Membaca cerita ‘Siang Ubi, Malam Juga Ubi’, tulisan Iswanti Suparma dalam blog ini, saya jadi teringat waktu kecil. Saya pernah mengalami hal serupa. Waktu itu sekitar 1970-an di Flores. Memang itu yang ada. Hanya ubi dan ubi dan ubi. Paling hanya pada saat-saat pesta keagamaan seperti Natal, Paskah, Komuni Pertama, kami menikmati hidangan ‘makanan pokok’ yang lain. Atau mendapatkan bantuan berupa bulgur (katanya sih makanan ini adalah makanan ternak) dan susu yang didapat dari misi atau bantuan dari negeri-negeri asing. Kalau para dermawan itu pergi, saya mengalami lagi keadaan semula. Ubi dan ubi lagi.Seorang pembaca blog memberikan tanggapannya secara terpisah. Namun kemudian ia bersedia tulisannya diunggah di sini setelah dilakukan konfirmasi dan suntingan.
Namun, pesona alam semesta ini mengantarkan "sosok yang mengandung ubi dan ubi siang dan malam ini" ke Jakarta tahun 1991. Di ibukota pada 1992 saya membaca sebuah makalah penelitian seorang dosen bernama Felix Sitorus dan Alex Weka. Yang terakhir ini adalah paman saya. Kalau gak salah berjudul "Poverty Alleviation in East Nusa Tenggara", sebuah studi kasus. Para peneliti ini mengatakan dua hal yang menyebabkan kawasan ini "is mired in poverty for so long". Kayak doa, hanya dijawab ‘amin’, kedua sebab itu adalah pertama, ‘keterbatasan ekologis’ dan kedua, ‘kemiskinan struktural’.
‘Keterbatasan ekologis’, maksudnya adalah curah hujan rendah, kemarau panjang; topografi dengan tanah-tanah miring dan berbatu-batu semakin menambah sawah dan ladang sulit menghasilkan panen yang berlimpah. Sementara, yang dimaksudkan dengan ‘kemiskinan struktural’ beracu pada kebijakan-kebijakan publik baik dari pemerintah maupun dari tetua adat. Keduanya telah menyebabkan terjadinya proses pemiskinan masyarakat Nusa Tenggara Timur.
Yang dimaksudkan dengan jebolnya kebijakan pemerintah adalah praktik-praktik yang terkait dengan proses penyaluran anggaran dari pusat ke daerah. Pemotongan anggaran terjadi di daerah tingkat satu, tingkat dua, kecamatan, desa, kepala dusun. Yang akhirnya diterima masyarakat adalah sisa-sisa potongan. Sekarang keadaannya sedikit berbeda dengan dulu, karena dulu tak terdengar nyaris apa-apa, tapi sekarang tersiar kabar korupsi merajalela di daerah-daerah. Ditambah pula masalah pajak yang dikenakan secara pukul rata baik untuk yang punya dan tidak punya tanah atau lahan garapan. Lalu ada pula kebijakan yang diambil oleh para tetua adat: Ternak yang berkeliaran karena dilepas begitu saja lalu merusak tanaman-tanaman milik orang lain ditombak atau dibunuh. Akibatnya keadaan ekonomi keluarga-keluarga pemilik ternak berkeliaran yang sebenarnya sudah miskin itu jadi lebih sulit lagi karena mereka kehilangan binatang-binatang peliharaan mereka.
Karena sangat tergerak, kemudian saya tanyakan kepada orang-orang tua di keluarga saya tentang makalah itu. Kebetulan waktu itu paman saya sedang berada di Flores dan saya tanyakan kepada ame* Alex: "Ke manakah hasil penelitian Ame tersebut?" "Penelitian ini akan diseminarkan di Kupang lalu diserahkan kepada pemerintah," Jawab Ame Alex. Di situlah ujung akhirnya. Mentok lagi ke pemerintah.
Di Jakarta, kaum muda dari Flores berkumpul atas dasar suatu keprihatinan lalu dicoba dibentuk sebuah wadah "Pusat studi yang berbasis dan berorientasi ke Flores dan NTT" dengan tujuan untuk mengembangkan dan mempercepat proses pembangunan di NTT pada umumnya dan Flores khususnya. Tapi yang terjadi: mereka hanya berbicara di Jakarta, tidak terjun ke daerah, untuk bergumul dengan persoalan persoalan masyarakat, memberikan jalan keluar atau setidaknya menggelitik kesadaran masyarakat. Itu semua tidak jalan.
Saya berterima kasih kepada teman-teman yang telah terjun ke lapangan dan mengangkat masalah kemiskinan, busung lapar, dll. di daerah tersebut. Saya sangat bergembira bila upaya teman-teman nantinya melebihi apa yang telah dilakukan oleh para peneliti Felix Sitorus dan kawannya itu.**
*ame artinya paman dalam bahasa setempat.
1 comment:
Selamat malam, saya Yan Koli Bau tinggal di Kupang, mau nimbrung. Ceritera kemiskinan di NTT adalah lagu lama, yang dinyanyikan kembali oleh siapapun, kapanpu, dan untuk apa saja. Tahun 1987 saya berkeliling Flores jalan darat bersama tim Yayasan Kasimo dan pejabat The Asian Fouindation, membuat laporan tebal-diserahkan kepada pemerintah dan pejabat Gereja, salah satu dari tim itu Sdr.Alex Longginus yang sekarang menjadi Bupati Sikka. Sayang Yayasan Kasimo sudah tidak berkiprah-saya juga pindah ke tempat lain dan baru kembali. Kalau tentang Timor sendiri antara tahun 1884-1990-an sudah ada 2902 tulisan (laporan survay, buku, artikel, dsb), sebagian di antaranya berceritera tantang Timor dan rupanya kondisinya tidak jauh berbeda dengan kondisi di Flores. Bagaimana janji mereka yang mewakili rakyat NTT di senayan danmereka yang menduduki singgasana dis etiap kabupaten dan propinsi? Mari kita menggugat mereka.
Salam hangat (yan Koli Bau, e-mail:ykolibau@yahoo.com)
Post a Comment