Mukhtaran Bibi adalah janda desa yang miskin, buta huruf dan tak pernah menyakiti siapa pun. Seperempat abad lebih ia hidup terpenjara dalam masyarakat adat yang feodal dan barbar di sebuah desa kecil di provinsi Punjab, Pakistan. Ia baru melihat penjara kehidupan itu setelah peristiwa buruk menghancurkan kehormatannya pada pertengahan 2002. Tiba-tiba ia bangkit menjadi perempuan perkasa yang berdiri tegak menuntut keadilan atas haknya sebagai perempuan. Ia melawan adat yang mengijinkan perempuan korban perkosaan menanggung hukuman sementara pelakunya bebas bergentayangan. Perjuangannya menjadikan ia sebagai simbol kekuatan perempuan Pakistan yang memperjuangkan harga diri dan martabat kaumnya sebagai manusia utuh.
Foto diambil dari sini. Sumber dan resensi buku berjudul In the Name of Honor (A True Story) - Atas Nama Kehormatan, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2007; Diterjemahkan dari bahasa Prancis, Déshonoré, ditulis oleh Mukhtar Mai. Link
Cerita tersebut ditulis sendiri oleh Mukhtaran Bibi dengan bantuan Marie-Therese Cuny berdasarkan kisah hidupnya dalam sebuah buku dengan judul asli “In The Name of Honor”. Buku ini hampir mirip dengan yang ditulis R.A. Kartini dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Ia menuturkan kisahnya yang tak hanya mengharu biru seperti fiksi, namun juga refleksi pergulatannya melawan ketakutan, depresi, rasa terhina dan tipu muslihat akibat perkosaan massal yang dilakukan didepan umum yang merupakan putusan hukuman adat yang picik yang dibungkus agama.
Mukhtaran harus datang memohon ampun kepada dewan adat di desanya untuk menebus kesalahan yang sebenarnya tak pernah dibuat adik laki-lakinya. Adiknya yang masih kanak dianggap menodai kehormatan suku Mastoi, kelompok yang berkuasa dan dominan di desannya. Anak itu dituduh main mata dan memperkosa perempuan suku Mastoi yang umurnya jauh lebih tua. Namun kedatangan Mukhtaran bukan disambut dengan ampunan sebagaimana yang ia banyangkan. Dewan dirja memutuskan hukuman pemerkosaan massal untuk menebus kesalahan adiknya.
Perempuan itu tak hanya diperkosa oleh empat lelaki kasar, namun juga dipermalukan dan diperlakukan kasar di depan umum sebagai penebusan kesalahan yang dijatuhkan ke keluarganya. Ia dianggap perempuan hina yang telah kehilangan kehormatan. Hukum dan aparat sedikit pun tak mempedulikannya. Bahkan mereka menjadi bagian persekongkolan jahat yang berusaha memutarbalikkan fakta saat perempuan itu mencari keadilan.
Justru penderitaan yang telah meluluhlantakkan pribadinya itu menyebabkan ia berani berteriak mengungkapkan fakta di depan hukum. Keberanian itu tak pernah dimiliki perempuan Pakistan sebelumnya. Kasusnya menjadi sejarah baru bagi gerakan penegakan hak-hak perempuan Pakistan.
Keberanian perempuan muslim itu membangkitkan simpati dan dukungan dari banyak pihak. Namanya mencuat keluar melampaui ruang sempit biliknya. Begitu juga masyarakat internasional lantas juga mengenal dan mendukungnya. Bahkan perdana menteri Pakistan turut campur tangan dalam pengurusan kasusnya.
Namun perjuangan yang ia usahakan tidaklah mudah ditempuh. Jalan menuju damai harus ia lewati di bawah tekanan dan teror. Pemerintah Pakistan tak sepenuhnya mendukung usahanya. Ia sempat dianggap sengaja memperburuk citra negaranya di dunia internasional. Pengadilan sempat membebaskan para pelaku pemerkosaan yang membawa bayangan kematian pada perempuan itu.
Mukhtamar Bibi tak pernah menyerah. Ia belajar dan merefleksikan banyak hal. Kesadaran tentang apa yang seharusnya dimiliki kaumnya makin berkembang. Lalu ia menjadi perempuan bercita-cita besar yang memimpikan sebuah gedung sekolah untuk perempuan agar mereka tidak ditipu setiap kali mencari keadilan.
Buku tersebut adalah sebuah protes seorang perempuan yang mewakili jutaan perempuan lain di Pakistan yang diamputasi haknya, ditekan, ditipu, diperkosa dan selalu dikorbankan untuk menebus kesalahan keluarga akibat dianggap mencoreng kehormatan suku tertentu. Buku ini juga mengkritik struktur kasta dalam masyarakat yang mengakibatkan banyak penderitaan perempuan dari kasta rendah yang tidak jarang berujung pada kematian atau bunuh diri akibat rasa hancur harga dirinya.
Perempuan yang kemudian disebut dengan panggilan Mukhtar Mai (kakak perempuan yang terhormat) itu juga membongkar lembaga perkawinan adat sebagai alat tukar-menukar perempuan di antara suku untuk menghindari konflik. Perkawinan sering menjadi penjara bagi perempuan yang hanya diperbolehkan diam menerima apa pun yang diharuskan adat padanya. Banyak perempuan mati dalam penjara perkawinan akibat penderitaan yang tak tertahankan.
Melalui torehan ini Mai menceritakan bagaimana ia mengusahakan perbaikan bagi nasib banyak perempuan di negaranya. Sampai buku ini selesai ditulis, masih banyak perkosaan-perkosaan terjadi menimpa perempuan-perempuan di sana. Mirip Kartini, melalui pendidikan pada anak-anak perempuan di sekolah yang ia rintis, Mai berusaha memotong rantai kekerasan tersebut.**
No comments:
Post a Comment