Showing posts with label Jember. Show all posts
Showing posts with label Jember. Show all posts

15 August 2008

Rina Widiana: Si TKI Bola Bekel di Malaysia

Wawancara dengan Rina Widiana, 27 tahun, asal Jember, Jawa Timur, sekarang pekerja restoran di Kuala Lumpur

Saya sudah sejak tahun 1996 masuk untuk bekerja di Malaysia. Sekarang, sudah tiga tahun ini, situasi saya lebih baik. Saya bisa bekerja di restoran Jingga di Jalan Off Pudu Raya, Kuala Lumpur, Malaysia. Saya mendapat upah RM40 setiap hari. Suami saya bekerja juga di Kuala Lumpur sebagai buruh bangunan. Kami sewa sebuah kamar tak jauh dari tempat kerja saya seharga RM250 per bulan. Kami masih punya uang sisa untuk dapat dikirimkan ke desa di Jember maupun ke desa suami saya di Flores. Kalau gaji tak terlambat, setiap bulan saya bisa kirim uang kira-kira RM1.000 ke desa.

Rencananya, saya masih ingin satu kali lagi menyambung permit kerja di Malaysia. Setelah itu, insya’allah ada sisa hasil untuk modal usaha, tapi rasanya ada sisa hasil atau tidak, saya akan pulang kampung untuk usaha tani di sana. Saya masih membayangkan enaknya tinggal dan bekerja di kampung, tak perlu sewa rumah, bahan makanan masih murah ..

Memang selama ini, ada saja yang terjadi di kampung yang masih jadi tanggungan saya, seperti orangtua sakit, adik saya juga sakit lalu meninggal, dsb. Saya juga membiayai semua kebutuhan perawatan kakak saya sebelum meninggal. Dia sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit. Mula-mula dia harus membayar Rp6 juta, yang kemudian saya kirim dari sini, sebelum keluar dari rumah sakit. Tapi setelah dua minggu dia sakit lagi. Masuk rumah sakit lagi. Ongkosnya Rp5 juta. Jadi sudah Rp11 juta saya kirimkan. Kebetulan kakak pertama saya hanya bisa membantu Rp1 juta. Lalu waktu kakak yang sakit itu minta dikirim celana Lewis atau cincin, saya segera kirim. Saya berharap kakak cepat sembuh. Rupanya celana dan cincin itu belum dipakai, tapi dia sudah meninggal. Saya kirimkan seluruhnya untuk keperluan perawatan kakak saya sampai Rp14 juta. Kalau ditanya, apa ada hasilnya bekerja di Malaysia. Tentu selalu ada hasilnya, tapi dengan macam-macam keperluan itu, hasil kerja saya jadi tak nampak.

Mengapa memilih bekerja di Malaysia?
Tapi perjuangan kami berlangsung cukup panjang. Saya masuk ke Malaysia tahun 1996 waktu masih umur 16 tahun, tanpa membuat permit. Saya tak dapat izin dari orangtua. Tapi saya nekad beranikan diri sebab hidup di kampung susah. Orangtua saya miskin. Rumah kami reyot. Sementara saya lihat semua orang di desa punya rumah bagus-bagus. Saya kepingin punya rumah. Itu saja keinginan saya. Sekarang orangtua sudah tua. Tak bisa lagi kerja berat-berat. Walaupun ada sawah, masih harus tunggu empat bulan baru panen. Tak ada penghasilan yang didapat setiap harinya.

Saya bersaudara empat orang. Saya anak ketiga. Kakak tertua juga bekerja di Malaysia, di Sungai Buluh. Yang kedua sudah meninggal, baru tiga bulan lalu. Saya tak bisa pulang. Yang keempat tinggal di desa. Dia sedang akan menikah. Anak saya tiga; semua di kampung, diurus oleh nenek mereka. Yang pertama sudah klas lima, yang kedua klas dua. Yang kecil belum sekolah.

Saya minta bantuan tekong dari desa Sumberbaru di Jember untuk bisa bekerja di Malaysia. Saya tidak menggunakan jasa PJTKI karena semua orang di desa saya yang bekerja ke luar negeri tidak ada yang pakai PT. Kata mereka, kalau lewat PT urusan jadi lama, sampai antara satu bahkan dua bulan, kecuali jadi lebih mahal. Lalu kalau lewat PT jadi PRT juga tak bisa memastikan bahwa majikan itu baik. Banyak pekerja rumah diperlakukan kasar. Kalau ada saudara atau anggota keluarga yang bekerja di Malaysia, biasanya mereka juga tidak lagi lewat PT, tapi minta tolong diuruskan saudaranya itu untuk mendapatkan kerjaan.

Mengapa kau memilih bekerja di Malaysia tanpa dokumen lengkap?
Saya keluar dari dan masuk ke Malaysia sampai empat kali. Yang pertama, 1996, seperti sudah saya katakan, saya masuk dengan paspor tapi bekerja tanpa permit; bayar tekong asal desa Sumberbaru, Jember, Rp1,4 juta. Yang kedua, 1998, sama dengan yang pertama, masuk dengan dibuatkan KTP dan paspor di Tanjung Pinang dan tanpa permit kerja Malaysia; bayar tekong orang sekampung, Rp3,7 juta. Tapi, yang ketiga, kira-kira 2002, saya nekad masuk tanpa ‘paspor’; saya naik pongpong (speedboat) dari Dumai, dua jam sampai di Malaysia; dengan bantuan keluarga suami saya di Dumai saya ditemukan dengan tekong yang hanya minta Rp1,2 juta. Dengan jalan pongpong biaya lebih murah. Dan saya mengatasnamakan diri saya asal dari Jember dengan dokumen KTP saja. Saya sampai muntah-muntah kuning dalam speedboat karena guncangan ombak laut. Saya tak tahu persis di mana speedboat berlabuh di pantai Malaysia.

Masa kosongan (tak berdokumen) itu masih berlangsung setengah tahun berikutnya untuk saya. Lalu, ada dua kali pemutihan yang saya alami, yaitu tahun 2002 dan 2004. Ini jadi ongkos murah karena cukup dengan mengurus perpanjangan dokumen di KBRI dengan hanya bayar RM40, lalu bisa beli tiket dan pulang ke Indonesia. Kalau tak ada pemutihan, ini tak bisa karena tekong di sini masih akan minta banyak uang dari kita lagi. Pemutihan tahun 2004 membuat saya bisa pulang lagi --sebelum masuk keempat kalinya untuk kerja lagi di Malaysia-- untuk membuat paspor yang sesuai dengan jatidiri saya, yaitu di Surabaya atas rekomendasi dari agen di Malaysia yang telah punya hubungan kerja ke Indonesia. Saya tidak lagi kosongan sejak dari Indonesia. Di Jember saya menunggu sampai visa datang, baru berangkat ke Malaysia.

Bagaimana riwayat pekerjaan dan kehidupanmu di Malaysia?
Awalnya, setelah sampai di Malaysia, saya bekerja sebagai PRT di Sungai Buluh. Saat itu saya berjumpa dengan suami saya, asal Flores.

Setelah dibuang dari Malaysia akhirnya sampai di Dumai --sebab saya kena tangkap karena tak punya dokumen--, saya tidak mampu membayar urusan paspor (dan penempatan kerja) di Dumai. Pengurusan waktu itu harus bayar sampai Rp3,5 juta. Saya tidak mengurus di Jember karena semua TKI di desa saya menggunakan jasa tekong. Semuanya diuruskan. Jadi, sekali saja, waktu pertama kali berangkat, paspor saya diuruskan di Jember.

Menjelang dua tahun saya di Malaysia, saya pulang bersama calon suami saya untuk menikah. Umur saya waktu itu 16 tahun. Di kampung kami hanya tinggal dua bulan. Lalu kami berangkat lagi ke Malaysia.

Tapi kami bekerja di Malaysia secara kosongan. Keluar dari Indonesia kami hanya menggunakan paspor pelancong. Sampai di Malaysia, visa kami sebelumnya sudah mati. Sudah tak bisa dipakai lagi. Saya kerja di lokasi bangunan di kawasan perkebunan. Saya jadi kongsikong atau kerani. Pekerjaan saya di bagian kebersihan, cleaning service. Tugas saya sapu-sapu, kemas-kemas sisa semen, angkat sampah.

Upah saya kecil. Karena tak punya cukup uang, saya terpaksa tidak membuat permit. Sampai suatu hari di tahun 2000 itu waktu sedang makan siang saya ditangkap polisi. Saya kemudian ditahan di penjara Semenyih, KL, 12 hari.

Bagaimana keadaan di penjara Malaysia?
Di penjara keadaan sangat parah. Tak ada kekerasan langsung tapi keadaan pelayanannya tak layak. Saya jatuh sakit enam hari selama di penjara. Suara saya sampai hilang. Pagi hari hanya diberi air teh tanpa gula, sepotong roti. Lalu kami disuruh berbaris dan jumlah kami dihitung. Makan tengah hari kami hanya diberi nasi dan ikan kering. Kami diberi minum air mentah.

Benarkah dirimu pernah “dijual” selama menjalani proses deportasi?
Setelah itu saya diwajibkan pulang ke Indonesia. Saya dibuang. Saya diantarkan ke Malaka dan digiring pulang dengan tujuan Dumai. Tapi akhirnya kapal tak jadi ke sana. Baru sampai di Bengkalis saya sudah ditukar naik ferry lain. Saya dibawa ke Pakanbaru.

Di pelabuhan Pakanbaru itu kemudian terjadi “jual-menjual”. Saya sebenarnya tak mengerti benar apa yang terjadi. Yang saya tahu, setelah diberi makan dan air, lalu kami disuruh naik bis. Banyak kawan yang cantik-cantik dan body-nya oke, disuruh naik bis. Saya ikut terbawa bis itu. Bis itu membawa kami sampai jauh sekali, di luar kawasan perkampungan, di tengah-tengah hutan tapi ada sebuah rumah besar. Di rumah besar itulah ada banyak preman tapi juga anggota Brimob. Para preman itu memegang clurit dan senter.

Kami minta tolong kepada para polisi itu, tapi mereka menjawab kami, “Kami juga tak bisa dan tak boleh berbuat apa-apa di sini.” Tapi melihat perilaku mereka, buat saya jelas sekali para polisi itu bekerja sama dengan para preman.

Lalu saya mencoba minta tolong orang. Seandainya sepuluh menit saja terlambat, saya pasti sudah kena jual. Ada banyak orang yang mau membeli kami. Saya katakan pada orang itu, “Tolong katakanlah pada mereka bahwa saya ini istri awak. Tolonglah.” Lalu saya minta juga kepadanya untuk mengantar saya ke Dumai. Di sana ada keluarga suami saya yang bisa membantu. Saya bayar Rp50ribu untuk perjalanan semalam sampai di Dumai. Keluarga suami saya kemudian telpon suami saya yang sementara masih di KL. Lalu suami saya menjemput saya di Dumai.

Kami lalu pulang dulu ke Jember. Kemudian kami masuk lagi ke Malaysia tapi kami tetap kosongan. Untungnya, di Malaysia sedang ada ‘pengampunan’ (kelulusan, amnesti). Mereka yang kosongan diizinkan membuat dokumen oleh pihak Imigresen. Itu sangat istimewa karena biasanya mereka tak bisa sama sekali mengurus dokumen. Para agen memasang iklan di surat kabar dan membuka kesempatan untuk membuat dokumen. Kemudian tahun 2005 saya urus dokumen. Dan sudah tiga tahun ini saya pegang dokumen.

Berapa kali ditangkap polisi Malaysia selama tak berdokumen?
Sesungguhnya dulu waktu kosongan, saya sering ditangkap. Mungkin sampai sekitari 20 kali. Itu penangkapan-penangkapan biasa, bisa dirundingkan dengan uang. Suatu ketika dulu, sebelum menikah, waktu jalan-jalan di Kota Raya saya pernah kena tangkap dan dipaksa membayar sampai RM1.900. Lalu waktu kerja di kawasan bangunan, waktu saya keluar untuk beli ikan atau sayuran, beberapa kali saya kena tangkap. Tapi mereka tidak minta banyak, sekitar RM200 atau RM300 atau RM500. Lihat-lihat apa saya bisa pandai bicara dengan polis(i), lalu polis itu merasa kasihan, barangkali dengan RM100 pun orang tertangkap bisa dilepaskan.

Bagaimana tanggapanmu tentang perlakuan pemerintah dan polisi Malaysia?
Banyak orang Indonesia kena tangkap, termasuk yang punya dokumen. Masa yang tak punya dokumen saja lalu dirotan sampai bilur-bilur karena rotannya mengandung racun. Yang kena rotan biasanya sampai dua minggu tak bisa tidur telentang. Pantatnya keluar darah. Mereka bukan rogol atau perampok. Kami bekerja dan menyumbangkan tenaga di sini. Buat apa mereka dirotan-rotan..

Setelah menangkap polis-polis itu masih berdalih dengan banyak sekali alasan dan pertanyaan yang dibuat-buat. Walaupun permit itu asli tapi sangat sering dibantah oleh polis bahwa itu tak asli, palsu, atau segala macam alasan lain. Di sini terlalu banyak polis yang korup atau makan raswa, terutama terhadap orang Indonesia.

Mereka memang mencekik betul rakyat Indonesia. Sedikit-sedikit dan kalau berhadapan dengan situasi macam mana pun, rakyat Indonesia dipersalahkan. Mereka kurang menyebut orang-orang pendatang dari negara lain, entah Bangladesh, Vietnam atau Myanmar. Mengapa selalu orang Indonesia dikambinghitamkan? Tempat-tempat hunian orang-orang pekerja kontrak dari Indonesia disebut-sebut sebagai “sarang” orang Indonesia di dalam koran-koran. Itu bikin malu saja, kan? Memang ada orang-orang Indonesia yang jahat atau tak betul. Tapi janganlah disapu rata semua. Orang yang kerja betul pun kena sapu rata.

Apa yang kauharapkan dari pemerintah Indonesia?
Saya kadang di sini jadi pikir, pemerintah Indonesia itu kurang adil kepada warga negaranya di Malaysia. Buatlah kebijaksanaan sedikit saja kan .. Peduli sedikitlah pada apa yang terjadi pada rakyatnya yang di Malaysia. Tapi pemerintah Indonesia tak peduli, tak mau tahu. Rakyatnya hidup serba susah di sini. Tak ada dokumen jelas susah. Ada dokumen pun susah.

Apa saranmu untuk para pekerja migran dari Indonesia?
Terpulang kepada orang TKI itu sendiri. Tapi janganlah datang kosong seperti saya dulu. Susah jadinya. Jangan dengan niat yang tak baik. Datanglah ke sini kalau betul-betul mau mencari sesuap nasi, tapi janganlah jadi pekerja rumah tangga, karena sudah banyak sekali yang mengalami kasus, macam tak dibayar gaji atau dipukul majikan, disiksa. Banyak sekali saya temui di jalan-jalan itu, perempuan-perempuan yang lari dari majikannya. Beberapa kali saya menolong mereka .. **



Ditulis kembali oleh tim peneliti dari The Institute for Ecosoc Rights

Read More...

14 January 2008

“Anak Haram yang Dilupakan Keberadaannya”

Kabupaten Jember

Savitri W. & Prasetyohadi

TKI adalah anak haram dari pembangunan yang gagal.” Inilah pernyataan dari salah satu nara sumber dalam kegiatan diskusi publik, 13 Desember 2007 di Lembaga Penelitian Universitas Jember, Jember, yang bertemakan “Skema Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Tingkat Kabupaten – Aspek Perekrutan, Pendidikan dan Pembiayaan di Tingkat Kabupaten”. Istilah “anak haram” itu sejajar dengan sikap masyarakat yang tidak memandang penting keberadaan para TKI dan bahkan ada kecondongan mempersalahkan mereka. Tidak jarang stigma masyarakat terhadap TKI cukup kuat datang dari kalangan pemerintah, PPTKIS dan bahkan dalam komunitas masyarakat itu sendiri.

Itulah gambaran yang melekat ketika para peserta diskusi publik itu membahas masalah TKI dan kemungkinan legislasi peraturan daerah (perda) untuk perlindungan TKI di kabupaten ini. Dari seluruh proses lobby dalam kegiatan advokasi kebijakan publik ini, tampak respons para pihak tak cukup padu sehingga masih membutuhkan proses-proses lanjutan untuk mencapai kemungkinan mengangkat raperda perlindungan TKI di tingkat publik. Pihak pemerintah daerah dan DPRD belum melakukan komunikasi yang langsung mengarah pada masalah penataan perlindungan TKI di kabupaten. Disnakertans Jember belum merespons positif bentuk payung hukum perda untuk perlindungan TKI. Dalam kegiatan diskusi publik itu Ka-Disnakertrans Jember M.Thamrin menyatakan menyerahkan legislasi peraturan daerah ini kepada DPRD.

Caption: Para ibu mantan TKI ini sudah tidak mau lagi jatuh ke pola berulang jadi TKI karena hasil kerja mereka habis dikomsumsi untuk hal-hal tak terencana. Tapi mereka masih ragu-ragu dengan membangun ‘koperasi’. Namun, kini Disnakertrans Jember bersedia menguatkan para mantan TKI dengan menyelenggarakan kegiatan pelatihan pemberdayaan ekonomi. Foto diambil ketika mereka sedang mendiskusikan masalah TKI, Februari 2007 di salah satu rumah mantan TKI di desa Watukebo, kecamatan Ambulu, Jember.


Mengapa penting bahwa ada perda perlindungan TKI? Perda ini sangat prospektif mengurangi permasalahan krusial yang menimpa TKI. Dengan perda ini pihak-pihak yang terlibat dalam masalah TKI akan sangat diuntungkan karena masyarakat semakin mempercayai pemerintah dalam mencapai pemerintahan yang baik (good governance). Pemerintah akan sangat dibantu oleh masyarakat dalam menjalankan programnya. Reputasi kinerja PPTKIS membaik. Dan akhirnya tentu saja perda ini sangat bermanfaat bagi para TKI karena keselamatannya dijamin.

Lihat/klik dua tulisan lain yang terkait:
* Kabupaten Banyumas: "Keterbukaan yang Memberi Harapan"
* Kabupaten Tulang Bawang: "Antara Kemauan, Keraguan & Ketakberdayaan"

Namun, sejauh ini pihak eksekutif baru sampai pada pernyataan kesediaan memberikan perlindungan. Tidak dalam bentuk suatu peraturan daerah, tetapi dengan program-program seperti: 1) mengaktifkan balai latihan kerja berwujud program pendidikan untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan para calon TKI asal Jember sebelum diberangkatkan ke PPTKIS di luar kabupaten Jember, 2) menangani kasus deportasi dan 3) mengajak pihak bank bekerja sama untuk memberikan skema kredit kepada calon TKI yang akan bekerja ke luar negeri.

Sementara itu pihak DPRD, terutama Komisi D yang mengurus masalah kesejahteraan masyarakat termasuk untuk perlindungan TKI, sesungguhnya sudah menyatakan sikap membela kepentingan para TKI, terutama karena tak sedikitnya kasus-kasus dan berbagai masalah yang dialami oleh para TKI. Pihak DPRD merasa perlu bahwa perda ini segera digolkan. Namun pendalaman isi raperda masih tetap perlu dikembangkan lagi bersama dengan mereka. Diperlukan upaya-upaya terfokus untuk mendorong dan mengawal raperda secara lebih mendalam lagi terutama bagi para anggota DPRD agar memberikan perhatian lebih konkrit. Upaya ini dipandang penting dilakukan secara terus-menerus mengingat berbagai kesibukan anggota-anggota DPRD seperti konsolidasi kepada basis, penyusunan anggaran APBD (2008) dan kesibukan-kesibukan lainnya yang mengharuskan mereka untuk keluar dari kantor.

“Mudah-mudahan bukan sekedar basa-basi,” ujar seorang nara sumber lain dalam diskusi publik itu. Oleh karena itu perlu adanya organisasi setempat yang sepenuhnya mengawal raperda ini untuk tahap-tahap selanjutnya. Sejauh ini telah tersedia ‘pintu-pintu masuk’ bagi pembahasan raperda seperti sikap Komisi D DPRD Jember yang sudah sepakat dengan isu ini dan penyerahan pihak pemerintah daerah agar perda sebaiknya diinisiasikan oleh DPRD. Organisasi lokal yang bersedia mengawal adalah Gerakan Buruh Migran Jember (GBMI) sebagai bagian sekaligus solidaritas kerja dari kerangka advokasi lebih luas yang dikerjakan oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).

Untuk percepatan pembahasan raperda, tentunya diharapkan isu perlindungan TKI melalui raperda ini tidak hanya menjadi keprihatinan komisi D yang kebetulan mayoritas anggotanya berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan merupakan partai terbesar dalam perolehan suara pada pemilu tahun 2004 di kabupaten ini. Mestinya partai ini berinisiatif lebih cepat, apalagi ada dukungan sepenuhnya dari arah tokoh-tokoh agama yang tergabung dalam ormas besar Nahdlatul Ulama agar nasib TKI sungguh-sungguh diperhatikan. Namun perpecahan internal yang melanda partai ini tampak sangat berdampak pada kinerja publik para anggota DPRD-nya. Sekalipun demikian, beberapa di antara mereka tetap memegang tekad bekerja sungguh-sungguh dan melihat bahwa dengan mengangkat isu melindungi TKI, partai ini akan mendapatkan kredit pemulihan nama baik di hadapan masyarakat.

Fraksi kedua terkuat yakni PDIP ternyata juga merasa bahwa permasalahan TKI harus segera diatasi melalui raperda. Bahkan Zahrony, salah satu anggota PDIP, menyatakan bahwa PDIP akan membahas raperda yang kami usulkan di DPRD.

Namun, dalam prosesnya sampai sejauh ini, upaya mendekati negosiasi antarpara pihak menuju ke raperda perlindungan TKI sesungguhnya tidak semudah membalikkan tangan. Proses yang kami lalui terasa cukup berbelit dan tak langsung menuju sasaran kegiatan. Hal ini terutama karena kuatnya pertahanan pihak kemapanan politik ekonomi di kabupaten ini. Apalagi jika diingat telah ada pencabutan yang dilakukan oleh Depdagri terhadap ratusan perda, termasuk satu perda yang sebelumnya telah diusulkan wewenang kabupaten Jember namun ternyata dipandang mengandung retribusi atas berbagai kegiatan ekonomi yang dilakukan di kabupaten (Kompas, 1 April 2006). Selama ini ada anggapan di kalangan elit politik di berbagai kabupaten di Indonesia, termasuk di Jember, bahwa perda digunakan sebagai sarana meningkatkan pendapatan asli daerah. Karenanya, dengan adanya pembatalan berbagai perda oleh Depdagri itu, dapat difahami mengapa terdapat resistensi laten dari elit daerah terhadap pemerintah pusat. Perda dipandang bukan solusi. Elit eksekutif daerah berpandangan bahwa kebijakan nasional dan lobby internasional pemerintah untuk perlindungan TKI sesungguhnya belumlah memungkinkan daerah dengan mudah begitu saja melakukan implementasi perlindungan terutama jika diutamakan ada preferensi pencegahan berbagai masalah percaloan TKI di desa-desa.

Mengingat semua kerumitan hubungan-hubungan politik tersebut, atas usulan berbagai pihak baik dari kalangan masyarakat sipil maupun pemda terutama Disnakertrans di Jember, kami diminta tidak hanya menghembuskan isu tentang raperda tapi juga mengajak para pihak untuk mendorong adanya kegiatan atau program jangka pendek dan menengah dalam kerangka perlindungan TKI. Raperda menjadi tujuan untuk jangka panjang. Hal ini bersesuaian dengan latar belakang dan kerangka mengapa kami melakukan penelitian advokasi ini yaitu belum kuatnya respon dari para pengambil keputusan untuk mengurus TKI terutama di kalangan internal pemerintah kabupaten sendiri. Dibutuhkan kegiatan-kegiatan penyambung yang memungkinkan kita mengangkat perspektif kepentingan dari para TKI sendiri.

***

Peran pemerintah. Memang telah banyak kegiatan preventif seperti sosialisasi mengenai migrasi yang aman sudah dilakukan hingga tingkat desa. Sedangkan kegiatan rehabilitasi yang sudah dilakukan adalah membentuk satgas penanganan kasus dan bantuan hukum yang melibatkan para stakeholders setempat. Selain itu, ada peningkatan anggaran untuk perlindungan TKI tahun 2008 yang semula dianggarkan Rp 50 juta menjadi dua kali lipat. Kegiatan lainnya adalah penguatan ekonomi desa dengan membina kelompok-kelompok di desa agar dapat memanfaatkan potensi dan kekayaan desa. Namun setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi mengapa meskipun telah dilakukan program-program oleh Disnakertrans Jember, belum banyak perbaikan bagi kebutuhan mendesak terhadap perlindungan TKI.

Pertama, karena tetap bermunculannya kasus-kasus yang menimpa para TKI, terutama yang terjadi di luar negeri. Hal ini terus menjadi sorotan dari organisasi TKI setempat dan telah menimbulkan dampak non-komunikasi antara gerakan masyarakat yang membela TKI dan Disnakertrans Jember sendiri. “Copot Kadin yang Tak Lindungi TKI” (Radar Jember, 12 Desember 2007) adalah judul berita yang menandakan buntu-komunikasi di antara para pihak, namun sesungguhnya dapat diartikan sebagai “blessing in disguise” setelah kita tengok umpan balik positif yang ditimbulkannya. Situasi non-komunikasi ini terutama disebabkan karena kasus-kasus yang menimpa para TKI sama sekali ‘tidak tertangani’ di tingkat kabupaten. Sementara pihak Disnakertrans beranggapan bahwa “persoalan TKI terutama adalah persoalan nasional”. Implikasinya kasus-kasus TKI, termasuk yang menimpa warga Jember, tidaklah dipandang sebagai masalah yang pertama-tama harus ditangani oleh Disnakertrans kabupaten bersangkutan. Hal ini telah menimbulkan salah sasaran komunikasi di samping tak memadainya kesadaran publik terhadap problematika para TKI sendiri. Namun, meskipun keadaan jadi tidak menentu, situasi ini mendorong penelitian advokasi ini untuk melerai keadaan non-komunikasi itu terlebih dahulu sebelum bisa bergerak maju lebih pasti dan on the track menuju ke pembahasan raperda yang sesungguhnya.

Caption: Diskusi publik membahas perlindungan TKI yang diselenggarakan di Lembaga Penelitian Universitas Jember, Desember 2007, yang dihadiri oleh pemerintah, masyarakat, PPTKIS. Insert: Kadisnakertrans Jember Drs. M. Thamrin sedang memaparkan kerangka kerja kantornya. Kehadirannya melerai kebekuan hubungan masyarakat dan pemerintah.
Kedua, karena keterbatasan perspektif program pemerintah daerah yang pada gilirannya tidak didukung oleh anggaran pendanaan yang memadai, sehingga sebagai dampaknya, masih terlalu sedikit desa dan kecamatan menjadi sasaran kegiatan dan program Disnakertrans. Luas dan tersembunyinya masalah percaloan TKI di pedesaan kabupaten juga mempersulit munculnya ancangan pemikiran tentang pencegahan, seperti monitoring dan pendataan TKI di desa-desa. Seandainya diprogramkan kegiatan pencegahan, maka akan harus dilakukan secara bertahap dari tahun ke tahun.

Sementara itu, dari sisi strategi advokasi, kegiatan advokasi ini akhirnya perlu berpaling dari kerumitan politik itu menuju usaha membenahi fokus komunikasi di kalangan masyarakat sipil terlebih dahulu, sebelum melakukan lobby lebih jauh untuk mengajak para pemangku kepentingan seperti pemda (terutama Disnakertrans dan Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten). Sedangkan dari sisi pendekatan yang kami tempuh, sosialisasi hasil penelitian yang menawarkan perspektif mengenai pentingnya perlindungan kepada TKI asal Jember kami lakukan dengan berbagai cara. Baik dalam jumlah kecil antara 10 orang hingga lebih dari lima puluh orang. Rangkaian kegiatan seperti diskusi kelompok terfokus (FGDs), workshop, lobby dan diskusi publik merupakan cara untuk menampung pendapat dan menguji hasil penelitian mengenai raperda perlindungan TKI yang telah dibuat dan mengoreksi arah advokasi yang berusaha kami tempuh.

Masukan dari kecamatan dan kelurahan. Pihak kecamatan dan kelurahan memberi tanggapan positif mengenai raperda perlindungan TKI. Pihak desa merasa bahwa perlu ada peraturan yang melindungi TKI. Kepala desa sering menjadi korban ketika warganya pergi keluar dan apabila warganya mengalami masalah, maka kepala desa juga akan mendapatkan teguran. Mereka sangat berharap ada kegiatan yang melibatkan kepala desa seperti pengurusan TKI berada di desa, bahkan mereka mengusulkan warga yang berangkat melalui desa, terlebih dahulu dilepas dari desa. Tidak hanya itu saja, mereka meminta adanya sosialisasi mengenai tatacara bekerja ke luar negeri yang benar dan aman dan mengajak organisasi TKI atau pemerintah daerah dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Kegiatan-kegiatan ini apabila dilaksanakan akan mengurangi percaloan di tingkat desa dan adanya pendataan yang lebih baik.

***

Dukungan masyarakat sipil di Jember. Berbeda dengan kabupaten-kabupaten lain dalam seluruh penelitian advokasi ini, kekuatan para pegiat ormas atau LSM/NGO di Jember tidak diragukan lagi. Banyak terdapat organisasi kemasyarakatan. Mereka berfikir kritis terhadap kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah. Namun sayangnya para LSM/NGOs masih bekerja sendiri-sendiri dan kurang berkoordinasi terutama untuk isu TKI. Pada awalnya, respons dari organisasi masyarakat di Jember tentang raperda TKI sesungguhnya sangat positif, terutama dari pihak para pegiat Gerakan Buruh Migran Indonesia di Jember (GBMI) yang dari semula bersedia mengusung kelanjutan proses mendorong pihak legislatif. Namun, respons kalangan masyarakat sipil yang lain tentang raperda seperti serikat-serikat petani di kabupaten ini sangatlah pesimistis. Sebelumnya mereka sudah mempunyai pengalaman kegagalan dalam mengusung raperda tentang penataan produksi tembakau. Hasil akhirnya tidak sesuai dengan yang diharapkan bagi kemaslahatan para petani. Namun, setelah kami berinisiatif untuk menawarkan perspektif isu perlindungan terhadap TKI kepada ‘orangtua’ para TKI yang kebanyakan adalah para petani miskin di pedesaan, Serikat Tani Independen (Sekti) yang telah bekerja mengorganisir masyarakat desa di sekitar 20-an kecamatan memberikan respons cukup aktif terhadap permasalahan TKI. Mereka bersedia mengupayakan apa saja yang mungkin dilakukan sejauh dalam kemampuan. Kepedulian mereka terhadap masalah TKI berawal dari perkiraan dan pengakuan mereka bahwa 30 persen dari anggota serikat petani ini terkait dengan (masalah) TKI atau pernah atau sedang menjadi TKI di luar negeri, bahkan dipertimbangkan pula ada anggota-anggota serikat tani yang menjadi sponsor calon TKI. Mereka bersikap kritis terhadap sikap konsumtif dari para mantan TKI setelah pulang bekerja dari luar negeri.

Caption: Diskusi kelompok dengan para tokoh Serikat Petani Independen (Sekti) di Ambulu, Jember, Oktober 2007, melahirkan gagasan perlunya ‘konsultansi perencanaan’ bagi para calon TKI.
Organisasi petani sebagai ‘orangtua TKI’ akhirnya menyadari bahwa para TKI bukan lagi ‘anak-anak haram’ (mereka sendiri) seperti tergambar dari kenyataan bahwa selama ini para (mantan) TKI telah mendapatkan stigma sebagai ‘konsumtif’, seperti halnya banyak pihak juga telah melancarkan stigma tersebut. Para TKI juga dipandang merupakan perwujudan dari pergeseran nilai-nilai di pedesaan yang belum dapat diterima oleh masyarakat. Namun masyarakat menyadari bahwa keterlantaran perlindungan TKI adalah “hasil kinerja haram dari kegagalan pembangunan”. Disadari bahwa mengapa warga miskin di desa-desa berpaling dari masalah desa ke migrasi kerja dengan jadi TKI adalah karena mereka merupakan lapis terbawah dan termiskin di antara sejumlah 50 persen kelompok miskin di kabupaten ini. Kegagalan penanganan masalah kemiskinan oleh pemerintah telah berdampak jauh sampai ke keadaan bahwa wewenang kabupaten tak mampu mengetahui siapa saja, berapa banyaknya, mengapa anak-anak perempuan desa mengadu nyawa dan mengadu nasib menjadi TKI di luar negeri, dst., sementara disadari pula bahwa sejauh ini sama sekali tidak ada skema perlindungan bagi hidup dan nyawa mereka.

Karenanya dalam diskusi kelompok terarah (FGD), 4 Oktober 2007 di kecamatan Ambulu, mereka mengancangkan kemungkinan intervensi untuk para mantan TKI agar tak konsumtif dengan cara menawarkan pendidikan mengenai perencanaan hasil kerja kepada calon TKI. Diharapkan setelah pulang, para TKI dapat mengelola hasil kerja dengan lebih baik. Organisasi TKI yang diwakili GBMI dalam diskusi itu juga diterima oleh Sekti dan karenanya berkomitmen akan memberikan pendidikan dan pelatihan bagi calon TKI di 20-an kecamatan dampingan Sekti.

Jaringan serikat petani dan nelayan —sebut saja serikat rakyat— di tingkat kabupaten Jember juga mampu mendorong advokasi ini untuk dapat mendongkrak leverage isu perlindungan TKI sehingga dapat menawar kepada Disnakertrans Jember untuk bersedia membuka komunikasi publik yang lebih konstruktif, sembari mengajak organisasi TKI untuk masuk ke ranah negosiasi kebijakan di tingkat kabupaten. Serikat rakyat sebagai bagian dari kalangan pegiat masyarakat sipil melihat bahwa ketidakadilan tampak mencolok dalam ketidakseimbangan antara apa yang diberikan oleh para TKI kepada pemerintah dan alokasi dana untuk program TKI di kabupaten ini.

Untuk rancangan APBD Jember 2007, program untuk TKI hanya dianggarkan Rp50 juta saja —menurut informasi terakhir dari Ka-Disnakertrans sudah naik menjadi dua kali lipatnya— , sementara mereka menyadari bahwa setidaknya setiap calon TKI yang merekrut dan ditempatkan oleh PPTKIS yang sah diakui pemerintah telah membayar sebanyak US$15 kepada pemerintah pusat. Penarikan sebesar US$15 kepada setiap TKI juga diakui oleh Menakertrans, Erman Suparno (Kompas, 30 Januari 2007).

Isu kesenjangan ini mampu menarik perhatian dan keprihatinan dari jaringan petani yang menyadari diri mereka sebagai ‘orangtua’ atau ‘yang ada kait-mengait langsung’ dengan masalah TKI di kabupaten ini. Isu ini memancing mereka untuk mengancangkan bahwa jika ada tim kerja di tingkat kabupaten yang melibatkan baik pemerintah, bisnis, maupun masyarakat sipil, maka urusan perlindungan TKI dapat lebih dijamin kelanjutannya di masa depan jangka pendek ini.

Diskusi publik yang kami dorong pelaksanaannya untuk mencari solusi itu akhirnya mengarahkan para peserta pada keyakinan bahwa semua upaya ini tidak akan berhenti pada diskusi publik itu sendiri tapi bahwa kelanjutannya hanya mungkin dilakukan jika tim kerja itu melibatkan semua pihak yang terkait sejak awal perencanaan. Salah satu di antara isu yang mungkin ditarik adalah bahwa untuk memungkinkan berbagai pihak di daerah mengimplementasikan program perlindungan TKI di tingkat kabupaten, mereka perlu menagih kepada pemerintah pusat pendanaan yang diperlukan secara lebih seimbang.

Peran akademisi. Sementara itu, peran akademisi yakni Lembaga Penelitian Universitas Jember (Lemlit Unej) sebagai pihak netral dan terhormat di kalangan masyarakat Jember, kami libatkan untuk ikut serta dalam kegiatan ini. Sebagai panitia penyelenggara dalam kegiatan diskusi publik yang diadakan pada tanggal 14 Desember 2007, Lemlit lewat Pusat Studi Wanita menawarkan respons positif terhadap masalah TKI. Mereka telah familiar dengan isu TKI karena isu ini adalah satu bidang telaah di lembaga ini yang telah melakukan penelitian tentang TKW di desa-desa di kabupaten Jember. Diancangkan Lemlit membantu menghembuskan isu TKI ini kepada pemerintah daerah sehingga segera terjaring bentuk-bentuk perlindungan kepada TKI secara lebih konkrit.

Peran PPTKIS. Dari kalangan bisnis perekrutan dan penempatan sendiri, PPTKIS dan cabang PPTKIS berpendapat tidak perlu ada penataan hukum di tingkat daerah. Mereka beranggapan bahwa UU No 39 tahun 2004 sudah baik. Hanya saja, menurut mereka, “kelemahan dari UU tersebut adalah adanya penyimpangan implementasi.” Mereka menyarankan pula bahwa calo atau sponsor dilegalkan karena tanpa bantuan mereka, para TKI tidak memahami persyaratan dan bisa bekerja ke luar negeri. “Calo atau sponsor menjadi corong informasi yang tidak dibayar oleh pemerintah,” kata salah satu pejabat PPTKIS di Jember. Hal ini dapat dimengerti mengingat sedikitnya jumlah PPTKIS yang berbasis di Jember atau cabang PPTKIS yang membuka kantor secara resmi di kabupaten ini. Dari hasil penelitian tampak jelas bahwa jauh lebih banyak sponsor/calo bekerja dan mencari para calon di antara keluarga-keluarga petani termiskin dari kabupaten ini tapi PPTKIS yang membayar mereka berada di luar jangkauan dan pantauan Disnakertrans Jember. Lobby PPTKIS di hadapan pemerintah setempat kurang memadai sehingga mereka lebih mengambil opsi jalan aman.

Akhir kata, pembelajaran yang didapat setelah berinteraksi langsung maupun tidak langsung dengan masyarakat Jember dapat direfleksikan bahwa pemahaman akan isu TKI ini sudah mulai diperhatikan oleh pemerintah Jember. Pendekatan perlindungan hukum masih merupakan hal baru bagi mereka. Masih tarik ulur mengenai pentingnya perda dan apa keuntungannya bagi saya (pemerintah daerah). Di Jember, hanya ada satu PPTKIS pusat dan selebihnya adalah PPTKIS cabang/perwakilan. Ini pula yang membuat pemerintah daerah merasa tidak perlu ada perda.

Namun dari semua itu, yang patut diacungi jempol adalah sikap otentik para pemangku kebijakan dalam mengekspresikan pendapatnya. Mereka tidak malu untuk bersikap menolak atau menerima raperda ini. Sikap ini membantu kami dalam melakukan pendekatan-pendekatan alternatif lainnya.

Kelemahan dari program ini adalah keterbatasan waktu yang menyebabkan kami tidak dapat intens untuk berbicara dan bertukar pikiran kepada para pihak terutama para pengambil kebijakan. Istilah umumnya “tak kenal maka tak sayang” sangat mempengaruhi perspektif mengenai TKI.

Harapan kami, kesadaran masyarakat akan pentingnya raperda semakin utuh sehingga mereka tidak takut dalam mengambil kebijakan yang pro kepada TKI. Apabila raperda ini belum dapat dilakukan segera, maka setidaknya untuk jangka pendek, masyarakat dan pemerintah mulai berkoordinasi, bekerja bersama dalam mengupayakan perlindungan TKI.**

Read More...

09 June 2007

Menjual anak-anak petani miskin?

Bank Indonesia — Data Transfer Dana Tenaga Kerja Indonesia Juni-Desember 2006 untuk Wilayah Kerja Kabupaten Jember, Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso

Bank Indonesia — Data Transfer Dana Tenaga Kerja Indonesia Juni-Desember 2005 untuk Wilayah Kerja Kabupaten Jember, Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso

Data Buruh Migran Kabupaten Jember 2004-2005
SELAMA ini buruh-buruh migran dipandang sebelah mata. Di satu sisi, mereka dianggap ”illegal”, ”tidak sah”, ”undocumented”. Malah sekarang muncul lagi istilah eufemistik baru: ”unauthorized”. Di sisi lain, pada kenyataannya mereka memasukkan banyak sekali uang hasil kerja dari luar negeri ke desa-desa asal mereka. Bagaimana gambaran ketidakseimbangan ini?

Kita ambil contoh dari kabupaten Jember, Jawa Timur, sebagai salah satu daerah asal para buruh migran Indonesia. Berapa banyak uang dikirimkan oleh buruh migran ke wilayah pedesaan di kabupaten itu? Berapa perbandingannya dengan pendapatan asli daerah kabupaten Jember? Berapa persen yang tak dapat diurus pemerintah dengan baik sehingga tak terwujud perlindungan pada para buruh migran itu?

Untuk semester kedua 2005 Bank Indonesia wilayah kerja Jember dan sekitarnya mencatat lebih dari 12.000 buruh migran asal spesifik kabupaten Jember mengirimkan uang lewat berbagai bank sebanyak lebih dari Rp22 milyar. Untuk paruh kedua 2006 sebanyak lebih dari 11.000 buruh migran mengirimkan uang sebesar Rp26,4 milyar. Tentunya data ini dapat dipandang sebagai ”jujur” karena untuk mengirimkan uang lewat bank orang harus menunjukkan rekening dan identitas yang diperlukan.

Berapa perbandingannya dengan pendapatan asli daerah (PAD) dari Jember? Catatan dari pemda setempat yang termaktub dalam monograf laporan setebal 336 halaman berjudul ”Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Jember, Tahun Anggaran 2005” menyebutkan PAD kabupaten Jember (hanya) sebesar Rp44.204,509.152,77. Alias, hanya untuk paruh kedua 2006, besaran hasil kerja nyata buruh migran setaraf dengan nyaris 60 persen dari pendapatan asli daerah. Kabupaten yang disesaki oleh perkebunan-perkebunan dengan hak-hak guna usaha yang luas itu ternyata komparatif menghasilkan begitu sedikit pendapatan yang dapat dimanfaatkan warga masyarakatnya sendiri.

Lalu berapa data resmi buruh migran asal Jember yang dicatat oleh pemerintah? Ternyata sangat jauh perbedaannya. Biro Pusat Statistik (BPS) cabang Jember, berdasarkan catatan dari kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi kabupaten Jember, pada tahun 2005 secara resmi mencatat (hanya) sejumlah 267 orang buruh migran asal Jember berangkat bekerja ke luar negeri. Perbedaan sangat kontras ini dapat menggambarkan bagaimana kantor-kantor pemerintah satu sama lain saling bertentangan dan tak berkoordinasi dalam mencatat pendataan baik dari segi kependudukan maupun dari segi keuangan.

Dapat dikatakan bahwa dalam konteks kabupaten Jember jumlah para buruh migran —yang selama ini disebut-sebut secara sepihak sebagai ”illegal”, ”tidak sah”, ”tak berdokumen”, dsb. itu— mencapai 97 persen. Mereka ini pula yang memasukkan hasil kerjanya sebanyak perkiraan rata-rata Rp4,3 milyar per bulan ke desa-desa di Jember.

Namun, hasil kerja ini kurang diakui sebagai ”hasil nyata” yang dapat ikut mengentaskan masalah kemiskinan dan keterbelakangan pembangunan di desa-desa. Tampaknya kurangnya pengakuan resmi atas keterlibatan buruh migran dalam penyelesaian masalah kemiskinan itu di antaranya dilatarbelakangi oleh karena uang sebanyak itu setiap bulan langsung masuk atau berada di tangan para buruh migran dan keluarga mereka sendiri. Baru-baru ini dalam salah satu wawancara, kepala dinas tenaga kerja dan transmigrasi kabupaten Jember, Drs. H. Moh. Thamrin, MM dengan jelas menyatakan: ”Bagaimana bisa memberikan perlindungan bila tidak ada pendapatan?”

Barangkali hal ini pula salah satu latar belakang mengapa hasil kerja buruh migran itu lebih disebut sebagai ”sumbangan”, tak bedanya seolah-olah sumbangan yang kita berikan kepada teman kita dalam resepsi nikahnya. Uang remittance itu tidak sempat bisa dikorupsi oleh pihak-pihak mana pun. Bukankah tugas membangun dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan merupakan tugas utama dari pemerintah dan kita sebagai warga masyarakat ikut terlibat membantu?**

Update 12/06/06
Artikel menarik dari Martin Manurung:
Fixing Regional Autonomy, First Things First

Read More...

22 March 2007

Why migrant workers remain poor back home?

Savitri Wisnuwardhani


My motivation to work abroad is to have money for buying a big house, land and improving my life. If I do not go, I can’t fulfill my dream. It’s hard to suffice my daily life’s needs.

An interview with an Indonesian migrant worker

POOR people in rural areas have been worse hit by the economic difficulties in third world counties like Indonesia. A case study conducted in migrant workers sending districts in the country features how the villages endure similar problems of poverty. Working overseas is among the solutions taken by poor villagers as almost all Indonesian women going to work overseas admit that their motivation is to improve their difficult life. They got a lot of earnings. But, how do they spend them? Why are they still poor and then go again to work overseas?

Many opinions say about the reasons why people work overseas. Poverty is one of the undeniable reasons. Difficulties to find a work at home countries push them to work overseas. But after returning to Indonesia, why are they still poor though they sent back quite sum of money? The Jember district branch of the Indonesian central bank recently informs that in the first semester of 2006 as many as Rp162 billions (over $US 17.6 millions) have been sent back as the remittance of the migrant workers originating from Jember district. About Rp27 billions a month is supposedly running into the villages in Jember.


Click the image to see it bigger.

























The result of our research in 2005 on 92 Indonesian migrants working in Singapore may explain better the picture, saying that motivation of most migrant workers is to get money to buy land (13.7%) and to renovate their houses (19.5%) and for diverse home equipments mostly furniture and electronic products (10%). This tendency takes place because they admittedly want to pursue prestige and perceived success as they live in their villages with having a plot of land to build a good looking houses.

Case study that we conduct in a Jember village shows life’s success in the village is socially measured with having big and decent house. This is among what most migrant workers say when asked why they want to work overseas. No wonder that after returning to their village, they build houses that look like those in real estate. But most of their big, good-looking houses as you may see them from outside do not match with the inside condition. You would only find their genuine identity when you enter to their kitchen and bathroom as compared to their living rooms and the front face of their houses. You would see nearly a stark difference like luxury and simplicity.

This contrast likely shows that they are not well prepared to accept rapid social and economic changes, because they are nearly set up to imitate social trends of life style in big cities. There seems to be a cultural dominance that most people in the village unconsciously follow. Such cultural dominance has far affected their livelihood. Their earnings that they got from at least two-year working overseas would finish only in six months after living back in their origin country. Afterwards they would be back again into their usual condition of poverty.

Regarding rural life style, let’s say, most people in the village would like to behave as if people living in big cities. And they find urban style as if a ‘must-to-do’, something clearly incongruent to their surrounding but they are ready to pay it with high price. Such life style is indeed comparatively very costly that makes them quickly running out of money and understandably they would go working overseas again as unskilled migrant workers.

In this regard it is difficult not to say that in the present social context the TV programs like popular telenovelas have much affected their daily life. Most of the programs tantalize them with luxury and dreams of becoming rich people. Even people in remote areas in Jember district now would already have TV set in their home. Such a dream has unconsciously transformed into what they find it as their needs. You would find it then very contrasting with the actual simplicity of living in rural areas in Indonesia.

Social behavior that prefers of making nice impression than realistic attitude is apparently consequences of the inadequate education and trainings. They lack of proper information and skills on how to use their money to improve their livelihood.

In such a situation there appear overseas work placement sponsors who entice them to easily get a lot of money if they work like in Middle Eastern countries, Malaysia, Singapore, Hong Kong and Taiwan. That kind of easy money is almost straightforwardly associated with what they have seen the like in the telenovelas. Sponsors almost always allure them with sweet promises of quick money disregarding social, cultural condition of their working places in other countries. As a result, they decided to go overseas without any further reasonable considerations such as improving skills and self-confidence in advance.

May be you ask when they could really improve their life and stop being poor? To my opinion, they will only succeed overcoming poverty if they spend their earnings more on small businesses, the benefit of which would directly support their livelihood. In fact there are only as low as five percents of migrant workers who spend their earnings for microfinance activities. As many as 43.2 percents of them, instead, spend their earnings for building comparatively expensive houses and equipments. If they were more interested in spending their money for their economic undertaking, their lives would predictably be better, having more balance with their social environment.**

Read More...