Sepuluh bulan setelah tragedi menara kembar WTC, tepatnya 20 Juli 2002, pemerintah New York membuat program yang mereka sebut sebagai “Listening to the City”. Program ini dibuat seiring dengan rencana pemerintah New York untuk membangun monumen di lokasi bekas WTC. Dengan program itu, pemerintah New York mengundang 5.000 penduduknya untuk menyampaikan pendapat tentang rancangan monumen untuk memperingati para korban dan orang-orang yang mengorbankan diri dalam peristiwa pemboman tersebut.
Demikian disampaikan Maria Hartiningsih, jurnalis dan penerima penghargaan Yap Thiam Hin, dalam acara bedah buku dan peluncuran program video bertajuk “Mendengarkan Kota”, yang dilakukan The Institute for Ecosoc Rights, 26 Oktober 2007.
Dengan bantuan teknologi, 5.000 penduduk tersebut memilih dan mengkritik tujuh rancangan monumen yang dipresentasikan penyelenggara. Dalam kompetisi merancang bangunan monumen yang diadakan pemerintah New York akhirnya dimenangkan oleh seorang perancang asal Hungaria. Monumen yang dibangun juga tidak seperti bangunan sebelumnya karena merupakan koreksi dari rancangan lama yang memuat disain yang sangat kaku.
Bahkan pembangunan monumen ini tidak hanya mengutamakan bangunan fisik semata, namun juga menyasar ingatan kolektif warga kota. Sebagian sisa tembok yang runtuh tetap dipertahankan sebagai simbol tiadanya batas antara masa lalu dan masa kini. Di sana diingatkan orang-orang yang menjadi korban dan orang yang mengorbankan diri dalam peristiwa tersebut. Selain itu rancangan bangunan tersebut juga memuat usaha penyembuhan korban dari trauma peristwa tersebut. Kita temukan di sana daftar 4.000 – 6.000 nama korban dan berbagai coretan dari keluarga korban.
Berbeda dengan New York yang sekali saja tertimpa bencana, Jakarta mengalami sederetan bencana. Bom yang terjadi di hotel JW Mariot, bom di kedutaan Australia, bom di BEJ. Jakarta juga mengalami peristiwa kelam pada Mei 1998, peristiwa kekerasan Semanggi I dan Semanggi II maupun peristiwa Trisakti yang membawa demikian banyak korban. “Bahkan ada banyak korban cacat yang masih hidup sampai sekarang. Namun apa yang terjadi? Jakarta begitu mudahnya melupakan peristiwa-peristiwa itu dan membiarkan para korban sendirian. Jakarta tak membuat tetenger apa pun,” tegas Maria.
Menurutnya peristiwa-peristiwa tersebut malah hilang dari ingatan sebagian besar warga. Peringatan atas tragedi itu tidak langsung dilakukan. Hanya keluarga korban dan kalangan NGO saja yang tetap memperingati peristiwa tersebut. Bahkan berbeda dengan New York, pasca tragedi, gedung-gedung dibangun jauh lebih megah dari sebelumnya.
Tak tampak sedikit pun bekas atau pun jejak yang mengingatkan kita pada peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di Jakarta. Jangan-jangan kita juga ingin melupakan ingatan-ingatan pahit yang melintas dalam hidup kita. Pemerintah kota dan para perancang kota ini mungkin menganggap tragedi mesti ditutup-tutupi, tambahnya.
Kata ahli perkotaan, kota ibarat organisme hidup, yang dihidupi dan menghidupi warga-warganya. Namun pada kenyataannya Jakarta didominasi oleh pengambil kebijakan dan kalangan tertentu saja. Hanya pertimbangan ekonomi yang dipakai untuk membangun Jakarta. Mereka yang secara ekonomi dinilai tidak memberi kontribusi diusir dan digusur. Padahal dengan penggusuran-penggusuran itu pemerintah DKI sebenarnya menepuk air di dulang. Mereka yang digusur-gusur itu adalah korban “kerakusan” Jakarta.
Dari sudut pandang hak asasi, yang terjadi di Jakarta ini sudah gila. Sektor informal makin dihancurkan dan dibatasi jumlahnya. Jakarta ini kota yang angkuh sekali. Padahal kota ini sangat bergantung pada sektor informal. Riset yang dilakukan seorang sosiolog Jerman menegaskan, 60 persen produktivitas kota hancur saat ditinggal warganya mudik lebaran. Mereka yang mudik ini sebagian besar bekerja di sektor-sektor informal. Jakarta ini juga merampok 70 persen kekayaan daerah. Jadi bagaimana bisa Jakarta mengusir orang-orang daerah datang ke Jakarta untuk mencari penghidupan? Sebagai kota, Jakarta sangat sombong, seolah bisa hidup sendiri.
Jakarta juga seperti kisah seribu satu malam. Tiba-tiba hari ini ada bangunan baru lagi, besok tiba-tiba ada lagi ditempat lain. Hal seperti ini tidak terjadi di kota-kota di Eropa. Ruang-ruang kosong di Jakarta juga nyaris sudah tidak ada. Yang namanya peran serta warga hanyalah jargon kosong.
Apa yang kita saksikan di Jakarta ini pada akhirnya adalah kota yang menjadikan warganya terasing. Warga di kota ini menjadi manusia-manusia kesepian di tengah derap pembangunannya. Bisa kita katakan, Jakarta ini adalah kota yang dirajut dari sejarah kelam pengalaman individu-individu anggotanya. Padahal sebuah kota tidak bisa dilepaskan dari jaring-jaring kehidupan warganya.**
No comments:
Post a Comment