Mana yang akan Anda pilih? Pilihan pertama, hidup di negara yang miskin, tidak punya banyak uang, tetapi anda hidup dalam relasi sosial yang hangat dan lebih banyak kebebasan. Pilihan kedua, Anda hidup di negara yang nyaman ekonominya, tertata rapi hingga rumput-rumputnya, punya banyak uang, tetapi hidup di bawah intaian kamera yang ada di mana-mana. “You are under surveillance!” Mana pilihan Anda? Pertama atau kedua?
Dalam pemikiran “normal” kita, kita tidak mau memilih pilihan pertama atau kedua. Karena kita ingin hidup makmur, punya uang, tempat yang indah, namun sekaligus memiliki relasi sosial yang hangat dan lebih banyak kebebasan? Tetapi pemikiran “normal” itu bukanlah realitas yang sesungguhnya. Realitas sesungguhnya ternyata pahit, karena harus memilih. Kita harus memilih “enak dan tidak enak” dalam satu paket, bukan paket “enak dan enak”.
Itulah pengalamanku hidup selama hampir sebulan di negara tetangga, yang terkenal negara sangat bersih, tertata, makmur. Ujung-ujungnya, aku lebih cinta Indonesia walaupun katanya negara sedang amburadul! Benar kata orang, kita sering memandang rumput tetangga lebih hijau dari milik kita…
Ini yang terjadi. Di negara tetangga kita itu, kamera pengintai ada di mana-mana, seperti di mall atau pusat perbelanjaan, di setiap ujung eskalator perkantoran bisnis atau pemerintah, di stasiun kereta MRT, pintu masuk kantor-kantor pemerintah, jalan raya, dsb. Di satu stasiun MRT bisa ditemukan puluhan kamera surveillance. Walaupun situasinya sangat ketat semacam itu, seorang tahanan politik terkenal –yang dianggap teroris berbahaya– toh bisa lolos begitu saja. Hehe…bagaimana bisa ya? Sepertinya susah diterima akal lumrah kalau menilik tingkat pengamanan yang sangat tinggi.
Yang terakhir ini, menurutku jadi petanda sudah menyebarnya paranoia di negeri itu. Saking sangat mudah mendapatkan karena sangat murahnya teknologi, di rumah-rumah pun dipasang kamera pengintai. Kalau pengintai dipasang di rumah-rumah tertentu seperti rumah kedutaan, rumah pejabat penting atau rumah orang kaya, mungkin kita masih agak paham alasannya. Yang aku agak “kurang paham”, di negara yang tingkat pencuriannya katanya sedikit, di rumah-rumah biasa juga dipasang kamera pengintai.
Mungkin untuk keamanan, supaya bisa menangkap basah pencuri atau perampok karena rumah sering kosong. Mungkin untuk mengawasi kerja baby-sitters dalam rumah. Atau, supaya dapat mengamati dan mengontrol apa yang dilakukan “helper” atau “maid” (Pekerja Rumah Tangga – PRT) dalam rumah. Begitulah kenyataan ini, kamera surveillance pun dipasang di rumah tangga biasa.
***
Pada suatu hari aku berjumpa seorang teman, seorang PRT dari Indonesia. Dari hasil ngobrol dengannya, juga terselip cerita tentang kamera pengintai. Beginilah ceritanya, “Saya kerja dari pukul lima pagi hingga tengah malam atau bahkan pagi. Tidur empat jam, paling lama lima jam. Walaupun majikan saya dua-duanya siang hari bekerja keluar rumah, tetapi tetap saja saya tidak bisa ambil waktu istirahat saat majikan sedang bekerja. Lha di rumah majikan saya banyak kamera. Jadi mereka tahu apa yang kita lakukan.”
Wah.. aku tidak tahu mesti komentar apa dengan teman PRT ini. Aku harus mengakui, PRT ini lebih berani menghadapi pilihan daripada diriku yang terlalu banyak pikir-pikir dan mempertimbangkan.
***
Di hari lain, aku bertanya pada temanku. Kali ini kupilih yang bukan PRT tapi seorang pengajar di perguruan tinggi terkueeenal di negeri singa. Maksudku, supaya aku bisa ambil jarak dari masalah “kamera” dan penderitaan manusia. Yang kutahu, temanku itu orangnya cukup kritis. Bagaimana rasanya tinggal dan hidup di negara semacam itu, selalu di bawah sorotan kamera surveillance.
Dia menjawab, “Sebenarnya boring juga. Jika Karl Marx bilang agama adalah candu, maka di sini kenyamanan dan kesejahteraan secara ekonomi adalah candu. Orang menyerah pada kenyamanan dan kemapanan hidup. Habis lelah bekerja terus hang-out minum kopi di kedai kopi Starbuck, makan enak di restoran, tinggal di apartemen yang nyaman, bisa berlibur ke berbagai penjuru dunia. Setiap tahun masih diberi bonus oleh pemerintah. Mau apalagi? Mau cari hidup susah? Wah siapa yang mau? Semuanya sangat pasti, teratur dan tertata.”
Aku sudah menduga hal itu. Suatu ketika, kita mesti berjalan lumayan jauh di lorong-lorong mall yang sangat bersih, lampu terang dan dinding kaca di mana-mana, untuk mencapai stasiun MRT. Sambil bercanda, dia bilang, “Kita ini ibarat tikus dalam kotak kaca laboratorium. Orang-orang bergegas berjalan di lorong-lorong kaca di bawah tanah, diawasi kamera.” Kami pun tertawa.
Yang menyedihkan, temanku itu melanjutkan ceriteranya, “Aku ini seorang dosen. Aku pernah meminta mahasiswaku yang jumlahnya lebih dari 400 orang untuk membuat paper tentang fenomena dan persoalan migrasi yang ada di negeri ini. Persoalan ini cukup fenomenal di negeri ini, karena hampir 30 persen penduduk negara ini adalah pekerja migran, di antaranya PRT migran. Tetapi hanya dua mahasiswa yang datang padaku dan bisa menceritakan sisi mengerikan dari fenomena migrasi yang terjadi, yang menimpa para PRT. Para mahasiswa itu hanya mengejar nilai bagus, hanya satu dua yang benar-benar membaca dengan “kesadaran” kemanusiaan. Di negaraku ini, terasa aneh jika kita bicara soal hak asasi…”
Waah… Jadi, apa aku perlu iri untuk menjadi warganegara di tempat temanku ini?
Beberapa saat kemudian temanku yang dosen ini datang ke Jakarta, dan tinggal untuk beberapa hari di Jakarta. Pas hari-hari terjadi hujan deras, jalan-jalan banjir, jalan-jalan berlubang, macet berat di mana-mana..
Sepanjang kutemani dia jalan-jalan di Jakarta, aku cuma bisa tertawa menunjukkan sisi-sisi gelap dari “kebebasan dan demokrasi”.. Orang-orang bisa berperilaku seenaknya di jalan, menunggu tanpa kepastian, bisa demonstrasi setiap hari… bisa korupsi setiap hari… termasuk seenaknya masing-masing menafsirkan peraturan untuk kepentingannya, termasuk mengabaikan nalar dan akal sehat. Bagaimana tidak?
Suatu malam kami keluar untuk makan malam. Hujan deras sekali. Macet banget. Perjalanan dengan taksi yang mestinya ditempuh dalam waktu 10 menit menjadi 45 menit. Mestinya hanya bayar Rp20.000, tapi argo sudah menjadi Rp50.000.
Selama perjalanan itu, temanku itu menceriterakan perlakuan tak menyenangkan yang dialaminya di bandara Sukarno-Hatta, sebuah bandara antidot dari bandara modern negara tetangga kita itu. Jadi lengkaplah penderitaannya sebagai warga negara kaya yang tak kenal apa itu korupsi, percaloan, perjokian, kongkalikong, KKN, apalagi istilahnya ..., tapi “You are no way under any surveillance!”
Ceritera konyol selanjutnya yang dia alami tunggu tanggal unggah berikutnya ..
1 comment:
Hi there ...
Ini yang mungkin dimaksud Faucoult dengan hubungan antara pengetahuan (knowledge) dengan kekuasaan (power). Pengetahuan (teknologi) digunakan untuk maintain kekuasaan terutama untuk menjaga "normalitas" perilaku masyarakat. Pastoral care!
Hm ... tapi aku sih ndak keberatan berada di bawah pengawasan kamera selama itu di tempat2 umum/publik kalau imbalannya adalah tempat yang indah, kesejahteraan, keamanan, kepastian hukum. Why not?
Tapi yang lebih parah sebenarnya bukan kamera2 itu tapi pengawasan dalam bentuk data2 pribadi yang digunakan untuk kepentingan "umum". Ini dimungkinkan oleh teknologi.
Mungkin surveillance dengan kemakmuran bukan 2 hal yang berhadap2an. Toh di negara yang katanya paling makmur (US), penggunaan data pribadi sangat sensitif. Pilihannya bukan makmur tapi diawasi atau miskin berantakan tapi bebas.
Bukankah ini hanya masalah spektrum kebebasan dan pengawasan?
Post a Comment