ini perjuangan untuk mempertahankan hak hidup semakin menyerap energi. Semua perjuangan sudah dijalankan dan mentok, tak mampu menembus tembok tebal yang dibangun penguasa dengan segala logika bisnisnya. Ruang perjuangan menjadi semakin sempit. Dulu, perempuan-perempuan masih bisa menelanjangi diri di hadapan aparat untuk mempertahankan gubug-gubug mereka dari ancaman penggusuran. Dulu masih memungkinkan mereka menempatkan anak-anak di barisan depan guna melunakkan kekerasan brutal aparat dan preman yang hendak merampas hidup mereka, yang sebenarnya sudah berada di ambang batas antara hidup dan mati.

Kini semua cara itu sudah tak mempan. Aparat semakin buta dan brutal. Gubug-gubug, tempat kerja, dan ruang hidup mereka terus saja digusur, dirampas, dibakar dan dihancurkan. Satu-satunya yang masih jadi milik mereka kini hanyalah tubuh, yang memenjarakan jiwa, kata Plato. Dengan bunuh diri, bisa jadi mereka hendak membebaskan jiwa dari belenggunya. Atau barangkali, bunuh diri lebih baik daripada gila. Orang gila di tengah masyarakat yang serba waras sekarang ini hanya akan jadi bahan tertawaan.

Lalu, apa yang membedakan kematian massal akibat bencana, dengan kematian satu demi satu kaum miskin, entah karena lapar atau bunuh diri itu? Kematian massal akibat bencana setidaknya mampu mengubah cara pandang masyarakat terhadap hidup. Sementara kematian satu demi satu kaum miskin itu, sepertinya tak mampu mengubah apa pun. Usai bencana, keluarga korban tsunami yang masih hidup mampu memberi makna baru pada kehidupan mereka.

Aku tak tahu, bagaimana keluarga korban yang mati akibat busung lapar dan korban bunuh diri akibat deraan kemiskinan itu mampu memaknai kehidupan mereka yang masih tersisa. Mungkin bukan sebuah makna hidup yang bisa mereka temukan, tetapi sepotong doa, sebuah litani tak kunjung henti pada SANG PEMILIK HIDUP, yang suatu kali pernah memanggil mereka yang miskin dan lapar dengan seruan: “Datanglah kepada-Ku hai kamu yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.”


Read More...

NTT: (Memang) [N]asib [T]ak [T]entu

Yan Kolibau

KETIKA mendengar singkatan yang dipelèsètkan ini dalam sebuah diskusi di bulan Desember 2006 di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), telinga saya panas dan marah. Pasalnya sejak belajar SMA di Solo, Jawa Tengah, saya membayangkan kampung halaman saya sangat indah, para elitenya arif bijaksana. Dan setelah selesai kuliah saya akan kembali mengambil bagian dalam proses kesejahteraan yang akan segera nyata.

Tapi, apa yang terjadi? Satu tahun, dua tahun.. sepuluh tahun.. bahkan 20 tahun berlalu. Rambutku semakin banyak yang uban. Elit silih berganti kecuali Walikota Kupang (SK Lerick) dan Gubernur NTT (Piet A Tallo) yang selalu menduduki puncak kekuasaan. Tak satu pun harapan menjadi kenyataan. Di tengah pengharapan yang tak berkesudahan itu, sebagai orang beriman, saya dan beberapa rekan berusaha menghibur diri dengan mengatakan "tak mengapa,
penantian orang NTT belum sebanding orang Jawa menanti Satrio Piningit, datangnya Ratu Adil". Lebih tidak berarti lagi dibandingkan dengan penantian orang Yahudi akan datangnya Yesus Kristus, Juru Selamat Dunia, atau orang Muslim akan datangnya Imam Mahdi.

Di tengah penantian itu terjadilah perang saudara di Timor Portugis tahun 1975. Orang NTT di perbatasan tunggang langgang pada tanggal 11 April tahun 1976 —pada Minggu Palma— ketika pasukan Fretelin memukul mundur Resimen Pelopor dari Republik Indonesia yang menjaga perbatasan.

Porak porandalah segalanya. Hilang harta benda, hilang pula nyawa. Setelah itu banyak proyek mengalir membawa kegembiraan untuk beberapa orang dan meninggalkan duka untuk rakyat banyak sebab mereka kehilangan segalanya.

Waktu berlalu. Amukan pikiran tak juga tersalurkan. Tak banyak orang mempercakapkan apa yang terjadi. Dalam kebisuan itu beribu pasang mata menyaksikan betapa uang mengalir dari Jakarta ke daerah, mobil-mobil mewah plat merah dan plat hitam berseliweran di jalan raya hingga ke jalanan kampung. Dan tidak sedikit rumah mewah diririkan. Entah milik siapa. Konon banyak pula orang naik pangkat dari Letnan Kolonel naik bahkan menjadi Letnan Jenderal, dari pengangguran menjadi usahawan, dan sebagainya.

Akhirnya terjadi lagi duka ‘jilid kedua’, ketika terjadi jajak pendapat di provinsi Timor Timur. Semua yang terjadi dalam agenda jilid satu tahun 1975 terulang kembali, bahkan mengalami peningkatan. Lebih banyak uang mengalir, lebih banyak warga masyarakat mengalami duka, dan juga lebih banyak orang memanfaatkan kesempatan. Data yang ada memperlihatkan intensitas korupsi selama tahun 1990-an sampai 2006 meningkat tajam, tapi tak banyak orang tersentuh, baik dari kalangan pemerintah maupun swasta, termasuk lembaga-lembaga swadaya masyarakat.

Adakah kemajuan dan harapan untuk NTT? Salahkah singkatan-ejekan “Nasib Tak Tentu” itu? Jawabnya: "Barangkali mungkin (memang) Nasib-nya Tak Tentu". Para bupati dan mantan-mantan bupati bahkan sampai pejabat-pejabat di tingkat propinsi di NTT sangat banyak yang “bermasalah”. Rasanya lebih banyak yang terindikasi terlibat korupsi, atau setidaknya patut diduga. Sementara ada yang sudah menjadi tersangka akan tetapi belum ada kejelasan.

Pada akhirnya siapa yang akan memberikan singkatan atau akronim yang indah untuk NTT sangat tergantung dari kecerdasan memimpin dan kebeningan hati nurani para elitnya.**

Read More...

12 April 2007

Membongkar kungkungan perempuan dari dapur

Di Sumba Barat, NTT para suami dengan senang hati menyediakan lahan dan tempat sebagai syarat kegiatan belajar para istri mereka.Model Kelompok Pendidikan Terpadu Berbasis Komunitas: Pengalaman Sr. Gertrudis di Yayasan Serafim di Sumba Barat






Iswanti Suparma

PENDIDIKAN kelompok perempuan yang dilakukan Yayasan Serafim merupakan sebuah terobosan. Model pendekatan yang dipelopori Sr. Gertrudis ini tak hanya menyelamatkan penderita busung lapar dari kematian yang tengah mengancam, tetapi juga mampu membuat masyarakat lebih berdaya. Kini para lelaki dan ketua adat melihat sudut pandang baru. Pendekatan ini telah mengubah sikap dan perilaku warga desa.

Yayasan Serafim awalnya memiliki pelayanan panti asuhan dan kelompok pendidikan ketrampilan perempuan. Pelayanan pendidikan ketrampilan ini diberikan pada kelompok yang dikelola oleh para suster. Peserta pendidikan adalah perempuan-perempuan yang putus sekolah, perempuan yang lari dari keluarga karena dipaksa menikah dan lainnya. Dari sinilah kelompok-kelompok itu berkembang.


Pelayanan ini dimotori oleh Sr. Gertrudis dengan penuh pengabdian. Ia bekerja tanpa mengenal lelah untuk membangun kelompok-kelompok pendidikan perempuan. Setiap kelompok memiliki anggota sekitar 30-35 orang. Kepada kelompok-kelompok inilah, biarawati tersebut memberikan pendidikan seperti menenun, memasak, mendidik anak, bercocok tanam atau ketrampilan lain yang mereka butuhkan. Masyarakat umum ternyata membutuhkan uluran tangan para suster untuk mendapatkan ketrampilan.

Mengapa masyarakat miskin itu bersemangat mencari-cari suster Gertrudis untuk belajar darinya? Ternyata, berbeda dari para petugas penyuluh lapangan (PPL), biarawati ini giat mendatangi warga, memahami budaya setempat, memberi berbagai contoh nyata dan mampu memberikan inspirasi serta menunjukkan hasil konkret yang langsung dapat dinikmati oleh masyarakat miskin.

Sr. Gertrudis melatih para perempuan yang membutuhkan dan memintanya. Syaratnya mereka harus berkelompok, bukan individu. Sehingga sangat nyata bahwa keinginan itu datang dari masyarakat. Bahkan untuk memastikan bahwa keinginan itu datang dari masyarakat, suster tersebut mempersyaratkan beberapa hal yang harus dipenuhi. Persyaratan tidak hanya diberlakukan pada perempuan-perempuan dalam kelompok itu, melainkan juga melibatkan warga yang tinggal di sekitar kelompok.

Syarat yang diminta Sr. Getrudis adalah harus ada tanah, rumah, pekarangan yang khusus dibuat untuk kegiatan kelompok itu. Syarat ini menyebabkan para laki-laki dan seluruh komunitas di desa ikut terlibat. Mereka harus membuat kelompok. Para tetua kampung mesti menyediakan tanah. Para suami membangun rumah dan pekarangan. Di rumah itulah diadakan kegiatan pendidikan ketrampilan rutin. Persyaratan itu memaksa semua anggota masyarakat terlibat, baik perempuan maupun laki-lakinya, bahkan tetua kampung atau aparat desa.

Hasilnya sekarang para suami tidak lagi sungkan untuk mengurus anak-anak ketika para perempuan belajar. Para suami juga membantu mengurus pekerjaan rumah tangga. Untuk kelompok-kelompok yang dilayani, proses pendidikan bersama ini bahkan dapat dikatakan telah berhasil mengubah cara pandang mereka terhadap adat yang mengungkung perempuan di dapur, meningkatkan pengetahuan tentang gizi dan kesehatan serta sekaligus meningkatkan ekonomi rumah tangga.

Kegiatan yang dilakukan sebisa mungkin melibatkan seluruh komunitas. Untuk pendidikan ketrampilan menenun, laki-laki datang membawa bambu dan kemudian membuat alat tenun yang akan digunakan untuk belajar. Untuk latihan memasak dan belajar mengolah makanan bergizi, para laki-laki terlibat dalam kegiatan menanam sayuran di pekarangan dan kebun kelompok. Sr. Gertrudis hanya membantu memberikan bibit dan ketrampilan bercocok tanam.

Hasil latihan memasak dinikmati anak-anak dari komunitas itu secara bersama-sama. Sebelum ada pelatihan ini, para ibu sering mengeluh anaknya tidak mau makan di rumah. Namun, anehnya saat pelatihan memasak mereka mau makan sayur yang diolah bersama tersebut. Dengan cara itu, Sr. Gertrudis telah menunjukkan bahwa bukan soal makanan yang membuat anak tidak mau makan tetapi cara pengolahannya.

Kegiatan lain yang dilakukan adalah pengembangan ternak kelompok. Mereka bisa memilih kambing, unggas, babi, sapi atau kerbau. Mereka juga diajak untuk peduli terhadap lingkungan, dengan kegiatan pengadaan dan pemeliharaan air dan penghijauan. Setiap biji sayur atau buah tidak boleh dibuang, melainkan harus ditanam.

Pendidikan ini menekankan pada masyarakat untuk kembali menanam tanaman-tanaman lokal. Selain itu juga mengajarkan berbagai cara mengolah makanan lokal agar lebih menarik dan tidak membosankan. Upaya ini dilakukan untuk mengembalikan pola makan asli dalam keluarga yang selama ini telah berubah mengandalkan beras, yang sebenarnya tidak mampu mereka sediakan sendiri. Selama ini hasil produksi beras mereka tidak cukup dan mereka harus membeli. Ini menyebabkan penambahan pengeluaran keluarga, padahal mereka bisa mengandalkan bahan makanan pokok asli seperti jagung, umbi-umbian serta kacang-kacangan.

Selain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sendiri, usaha-usaha tersebut juga untuk menambah penghasilan dan pendapatan keluarga. Keuntungan kelompok sebagian digunakan untuk kas kelompok, sebagian dibagikan pada anggota.

Kegiatan kelompok ini tidak hanya meningkatkan kualitas hidup keluarga, tetapi juga kualitas seluruh anggota. Misalnya, berkat keuntungan yang diperoleh dari kerja kelompok, mereka bisa memasang listrik. Dengan adanya kelompok juga lebih memudahkan mereka berhubungan dengan aparat desa, puskesmas, posyandu dan rumah sakit.

Yayasan Serafim berawal dari sebuah program penguatan masyarakat yang dibentuk oleh RS Caritas di Waitabula, Sumba Barat, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Program ini mengemban visi dan misi yang sangat luhur, yaitu menghadirkan kerajaan Allah dan berpihak pada masyarakat miskin dengan semangat kemitraan. Visi ini diinspirasi oleh semangat keruhanian para suster ADM yang mengembangkan pelayanan RS Caritas. Dengan visi dan semangat ini, community development tersebut berusaha memperluas, membela dan memberdayakan masyarakat kecil dan lemah. Karena perkembangan kelembagaan yang cepat, program ini dilepaskan dari RS Caritas, dengan membentuk yayasan tersendiri sejak 1991, yang disebut Yayasan Serafim.

Dalam menangani masalah gizi buruk – khususnya pada kasus anak-anak yang mengalami gizi buruk dan menderita penyakit-penyakit yang menjadi parah karena gizi buruk, RS Caritas melakukan penanganan langsung secara kuratif dengan pengobatan dan pemberian makanan tambahan. Sementara itu, untuk penanganan jangka panjang dan berkelanjutan dilakukan oleh Yayasan Serafim melalui program penguatan masyarakatnya.**

Read More...

05 April 2007

Models of ending hunger in Indonesia

HERE are approaches to end hunger in Indonesia but all of them are separated one from the other with strong short-term projects as a dominant paradigm. Which one is the best? Looking into the nature of each and the possible supporting and team working relation among them may help us to figure out what kind of approach is suitable, effective and efficient in tackling hunger in Indonesia.

What likely needed at last is appropriated implementing media programs that bridge and unite all of those diverse existing hunger-fights efforts to be transformed into common lessons learned ..


First model is complementary food program, locally called Paket PMT. This program model identifies malnutrition and hunger as problem specifically struck each individual family and that the problem is strongly associated to “disaster” almost God made. None could be taken responsible for such widespread phenomenon of ‘malnutrition’ affecting infants. Hunger in East Nusa Tenggara, for instance, has been declared as “extra-ordinary happenings” (kejadian luar biasa) that the central government needs to address with parachuting helps and aids, particularly in the form of additional foods.

Families with malnourished infants are given foodstuffs or instant foods. Monitoring activities are conducted by health cadres from among the community members in cooperation with the sub-district health centre (puskesmas). Apart from the government, international bodies and international NGOs also actively conduct such model of ending hunger in East Nusa Tenggara with distributing biscuits, instant noodles, and instant porridges. This approach is rapid and short-term because if not promptly helped those malnourished infants may die tomorrow. However, since this model is mostly not followed by long-term activities, very few sustainable impacts could be expected from the hunger-stricken communities. Though very useful on the spot rescuing the hungry, this model tends to target poor people as merely aid objects, financially high cost, fails to develop the existing potential of the poor families and communities to resolve hunger and other related problems.

Second model is feeding center yet does not involve the families with malnourished infants to take part in it. Case study of this model found in Southern Timor Tengah (TTS) in NTT is not very different from the first one but the malnourished, sick infants were put in noutrient center and directly taken care by social health workers. This model has an effective impact as well, however high cost is unavoidable and also fails to empower poor families and communities. Women or mothers are not involved since this model opts for curative approach and that malnourished infants are specifically perceived as the problem of the concerned families only. In tackling hunger therefore it fails to involve other families in the community in which the distressed family lives. The positive impacts could only be seen among few families, yet paradoxically they realized that the hunger threats are lurking soon ahead.

Third model involves women or mothers’ role in the feeding center. Women are considerred as actors as you may see in a case conducted by a Belgian nurse in Sikka district. Social workers are not needed here as compared to the second model and local foodstuffs are strongly encouraged. Malnourised children are put in the center along with the families and other relatives responsible. In the center, mothers are briefed with diverse useful knowledge and relevant skills while asked to take care of their malnourished infants. Women and the families are expected to continue taking care in the same way after the sick infants recover. However, this program model takes the same high cost and larger communities have not been actively involved with. And it fails to develop the community’s capacity to improve itself. In the long run it is hard for local people to emulate such strong organization or institution to carry out a nutrient-focused center that needs large sums of financial resources.

Fourth model sets up community-based education groups. This kind of approach is tried out in West Sumba by Seraphine Foundation. Women groups are educated while conditioning the community’s initiatives. Nutrient and health education programs are held for women groups while developing local food cooking skills, small economic activities to improve their livelihood, and community organizing. Women group education is also made possible by demanding men or their husbands and other larger families to involve. Members of the communities are encourarged and conditioned to work together in building for instance the education center makeshifts. Men take care of infants while their wives join the education activities. Malnourished infants are tackled together along with the communities. This approach takes much less financial resources since it requires the community’s initiatives to contribute, while addressing other related dimensions needed for tackling hunger. For short-term, immediate activities, this model keenly relies on the role of the existing institutions such as the hospitals in the neighboring localities. It promises however sustainabilty in the future. However, this approach requires strong, highly committed local community organizers that may mobilize people’s initiatives and supports.

What likely needed at last is an appropriated implementing media programs that bridge and unite all of those diverse existing hunger-fights efforts to be transformed into common lessons learned that may be acknowledged and supported by all related stakeholders in the province, i.e. the government, religious groups, academicians, NGO activists, international NGOs, and international bodies that work in the province.

May be you may help them.***

Link
UNICEF's 2002 IDS: Evaluation of Posyandu Revitalization

Read More...

27 March 2007

Facts about hunger and poverty in Indonesia

HUNGER is like the tip of the iceberg of poverty. Study reveals that malnourished children typically, you may say, crowd the iceberg tip. They characteristically originate from poor families. Most of them, particularly those living in rural areas, do not have any plot of land to till or they have too small one. And those from urban areas only have small, meager, unsteady income. If you count what they get daily into money, their income will be less than Rp200,000 a month. This is definitely far lower than the international threshold of poverty of spending $US 1.55 a day as stated by the World Bank or even US$2 a day by the European Union.

In addition, malnourished children tend not to get nutritious foods as they eat mostly more carbohydrate sources like rice, corn, etc. but no vegetables at all. It is true that most of families have some livestock like chicken and pigs they may take as important source of protein, but very low income and the adat customary demands prevent them from taking benefit without restraint from their meat.

.. their income .. is definitely far lower than the international threshold of poverty ..


Despite of those weaknesses of poor families, however, there are other non-economic determinants that define their ability to avoid their children malnourished. Following are the three most important efforts they do, i.e. first, they feed their children regularly, three times a day, morning, midday, evening; second, they keep their living places clean and regularly frequenting the activities of the community children health center (posyandu) for checking their children’s body weight and serving disease immunization program, third, they routinely feed their children with vegetables. The last two are distinct minimum efforts the poor families exercise to avoid the malnutrition routine threats.

You may ask why many failing families do not do such minimum efforts supposed to be so simple? Apart from the low income of the families, in fact there are some problems, i.e. first, they have very minimum knowledge and understanding about problems on malnutrition and health — this is very likely the result of low level of education, particularly of women; second, the families have many children more than they could shoulder the burden, third, they fail to have a child be born long enough after the other, fourth, the comparatively heavy load of family’s chores on women.

Looking closer into those malnourished children, our study also reveals that they mostly originate from parents with low education background, i.e. they passed only elementary schools or elementary school’s drop-outs, and they have many children. While parents of better-nourished children originate more from parents with higher school education (secondary school) and have less children.

Links

* European Union Overview on Indonesia (September 2006)
* World Bank assessment on poverty (2006)
* World Bank on Poverty (Indonesia Matters)

Read More...

22 March 2007

Why poor families in Indonesia may survive from hunger?

COMMON SENSE would say that children who suffer from malnutrition are those of poor families. This applies anywhere and our research in five districts in East Nusa Tenggara of Indonesia confirms it as well. Nothing is new. We find however not few poor families are able to keep their children remain healthy. Comparison between both kinds may be fruitful for understanding why malnutrition takes place and presumably we may identify what to suggest for improvement.

Most of those children who now suffer from acute malnutrition were earlier healthy ones. When asked why those children become too skinny, two third of their parents promptly respond that their children start to lose appetite and get sick. And most of the parents also do not know that their children actually suffer from malnutrition. They only realize what malnutrition is all about after visiting sub-district health center (puskesmas) and being informed so and/or by village midwives. They mostly are confused which is the first, getting sick or malnourishment. No chicken or egg problem here because is it not the fact that there are more children who do not suffer malnourishment than those malnourished? This would explain that although there are many diseases threatening, food quality would directly improve human body immunity.

Data on food quality at household level shows obvious difference between families having malnourished children and those with better nourished ones. The parents of the first category tend to give their under-5-year babies only rice porridge without any vegetables, while better nourished get more. If the latter parents could not afford to feed their children with additional food like fish or meat or other protein, data shows vegetables are the minimum additional food given to them in order to survive acute malnutrition. Analysis confirms that providing vegetables is the most conspicuous option that makes little but meaningful comparative difference between both.

It should be assumed however that this preference on food quality in understanding malnutrition and even hunger phenomenon does not put aside common knowledge that the diseases rapidly deteriorate already weak body condition for malnourishment. Diseases are common symptoms that this research considers to be put in the bracket for the moment. It is also because diseases like malaria, diarrhea, respiratory malfunction locally called ISPA, etc. commonly infect among poor people.

In addition, in many locations of the country gender preference matters as it is common that male members of the families, particularly the husband or father, are privileged of foods. And women are assumed to have less food and more chores. However, data also reveals that children malnutrition has likely nothing to do with gender bias within the families. Those families who apparently join hand in hand among all members of the families, but especially between husbands and wives, to put priority in nurturing their children, likely to have healthy children. Most poor families but having more healthy habit know what to do their best. Those who fail mostly have less understanding about basic knowledge on nutrition. The danger of malnutrition is much closer when they have more than two toddlers particularly when they fail to have one child be born long enough after the other. The most certain in trouble are those who have twin babies apart from other, let's say, five small children.**

Update 30/6/07
Who quot this posting?

Read More...

18 March 2007

Two poor families in Sikka: How do they fight hunger?

Sri Palupi & Reslian Pardede

POVERTY is definitely not a single, simple reality, yet contradiction may enrich your understanding of what poverty is all about. The following is a case study of two families, both grouped as poor far below the World Bank’s standard, in Sikka district in East Nusa Tenggara province in Indonesia. Both have significant difference in their profile characteristics although both also have comparatively unusual education background.

The first is the couple of Marcellus Magnus and Margaretha Eta, whose child suffers from acute malnutrition. The second is the couple of Fermus Tuka and Martina Teparan, whose child is healthy. First of all, let’s look at how many children do they have. The first, who lives in Maumere town, begets four children, and the second that live in rural site of Baumekot village at Kewapante sub-district owns only one child. It is unavoidable to presume that the family load depends much on how many children do they have, particularly in the degree of attention and the quality of food fed in each family.

Magnus-Eta family has just had a new baby, the fourth child, female, when their third child was receiving food aid program from the local government. Her name was Elisabeth Elsa, 35 months old, was found malnourished after being measured at local community’s baby health service of posyandu (integrated service post). On one side, poor condition of the family has pushed related village midwife to give her food aids for recovery. What makes this family different from other families that have similar children suffering of acute malnutrition is the fact that three out of four children have suffered from acute malnutrition. Two other children have recovered into normal condition, each aged of eight and six years old. On the other side, the economic burden of Tuka family that has only one child is clearly much less heavier that Magnus family that has four children. The only Tuka’s child, named Romanus Oscar, five year old, is in a good condition.
















If you look at the income of each, both families have the same unsteady ones. But Magnus family is slightly better than the other. Like many other families at Baumekot village, Tuka is a commodity crop farmer. The difference with the other one, Tuka has also another source of income. They have a small stall selling daily needs stuffs like instant noodles, coffee powder, sugar, tea, ect. Tuka’s wife, Martina Teparan, manages a barter method of selling to their customers, mostly villagers from the area. The stall allows candlenuts (kemiri), coconuts and other crops be bartered with other daily need items. With the stall Tuka family may survive from difficult economic situations, such as pest that hit their crops that once in the past no additional earnings could add into their meager income. In 2006 they could only take coconuts, the amount of which was not more than 10 kilos each time they pick. Severe pest attacked their cacao, while the clove plants failed to bloom, and until the end of the year the vanilla plants have not ripened the fruits yet.

Different from Tuka family that has a small, simple living place, Magnus family stays on a quite large stoned house. The latter’s house seems not to suit to their economic condition as of why most neighbors would consider them as poor family. In fact the family does not own the house but a non-inherited property of their parent. His work as a non-permanent laborer has rendered their life uncertain. Although he admits to be a stipend-paid gardener at a private local secondary school, in fact he does not receive the honorarium routinely. Magnus often finds himself more unemployed. You can say that he works for one month, but he would be unemployed for other three or four months. His status is a stipend-based laborer but his earnings is not more than semi-unemployed who is paid only when there are concrete, available things to do. If he is lucky, he could gain average income of Rp150,000 (USD16.27) a month. But it has been for some years of no work orders fetching him. What he gets often only suffices for buying rice and corn. In one day in fact they spend at least Rp7,000 for buying rice and corn. They could only rarely consume vegetables, which is a luxury they may consume only if there is some more money remaining.

Apart from lacking of steady work income, Magnus family does not own any plot of land. He only tills a small piece of land, not more than one-fourth hectares, owned by a relative while taking a share. Latest years he could no longer till the land for the many natural calamities hitting the areas like drought, typhoon, flood. In 2006 he could only take 70 kilos of corn and some sweet potatoes, the only crops that have mercy on him. And that small yield does not suffice the needs of his family.

He still has another chore to feed a pig owned by another relative with a share. In this case he is quite different from other families in Sikka district as he feeds the pig to afford his children schooling. In fact in Sikka most people have pigs for customary purposes. He knows that he needs to focus his days and nights to suffice the children’s needs of food and schooling, but he fails yet to materialize what he envisages.

Perhaps there is an uncommon clue that arises from their education background. Magnus and his wife actually have a higher upbringing as compared to other people in the surroundings. Both finished their high schools but it seems higher education does not make any difference for them, particularly from the threat of hunger for their children. Since she is high school graduate, Margaretha knows many things about nutrients and health requirements. She is also diligent to frequent the sessions held by the community health post to have a look to the development of his baby’s weight and to get health services like immunizations. She has personally milked all of her children. Since the beginning of their marriage the couple agreed to follow the family plan program but they failed to have one child be born long enough after the other. She has changed three times of the contraception methods but none is suitable for her. So far it is only herself who decides to use contraception. But now after the fourth child, the husband takes initiative that Margaretha uses spiral method of contraception.

Now if you look into the other child’s parent, they may be said to have worse education background. The parents of baby named Romanus Oscar have only passed elementary school level yet the minimum education seems not to stop them from well nurturing their child. Oscar’s mother, Martina, has quite good knowledge about nutrient and children health although she admits of not understanding about the use of why should milk her child until the child reaches age of 24 months. Until he reaches five years told, Romanus still goes to the community children health post. Martina is also quite concerned about the nutrient of his son’s feeding. When she knows that Romanus does not like eating vegetables, she tries to find other ways with providing him with his preferred soup. Even then when time is difficult to earn a living, though only sweet potatoes that she could provide, she keeps trying to include vegetables while feeding him. This young woman is clear in focusing on her child’s minimum nutrient. More than that, she also emphasizes the routine of the child feeding with three times of meals everyday added by some vegetables. As a result, Romanus has never had any malnourishment problem.

If you compare him with the other family’s children mentioned above, everyday the children are fed with only cooked rice no other menu with it. No vegetables, no side dish like meat, fish, or whatever. The main menu consisting of carbohydrate substance is already hard for them to get. During time of scarcity like then, children often eat only and only sweet potatoes. They admit that during difficult time the grandparents and other relatives from rural areas still support them with foods. From their origin village they still get some help to survive famine. They admit that the children are more sufficed the food if they stay along with the grandparent family in the village. There at least they could have porridge and vegetables and some dried fishes. Not like during their stay in the town, it is indeed difficult for them even to get “empty” rice porridge. Such difficult situations often push Margaretha and her children to leave the town and return to the village to find her parent, knowing that her husband’s income would not suffice their child’s feeding.

The above picture shows that although knowledge capacity of Magnus family may clearly suffice for them to survive from nutritious food lack, poverty definitely has taken away their ability to use such knowledge for survival. As compared to other families in the surroundings, Magnus family is sorted out as very poor, as the neighbors would put it. The local children health service cadre confirms us that they may be considered the poorest in the area. Magnus himself, humbly enough, also confirms such social label. Poverty has made his neighbors exclude him from participating in local festivities. He admits to have never been invited to neighborhood gatherings. During the festivities of first communion, one family may receive up to ten invitations. For Magnus family, it is much relieving to have no invitations at all. No invitation means no obligation to offer financial gifts to afford. Neighbors seem to understand that he would not have anything to offer knowing that even providing foods is difficult for his family. Such attitude apparently is rarely found in the East Nusa Tenggara province that has strong customary practices. Most of them find it embarrassing to be labeled as poor, because in fact they are likely to provide a lot of money to offer as gifts for burdensome social prestige of the tradition.**

Link to sky view of Maumere from wikimapia.

Read More...