Jakarta banyak dihuni oleh sektor-sektor informal yaitu orang-orang yang tidak pernah ngrepoti bank karena tidak boleh meminjam uang. 'Orang-orang itu (dulu) juga tidak ngrepoti Soeharto.' Mereka menjadi kelompok pengusaha yang lebih murni daripada pengusaha yang memperoleh jasa dan balas jasa dari orde baru. Tetapi kelompok ini dianggap musuh dan dianggap mengotori (Jakarta). Sampai sekarang cara demikian tidak berubah.
Demikian budayawan Mohammad Sobari mengawali sebuah diskusi bedah buku yang diselenggarakan Institut Ecosoc, 26 Oktober 2007.
Menurut direktur eksekutif Kemitraan ini, “jika Jakarta lebih jahat dari New York adalah wajar, karena pemerintah Jakarta lebih jahat dari pada pemerintah New York dan kota-kota besar lainnya.”
Dalam sejarah di berbagai belahan dunia, kota-kota selalu dibangun dan dihuni dengan nyaman oleh kalangan menengah (kelas pedagang) yang kemudian berkeinginan memilikinya.
“Maka, secara pelan-pelan kita mesti mengingatkan tentang hal-hal seperti ini. Harus ada kampanye terus-menerus melalui media agar kota yang didirikan oleh kelas pedagang ini ramah dan murah hati pada kelas yang tidak punya. Pedagang kaki lima berjualan di pinggir-pinggir jalan bukan karena mereka tidak mengerti ketertiban tetapi mereka tidak diformalkan.”
“Kecuali di Sragen,” catat Sobari. ”Kaki lima memang dilarang berjualan di pinggir jalan tapi mereka diberi tempat tersendiri dan dicarikan pembeli. Tempat berdagang mereka tidak kalah dengan tempat berdagang yang lama. Sragen melarang iklan-iklan yang gemerlap di jalan-jalan kota. Ini adalah sisi manusiawi dari seorang bupati yang juga hadir dan menjadi salah satu corak di kota Sragen.”
Kompleks BSD di Tangerang, Jawa Barat dulu dibangun dengan segala slogan: “Bumi Serpong Damai kota mandiri yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri lengkap dengan sarana dan fasilitas.” Waktu itu pun tidak ada yang protes. Ada sedikit protes tapi tidak terasa. Media juga tidak menunjukkan protes. Berita formal mengatakan lahan itu bekas kebon karet kosong. Padahal itu “bohong dan omong kosong.”
Kebetulan rumah Sobari berada di perumahan BTN di kampung itu. Menurutnya mereka menteror penduduk DKI pinggiran hingga pontang-panting dan harus meninggalkan tempatnya.
Waktu itu tidak ada yang bersuara kritis meminta bagian partisipasi untuk membayangkan akan menjadi apa kota ini. “Kota itu akhirnya menjadi mosak-masik tidak keruan dengan warna-warna norak."
“Abang, kuning, ungu seperti mainan untuk menyenangkan anak-anak di playgroups,” kata Sobari geram.
Ia melanjutkan bahwa kota itu sekarang hanyalah tempat orang melakukan transaksi jangka pendek karena setelahnya mereka tidur di rumahnya yang ada di tempat yang lebih nyaman.
“Kita pantas mendidik pemerintah kota dengan berbagai cara, baik persuasif maupun suara resistensi warga penggusuran agar pemerintah ingat untuk mengurus warga. Yang mengerti kota itu tidak hanya gubernur. Ada ahli-ahli tata kota, jurnalis, aktivis, intelektual dan universitasnya, dll. Pemerintah harus mengajak warganya berdialog untuk menata kotanya.”
“Lembaga-lembaga pendidikan jangan meminta proyek hanya untuk mencari legitimasi ilmiah dari segala ‘kebangsatan’-nya (red: .. pemerintah),” tegas Sobari. Menurutnya banyak proyek penelitian yang dikorupsi oleh pemerintah DKI tapi lembaga-lembaga penelitian itu menerima saja proyek itu. Intelektual telah menghancurkan dirinya dalam proses yang menindas. Hal itu mesti ditolak.
“Padahal uang itu tidak halal dan berasal dari aktivitas perbajingan,” lanjutnya. Ia juga menegaskan agar lembaga pendidikan yang terhormat itu tidak memberi gelar pada orang-orang memusuhi kepentingan publik. “Universitas Gajah Mada juga hanya mampu mikir membeli gelar pada orang-orang yang matinya besok pagi!” ungkap Sobari nyinyir.
Penelitian-penelitian ilmiah malah harus mengingatkan watak elitis pemerintahan kota yang tidak manusiawi. Watak elitis itu diteruskan dengan sikap legalistik.
Harus ada sinergi antara pemerintah kota dengan pemerintah daerah yang menjadi pusat-pusat warga miskin pedesaan yang hijrah ke kota. Menata kota tidak cukup dengan perda ketertiban umum dan penangkapan-penangkapan anak jalanan dan mengembalikan ke daerahnya begitu saja. Kemiskinan harus diselesaikan. Kebijakan bupati setempat harus diajak merancang rancangan kota yang membawahi desa yang mengakses kebijakan sosial daerah itu agar ada kebijakan pertanian dan program pelayanan kesehatan di desa-desa kecil secara lebih fokus. Harus ada pelayanan pendidikan publik yang melayani warga miskin di desa-desa kecil.
“Pemerintah kota harus berbicara dengan pemerintah desa atau daerah dalam menangani urbanisasi supaya mereka tetap tinggal di desanya meskipun desa tak pernah punya janji-janji seperti pabrik di kota,” ungkap Sobari.
Pemerintah kota akan semakin bobrok dengan adanya sistem pilkada yang jahat. Gubernur dipilih dengan didasari uang milyaran dengan corak yang elitisme. “Akan mustahil saat duduk di kekuasaan gubernur itu akan ingat kaki lima, gelandangan, dan lain-lain.”
Resistensi baik yang positif maupun yang negatif tidak terakomodir dalam sistem demokrasi multipartai ketika seorang pimpinan kota ditetapkan. “Kita harus melawan dan mengingatkan pemerintah kota bahwa kota itu penghuninya bukan hanya orang-orang kaya namun juga orang miskin. Harus dibisikkan kepada pimpinan kota bahwa kota adalah tempat untuk membangun peradaban yang adil dan memiliki hati nurani.”
“Maka kita harus berkoordinasi, bekerja sama dan minta waktu bekerja sama dengan pemerintah DKI. Mari bersama-sama membangun kota dalam bentuk ruang-ruang publik yang sehat, adil dan manusiawi.”
“Partai-partai harus diawasi. (Jakarta) jangan menjadi kandang singa-singa yang menjadikan kota sebagai kuda yang dirayah untuk dimakan beramai-ramai. Jangan biarkan mereka malang melintang di dunia politik yang akhirnya menguasai pemerintah kota. Demokrasi jangan ditentukan oleh orang-orang seperti misalnya para pakar dan peneliti (red) yang mengolah kebohongan menjadi jastifikasi.”**
No comments:
Post a Comment