Kami memang pernah melakukan assessment di tiga lokasi eks-pengungsi Timtim di kabupaten Kupang. Salah satunya di desa Noelbakin. Kondisi mereka memang memprihatinkan, baik secara fisik maupun keadaan sosial ekonomi mereka. Cukup banyak ditemukan anak-anak bergizi buruk di lokasi-lokasi tersebut. Bahkan beberapa di antara mereka meninggal tanpa ada yang membantu maupun mencatat. Kondisi hidup mereka masih lebih baik ketika mereka masih "berstatus" sebagai pengungsi karena banyak lembaga internasional yang membantu mereka.
Namun, dengan pencabutan status pengungsi mereka, praktis mereka harus memperjuangkan nasib mereka sendiri. Ternyata tak mudah juga membantu mereka karena pengalaman-pengalaman sebelumnya mereka banyak diberi janji tanpa ada realisasinya sehingga mereka sudah sulit percaya kepada orang-orang luar yang datang untuk membantu.
Memang harus ada kerja sama di antara para LSM dan pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah mereka. Kalau tidak, nasib mereka tak akan berubah. Seberapa jauh persoalan ini menjadi keprihatinan bagi lembaga-lembaga swadaya setempat? Agak sulit untuk sebuah lembaga yang berbasis di Jakarta, seperti The Institute for Ecosoc Rights, untuk mengangkat masalah semacam ini.
Untuk Danny,
Terimakasih Anda telah me-link blog ini ke blog Anda. Kami malah sebenarnya telah membuat link ke blog Anda beberapa saat sebelumnya di blog kami. Tanpa perlu merasa harus minta izin lho … Coba deh berkunjung ke technorati yang canggih itu, lalu masukkan alamat blog Anda ke dalam dialog box "search for" untuk melihat link yang telah kami buat ke blog Anda. Bukankah membuat link ke suatu blog atau website mana pun, sebenarnya adalah penghormatan untuk yang di-link? Gampangnya, bukankah untuk menghormati seseorang kita tak perlu minta izin? Asal siap diusir? :)
Belum lama ini sebenarnya kami mengadakan semiloka dari temuan awal penelitian kami tentang fenomena busung lapar di Nusa Tenggara Timur. Sayang, karena padatnya acara, kami tak sempat berkontak. Namun, seperti Anda bisa baca pada post ini yaitu surat terbuka kami kepada kawan Olkes barangkali bisa Anda sambungkan keprihatinannya? Kerja di daerah kami lakukan dengan membangun linkage dan jaringan, dengan semua keterbatasannya. Sementa ra itu, kami berupaya mengoptimalkan cakupan basis kami di pusat.
Atau barangkali kita bisa kontak lebih jauh lagi kalau bisa membuat konferensi dengan telpon internet, misalnya. Secara terpisah nanti dapat kita bicarakan bukan? Ada banyak kemungkinan seperti VOIPRakyat, proyek Gizmo, tapi layanan Skype barangkali dapat membuat kita terhubung secara gratis lewat internet untuk mengembangkan diskusi. Seandainya memang ada akses layanan broadband di tempat Anda, kontak dan diskusi bukan mustahil. Barangkali dapat kita coba. Sejauh ini masih akan ada kegiatan campaign untuk masalah busung lapar di Indonesia yang harus kami lakukan dalam hari-hari dekat ke depan ini.
Salam hangat.**
2 comments:
Selamat malam, nama saya Yan Koli bau, tinggal di Kupang, mau ikut nimbrung soal gizi buruk (eks) pengungsi Tim Tim. Saya turut serta beberapa lembaga menangani pengungsi sejak awal hingga sekarang. Kondisi mereka jauh lebih memprihatinkan dari yang digambarkan ECOSOC-mungkin rekan2 tidak tega berceritera apa adanya. Dalam seminggu bahkan di Labur (Belu) 9 (sembilan) orang meninggal karena tidak makan, dst. Jika rekan-rekan di sini ingin ceritera lengkap mungkin saya bisa turunkan beberaoa secara berkala, tentu dari sisi suksenya pengungsi juga.
Salam (Yan Koli Bau)
ykolibau@yahoo.com
Buat teman-teman Ecosoc...
Terima kasih buat teman-teman Ecosoc karena sudah menanggapi usulan saya sebelumnya.
Maaf karena saya tidak sempat mengikuti dan membaca laporan hasil asessment teman-teman saat dipresentasikan beberapa waktu lalu, karena saya lagi di Atambua dan betun.
Kami di CIS Timor yang sejak 1999, mengurusi masalah pengungsi asal Timor Timur, memang sering menemukan masalah gizi buruk di kamp-kamp dampingan kami. Namun karena keterbatasan kapasitas, yang bisa kami lakukan hanyalah melink ke pemerintah (Puskesmas-RSUD). Sayangnya respon akan masalah ini seringkali terhambat hanya karena proses administrasi, seperti keterangan dari desa/lurah sebagai keluarga miskin.
Sekalipun status mereka sebagai pengungsi sudah dicabut dan dalam registrasi kependudukan-yang sekalipun diragukan kevalidannya- pada 2003 lalu, mereka sudah memilih untuk tetap menjadi WNI, namun diskriminasi terhadap mereka tetap ada. Keterangan keluarga miskin hanya mau dikeluarkan bagi warga lokal. Belum lagi pelayanan di Puskesmas maupun RSU-nya yang masih belum optimal.
Setelah lolos dari itu semua, masalah lain ikut menghadang. Bagaimana dengan makanan bagi keluarga yang ikut menjaga di RSU. pemerintah hanya menanggung anak dan ibunya. padahal terkadang kehadiran keluarga turut memberi terapi psikologis bagi pemulihan kesehatan sang anak.
Kami punya pengalaman buruk dengan masalah ini. beberapa teman relawan lapangan kadang menangis kalo ngomong soal gizi buruk di kamp.
Jose Bento dan Roberto Cardoso, dua anak dari delapan anak yang pernah kami bantu namun gagal, keduanya telah mati. beberapa bulan yang lalu. Segala upaya yang telah dilakukan yang berakhir pada kematian membuat beberapa teman hampir putus asa, seakan apa yang telah dilakukan itu sia-sia saja.
Semua anak penderita gizi buruk yang pernah kami tangani memang akhirnya dirawat di RSU, namun sepulang mereka dari RSU kembali ke rumah darurat mereka di kamp, masalah pemenuhan pangan sang anak kembali menjadi soal bagi orang tuanya. Pendidikan yang rendah, penghasilan yang tak pasti dll makin menambah ruwet masalah ini.
Kisah kedua anak ini bisa juga teman-teman ikuti di website kami.
Maksud saya dalam ususlan tempo hari adalah, fokus assesmentnya pada mekansime koping komunitas/keluraga-keluarga di kamp. Mungkin kita bisa menemukan hal baru disana sebagai bahan belajar untuk menemukan jalan keluar bagi masalah ini. Bagaimana keluarga-keluarga ini dalam keterbatasannya mencoba untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka, karena tidak semua keluarga dikamp itu, anaknya mengalami masalah gizi buruk, bahkan mungkin juga anak-anak dari warga lokal lebih banyak mengalaminya.
Senang rasanya bisa berdiskusi dengan teman-teman.
Buat pak Yan
Terima kasih pak Yan karena mau ikut share soal isu ini. Mungkin pak Yan masih ingat kami, kalo tak salah, pak pernah kami undang sebagai pembicara dalam salah satu edisi dialog radio pada periode 2001-2002 kemarin.
Pak, kami masih tetap setia untuk mengurusi isu pengungsi hingga saat ini. Kapan main-main ke CIS lagi, bolehkan?
Post a Comment