Sri Maryanti
Aku berangkat dengan niat kampanye menolak kekerasan Satpol PP terhadap warga miskin. Dengan peralatan yang serba pinjaman aku dan kawan-kawan berangkat ke sebuah kampung kaum miskin di Jakarta Barat. Mereka tak punya aula dan kursi buat nonton. Tapi menonton kali ini sangat istimewa buatku.
Petang itu kami pergi berlima. Bersama seorang mahasiswa yang aktif di bengkel kerja fotografi, satu teman pendamping anak-anak jalanan dan dua pengamen jalanan. Setelah turun dari angkot, dua teman dari sebuah organisasi kaum miskin kota ikut bergabung. Kami berjalan menyisir jalan raya sepanjang satu kilometer lebih. Bukannya tidak ada angkot di jalan itu, tapi tak ada angkot yang mau membawa rombongan yang menèntèng dua tiang besi sepanjang tiga meter.
Mungkin orang melihat rombongan kami tampak aneh. Mirip supporters Jakmania yang habis nonton pertandingan. Kami menèntèng kabel segedé èmbèr, dua batang tiang, megafon, komputer jinjing dan proyektor LCD. Semua barang pinjaman.
Lantas tibalah aku di hamparan tempat terbuka penuh dengan bongkahan bekas bangunan rubuh. Teman dari Bingkai Merah langsung nyeletuk, ‘Wah .. Kalau fajar ada di sini bisa dapet moment bagus untuk dipotrèt.’ Hèh .. batinku bilang, ‘Apanya yang bisa dipotret? Yang ada cuma bau asap sampah terbakar campur tai kuda.’
Baru kusadari kami meléwati gubuk-gubuk yang saling berdèmpèt milik para pemulung dan kusir dokar. Nyala lampu yang tak seberapa terang dari dalam gubuk itulah satu-satunya yang membuatku mengenali bahwa itu sekelompok rumah.
Puluhan anak sudah menunggu di tempat yang agak terbuka. Beberapa kali ada yang bertanya, ‘Mau ada layar tancap ya Kak?’ Yang lainnya berdatangan. Mungkin ada seratusan orang. Terpal digelar untuk alas duduk. Kami jadi grogi memasang alat-alat di keremangan itu.
Lega rasanya saat layar selebar 2x2 meter persegi berdiri kokoh. Seorang penduduk memberikan listriknya. Kami mulai memutar video ‘Membunuh Hari’. Video dokumenter tentang penggusuran tahun 2003. Lalu semua terpana melihat layar bergambar gerak itu. Sayang perlengkapan suaranya kurang bagus karena mengandalkan megafon untuk pengeras.
Setelah beberapa saat film diputar, baru kusadari sesuatu. Tempat kami memutar film berada di kegelapan di dataran yang agak tinggi. Tempat itu dikepung perumahan warga miskin yang letaknya lebih rendah. Di belakang perumahan itu berdiri bangunan yang lebih bagus. Penghuninya juga pada melongo menatap keramaian dadakan ini.
Video pertama selesai. Kami selingi dengan diskusi kecil. Seorang warga bilang, ‘Kami menonton diri kami sendiri dalam film itu.’ Kalimatnya membuatku tertegun. Komputer yang sempat ngadat dan perlengkapan listrik yang seadanya membuat kami tak bisa lama merenung.
Video kedua diputar, produksi anak-anak jalanan Jakarta. Video itu dipersembahkan untuk Irfan Maulana, joki ‘three in one’ yang meninggal akibat kekerasan yang dilakukan Satpol PP. Karena banyak anak-anak yang melihat, kami terpaksa menghentikan video itu. Sebab ada gambar jenasah Irfan yang rusak. Belum saatnya anak-anak itu melihatnya.
Kami pulang menjelang tengah malam. Aku masih ingat ibu-ibu yang menyediakan kopi panas dan kue pisang bikinan mereka. Tak bisa diceritakan. Lalu kami pamit pulang.
Di jalan tak sengaja salah satu teman bertanya, ‘Apa yang tengah kami pikirkan?’ Seorang yang lainnya membalas, ‘Sekali lagi kita puter video di sana, pasti digrebek aparat.’ He .. he .. Rasanya iya.**
No comments:
Post a Comment