Wawancara dengan Rina Widiana, 27 tahun, asal Jember, Jawa Timur, sekarang pekerja restoran di Kuala Lumpur
Saya sudah sejak tahun 1996 masuk untuk bekerja di Malaysia. Sekarang, sudah tiga tahun ini, situasi saya lebih baik. Saya bisa bekerja di restoran Jingga di Jalan Off Pudu Raya, Kuala Lumpur, Malaysia. Saya mendapat upah RM40 setiap hari. Suami saya bekerja juga di Kuala Lumpur sebagai buruh bangunan. Kami sewa sebuah kamar tak jauh dari tempat kerja saya seharga RM250 per bulan. Kami masih punya uang sisa untuk dapat dikirimkan ke desa di Jember maupun ke desa suami saya di Flores. Kalau gaji tak terlambat, setiap bulan saya bisa kirim uang kira-kira RM1.000 ke desa.
Rencananya, saya masih ingin satu kali lagi menyambung permit kerja di Malaysia. Setelah itu, insya’allah ada sisa hasil untuk modal usaha, tapi rasanya ada sisa hasil atau tidak, saya akan pulang kampung untuk usaha tani di sana. Saya masih membayangkan enaknya tinggal dan bekerja di kampung, tak perlu sewa rumah, bahan makanan masih murah ..
Memang selama ini, ada saja yang terjadi di kampung yang masih jadi tanggungan saya, seperti orangtua sakit, adik saya juga sakit lalu meninggal, dsb. Saya juga membiayai semua kebutuhan perawatan kakak saya sebelum meninggal. Dia sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit. Mula-mula dia harus membayar Rp6 juta, yang kemudian saya kirim dari sini, sebelum keluar dari rumah sakit. Tapi setelah dua minggu dia sakit lagi. Masuk rumah sakit lagi. Ongkosnya Rp5 juta. Jadi sudah Rp11 juta saya kirimkan. Kebetulan kakak pertama saya hanya bisa membantu Rp1 juta. Lalu waktu kakak yang sakit itu minta dikirim celana Lewis atau cincin, saya segera kirim. Saya berharap kakak cepat sembuh. Rupanya celana dan cincin itu belum dipakai, tapi dia sudah meninggal. Saya kirimkan seluruhnya untuk keperluan perawatan kakak saya sampai Rp14 juta. Kalau ditanya, apa ada hasilnya bekerja di Malaysia. Tentu selalu ada hasilnya, tapi dengan macam-macam keperluan itu, hasil kerja saya jadi tak nampak.
Mengapa memilih bekerja di Malaysia?
Tapi perjuangan kami berlangsung cukup panjang. Saya masuk ke Malaysia tahun 1996 waktu masih umur 16 tahun, tanpa membuat permit. Saya tak dapat izin dari orangtua. Tapi saya nekad beranikan diri sebab hidup di kampung susah. Orangtua saya miskin. Rumah kami reyot. Sementara saya lihat semua orang di desa punya rumah bagus-bagus. Saya kepingin punya rumah. Itu saja keinginan saya. Sekarang orangtua sudah tua. Tak bisa lagi kerja berat-berat. Walaupun ada sawah, masih harus tunggu empat bulan baru panen. Tak ada penghasilan yang didapat setiap harinya.
Saya bersaudara empat orang. Saya anak ketiga. Kakak tertua juga bekerja di Malaysia, di Sungai Buluh. Yang kedua sudah meninggal, baru tiga bulan lalu. Saya tak bisa pulang. Yang keempat tinggal di desa. Dia sedang akan menikah. Anak saya tiga; semua di kampung, diurus oleh nenek mereka. Yang pertama sudah klas lima, yang kedua klas dua. Yang kecil belum sekolah.
Saya minta bantuan tekong dari desa Sumberbaru di Jember untuk bisa bekerja di Malaysia. Saya tidak menggunakan jasa PJTKI karena semua orang di desa saya yang bekerja ke luar negeri tidak ada yang pakai PT. Kata mereka, kalau lewat PT urusan jadi lama, sampai antara satu bahkan dua bulan, kecuali jadi lebih mahal. Lalu kalau lewat PT jadi PRT juga tak bisa memastikan bahwa majikan itu baik. Banyak pekerja rumah diperlakukan kasar. Kalau ada saudara atau anggota keluarga yang bekerja di Malaysia, biasanya mereka juga tidak lagi lewat PT, tapi minta tolong diuruskan saudaranya itu untuk mendapatkan kerjaan.
Mengapa kau memilih bekerja di Malaysia tanpa dokumen lengkap?
Saya keluar dari dan masuk ke Malaysia sampai empat kali. Yang pertama, 1996, seperti sudah saya katakan, saya masuk dengan paspor tapi bekerja tanpa permit; bayar tekong asal desa Sumberbaru, Jember, Rp1,4 juta. Yang kedua, 1998, sama dengan yang pertama, masuk dengan dibuatkan KTP dan paspor di Tanjung Pinang dan tanpa permit kerja Malaysia; bayar tekong orang sekampung, Rp3,7 juta. Tapi, yang ketiga, kira-kira 2002, saya nekad masuk tanpa ‘paspor’; saya naik pongpong (speedboat) dari Dumai, dua jam sampai di Malaysia; dengan bantuan keluarga suami saya di Dumai saya ditemukan dengan tekong yang hanya minta Rp1,2 juta. Dengan jalan pongpong biaya lebih murah. Dan saya mengatasnamakan diri saya asal dari Jember dengan dokumen KTP saja. Saya sampai muntah-muntah kuning dalam speedboat karena guncangan ombak laut. Saya tak tahu persis di mana speedboat berlabuh di pantai Malaysia.
Masa kosongan (tak berdokumen) itu masih berlangsung setengah tahun berikutnya untuk saya. Lalu, ada dua kali pemutihan yang saya alami, yaitu tahun 2002 dan 2004. Ini jadi ongkos murah karena cukup dengan mengurus perpanjangan dokumen di KBRI dengan hanya bayar RM40, lalu bisa beli tiket dan pulang ke Indonesia. Kalau tak ada pemutihan, ini tak bisa karena tekong di sini masih akan minta banyak uang dari kita lagi. Pemutihan tahun 2004 membuat saya bisa pulang lagi --sebelum masuk keempat kalinya untuk kerja lagi di Malaysia-- untuk membuat paspor yang sesuai dengan jatidiri saya, yaitu di Surabaya atas rekomendasi dari agen di Malaysia yang telah punya hubungan kerja ke Indonesia. Saya tidak lagi kosongan sejak dari Indonesia. Di Jember saya menunggu sampai visa datang, baru berangkat ke Malaysia.
Bagaimana riwayat pekerjaan dan kehidupanmu di Malaysia?
Awalnya, setelah sampai di Malaysia, saya bekerja sebagai PRT di Sungai Buluh. Saat itu saya berjumpa dengan suami saya, asal Flores.
Setelah dibuang dari Malaysia akhirnya sampai di Dumai --sebab saya kena tangkap karena tak punya dokumen--, saya tidak mampu membayar urusan paspor (dan penempatan kerja) di Dumai. Pengurusan waktu itu harus bayar sampai Rp3,5 juta. Saya tidak mengurus di Jember karena semua TKI di desa saya menggunakan jasa tekong. Semuanya diuruskan. Jadi, sekali saja, waktu pertama kali berangkat, paspor saya diuruskan di Jember.
Menjelang dua tahun saya di Malaysia, saya pulang bersama calon suami saya untuk menikah. Umur saya waktu itu 16 tahun. Di kampung kami hanya tinggal dua bulan. Lalu kami berangkat lagi ke Malaysia.
Tapi kami bekerja di Malaysia secara kosongan. Keluar dari Indonesia kami hanya menggunakan paspor pelancong. Sampai di Malaysia, visa kami sebelumnya sudah mati. Sudah tak bisa dipakai lagi. Saya kerja di lokasi bangunan di kawasan perkebunan. Saya jadi kongsikong atau kerani. Pekerjaan saya di bagian kebersihan, cleaning service. Tugas saya sapu-sapu, kemas-kemas sisa semen, angkat sampah.
Upah saya kecil. Karena tak punya cukup uang, saya terpaksa tidak membuat permit. Sampai suatu hari di tahun 2000 itu waktu sedang makan siang saya ditangkap polisi. Saya kemudian ditahan di penjara Semenyih, KL, 12 hari.
Bagaimana keadaan di penjara Malaysia?
Di penjara keadaan sangat parah. Tak ada kekerasan langsung tapi keadaan pelayanannya tak layak. Saya jatuh sakit enam hari selama di penjara. Suara saya sampai hilang. Pagi hari hanya diberi air teh tanpa gula, sepotong roti. Lalu kami disuruh berbaris dan jumlah kami dihitung. Makan tengah hari kami hanya diberi nasi dan ikan kering. Kami diberi minum air mentah.
Benarkah dirimu pernah “dijual” selama menjalani proses deportasi?
Setelah itu saya diwajibkan pulang ke Indonesia. Saya dibuang. Saya diantarkan ke Malaka dan digiring pulang dengan tujuan Dumai. Tapi akhirnya kapal tak jadi ke sana. Baru sampai di Bengkalis saya sudah ditukar naik ferry lain. Saya dibawa ke Pakanbaru.
Di pelabuhan Pakanbaru itu kemudian terjadi “jual-menjual”. Saya sebenarnya tak mengerti benar apa yang terjadi. Yang saya tahu, setelah diberi makan dan air, lalu kami disuruh naik bis. Banyak kawan yang cantik-cantik dan body-nya oke, disuruh naik bis. Saya ikut terbawa bis itu. Bis itu membawa kami sampai jauh sekali, di luar kawasan perkampungan, di tengah-tengah hutan tapi ada sebuah rumah besar. Di rumah besar itulah ada banyak preman tapi juga anggota Brimob. Para preman itu memegang clurit dan senter.
Kami minta tolong kepada para polisi itu, tapi mereka menjawab kami, “Kami juga tak bisa dan tak boleh berbuat apa-apa di sini.” Tapi melihat perilaku mereka, buat saya jelas sekali para polisi itu bekerja sama dengan para preman.
Lalu saya mencoba minta tolong orang. Seandainya sepuluh menit saja terlambat, saya pasti sudah kena jual. Ada banyak orang yang mau membeli kami. Saya katakan pada orang itu, “Tolong katakanlah pada mereka bahwa saya ini istri awak. Tolonglah.” Lalu saya minta juga kepadanya untuk mengantar saya ke Dumai. Di sana ada keluarga suami saya yang bisa membantu. Saya bayar Rp50ribu untuk perjalanan semalam sampai di Dumai. Keluarga suami saya kemudian telpon suami saya yang sementara masih di KL. Lalu suami saya menjemput saya di Dumai.
Kami lalu pulang dulu ke Jember. Kemudian kami masuk lagi ke Malaysia tapi kami tetap kosongan. Untungnya, di Malaysia sedang ada ‘pengampunan’ (kelulusan, amnesti). Mereka yang kosongan diizinkan membuat dokumen oleh pihak Imigresen. Itu sangat istimewa karena biasanya mereka tak bisa sama sekali mengurus dokumen. Para agen memasang iklan di surat kabar dan membuka kesempatan untuk membuat dokumen. Kemudian tahun 2005 saya urus dokumen. Dan sudah tiga tahun ini saya pegang dokumen.
Berapa kali ditangkap polisi Malaysia selama tak berdokumen?
Sesungguhnya dulu waktu kosongan, saya sering ditangkap. Mungkin sampai sekitari 20 kali. Itu penangkapan-penangkapan biasa, bisa dirundingkan dengan uang. Suatu ketika dulu, sebelum menikah, waktu jalan-jalan di Kota Raya saya pernah kena tangkap dan dipaksa membayar sampai RM1.900. Lalu waktu kerja di kawasan bangunan, waktu saya keluar untuk beli ikan atau sayuran, beberapa kali saya kena tangkap. Tapi mereka tidak minta banyak, sekitar RM200 atau RM300 atau RM500. Lihat-lihat apa saya bisa pandai bicara dengan polis(i), lalu polis itu merasa kasihan, barangkali dengan RM100 pun orang tertangkap bisa dilepaskan.
Bagaimana tanggapanmu tentang perlakuan pemerintah dan polisi Malaysia?
Banyak orang Indonesia kena tangkap, termasuk yang punya dokumen. Masa yang tak punya dokumen saja lalu dirotan sampai bilur-bilur karena rotannya mengandung racun. Yang kena rotan biasanya sampai dua minggu tak bisa tidur telentang. Pantatnya keluar darah. Mereka bukan rogol atau perampok. Kami bekerja dan menyumbangkan tenaga di sini. Buat apa mereka dirotan-rotan..
Setelah menangkap polis-polis itu masih berdalih dengan banyak sekali alasan dan pertanyaan yang dibuat-buat. Walaupun permit itu asli tapi sangat sering dibantah oleh polis bahwa itu tak asli, palsu, atau segala macam alasan lain. Di sini terlalu banyak polis yang korup atau makan raswa, terutama terhadap orang Indonesia.
Mereka memang mencekik betul rakyat Indonesia. Sedikit-sedikit dan kalau berhadapan dengan situasi macam mana pun, rakyat Indonesia dipersalahkan. Mereka kurang menyebut orang-orang pendatang dari negara lain, entah Bangladesh, Vietnam atau Myanmar. Mengapa selalu orang Indonesia dikambinghitamkan? Tempat-tempat hunian orang-orang pekerja kontrak dari Indonesia disebut-sebut sebagai “sarang” orang Indonesia di dalam koran-koran. Itu bikin malu saja, kan? Memang ada orang-orang Indonesia yang jahat atau tak betul. Tapi janganlah disapu rata semua. Orang yang kerja betul pun kena sapu rata.
Apa yang kauharapkan dari pemerintah Indonesia?
Saya kadang di sini jadi pikir, pemerintah Indonesia itu kurang adil kepada warga negaranya di Malaysia. Buatlah kebijaksanaan sedikit saja kan .. Peduli sedikitlah pada apa yang terjadi pada rakyatnya yang di Malaysia. Tapi pemerintah Indonesia tak peduli, tak mau tahu. Rakyatnya hidup serba susah di sini. Tak ada dokumen jelas susah. Ada dokumen pun susah.
Apa saranmu untuk para pekerja migran dari Indonesia?
Terpulang kepada orang TKI itu sendiri. Tapi janganlah datang kosong seperti saya dulu. Susah jadinya. Jangan dengan niat yang tak baik. Datanglah ke sini kalau betul-betul mau mencari sesuap nasi, tapi janganlah jadi pekerja rumah tangga, karena sudah banyak sekali yang mengalami kasus, macam tak dibayar gaji atau dipukul majikan, disiksa. Banyak sekali saya temui di jalan-jalan itu, perempuan-perempuan yang lari dari majikannya. Beberapa kali saya menolong mereka .. **
15 August 2008
Rina Widiana: Si TKI Bola Bekel di Malaysia
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
8:54 AM
0
komentar
Label: buruh migran, daerah, Human trafficking, Jember, Kemiskinan, Malaysia, perempuan
07 August 2008
Salendra: Tertipu PJTKI

Saya lari dari majikan saya di sebuah perkebunan pisang di kawasan Yong Peng, kota kecil di bagian selatan negara bagian Johor, Malaysia. Semua dokumen saya dipegang majikan saya, orang Cina. Saya digaji terlalu kecil, sementara pekerjaan berat.
Saya baru saja mulai bekerja di Malaysia, 2007. Usaha saya di desa bangkrut. Lalu saya putuskan untuk jadi buruh migran. Tapi, sampai di sini, besarnya upah saya tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh calo di daerah asal saya, Lampung Selatan, dan yang juga dijanjikan oleh PJTKI yang mengirim saya: PT Mangun Jaya Perkasa di Jakarta Timur. Padahal saya sudah membayarkan uang perekrutan sampai Rp7juta.
Waktu di kebun pisang, upah saya hanya RM21 per hari, lama bekerja sampai 9,5 jam per hari. Potong gaji selama tiga bulan. Tak ada jaminan apa-apa, tak terkecuali untuk kesehatan. Padahal peralatan kerja harus beli sendiri. Selama ini saya baru bisa mengirimkan uang satu kali saja ke desa, sebanyak RM1.400. Anak saya tiga orang di desa. Saya merasa sangat bersalah pada istri saya.
Agen saya di Malaysia namanya Bonhon Sdn. Bhd. Berkantor di jalan menuju Yong Peng. Saya lari menerobos pagar kawat berlistrik bersama dengan dua orang teman yang lain. Masih banyak ada teman-teman lain yang berasal dari Indonesia di perkebunan itu. Semuanya mengalami nasib yang sama, yaitu ditipu oleh PJTKI dan calo.
Sebagai pekerja bangunan, saya sekarang dibantu oleh seorang teman yang jadi sub-kontraktor yang mau mengupah saya sehari RM35. Pekerjaan saya sekarang mengaduk semen di lokasi calon perumahan di Precint 15, Putrajaya. Saya tinggal bersama dengan ratusan pekerja kosongan dari Indonesia, Bangladesh, Myanmar. Saya sangat berharap dapat mengumpulkan uang secukupnya supaya segera bisa pulang ke Indonesia.
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
3:27 PM
0
komentar
Label: buruh migran, Human trafficking, Malaysia
07 July 2008
Aneh Tapi Nyata di Lembata
Sri Palupi
Lembata, kabupaten di ujung timur pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang baru sewindu berdiri kini tengah dilanda masalah. Pasalnya, pemerintah kabupaten (Pemkab) Lembata hendak menjadikan pulau kecil ini sebagai area penambangan emas. Meskipun saya belum mengenal Lembata dengan baik, namun sedih juga mendengar pulau sekecil itu akan dijadikan area pertambangan.
Sudah sejak lama saya ingin mengenal Lembata dari dekat. Keinginan ini baru kesampaian pada awal 2008 lalu. Meski hanya beberapa hari saja singgah di Lembata, namun perjalanan yang singkat itu telah membuat saya jatuh cinta pada pulau ini dan berniat untuk kembali lagi ke sana. Pada pertengahan Juni 2008 untuk kedua kalinya saya datang ke Lembata.
***
Lembata adalah kabupaten dan sekaligus sebuah pulau kecil dalam gugusan pulau-pulau di perairan sekitar Kabupaten Flores Timur, provinsi NTT. Meskipun sudah sejak tahun 1954 masyarakat Lembata berjuang untuk mendapatkan otonomi pemerintahan, namun baru pada 15 Oktober 1999 lalu Lembata resmi menjadi kabupaten baru, terpisah dari kabupaten Flores Timur. Pulau seluas 126.638 hekter itu kini dihuni tidak kurang dari 116.000 jiwa.
Seperti kebanyakan daerah di daratan NTT, Lembata tergolong daerah kering, dengan 3-4 bulan saja musim hujan dan 7-8 bulan musim kemarau. Pada bulan-bulan kemarau pulau ini sangat kering dan gersang. Meski demikian, Lembata adalah pulau yang indah, kaya dengan obyek wisata daratan dan bahari, dengan kekhasan budaya yang tidak ada di pulau lain. Budaya menangkap ikan paus dengan perahu dan alat tangkap tradisonal dengan diawali ritual adat adalah salah satu obyek wisata bahari sekaligus wisata budaya yang paling menarik. Selain itu, masyarakat di pulau ini juga memiliki sistem perekonomiann unik dalam bentuk jual beli dengan cara barter (pertukaran barang) yang dikenal dengan sebutan Gelu Gore (Lamaholot) atau Kelung Lodong (Kedang).
***
Perjalanan saya kali ini lebih panjang, meskipun tidak sampai dua minggu. Banyak hal yang saya pelajari dari Lembata. Salah satunya adalah banyaknya kejanggalan tidak masuk akal, yang terjadi di kabupaten ini. “Aneh tapi nyata”, begitulah teman-teman saya menyebutnya. Kali ini saya hanya akan menceritakan beberapa saja dari seluruh keanehan yang sulit dipercaya telah terjadi di kabupaten yang tergolong miskin ini.
Keanehan pertama: ”Satu bupati, tiga kantor.” Mana ada seorang bupati punya tiga kantor. Aneh memang, tapi itulah kenyataan yang ada di Lembata. Terdapat tiga kantor bupati di kabupaten ini.Kantor pertama, yang kini masih difungsikan sebagai kantor bupati adalah bangunan lama yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat Lembata jauh sebelum Lembata mendapatkan otonominya. Bangunan yang berdiri sejak 1960-an ini bisa dibilang bangunan bersejarah. Bangunan itu pantas disebut sebagai “monumen” yang menandai kegigihan masyarakat Lembata dalam memperjuangkan otonominya. Demi otonomi Lembata, pada waktu itu setiap warga yang datang ke Lewoleba – kini ibukota kabupaten Lembata, rela membawa batu kali dan pasir sebagai sumbangsih mereka bagi berdirinya gedung pemerintah Lembata. Tanah dan kayunyapun berasal dari sumbangan masyarakat.
Kantor kedua adalah bangunan setengah jadi yang berdiri megah di atas bukit. Berlawanan dengan kantor pertama, bangunan setengah jadi ini pantas disebut sebagai monumen “korupsi” di Lembata. Sebab pembangunan kantor kedua ini terhenti di tengah jalan karena adanya indikasi penyelewengan. Kualitas bangunan jauh lebih rendah dari besaran biaya yang dikeluarkan. Kalaupun bangunan ini diteruskan, katanya, tidak akan ada yang mau berkantor di sana. Menurut informasi orang-orang lokal, pondasinya pun tidak memenuhi persyaratan sehingga dikhawatirkan bangunan akan roboh bila sedikit saja diterpa badai atau gempa. Kini yang bisa kita saksikan hanyalah kerangkanya saja. Padahal konon khabarnya pembangunan kantor kedua ini menelan biaya tidak kurang dari satu milyar rupiah.
Meski sudah ada dua kantor bupati, namun bupati Lembata, Andreas Duli Manuk, masih merasa perlu membangun kantor baru. Kantor ketiga kini tengah dibangun di Laranwutun, Kecamatan Ile Ape, dengan biaya tidak kurang dari 7,6 milyar rupiah. Bersamaan dengan pembangunan kantor ketiga ini dibangun pula kantor kedua untuk DPRD Lembata, yang menelan biaya sedikitnya 2,3 milyar.
Keanehan kedua: ”Banyak gedung dibangun dan kemudian ditelantarkan”. Ketika saya diajak berkeliling Lewoleba dan sekitarnya, bukan hanya tiga kantor bupati yang saya jumpai tetapi juga bangunan-bangunan baru yang dibiarkan terlantar. Padahal bangunan-bangunan itu bisa dibilang ”mewah” untuk ukuran Lembata yang miskin. Sebut saja di antaranya adalah rumah dinas ketua dan para wakil ketua DPRD yang kosong dan terlantar; rumah dinas bupati yang kini jadi tempat merumput ternak kambing; tempat pelelangan ikan (TPI) yang kini mulai rusak; pabrik es; kantor kecamatan, dll. Pemkab Lembata telah menghabiskan milyaran rupiah untuk mendirikan seluruh bangunan baru yang kini dibiarkan terlantar itu. Padahal, sekali lagi, Lembata tergolong kabupaten miskin. Aneh bukan?Mengapa bangunan ”mewah” untuk rumah dinas pejabat eksekutif dan legislatif kabupaten Lembata itu ditelantarkan? Secara sinis warga setempat memberi alasan bahwa mereka (para pejabat eksekutif dan legislatif) tidak bersedia menempati rumah dinas itu karena perabotannya belum lengkap. Katanya, kulkas belum ada, mesin cuci pun belum tersedia. Jawaban semacam ini tidak lain adalah sindiran masyarakat terhadap para pejabat pemerintah dan DPRD yang mereka nilai suka menghambur-hamburkan uang rakyat.
Alasan lain datang dari ”orang dalam” pemkab Lembata yang tidak bersedia disebut namanya. Menurut mereka, para pejabat (eksekutif dan legislatif) tidak menempati rumah dinas dan memilih untuk tinggal di rumah pribadi karena adanya tunjangan ”sewa rumah” sedikitnya sebesar Rp 10 – 15 juta per tahun. Bila mereka menempati rumah dinas, berarti mereka tidak lagi mendapatkan tunjangan sewa rumah. Dengan kata lain, lebih untung bila menempati rumah sendiri ketimbang menempati rumah dinas. Dengan menempati rumah sendiri setidaknya ada tambahan penghasilan yang lumayan.
Keanehan ketiga: ”Begitu banyak dinas pemerintah belum memiliki kantor.” Keanehan ketiga ini terkait dengan keanehan pertama dan kedua. Ketika bupati dan DPRD tengah membangun kantor baru dan di saat banyak bangunan-bangunan baru ditelantarkan, hampir 50 persen dinas di kabupaten Lembata belum memiliki kantor sendiri. Mereka masih menyewa rumah-rumah warga untuk dijadikan kantor. Bahkan Bappeda Kabupaten Lembata pun belum memiliki kantor. Sungguh sulit dipercaya, sewindu otonomi Lembata, banyak dinas belum punya kantor, sementara bupati dan DPRD punya kantor lebih dari satu. Di saat dinas-dinas yang vital untuk pembangunan Lembata belum memiliki kantor, pemerintah dan DPRD memilih untuk membangun gedung-gedung baru dan kemudian menelantarkannya. Ironis.
Keanehan keempat: ”Daerah rawan bencana dijadikan area pertambangan.” Hasil eksplorasi umum oleh beberapa kuasa pertambangan menunjukkan, secara geologi Lembata termasuk daerah yang memiliki potensi bahan galian vital, seperti emas dan tembaga. Artinya, kabupaten ini memiliki potensi investasi di sektor pertambangan. Meski potensi industri pertambangan dimiliki oleh Lembata, bukan berarti bahwa indutri pertambangan layak dikembangkan di pulau ini. Selain alasan daya rusak pertambangan yang tidak bisa dipulihkan, pertambangan di Lembata juga akan membawa dampak serius terkait dengan eksistensi pulau Lembata itu sendiri beserta kehidupan di dalamnya. Mengapa? Lembata tergolong daerah kering dan gersang. Bila industri pertambangan dikembangkan di daerah ini, bisa jadi bukan hanya kerusakan lingkungan yang dihadapi Lembata, tetapi juga kehancuran sebuah pulau. Bahkan sangat mungkin terjadi bahwa di pulau yang kecil itu tidak akan ada lagi kehidupan. Sebelum ada pertambangan saja, masyarakat di kabupaten ini sudah kesulitan memperoleh air. Apalagi bila ada industri pertambangan yang terbukti bukan hanya rakus air, tetapi juga berpotensi menghancurkan kuantitas dan kualitas air yang sudah terbatas itu.
Selain daerah kering, pulau Lembata yang secara topografis memiliki kemiringan antara 0-75% itu, juga merupakan daerah yang sangat rawan bencana. Sebab letak Lembata berada pada jalur lempeng bumi yang senantiasa bergerak. Posisi Lembata juga berada dalam lingkaran sabuk api (ring of fire) dengan gunung-gunung api yang aktif, baik di darat maupun di laut (selatan pulau Lembata). Salah satunya adalah gunung berapi Ile Ape. Dengan kondisi seperti ini, pertambangan hanya akan membuat pulau Lembata rentan bencana. Bahkan bukan tidak mungkin bahwa penambangan akan membuat pulau kecil ini tenggelam, seperti yang pernah terjadi pada pulau lain di dekat pulau Lembata. Terlebih bila mengingat sebagian besar pulau Lembata masuk dalam wilayah Kontrak Karya Pertambangan PT Merukh Lembata Cooper.
Padahal Lembata sudah pernah punya pengalaman buruk dengan tambang. Sejak tahun 1984 Lembata, khususnya di wilayah Atanila dan Tanah Merah, pernah menjadi area pertambangan barid. Atanila dan Tanah Merah kini menjadi wilayah tercemar, rawan longsor dan banyak warganya sakit karena minum air yang tercemar. Bahkan lubang-lubang bekas tambang di wilayah ini sampai sekarang masih menganga, belum ditutup. Perusahaan tambang pergi begitu saja dengan meninggalkan sederet masalah yang harus ditanggung sendiri oleh masyarakat. Padahal sebelum ada tambang, Atanila dan Tanah Merah adalah daerah hijau, tidak pernah punya masalah dengan longsor dan airnya pun sangat jernih. Rupaya derita masyarakat Atanila dan Tanah Merah akibat pertambangan tidak cukup memberi pelajaran bagi bupati dan DPRD. Mereka tetap beriman pada mitos bahwa tambang itu menyejahterakan.
Keanehan kelima: “Pemkab dan DPRD Lembata menghalalkan segala cara untuk mempercepat proses penambangan”. Upaya meloloskan proyek pertambangan ini mereka tempuh dengan berbagai cara, di antaranya: 1) bupati menandatangani MoU dengan pihak perusahaan tambang tanpa sepengetahuan DPRD; 2) bupati dan ketua DPRD memberikan rekomendasi bagi perusahaan tambang untuk mendapatkan kontrak karya tanpa melalui mekanisme pleno DPRD; 3) pihak pemkab Lembata mengancam masyarakat untuk menghentikan pembangunan di wilayah di mana masyarakatnya menolak tambang; 4) membujuk pemimpin gereja untuk menarik dan memindahtugaskan ke luar Lembata pastor yang vokal dan gigih mendampingi masyarakat dalam menolak tambang. Meski berbagai cara sudah dijalankan, namun pemkab Lembata tetap tidak mampu membungkam suara masyarakat yang dengan tegas menolak tambang. BERITA PENOLAKAN PEMBUKAAN TAMBANG DI LEMBATA
Kini pemkab Lembata tengah menjalankan skenario “konflik horisontal” untuk memecah belah masyarakat. Masyarakat yang ada di wilayah bakal tambang dihadapkan dengan masyarakat di luar wilayah bakal tambang. Ada juga rekayasa penyerahan tanah ulayat oleh beberapa orang warga yang notabene bukanlah pemilik/penguasa tanah ulayat. Isu agama (SARA) pun digunakan untuk membangun konflik antar kelompok masyarakat. Sekelompok orang dipakai untuk melempari masjid. Sebaliknya, sekelompok orang juga dipakai untuk menghadang dan memalak pastor. Namun masyarakat tidak terpancing oleh isu SARA ini dan sekali lagi, bupati gagal mematahkan penolakan masyarakat atas proyek tambang.Sebelumnya Bupati juga pernah mencoba untuk membujuk dan memberikan sejumlah uang pada bapak Abu Sama, seorang tetua adat dan tokoh masyarakat muslim Lembata yang dikenal vokal dalam menolak tambang. Namun untuk kesekian kalinya bupati harus menelan kekecewaan karena ternyata bapak Abu Sama tidak dapat dibeli. Lihatlah foto segepok uang dengan kartu nama bupati di atasnya. Uang itu ia terima dari staf bupati kala ia dipanggil menghadap bupati untuk diajak berbincang soal tambang. Uang beserta kartu nama yang dibungkus dalam amplop itu sampai sekarang ia simpan sebagai barang bukti. Foto itu saya ambil ketika saya berjumpa dengan bapak Abu Sama di Lembata.
Gagal membujuk dan membeli tokoh adat dan pemimpin masyarakat, pemkab Lembata menggunakan cara-cara kekerasan. Para pemimpin dan tokoh masyarakat yang vokal dalam menolak tambang diteror habis-habisan dengan berbagai cara, termasuk ancaman pembunuhan. Rumah-rumah mereka pun dilempari batu, kegiatan mereka dipantau dan dihadang. Meskipun bupati telah menempuh berbagai cara halus dan kasar untuk menundukkan masyarakat, namun masyarakat tak bergeming sedikitpun dari sikap tegas mereka untuk menolak tambang. Bagi mereka, tolak tambang adalah harga mati.Skenario konflik horisontal yang dipakai pemkab Lembata untuk meloloskan proyek pertambangan adalah sebentuk pengkhianatan atas spirit dan cita-cita otonomi Lembata yang telah diperjuangkan masyarakat Lembata sejak tahun 1954. Melalui pernyataan 7 Maret 1954, para pemimpin, tokoh masyarakat (adat dan agama) dan para pejuang otonomi Lembata telah bersepakat untuk membebaskan rakyat Lembata dari perseteruan “Paji dan Demon”, yakni politik adu domba ciptaan penguasa kolonial, dan membebaskan rakyat dari keterbelakangan, kemelaratan, keterisolasian, kemiskinan dan kebodohan. Saya yakin, bupati dan DPRD yang adalah warga asli Lembata memahami betul sejarah dan spirit perjuangan otonomi Lembata ini. Bahkan ketika Lembata disahkan sebagai kabupaten dan mendapatkan otonominya, visi misi perjuangan otonomi Lembata yang tertuang dalam statement 7 Maret 1954 itu kembali dibacakan di depan pejabat bupati.
Di penghujung perjalanan kembali ke Jakarta saya mulai berandai-andai. Andai bupati dan DPRD Lembata cukup punya satu kantor saja, andai mereka tidak merasa perlu membangun gedung-gedung baru yang kemudian ditelantarkan, andai mereka mau sedikit saja mendengarkan aspirasi rakyatnya, andai mereka mau belajar dari kasus Atanila dan Tanah Merah, andai mereka rajin turun ke lapangan dan melihat betapa berlimpahnya potensi laut, pertanian, dan keindahan alam Lembata yang belum tergarap, tentulah mereka tidak akan memilih tambang sebagai prioritas untuk pembangunan. Sayang, bupati dan DPRD Lembata telah terkena kutukan raja Midas, yang membuat mereka lebih tergiur kilaunya emas daripada keselamatan pulau dan rakyat Lembata. Konon khabarnya sekian milyar rupiah plus fasilitas pribadi bakal diterima bupati dan ketua DPRD, Petrus Boliona Keraf, bila mereka berhasil meloloskan proyek pertambangan di Lembata.
Sepertinya bupati dan DPRD sudah tutup mata pada sejarah Lembata. Padahal mereka tahu betul bahwa pulau Lembata dulunya menjadi tempat pengungsian warga dari pulau tetangga yang telah tenggelam bertahun-tahun silam. Bila nantinya Lembata juga terancam tenggelam, kemana lagi masyarakat itu akan mengungsi?. Sulit dipercaya bahwa sekian milyar rupiah yang dijanjikan perusahaan tambang bisa membuat bupati dan DPRD tega menjual tanah Lembata, menjadikan pulau indah itu terancam tenggelam dan membiarkan rakyat hidup dalam kecemasan. Padahal mereka itu lahir, besar, hidup dan dihidupi oleh tanah air Lembata. Sungguh aneh tapi nyata.**
Silakan lihat foto-foto lain dari Lembata dengan KLIK DI SINI.
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
11:25 AM
2
komentar
Label: Kemiskinan, korupsi, Liberalisasi, lingkungan, masyarakat adat, Nusa Tenggara Timur
01 July 2008
Hati-hati, Anda Berada di bawah Kamera Pengintai!
Iswanti
Mana yang akan Anda pilih? Pilihan pertama, hidup di negara yang miskin, tidak punya banyak uang, tetapi anda hidup dalam relasi sosial yang hangat dan lebih banyak kebebasan. Pilihan kedua, Anda hidup di negara yang nyaman ekonominya, tertata rapi hingga rumput-rumputnya, punya banyak uang, tetapi hidup di bawah intaian kamera yang ada di mana-mana. “You are under surveillance!” Mana pilihan Anda? Pertama atau kedua?
Dalam pemikiran “normal” kita, kita tidak mau memilih pilihan pertama atau kedua. Karena kita ingin hidup makmur, punya uang, tempat yang indah, namun sekaligus memiliki relasi sosial yang hangat dan lebih banyak kebebasan? Tetapi pemikiran “normal” itu bukanlah realitas yang sesungguhnya. Realitas sesungguhnya ternyata pahit, karena harus memilih. Kita harus memilih “enak dan tidak enak” dalam satu paket, bukan paket “enak dan enak”.
Itulah pengalamanku hidup selama hampir sebulan di negara tetangga, yang terkenal negara sangat bersih, tertata, makmur. Ujung-ujungnya, aku lebih cinta Indonesia walaupun katanya negara sedang amburadul! Benar kata orang, kita sering memandang rumput tetangga lebih hijau dari milik kita…
Ini yang terjadi. Di negara tetangga kita itu, kamera pengintai ada di mana-mana, seperti di mall atau pusat perbelanjaan, di setiap ujung eskalator perkantoran bisnis atau pemerintah, di stasiun kereta MRT, pintu masuk kantor-kantor pemerintah, jalan raya, dsb. Di satu stasiun MRT bisa ditemukan puluhan kamera surveillance. Walaupun situasinya sangat ketat semacam itu, seorang tahanan politik terkenal –yang dianggap teroris berbahaya– toh bisa lolos begitu saja. Hehe…bagaimana bisa ya? Sepertinya susah diterima akal lumrah kalau menilik tingkat pengamanan yang sangat tinggi.
Yang terakhir ini, menurutku jadi petanda sudah menyebarnya paranoia di negeri itu. Saking sangat mudah mendapatkan karena sangat murahnya teknologi, di rumah-rumah pun dipasang kamera pengintai. Kalau pengintai dipasang di rumah-rumah tertentu seperti rumah kedutaan, rumah pejabat penting atau rumah orang kaya, mungkin kita masih agak paham alasannya. Yang aku agak “kurang paham”, di negara yang tingkat pencuriannya katanya sedikit, di rumah-rumah biasa juga dipasang kamera pengintai.
Mungkin untuk keamanan, supaya bisa menangkap basah pencuri atau perampok karena rumah sering kosong. Mungkin untuk mengawasi kerja baby-sitters dalam rumah. Atau, supaya dapat mengamati dan mengontrol apa yang dilakukan “helper” atau “maid” (Pekerja Rumah Tangga – PRT) dalam rumah. Begitulah kenyataan ini, kamera surveillance pun dipasang di rumah tangga biasa.
***
Pada suatu hari aku berjumpa seorang teman, seorang PRT dari Indonesia. Dari hasil ngobrol dengannya, juga terselip cerita tentang kamera pengintai. Beginilah ceritanya, “Saya kerja dari pukul lima pagi hingga tengah malam atau bahkan pagi. Tidur empat jam, paling lama lima jam. Walaupun majikan saya dua-duanya siang hari bekerja keluar rumah, tetapi tetap saja saya tidak bisa ambil waktu istirahat saat majikan sedang bekerja. Lha di rumah majikan saya banyak kamera. Jadi mereka tahu apa yang kita lakukan.”
Wah.. aku tidak tahu mesti komentar apa dengan teman PRT ini. Aku harus mengakui, PRT ini lebih berani menghadapi pilihan daripada diriku yang terlalu banyak pikir-pikir dan mempertimbangkan.
***
Di hari lain, aku bertanya pada temanku. Kali ini kupilih yang bukan PRT tapi seorang pengajar di perguruan tinggi terkueeenal di negeri singa. Maksudku, supaya aku bisa ambil jarak dari masalah “kamera” dan penderitaan manusia. Yang kutahu, temanku itu orangnya cukup kritis. Bagaimana rasanya tinggal dan hidup di negara semacam itu, selalu di bawah sorotan kamera surveillance.
Dia menjawab, “Sebenarnya boring juga. Jika Karl Marx bilang agama adalah candu, maka di sini kenyamanan dan kesejahteraan secara ekonomi adalah candu. Orang menyerah pada kenyamanan dan kemapanan hidup. Habis lelah bekerja terus hang-out minum kopi di kedai kopi Starbuck, makan enak di restoran, tinggal di apartemen yang nyaman, bisa berlibur ke berbagai penjuru dunia. Setiap tahun masih diberi bonus oleh pemerintah. Mau apalagi? Mau cari hidup susah? Wah siapa yang mau? Semuanya sangat pasti, teratur dan tertata.”
Aku sudah menduga hal itu. Suatu ketika, kita mesti berjalan lumayan jauh di lorong-lorong mall yang sangat bersih, lampu terang dan dinding kaca di mana-mana, untuk mencapai stasiun MRT. Sambil bercanda, dia bilang, “Kita ini ibarat tikus dalam kotak kaca laboratorium. Orang-orang bergegas berjalan di lorong-lorong kaca di bawah tanah, diawasi kamera.” Kami pun tertawa.
Yang menyedihkan, temanku itu melanjutkan ceriteranya, “Aku ini seorang dosen. Aku pernah meminta mahasiswaku yang jumlahnya lebih dari 400 orang untuk membuat paper tentang fenomena dan persoalan migrasi yang ada di negeri ini. Persoalan ini cukup fenomenal di negeri ini, karena hampir 30 persen penduduk negara ini adalah pekerja migran, di antaranya PRT migran. Tetapi hanya dua mahasiswa yang datang padaku dan bisa menceritakan sisi mengerikan dari fenomena migrasi yang terjadi, yang menimpa para PRT. Para mahasiswa itu hanya mengejar nilai bagus, hanya satu dua yang benar-benar membaca dengan “kesadaran” kemanusiaan. Di negaraku ini, terasa aneh jika kita bicara soal hak asasi…”
Waah… Jadi, apa aku perlu iri untuk menjadi warganegara di tempat temanku ini?
Beberapa saat kemudian temanku yang dosen ini datang ke Jakarta, dan tinggal untuk beberapa hari di Jakarta. Pas hari-hari terjadi hujan deras, jalan-jalan banjir, jalan-jalan berlubang, macet berat di mana-mana..
Sepanjang kutemani dia jalan-jalan di Jakarta, aku cuma bisa tertawa menunjukkan sisi-sisi gelap dari “kebebasan dan demokrasi”.. Orang-orang bisa berperilaku seenaknya di jalan, menunggu tanpa kepastian, bisa demonstrasi setiap hari… bisa korupsi setiap hari… termasuk seenaknya masing-masing menafsirkan peraturan untuk kepentingannya, termasuk mengabaikan nalar dan akal sehat. Bagaimana tidak?
Suatu malam kami keluar untuk makan malam. Hujan deras sekali. Macet banget. Perjalanan dengan taksi yang mestinya ditempuh dalam waktu 10 menit menjadi 45 menit. Mestinya hanya bayar Rp20.000, tapi argo sudah menjadi Rp50.000.
Selama perjalanan itu, temanku itu menceriterakan perlakuan tak menyenangkan yang dialaminya di bandara Sukarno-Hatta, sebuah bandara antidot dari bandara modern negara tetangga kita itu. Jadi lengkaplah penderitaannya sebagai warga negara kaya yang tak kenal apa itu korupsi, percaloan, perjokian, kongkalikong, KKN, apalagi istilahnya ..., tapi “You are no way under any surveillance!”
Ceritera konyol selanjutnya yang dia alami tunggu tanggal unggah berikutnya ..
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
10:05 PM
1 komentar
Label: budaya, buruh migran, Ekonomi, korupsi, Singapore
20 June 2008
Berbagai Komentar tentang Pemerasan terhadap TKI di Bandara Sukarno-Hatta
Berikut ini adalah dukungan dari anggota milis yang bersedia komentarnya diunggah di blog ini atas tulisan dari Savitri Wisnuwardhani berjudul Terminal Neraka bagi Para TKI. Kita tunggu ya ..
--- From: BJD. Gayatri
To: milistifa@tifafoundation.org
Cc: Institute Ecosoc
Sent: Friday, June 20, 2008 12:32:53 AM
Subject: advokasi nyata untuk perubahan kebijakan ... Re: [tifa] Terminal Neraka Bagi BMI
untuk merubah kebijakan mengenai terminal 3 Cengkareng.
dengan segala hormat kepada penggali cerita atau investigator yang bisa mendapatkan cerita ini.
tapi jika tidak pernah ada tindakan bersama untuk mengubah kondisi Terminal 3 ya, kondisi tersebut tidak berubah.
bagi saya, cerita ini sudah basi, karena sejak sebelum tahun 2000, sudah dapat cerita langgam yang sama dan hingga sekarang tidak berubah.
yang penting, bagaimana kita dapat membantu kawan-kawan penggiat di isyu Buruh Migran, agar dapat mengubah kebijakan pemerintah yang mendukung praktek-praktek pemerasan ini
mulai dari tingkat lokal, hinggap advokasi internasional, misalnya.
Tabik Solidaritas
Gayatri
--- In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, Yuliati Soebenowrote:
Salam,
Yuli
--- In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, "karta pustaka"Setuju. Mari kiga galang petisi. Terminal bobrok ini sudah jadi berita sejak dulu di media. Kompas pun sudah berulangkali menurunkan berita tentang kasus-kasus yang terjadi di terminal ini. Seluruh Indonesia sudah tahu, tapi mengapa pemerintah tetap 'memelihara' terminal ini? Karena jadi sumber duit? Jangan pakai kata 'oknum' lagi lah, karena ini bukan soal oknum, ini sudah premanisme berseragam yang 'direstui' oleh pemerintah.wrote:
anggi
--- From: Julianto Prasetio
Date: Thursday, June 19, 2008, 10:45 PM
Memang betul ini seringkali terjadi sejak dulu sampai sekarang.
Adanya terminal khusus untuk TKI di Bandara Cengkareng justru membuat mereka terisolir dari perhatian publik (penumpang umum non-TKI). Beberapa kali saya melihat TKI yang nyasar ke jalur penumpang umum diseret dan dipaksa kembali ke jalur TKI oleh oknum2 berseragam coklat. Saya muak sekali melihat kejadian2 itu tapi sekaligus tidak berdaya menolong.
Di airport Solo selama ini tidak terlihat perlakuan buruk pada TKI yang pulang seperti di Cengkareng. TKI bisa check out melalui jalur yang sama dengan penumpang umum. Di airport Manila, Filipina, ada jalur imigrasi khusus untuk TK Filipina tetapi tetap di terminal yang sama. Perlakuan di airport Manila bagus sekali, ada papan ucapan selamat datang di kampung halaman untuk para TK Filipina.
Saya tidak melihat pentingnya pemisahan terminal untuk TKI yang pulang ke Indonesia. Lebih baik mereka diberi jalur imigrasi khusus tetapi tetap check out di terminal yang sama dengan penumpang umum sehingga publik bisa ikut melihat dan 'melindungi' mereka dari perlakuan buruk preman berseragam.
Tks,
Yong
--- On Thu, 6/19/08, Arnold Djiwatampuwrote:
saya sendiri juga sudah satu atau dua kali menyaksikan mereka (TKI) yang masuk jalur umum digiring kembali ke jalur untuk jalur TKI. Dan kita sering mendengar bagaimana mereka diperas di jalur khusus TKI, bahkan kalau ada yang mau menjemput mereka saja, diusir.
Memang saat ini, belum ada jalur atau sarana yang ampuh yang dapat kita gunakan. Tetapi sebaiknya soal ini tidak menjadi cerita yang disimpan saja, tetapi diolah di dalam benak kita, dan terus menjadi sasaran yang disinergikan di antara kita, dan nanti pada saat ada peluang dilemparkan kembali.
Web yang menyalurkan ajang pemilihan pimpinan negara yang sebentar lagi digulirkan, bisa dijadikan salah satu sasaran untuk menyalurkan pembelaan terhadap kaum TIK yang merupakan salah satu pahlawan bangsa. Sementara itu kita kumpulkan semua fakta yang diperlukan, misalnya kalau bisa kita buktikan secara hukum bahwa pembiaran hal ini oleh aparat negara merupakan suatu pelanggaran tersendir, dan tak berbeda dengan korupsi atau kejahatan.
APhD
---In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, Bambang Soetedjo@...wrote:
Coba kalau mereka salah tunjuk kepada orang asing yang gayanya bagaikan TKI dan harus masuk terminal khusus TKI ternyata mereka orang asia dari lain negara dan bicara hanya bahasa Inggris, pingin tau saya bisa nggak mereka memeras dengan pakai gertak dan sok berdasarkan peraturan tetek bengek. Mual saya dengan kelakuan mereka. Jadi bubarkan saja.
Usul saya: Beri jalur khusus untuk TKI dan jangan terminal khusus. Coba kalau anda ke salah satu negara di Eropa pasti ada.
Penjelasan: European Passport dan All Other Passports. Jadi lakukan seperti mereka dengan petunjuk jelas disamping pemeriksaan.
Jalur masuk para penumpang pesawat lainnya. Kalau tidak berarti diskrimasi terjadi di Bandara dan ini harus diberantas. Mereka sama2 penumpang pesawat dan berhak untuk masuk ke Indonesia kembali tanpa syarat apapun dan jangan jadikan mereka sapi perah. Kerja di LN banyak resikonya dan kerja keras.
Salam
BS
--- In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, berry1168@... wrote:Betul, sebenarnya terminal itu tdk perlu ada, mereka khan warganegara indonesia juga yg berhak mendapatkan perlakuan yg sama. Terminal tsb malah disalahgunakan oleh oknum2 petugas dan preman yg memaksa tki untuk naik kendaraannya dengan membayar mahal. Apa bedanya dengan wn indonesia lain yg bekerja di perusahaan asing di LN. Kampanyekan pembubaran terminal khusus tki, dan kewajiban aparat utk melindungi dan mengayomi mereka.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
--- From: Santi Kurniasari Hanjoyo
Date: Thu, 19 Jun 2008 03:09:31
Subject: [Forum Pembaca KOMPAS] Re: Terminal Neraka Bagi Para TKI
Ngobrol punya ngobrol, ternyata mbak Siti sangat beruntung mendapatkan seorang majikan yang baik. Sayangnya, setelah tiba di airport Cengkareng, kami terpaksa berpisah. Mbak Siti diajak pergi ke tempat lain oleh sejumlah petugas bandara, sementara saya bisa melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.
Terpikir oleh saya, akan diapakan saja ya mbak Siti oleh para petugas itu? Saya hanya bisa mengucap doa.
Kapan ya TKI bisa merasa nyaman, aman, dan tenteram saat tiba di negeri sendiri?
Salam,
Santi.
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
11:31 AM
0
komentar
Label: buruh migran, korupsi, tanggapan masyarakat
18 June 2008
Terminal Neraka untuk Para TKI
Savitri Wisnuwardhani
Saya teringat pengalaman tiga minggu yang lalu. Saya bertemu di bandara Soekarno Hatta dengan salah seorang buruh migran yang bekerja di Singapura. Ia mengalami masalah ketika akan keluar dari terminal kedatangan internasional. Pengalaman ini sungguh menyebalkan dan menyesakkan hati. Sulit dikatakan negara tidak terlibat dalam kongkalikong percaloan dan pemerasan terhadap para tenaga kerja Indonesia di luar negeri (TKI). Ceriteranya begini.
Sebut saja perempuan ini Lani ya.. Dia berusia 15 tahun ketika bekerja di Singapura. Lani sudah dua tahun berada di Singapura tapi dia hanya sempat bisa bekerja selama satu bulan, sebelum akhirnya mengalami kasus kekerasan. Tragis benar nasibnya, karena majikan memukulinya. Setelah kasus kekerasan ini dilaporkan ke Kementerian Tenaga Kerja Singapura, dia diwajibkan menunggu kasusnya selesai. Ia menunggu selama hampir dua tahun di salah satu tempat perlindungan yang dikelola oleh sebuah lembaga masyarakat di Singapura. Berdasarkan peraturan, dia tidak boleh bekerja selama kasus belum diselesaikan oleh pemerintah Singapura. Begitulah hukum di Singapura yang ketat mengatur tenaga kerja asing.
Dua tahun sesungguhnya terlalu lama bagi Lani, apalagi tanpa bekerja sama sekali. Lani merasa semakin tidak betah tinggal lebih lama lagi di Singapura dan ingin cepat pulang ke kampung halamannya. Ia selalu berdoa dan berharap kasusnya cepat diselesaikan. Doa dan harapan Lani untuk pulang ke kampung halaman terkabul. Pada akhir Mei 2008 lalu ia mendapatkan izin pulang dari pemerintah Singapura dan mendapatkan tiket pesawat untuk kembali ke Indonesia.
Senang sekali Lani dapat pulang. Ia sudah membayangkan kedua orang tua dan sanak saudara menunggu kedatangannya. Lani lantas mengambil tiket, paspor dan pembatalan ijin kerja yang telah diurus oleh pihak agen. Begitulah hukum di Singapura, hampir semua diurus oleh agen, apalagi kalau buruh migran yang bersangkutan punya masalah. Di Singapura buruh migran tidak bisa langsung bekerja karena harus ada yang merekomendasikan untuk bekerja. Pihak-pihak yang bisa merekomendasikan seperti agen yang diakreditasi pemerintah Singapura dan warganegara Singapura.
Setelah Lani mendapatkan paspor, tiket dan pembatalan ijin kerja dari agen, Lani kemudian jadi khawatir setelah melihat keterangan tujuan perjalanan dalam tiket pesawat kepulangannya. Tiket kepulangan Lani hanya sampai Jakarta. Tidak bisa dialihkan ke daerah lain, ke bandara yang lebih dekat dengan daerah asalnya, karena agen tidak mau direpotkan oleh hal-hal kecil. Padahal pengalihan tujuan kepulangan ke bandara lain bukanlah hal sepele bagi Lani. Ia ingin menghindari Jakarta. Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng, Jawa Barat adalah bandara yang menakutkan bagi Lani. Mengapa? Selama dia di Singapura, dia sering mendapatkan informasi dari teman-teman buruh migran Indonesia tentang praktik-praktik pemerasan di terminal TKI di bandara Soekarno Hatta yang merugikan para buruh migran seperti dipalak, diambil barangnya, dan semacamnya. Dia takut apabila pengalaman teman-temannya itu juga akan menimpanya.
Lani meminta pihak agen hingga hari menjelang keberangkatan untuk mengalihkan tujuan perjalanan dari Jakarta ke Jogyakarta. Dia menyatakan kepada agen bahwa dirinya sanggup meskipun dia harus membayar lagi sejumlah SGD100 (±Rp 680.000). Dia masih mempunyai uang dari pemberian teman-temannya di tempat perlindungan. Namun pihak agen tetap tidak mau dengan alasan tidak mau repot. Dengan terpaksa Lani menerima keputusan ini. Pikirnya, yang penting dirinya pulang dan bertemu dengan keluarga di kampung.
Lani akhirnya mendarat di bandara Soekarno Hatta dengan selamat. Tidak ada halangan apa pun selama di perjalanan. Selain itu, ia tidak sendirian karena dalam pesawat yang ditumpanginya, ada beberapa teman buruh migran yang bekerja di Singapura juga hendak pulang ke kampung halaman.
Setiba di bagian imigrasi, Lani tidak mengalami masalah. Meskipun sempat beberapa saat petugas imigrasi melihat wajah Lani karena antara penampilan dengan foto di paspor berbeda. Setelah urusan imigrasi selesai, dia mengambil kopernya dan dengan percaya diri dia berjalan keluar ke Terminal 2 seperti layaknya semua penumpang pesawat keluar dari bandara. Ketika dia berjalan keluar, ujung ekor matanya melihat beberapa teman yang bersamaan dengannya di pesawat secara otomatis dibawa oleh beberapa petugas BNP2TKI dan Angkasa Pura ke terminal lain. Ke terminal khusus para buruh migran.
Langkah Lani keluar dari terminal “menyebalkan” ini mantap meskipun agak grogi karena banyak petugas penjaga di sekitar Imigrasi seperti petugas Bandara dan petugas BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI). Ketika Lani akan melangkah keluar dari tempat pemeriksaan barang, Lani tiba-tiba dikejar oleh salah satu petugas negara tersebut. Herannya petugas ini tidak mengejar orang di depan Lani yang kebetulan adalah pasangan warganegara Indonesia keturunan Tionghua.
Petugas badan nasional itu menanyakan paspor Lani. Lani tetap ngotot tidak mau memberikan paspornya. Bukankah hanya petugas imigrasi yang memiliki hak memeriksa paspor? Tapi petugas ini kemudian memanggil teman-temannya dan Lani dikerubungi oleh tiga petugas. Dengan terpaksa karena nyalinya lama-lama kendor, Lani menyerahkan paspornya kepada petugas BNP2TKI. Lani lantas diminta untuk jalan ke terminal khusus buruh migran.
Dengan lemas, Lani melangkah ke terminal khusus. Terminal yang sangat ditakutinya dan ditakuti oleh banyak buruh migran di Singapura. Lani lantas menghubungi saya untuk dijemput ke terminal khusus di bandara Soekarno Hatta.
Saya lalu mencari cara untuk dapat masuk ke dalam dengan mendesak salah satu pihak agen perjalanan di bandara Soekarno Hatta. Saya dapat masuk dengan membayar Rp50.000. Betapa mahalnya! Saya tidak berdaya untuk berargumentasi karena sementara itu saya terus ditelpon oleh Lani yang sedang ketakutan.
Setelah saya masuk, saya baru tahu bahwa semua pihak (agen perjalanan, petugas Angkasa Pura, petugas BNP2TKI dan kepolisian) sulit dikatakan apa pun yang lain kalau bukan calo. Sulit pula tidak dikatakan bahwa negara tidak mendukung percaloan ini. Mereka saling bertegur sapa. Dengan bebas saya masuk ke dalam. Saya melihat para petugas Angkasa Pura dan BNP2TKI sebanyak lima belas orang berdiri di luar bagian pemeriksaan imigrasi dan menunggu kedatangan para penumpang penerbangan internasional. Ternyata mereka hanya mencari para TKI. Di situ TKI jadi mangsa empuk.
Akhirnya saya ketemu Lani. Raut mukanya sangat bingung. Saya meyakinkannya untuk ke Terminal 4 di mana diurus kepulangan dan pendataan TKI. Saya katakan saya akan menemuinya di sana. Namun dia tidak mau saya tinggalkan.
Pada situasi yang sangat rumit ini, seseorang berbaju preman tapi mengaku diri seorang polisi, namanya hanya Farid, menyatakan dapat membantu Lani keluar asalkan Lani mau membayar Rp700.000. Saya tidak mau dan siap melawan. Namun Lani tidak mau melawan dan bersikeras mau membayar karena dia takut dan ingin cepat-cepat pulang. Dengan tawar-menawar alot, Farid mau menurunkan tawarannya jadi Rp600.000. Rasanya sungguh terpaksa dalam situasi seperti itu dan sesungguhnya sangat disayangkan tapi mau bagaimana lagi karena kami juga terlibat dalam jalur percaloan.
Farid dapat mengeluarkan kami dengan sangat mulus. Tidak ada hambatan meskipun banyak petugas Angkasa Pura dan BNP2TKI berkeliaran di dalam Terminal 2. Tak seperti dalam cita-cita penataan masyarakat, bukan kewajiban para petugas negara adalah melawan praktik-praktik pemerasan seperti yang kami alami ini.
Akhirnya kami dapat keluar dari terminal neraka ini. Sepanjang perjalanan di dalam bus DAMRI kami terdiam. Saya membayangkan kembali adegan-adegan mengesalkan tadi dan keputusan yang kami ambil. Saya merasa tindakan yang diambil Lani adalah tindakan salah tapi tidak dapat mencegahnya.
Saya lantas menanyakan ke Lani, “Apakah tindakan yang kamu ambil sudah benar?” Lani menjawab, “Saya tidak tahu. Yang penting saya bisa keluar dari terminal neraka ini dan bertemu keluarga saya.” Saya belajar satu hal bahwa aturan main yang korup dan dikondisikan begitu kuat menyebabkan orang lemah tidak punya pilihan lain kecuali bila mereka berani membela diri dengan resiko mendapatkan kekerasan dari pihak yang berwewenang.
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
1:22 PM
0
komentar
Label: buruh migran, ID-Card, Jakarta, Kebijakan, Kekerasan, korupsi, pemerintah, Singapore
01 April 2008
To Japanese Government Officials: Please Be Extra Selective in Delivering Aids to Indonesia
Open Letter to the Ambassador of Japan to Indonesia on Pressure to Cancel International Aids to Indonesia for the Improvement of the Capability of local government police officers in Jakarta province
To
Your Excellency Ambassador of Japan to Indonesia in Jakarta
Dear Sir,
As you know, the Japan government plans to give different aids to Indonesian government. One of them is a grant and technical help intended to develop the capability (?) of local government police officers. See Kompas daily’s report on 21 January 2008, p9.
We have responded to such aid delivery with sending an official letter to your embassy numbered 08/IER/SP/II/2008 dated February 20, 2008 about an audience and dialog related to the above mentioned aid. On that letter, the embassy has given us a direct response stating that the Kompas’ story is "simply not substantiated". We then were asked not to come to the embassy.
Following such response, we reconfirm the matter to Kompas daily’s related editor named Mr. Simon Saragih as the person in charge for such story and data published by the paper about the Japan’s aid.
On this matter, Mr. Saragih reiterated that the data originates from the Department of Foreign Affairs of the Japan’s government. He guaranteed that such story is only correct.
However, as Jakarta city dwellers who campaign for pro-public good policy, we are deeply concerned with and regret to such an aid offered for improving the capability of local government police officers of Satpol PP. We are of the opinion that this aid likely gives bad impacts of larger spreading different acts of perpetration against basic human rights committed by those governments' police officers.
Since the country applied national policy of regional autonomy after the regime change in 1998, the government police institution has gained important role in enforcing regional regulation (perda) and in maintaining social “peace and order” (ketenteraman dan ketertiban), as stipulated in the Law No. 32/2004 on local government and government regulation No. 32/2004 on the guideline for government police institution. In practice, however, local governments have misused their police force for fighting and evicting city or town poor people and informal sector workers (street vendors, ambulant street vendors, buskers, and other workers) from their working and dwelling localations. Such repeated evictions have been conducted with violence on the pretext of "city’s beauty and peace in the city or towns".
Such violent acts conducted by the local government police officers now have become a sheer terror, not only for poor people and informal sector workers, but also other dwellers of many towns in the country. Violence conducted by the officers in Jakarta and different towns in the country even have resulted in many people killed. The following is only few examples of the different violent acts by the Satpol PP.
Please click Table 1.
With granting aid to the Indonesian government, particularly the Jakarta provincial government, addressed to the Satpol PP unit, the Japan government has actually committed to an unjustified public policy at the dear cost of the lives of poor people groups and informal sector workers.
Efforts to evict the poor people and these workers have been conducted systematically that have resulted in the intensity increase of the violent acts against the city or town's poor people. You could see this phenomenon with the increase of the number of eviction, arbitrary arrests and forceful ejection against the poor and the informal workers, particularly in Jakarta. The following is a list of the evictions against the poor and informal workers in Jakarta from 2001 to 2008.
Please click Table 2.
So far Jakarta is infamously known as a city that evicts poor people, scoring the biggest in the country as compared to other cities in different countries worldwide. The intensity of the eviction has ‘granted’ Indonesia to dubb as a state that notoriously evicts the biggest number of people from an international institution of The Center on Housing Rights and Evictions (COHRE) in 2003. Jakarta is categorized as the biggest ‘contributor’ of eviction cases or violator against housing rights in the world. No wonder, therefore, that the number of the ejected poor people keeps increasing. In 2002 in Jakarta there was 286,900 poor people (Source: The Indonesian Urban Studies, April 2007). And worse, now, the Jakarta’s poor people have increased sharply up to 675,718 people (Susenas BPS 2006). This number will increase rapidly given that the city development system ruthlessly ignores the rights of the poor. In 2007 there are 615,000 people unemployed and 8,006 street children (Source: The Manpower Ministry).
Such dirty business of evicting the poor and informal sector workers has almost always been made possible with a gargantuan sum of financial public budget. In 2007 the Jakarta city government has allocated public fund as much as Rp62,834,795.50 (US$6904.92) for such unlawful forced evictions. Up to now the budgeting right (APBD) has not been applied by the concillors to side the poor, after all.
Please click Table 3.
The main problem of the city development in Indonesia, particularly that of Jakarta, is definitely not about public order that requires the strengthening of the Satpol PP, but refers to the weakness of democracy in the city management, the very low people participation and the absence of human rights perspectives in the city program making and in the procurement of public policy of the city. In such a condition, corruption will certainly be very difficult to fight against, and therefore public interests and the rights of the poor over the city’s spaces have been virtually ignored. With directing one’s aids to the strengthening of the Satpol PP, the Japan government actually implies its deliberate support for an unjustified development policy that disrespects democratic and human rights perspectives, and therefore furthermore ignored common good of public interests and the genuine people’s participation.
Based on such argument above, we urge the Japan government to heed important points as follow.
- To review all aids for the Indonesian government, particularly aids that support the violations of human rights.
- To stop aids that are for financing violence conducted by Satpol PP.
- To be critically careful in offering aids to different parties in Indonesia, particularly those have perpetrated human rights, particularly if they have obviously abused human rights like Satpol PP.
- To direct aids to encourage sound public policies in city management that respect common public interests and the rights of the poor over the city’s space.
Finally, we expect that efforts in respecting and implementing human rights be your real commitment and the concerns of the Indonesian government and of the international community. We hope that the Japan government be really implementing such commitment.
Jakarta, 27 February 2008
Yours sincerely
The People Alliance for a City that Respects Common Public Interests
Sri Palupi
The Coordinator
Diposting oleh
The Institute for Ecosoc Rights
di
9:41 AM
0
komentar
Label: English-version, Jakarta, Kebijakan, Kekerasan, Kemiskinan, pemerintah
Untuk Hari Ini
Babu Negara
Olkes Dadilado
Education21
Rairo
Geworfenheit
Kodrat Bergerak
Chi Yin
aha!
John's blog
ambar
andreas harsono
bibip
Space & (Indonesian) Society
dreamy gamer
sundayz
wadehel
rudy rushady
Timor Merdeka
G M
Karena Setiap Kata adalah Doa
Sarapan Ekonomi
wisat
Adhi-RACA