Sri Palupi
Lembata, kabupaten di ujung timur pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang baru sewindu berdiri kini tengah dilanda masalah. Pasalnya, pemerintah kabupaten (Pemkab) Lembata hendak menjadikan pulau kecil ini sebagai area penambangan emas. Meskipun saya belum mengenal Lembata dengan baik, namun sedih juga mendengar pulau sekecil itu akan dijadikan area pertambangan.
Sudah sejak lama saya ingin mengenal Lembata dari dekat. Keinginan ini baru kesampaian pada awal 2008 lalu. Meski hanya beberapa hari saja singgah di Lembata, namun perjalanan yang singkat itu telah membuat saya jatuh cinta pada pulau ini dan berniat untuk kembali lagi ke sana. Pada pertengahan Juni 2008 untuk kedua kalinya saya datang ke Lembata.
***
Lembata adalah kabupaten dan sekaligus sebuah pulau kecil dalam gugusan pulau-pulau di perairan sekitar Kabupaten Flores Timur, provinsi NTT. Meskipun sudah sejak tahun 1954 masyarakat Lembata berjuang untuk mendapatkan otonomi pemerintahan, namun baru pada 15 Oktober 1999 lalu Lembata resmi menjadi kabupaten baru, terpisah dari kabupaten Flores Timur. Pulau seluas 126.638 hekter itu kini dihuni tidak kurang dari 116.000 jiwa.
Seperti kebanyakan daerah di daratan NTT, Lembata tergolong daerah kering, dengan 3-4 bulan saja musim hujan dan 7-8 bulan musim kemarau. Pada bulan-bulan kemarau pulau ini sangat kering dan gersang. Meski demikian, Lembata adalah pulau yang indah, kaya dengan obyek wisata daratan dan bahari, dengan kekhasan budaya yang tidak ada di pulau lain. Budaya menangkap ikan paus dengan perahu dan alat tangkap tradisonal dengan diawali ritual adat adalah salah satu obyek wisata bahari sekaligus wisata budaya yang paling menarik. Selain itu, masyarakat di pulau ini juga memiliki sistem perekonomiann unik dalam bentuk jual beli dengan cara barter (pertukaran barang) yang dikenal dengan sebutan Gelu Gore (Lamaholot) atau Kelung Lodong (Kedang).
***
Perjalanan saya kali ini lebih panjang, meskipun tidak sampai dua minggu. Banyak hal yang saya pelajari dari Lembata. Salah satunya adalah banyaknya kejanggalan tidak masuk akal, yang terjadi di kabupaten ini. “Aneh tapi nyata”, begitulah teman-teman saya menyebutnya. Kali ini saya hanya akan menceritakan beberapa saja dari seluruh keanehan yang sulit dipercaya telah terjadi di kabupaten yang tergolong miskin ini.
Keanehan pertama: ”Satu bupati, tiga kantor.” Mana ada seorang bupati punya tiga kantor. Aneh memang, tapi itulah kenyataan yang ada di Lembata. Terdapat tiga kantor bupati di kabupaten ini.
Kantor pertama, yang kini masih difungsikan sebagai kantor bupati adalah bangunan lama yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat Lembata jauh sebelum Lembata mendapatkan otonominya. Bangunan yang berdiri sejak 1960-an ini bisa dibilang bangunan bersejarah. Bangunan itu pantas disebut sebagai “monumen” yang menandai kegigihan masyarakat Lembata dalam memperjuangkan otonominya. Demi otonomi Lembata, pada waktu itu setiap warga yang datang ke Lewoleba – kini ibukota kabupaten Lembata, rela membawa batu kali dan pasir sebagai sumbangsih mereka bagi berdirinya gedung pemerintah Lembata. Tanah dan kayunyapun berasal dari sumbangan masyarakat.
Kantor kedua adalah bangunan setengah jadi yang berdiri megah di atas bukit. Berlawanan dengan kantor pertama, bangunan setengah jadi ini pantas disebut sebagai monumen “korupsi” di Lembata. Sebab pembangunan kantor kedua ini terhenti di tengah jalan karena adanya indikasi penyelewengan. Kualitas bangunan jauh lebih rendah dari besaran biaya yang dikeluarkan. Kalaupun bangunan ini diteruskan, katanya, tidak akan ada yang mau berkantor di sana. Menurut informasi orang-orang lokal, pondasinya pun tidak memenuhi persyaratan sehingga dikhawatirkan bangunan akan roboh bila sedikit saja diterpa badai atau gempa. Kini yang bisa kita saksikan hanyalah kerangkanya saja. Padahal konon khabarnya pembangunan kantor kedua ini menelan biaya tidak kurang dari satu milyar rupiah.
Meski sudah ada dua kantor bupati, namun bupati Lembata, Andreas Duli Manuk, masih merasa perlu membangun kantor baru. Kantor ketiga kini tengah dibangun di Laranwutun, Kecamatan Ile Ape, dengan biaya tidak kurang dari 7,6 milyar rupiah. Bersamaan dengan pembangunan kantor ketiga ini dibangun pula kantor kedua untuk DPRD Lembata, yang menelan biaya sedikitnya 2,3 milyar.
Keanehan kedua: ”Banyak gedung dibangun dan kemudian ditelantarkan”. Ketika saya diajak berkeliling Lewoleba dan sekitarnya, bukan hanya tiga kantor bupati yang saya jumpai tetapi juga bangunan-bangunan baru yang dibiarkan terlantar. Padahal bangunan-bangunan itu bisa dibilang ”mewah” untuk ukuran Lembata yang miskin. Sebut saja di antaranya adalah rumah dinas ketua dan para wakil ketua DPRD yang kosong dan terlantar; rumah dinas bupati yang kini jadi tempat merumput ternak kambing; tempat pelelangan ikan (TPI) yang kini mulai rusak; pabrik es; kantor kecamatan, dll. Pemkab Lembata telah menghabiskan milyaran rupiah untuk mendirikan seluruh bangunan baru yang kini dibiarkan terlantar itu. Padahal, sekali lagi, Lembata tergolong kabupaten miskin. Aneh bukan?
Mengapa bangunan ”mewah” untuk rumah dinas pejabat eksekutif dan legislatif kabupaten Lembata itu ditelantarkan? Secara sinis warga setempat memberi alasan bahwa mereka (para pejabat eksekutif dan legislatif) tidak bersedia menempati rumah dinas itu karena perabotannya belum lengkap. Katanya, kulkas belum ada, mesin cuci pun belum tersedia. Jawaban semacam ini tidak lain adalah sindiran masyarakat terhadap para pejabat pemerintah dan DPRD yang mereka nilai suka menghambur-hamburkan uang rakyat.
Alasan lain datang dari ”orang dalam” pemkab Lembata yang tidak bersedia disebut namanya. Menurut mereka, para pejabat (eksekutif dan legislatif) tidak menempati rumah dinas dan memilih untuk tinggal di rumah pribadi karena adanya tunjangan ”sewa rumah” sedikitnya sebesar Rp 10 – 15 juta per tahun. Bila mereka menempati rumah dinas, berarti mereka tidak lagi mendapatkan tunjangan sewa rumah. Dengan kata lain, lebih untung bila menempati rumah sendiri ketimbang menempati rumah dinas. Dengan menempati rumah sendiri setidaknya ada tambahan penghasilan yang lumayan.
Keanehan ketiga: ”Begitu banyak dinas pemerintah belum memiliki kantor.” Keanehan ketiga ini terkait dengan keanehan pertama dan kedua. Ketika bupati dan DPRD tengah membangun kantor baru dan di saat banyak bangunan-bangunan baru ditelantarkan, hampir 50 persen dinas di kabupaten Lembata belum memiliki kantor sendiri. Mereka masih menyewa rumah-rumah warga untuk dijadikan kantor. Bahkan Bappeda Kabupaten Lembata pun belum memiliki kantor. Sungguh sulit dipercaya, sewindu otonomi Lembata, banyak dinas belum punya kantor, sementara bupati dan DPRD punya kantor lebih dari satu. Di saat dinas-dinas yang vital untuk pembangunan Lembata belum memiliki kantor, pemerintah dan DPRD memilih untuk membangun gedung-gedung baru dan kemudian menelantarkannya. Ironis.
Keanehan keempat: ”Daerah rawan bencana dijadikan area pertambangan.” Hasil eksplorasi umum oleh beberapa kuasa pertambangan menunjukkan, secara geologi Lembata termasuk daerah yang memiliki potensi bahan galian vital, seperti emas dan tembaga. Artinya, kabupaten ini memiliki potensi investasi di sektor pertambangan. Meski potensi industri pertambangan dimiliki oleh Lembata, bukan berarti bahwa indutri pertambangan layak dikembangkan di pulau ini. Selain alasan daya rusak pertambangan yang tidak bisa dipulihkan, pertambangan di Lembata juga akan membawa dampak serius terkait dengan eksistensi pulau Lembata itu sendiri beserta kehidupan di dalamnya. Mengapa? Lembata tergolong daerah kering dan gersang. Bila industri pertambangan dikembangkan di daerah ini, bisa jadi bukan hanya kerusakan lingkungan yang dihadapi Lembata, tetapi juga kehancuran sebuah pulau. Bahkan sangat mungkin terjadi bahwa di pulau yang kecil itu tidak akan ada lagi kehidupan. Sebelum ada pertambangan saja, masyarakat di kabupaten ini sudah kesulitan memperoleh air. Apalagi bila ada industri pertambangan yang terbukti bukan hanya rakus air, tetapi juga berpotensi menghancurkan kuantitas dan kualitas air yang sudah terbatas itu.
Selain daerah kering, pulau Lembata yang secara topografis memiliki kemiringan antara 0-75% itu, juga merupakan daerah yang sangat rawan bencana. Sebab letak Lembata berada pada jalur lempeng bumi yang senantiasa bergerak. Posisi Lembata juga berada dalam lingkaran sabuk api (ring of fire) dengan gunung-gunung api yang aktif, baik di darat maupun di laut (selatan pulau Lembata). Salah satunya adalah gunung berapi Ile Ape. Dengan kondisi seperti ini, pertambangan hanya akan membuat pulau Lembata rentan bencana. Bahkan bukan tidak mungkin bahwa penambangan akan membuat pulau kecil ini tenggelam, seperti yang pernah terjadi pada pulau lain di dekat pulau Lembata. Terlebih bila mengingat sebagian besar pulau Lembata masuk dalam wilayah Kontrak Karya Pertambangan PT Merukh Lembata Cooper.
Padahal Lembata sudah pernah punya pengalaman buruk dengan tambang. Sejak tahun 1984 Lembata, khususnya di wilayah Atanila dan Tanah Merah, pernah menjadi area pertambangan barid. Atanila dan Tanah Merah kini menjadi wilayah tercemar, rawan longsor dan banyak warganya sakit karena minum air yang tercemar. Bahkan lubang-lubang bekas tambang di wilayah ini sampai sekarang masih menganga, belum ditutup. Perusahaan tambang pergi begitu saja dengan meninggalkan sederet masalah yang harus ditanggung sendiri oleh masyarakat. Padahal sebelum ada tambang, Atanila dan Tanah Merah adalah daerah hijau, tidak pernah punya masalah dengan longsor dan airnya pun sangat jernih. Rupaya derita masyarakat Atanila dan Tanah Merah akibat pertambangan tidak cukup memberi pelajaran bagi bupati dan DPRD. Mereka tetap beriman pada mitos bahwa tambang itu menyejahterakan.
Keanehan kelima: “Pemkab dan DPRD Lembata menghalalkan segala cara untuk mempercepat proses penambangan”. Upaya meloloskan proyek pertambangan ini mereka tempuh dengan berbagai cara, di antaranya: 1) bupati menandatangani MoU dengan pihak perusahaan tambang tanpa sepengetahuan DPRD; 2) bupati dan ketua DPRD memberikan rekomendasi bagi perusahaan tambang untuk mendapatkan kontrak karya tanpa melalui mekanisme pleno DPRD; 3) pihak pemkab Lembata mengancam masyarakat untuk menghentikan pembangunan di wilayah di mana masyarakatnya menolak tambang; 4) membujuk pemimpin gereja untuk menarik dan memindahtugaskan ke luar Lembata pastor yang vokal dan gigih mendampingi masyarakat dalam menolak tambang. Meski berbagai cara sudah dijalankan, namun pemkab Lembata tetap tidak mampu membungkam suara masyarakat yang dengan tegas menolak tambang. BERITA PENOLAKAN PEMBUKAAN TAMBANG DI LEMBATA
Kini pemkab Lembata tengah menjalankan skenario “konflik horisontal” untuk memecah belah masyarakat. Masyarakat yang ada di wilayah bakal tambang dihadapkan dengan masyarakat di luar wilayah bakal tambang. Ada juga rekayasa penyerahan tanah ulayat oleh beberapa orang warga yang notabene bukanlah pemilik/penguasa tanah ulayat. Isu agama (SARA) pun digunakan untuk membangun konflik antar kelompok masyarakat. Sekelompok orang dipakai untuk melempari masjid. Sebaliknya, sekelompok orang juga dipakai untuk menghadang dan memalak pastor. Namun masyarakat tidak terpancing oleh isu SARA ini dan sekali lagi, bupati gagal mematahkan penolakan masyarakat atas proyek tambang.
Sebelumnya Bupati juga pernah mencoba untuk membujuk dan memberikan sejumlah uang pada bapak Abu Sama, seorang tetua adat dan tokoh masyarakat muslim Lembata yang dikenal vokal dalam menolak tambang. Namun untuk kesekian kalinya bupati harus menelan kekecewaan karena ternyata bapak Abu Sama tidak dapat dibeli. Lihatlah foto segepok uang dengan kartu nama bupati di atasnya. Uang itu ia terima dari staf bupati kala ia dipanggil menghadap bupati untuk diajak berbincang soal tambang. Uang beserta kartu nama yang dibungkus dalam amplop itu sampai sekarang ia simpan sebagai barang bukti. Foto itu saya ambil ketika saya berjumpa dengan bapak Abu Sama di Lembata.
Gagal membujuk dan membeli tokoh adat dan pemimpin masyarakat, pemkab Lembata menggunakan cara-cara kekerasan. Para pemimpin dan tokoh masyarakat yang vokal dalam menolak tambang diteror habis-habisan dengan berbagai cara, termasuk ancaman pembunuhan. Rumah-rumah mereka pun dilempari batu, kegiatan mereka dipantau dan dihadang. Meskipun bupati telah menempuh berbagai cara halus dan kasar untuk menundukkan masyarakat, namun masyarakat tak bergeming sedikitpun dari sikap tegas mereka untuk menolak tambang. Bagi mereka, tolak tambang adalah harga mati.
Skenario konflik horisontal yang dipakai pemkab Lembata untuk meloloskan proyek pertambangan adalah sebentuk pengkhianatan atas spirit dan cita-cita otonomi Lembata yang telah diperjuangkan masyarakat Lembata sejak tahun 1954. Melalui pernyataan 7 Maret 1954, para pemimpin, tokoh masyarakat (adat dan agama) dan para pejuang otonomi Lembata telah bersepakat untuk membebaskan rakyat Lembata dari perseteruan “Paji dan Demon”, yakni politik adu domba ciptaan penguasa kolonial, dan membebaskan rakyat dari keterbelakangan, kemelaratan, keterisolasian, kemiskinan dan kebodohan. Saya yakin, bupati dan DPRD yang adalah warga asli Lembata memahami betul sejarah dan spirit perjuangan otonomi Lembata ini. Bahkan ketika Lembata disahkan sebagai kabupaten dan mendapatkan otonominya, visi misi perjuangan otonomi Lembata yang tertuang dalam statement 7 Maret 1954 itu kembali dibacakan di depan pejabat bupati.
Di penghujung perjalanan kembali ke Jakarta saya mulai berandai-andai. Andai bupati dan DPRD Lembata cukup punya satu kantor saja, andai mereka tidak merasa perlu membangun gedung-gedung baru yang kemudian ditelantarkan, andai mereka mau sedikit saja mendengarkan aspirasi rakyatnya, andai mereka mau belajar dari kasus Atanila dan Tanah Merah, andai mereka rajin turun ke lapangan dan melihat betapa berlimpahnya potensi laut, pertanian, dan keindahan alam Lembata yang belum tergarap, tentulah mereka tidak akan memilih tambang sebagai prioritas untuk pembangunan. Sayang, bupati dan DPRD Lembata telah terkena kutukan raja Midas, yang membuat mereka lebih tergiur kilaunya emas daripada keselamatan pulau dan rakyat Lembata. Konon khabarnya sekian milyar rupiah plus fasilitas pribadi bakal diterima bupati dan ketua DPRD, Petrus Boliona Keraf, bila mereka berhasil meloloskan proyek pertambangan di Lembata.
Sepertinya bupati dan DPRD sudah tutup mata pada sejarah Lembata. Padahal mereka tahu betul bahwa pulau Lembata dulunya menjadi tempat pengungsian warga dari pulau tetangga yang telah tenggelam bertahun-tahun silam. Bila nantinya Lembata juga terancam tenggelam, kemana lagi masyarakat itu akan mengungsi?. Sulit dipercaya bahwa sekian milyar rupiah yang dijanjikan perusahaan tambang bisa membuat bupati dan DPRD tega menjual tanah Lembata, menjadikan pulau indah itu terancam tenggelam dan membiarkan rakyat hidup dalam kecemasan. Padahal mereka itu lahir, besar, hidup dan dihidupi oleh tanah air Lembata. Sungguh aneh tapi nyata.**
Silakan lihat foto-foto lain dari Lembata dengan KLIK DI SINI.
07 July 2008
Aneh Tapi Nyata di Lembata
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 11:25 AM 2 komentar
Label: Kemiskinan, korupsi, Liberalisasi, lingkungan, masyarakat adat, Nusa Tenggara Timur
01 July 2008
Hati-hati, Anda Berada di bawah Kamera Pengintai!
Iswanti
Mana yang akan Anda pilih? Pilihan pertama, hidup di negara yang miskin, tidak punya banyak uang, tetapi anda hidup dalam relasi sosial yang hangat dan lebih banyak kebebasan. Pilihan kedua, Anda hidup di negara yang nyaman ekonominya, tertata rapi hingga rumput-rumputnya, punya banyak uang, tetapi hidup di bawah intaian kamera yang ada di mana-mana. “You are under surveillance!” Mana pilihan Anda? Pertama atau kedua?
Dalam pemikiran “normal” kita, kita tidak mau memilih pilihan pertama atau kedua. Karena kita ingin hidup makmur, punya uang, tempat yang indah, namun sekaligus memiliki relasi sosial yang hangat dan lebih banyak kebebasan? Tetapi pemikiran “normal” itu bukanlah realitas yang sesungguhnya. Realitas sesungguhnya ternyata pahit, karena harus memilih. Kita harus memilih “enak dan tidak enak” dalam satu paket, bukan paket “enak dan enak”.
Itulah pengalamanku hidup selama hampir sebulan di negara tetangga, yang terkenal negara sangat bersih, tertata, makmur. Ujung-ujungnya, aku lebih cinta Indonesia walaupun katanya negara sedang amburadul! Benar kata orang, kita sering memandang rumput tetangga lebih hijau dari milik kita…
Ini yang terjadi. Di negara tetangga kita itu, kamera pengintai ada di mana-mana, seperti di mall atau pusat perbelanjaan, di setiap ujung eskalator perkantoran bisnis atau pemerintah, di stasiun kereta MRT, pintu masuk kantor-kantor pemerintah, jalan raya, dsb. Di satu stasiun MRT bisa ditemukan puluhan kamera surveillance. Walaupun situasinya sangat ketat semacam itu, seorang tahanan politik terkenal –yang dianggap teroris berbahaya– toh bisa lolos begitu saja. Hehe…bagaimana bisa ya? Sepertinya susah diterima akal lumrah kalau menilik tingkat pengamanan yang sangat tinggi.
Yang terakhir ini, menurutku jadi petanda sudah menyebarnya paranoia di negeri itu. Saking sangat mudah mendapatkan karena sangat murahnya teknologi, di rumah-rumah pun dipasang kamera pengintai. Kalau pengintai dipasang di rumah-rumah tertentu seperti rumah kedutaan, rumah pejabat penting atau rumah orang kaya, mungkin kita masih agak paham alasannya. Yang aku agak “kurang paham”, di negara yang tingkat pencuriannya katanya sedikit, di rumah-rumah biasa juga dipasang kamera pengintai.
Mungkin untuk keamanan, supaya bisa menangkap basah pencuri atau perampok karena rumah sering kosong. Mungkin untuk mengawasi kerja baby-sitters dalam rumah. Atau, supaya dapat mengamati dan mengontrol apa yang dilakukan “helper” atau “maid” (Pekerja Rumah Tangga – PRT) dalam rumah. Begitulah kenyataan ini, kamera surveillance pun dipasang di rumah tangga biasa.
***
Pada suatu hari aku berjumpa seorang teman, seorang PRT dari Indonesia. Dari hasil ngobrol dengannya, juga terselip cerita tentang kamera pengintai. Beginilah ceritanya, “Saya kerja dari pukul lima pagi hingga tengah malam atau bahkan pagi. Tidur empat jam, paling lama lima jam. Walaupun majikan saya dua-duanya siang hari bekerja keluar rumah, tetapi tetap saja saya tidak bisa ambil waktu istirahat saat majikan sedang bekerja. Lha di rumah majikan saya banyak kamera. Jadi mereka tahu apa yang kita lakukan.”
Wah.. aku tidak tahu mesti komentar apa dengan teman PRT ini. Aku harus mengakui, PRT ini lebih berani menghadapi pilihan daripada diriku yang terlalu banyak pikir-pikir dan mempertimbangkan.
***
Di hari lain, aku bertanya pada temanku. Kali ini kupilih yang bukan PRT tapi seorang pengajar di perguruan tinggi terkueeenal di negeri singa. Maksudku, supaya aku bisa ambil jarak dari masalah “kamera” dan penderitaan manusia. Yang kutahu, temanku itu orangnya cukup kritis. Bagaimana rasanya tinggal dan hidup di negara semacam itu, selalu di bawah sorotan kamera surveillance.
Dia menjawab, “Sebenarnya boring juga. Jika Karl Marx bilang agama adalah candu, maka di sini kenyamanan dan kesejahteraan secara ekonomi adalah candu. Orang menyerah pada kenyamanan dan kemapanan hidup. Habis lelah bekerja terus hang-out minum kopi di kedai kopi Starbuck, makan enak di restoran, tinggal di apartemen yang nyaman, bisa berlibur ke berbagai penjuru dunia. Setiap tahun masih diberi bonus oleh pemerintah. Mau apalagi? Mau cari hidup susah? Wah siapa yang mau? Semuanya sangat pasti, teratur dan tertata.”
Aku sudah menduga hal itu. Suatu ketika, kita mesti berjalan lumayan jauh di lorong-lorong mall yang sangat bersih, lampu terang dan dinding kaca di mana-mana, untuk mencapai stasiun MRT. Sambil bercanda, dia bilang, “Kita ini ibarat tikus dalam kotak kaca laboratorium. Orang-orang bergegas berjalan di lorong-lorong kaca di bawah tanah, diawasi kamera.” Kami pun tertawa.
Yang menyedihkan, temanku itu melanjutkan ceriteranya, “Aku ini seorang dosen. Aku pernah meminta mahasiswaku yang jumlahnya lebih dari 400 orang untuk membuat paper tentang fenomena dan persoalan migrasi yang ada di negeri ini. Persoalan ini cukup fenomenal di negeri ini, karena hampir 30 persen penduduk negara ini adalah pekerja migran, di antaranya PRT migran. Tetapi hanya dua mahasiswa yang datang padaku dan bisa menceritakan sisi mengerikan dari fenomena migrasi yang terjadi, yang menimpa para PRT. Para mahasiswa itu hanya mengejar nilai bagus, hanya satu dua yang benar-benar membaca dengan “kesadaran” kemanusiaan. Di negaraku ini, terasa aneh jika kita bicara soal hak asasi…”
Waah… Jadi, apa aku perlu iri untuk menjadi warganegara di tempat temanku ini?
Beberapa saat kemudian temanku yang dosen ini datang ke Jakarta, dan tinggal untuk beberapa hari di Jakarta. Pas hari-hari terjadi hujan deras, jalan-jalan banjir, jalan-jalan berlubang, macet berat di mana-mana..
Sepanjang kutemani dia jalan-jalan di Jakarta, aku cuma bisa tertawa menunjukkan sisi-sisi gelap dari “kebebasan dan demokrasi”.. Orang-orang bisa berperilaku seenaknya di jalan, menunggu tanpa kepastian, bisa demonstrasi setiap hari… bisa korupsi setiap hari… termasuk seenaknya masing-masing menafsirkan peraturan untuk kepentingannya, termasuk mengabaikan nalar dan akal sehat. Bagaimana tidak?
Suatu malam kami keluar untuk makan malam. Hujan deras sekali. Macet banget. Perjalanan dengan taksi yang mestinya ditempuh dalam waktu 10 menit menjadi 45 menit. Mestinya hanya bayar Rp20.000, tapi argo sudah menjadi Rp50.000.
Selama perjalanan itu, temanku itu menceriterakan perlakuan tak menyenangkan yang dialaminya di bandara Sukarno-Hatta, sebuah bandara antidot dari bandara modern negara tetangga kita itu. Jadi lengkaplah penderitaannya sebagai warga negara kaya yang tak kenal apa itu korupsi, percaloan, perjokian, kongkalikong, KKN, apalagi istilahnya ..., tapi “You are no way under any surveillance!”
Ceritera konyol selanjutnya yang dia alami tunggu tanggal unggah berikutnya ..
Diposting oleh The Institute for Ecosoc Rights di 10:05 PM 1 komentar
Label: budaya, buruh migran, Ekonomi, korupsi, Singapore
Untuk Hari Ini
Babu Negara
Olkes Dadilado
Education21
Rairo
Geworfenheit
Kodrat Bergerak
Chi Yin
aha!
John's blog
ambar
andreas harsono
bibip
Space & (Indonesian) Society
dreamy gamer
sundayz
wadehel
rudy rushady
Timor Merdeka
G M
Karena Setiap Kata adalah Doa
Sarapan Ekonomi
wisat
Adhi-RACA