Yang namanya guru mangkir, tidak menjalankan
kewajibannya sebagai guru alias libur
panjang tidak mengajar itu sudah jamak terjadi di sekolah dasar di Papua. Tidak
heran kalau banyak anak lulusan SD di Papua tidak tahu membaca, menulis dan
berhitung dengan baik. Di tengah fenomena guru mangkir, memang tidak mudah
menemukan sosok guru yang bisa jadi panutan. Tapi bukan berarti di sana tidak ada lagi guru yang
punya dedikasi terhadap profesinya. Meski
sedikit jumlahnya, kita masih bisa temukan guru yang punya motivasi kuat menjadi
guru bukan sekadar untuk mendapatkan pekerjaan tetapi demi mendidik anak-anak.
Salah satu dari yang sedikit itu adalah Antonia Korain, guru sekaligus kepala
sekolah SD di Kampung Mosun, Distrik Aifat Utara, Kabupaten Maybrat, Papua
Barat.
Antonia Korain |
Antonia Korain, 42 tahun, ibu tiga anak yang
lahir dan besar di kampung Mosun ini sejak kecil memang sudah bercita-cita
menjadi guru. Alasannya, sekolah di kampungnya kekurangan guru. Lebih dari itu,
ia ingin menjadi guru bukan sekadar untuk mendidik anak-anak tetapi juga
mendidik anak-anak supaya mau menjadi guru. “Bayangkan, kalau tidak ada lagi
yang mau menjadi guru, akan jadi apa bangsa ini”, katanya.
Tekad kuatnya untuk menjadi guru itulah yang
membuatnya menolak beasiswa untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA). Kesukaannya
mengajar memantapkan pilihannya untuk melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG).
Sebelum diangkat menjadi kepala sekolah SD pada tahun 2008, ia sudah 20 tahun mengajar
di sekolah pedalaman.
Setelah membaca suka duka Antonia dalam
menjalani profesinya sebagai guru SD di pedalaman, anda akan sependapat dengan kami,
yaitu bahwa Antonia Korain adalah seorang guru istimewa. Simaklah kisahnya
berikut ini.
Sulitnya Jadi Guru di Pedalaman
“Kehidupan guru di pedalaman sangat sulit. Saya sendiri merasakan
bagaimana sulitnya jadi guru di pedalaman. Gaji dan fasilitas sangat minim, bahkan
tidak mencukupi untuk hidup di pedalaman yang semuanya serba mahal. Bayangkan,
untuk beli beras saja setiap bulan saya harus keluarkan Rp 300.000 untuk 40 kg
beras. Padahal gaji saya hanya Rp 2 juta.
Belum lagi gaji sering terlambat. Uang
lauk pauk dan insentif sudah lama tidak kami terima.
Karena gaji tidak mencukupi, saya harus cari usaha lain. Salah satunya
adalah berkebun. Dengan berkebun, selain menghemat pengeluaran juga menambah
penghasilan. Suami saya yang petani, sehari-hari kerjanya berkebun dan juga berburu.
Hasil buruan dijual untuk menambah penghasilan. Dengan gaji yang pas-pasan,
saya dan keluarga hidup apa adanya, tidak bermimpi yang muluk-muluk.
Antonia Korain di depan murid |
Di pedalaman tidak ada listrik dan tidak ada buku. Ini membuat guru kesulitan
untuk menyiapkan bahan mengajar. Keinginan saya sendiri untuk menambah wawasan
dalam mengajar terbentur oleh ketiadaan buku. Selain itu kerja kebun juga menyita
waktu dan melelahkan. Untunglah pengalaman selama bertahun-tahun mengajar
membantu saya untuk cepat menguasai materi pelajaran. Apalagi di sekolah saya bertugas
mengajar anak-anak kelas 1-3, yang tidak bisa dilimpahkan pada guru-guru muda. Mengajar
kelas 1-3 jauh lebih sulit daripada mengajar kelas 4-6. Makanya target saya
dalam mengajar anak-anak kelas 1-3 tidak muluk. Asalkan murid saya sudah bisa
membaca, saya sudah senang.
Saya memang hanya seorang guru SD dan suami saya petani. Tetapi saya punya
cita-cita tinggi untuk masa depan anak-anak saya. Saya ingin anak-anak bisa
sekolah sampai universitas. Terhadap anak tertua saya punya harapan, ia
bisa melanjutkan kuliah di pertanian
agar kelak bisa membantu masyarakat mengembangkan pertanian. Saya prihatin dengan masyarakat di sini yang
bertani dengan cara tebang bakar. Terhadap anak kedua saya punya harapan, ia
mau menjadi guru agar kelak bisa menggantikan saya mengajar anak-anak di
kampung. Terhadap anak ketiga suami saya punya keinginan, ia bisa menjadi
dokter atau pilot yang kelak bisa jadi kebanggaan masyarakat kampung.
Saya sendiri belum tahu bagaimana nanti membiayai anak-anak kuliah.
Sebab kalau hanya mengandalkan gaji guru memang tidak mampu kami ini membiayai
sekolah anak. Apalagi dua anak saya sekarang sudah SMA. Itulah mengapa
kami mencari tambahan penghasilan. Hasil
berkebun dan berburu yang membantu kami dalam membiayai sekolah anak.
Pengajar Sekaligus Pendidik
Sebagai guru, saya benar-benar prihatin dengan
kondisi sekolah sekarang yang kualitasnya semakin merosot. Sekolah di jaman
Belanda dulu mutunya justru lebih bagus dari sekolah di jaman sekarang. Dulu di
jaman Belanda, guru tidak hanya berkewajiban mengajar tetapi juga mendidik.
Sekarang ini tanggung jawab guru hanya sebatas mengajar.
Antonia Mengajar |
Mengajar dan mendidik sangatlah berbeda. Bagi
saya mengajar itu menyampaikan informasi atau pengetahuan, jadi siapa saja bisa
mengajar. Sedangkan mendidik tidak semua orang bisa melakukannya. Sebab
mendidik bukan hanya menyampaikan pengetahuan tetapi juga membuat anak bisa
berkembang menjadi orang baik dan berkembang sesuai potensi yang dimilikinya.
Banyak sekolah sekarang yang guru-gurunya hanya tahu mengajar. Guru tidak
lagi mau berpikir bagaimana membuat anak-anak tumbuh berkembang sesuai
potensinya dan memiliki karakter. Tapi semua ini bukan semata kesalahan guru.
Kebijakan pemerintah sendiri juga cenderung membatasi peran guru hanya sebatas
mengajar. Pemerintah menghapus pendidikan untuk guru (SPG) dan membuat program
sertifikasi guru. Dengan program sertifikasi ini tampaknya pemerintah hendak
menggarisbawahi peran guru sebatas mengajar dan bukan mendidik. Padahal dengan
sistem SPG dulu, guru-guru dididik untuk menjadi pengajar sekaligus pendidik.
Tidak Menguntungkan
Kebijakan pemerintah yang menghapus SPG dan menerapkan program
sertifikasi tidak menguntungkan bagi sekolah di pedalaman. Dulu ketika masih
ada SPG keadaan tidak separah seperti sekarang. Sejak SPG ditutup, kondisi
tenaga guru kian memprihatinkan. Dengan hilangnya SPG, hilang pula kesempatan
bagi sekolah pedalaman untuk memperoleh tenaga guru. Demikian juga dengan
program sertifikasi, sangat sulit diakses oleh guru-guru di sekolah pedalaman.
Guru di pedalaman sulit dapat kesempatan untuk sekolah lagi. Kalau mengajar di kota masih memungkinkan
bagi guru untuk kuliah sambil mengajar. Tapi kalau di pedalaman jelas tidak
mungkin.
Saya sendiri ada keinginan untuk melanjutkan kuliah. Harapan saya,
dengan kuliah saya dapat meningkatkan kemampuan untuk mengajar. Tapi keinginan
ini hanya sebatas keinginan. Sebab saya tidak tega meninggalkan sekolah untuk
menempuh pendidikan di universitas. Sekolah di kampung saya kurang guru. Kalau saya
tinggalkan, maka pendidikan anak-anak di kampung akan terlantar. Saya tidak
ingin kampung saya seperti kampung-kampung lain yang pendidikan untuk anak-anaknya
mandeg karena guru tidak ada di sekolah. Jadi sampai sekarang saya masih
terpaku pada tugas, tidak sanggup lagi memikirkan bagaimana bisa melanjutkan
sekolah. Padahal tanpa sekolah lagi, saya tidak bisa mendapatkan sertifikasi. Tanpa
sertifikasi, nasib saya sebagai guru tidak akan ada perubahan, baik dalam hal
kesejahteraan maupun dalam hal fasilitas.
Sekolah kayu |
Kebijakan terkait ujian nasional (UN) saya rasakan juga tidak adil bagi
sekolah di pedalaman. Sebenarnya ujian nasional dapat mendorong anak-anak untuk
lebih giat belajar. Tapi kondisi sekolah di Papua yang sarana-prasarananya
serba ketinggalan dan sangat terbatas, membuat para guru terdorong untuk melakukan
kecurangan. Adanya ujian nasional akhirnya tidak membantu ketenangan proses
belajar mengajar. Bayangkan saja, guru dan siswa di sini menjalani proses
belajar mengajar dengan sarana seadanya tetapi dituntut utk memenuhi prasyarat
kelulusan seperti halnya sekolah di kota.
Kalau mau menjalankan ujian nasional, pemerintah perlu terlebih dahulu menstandarisasi
kualitas dan ketersediaan guru serta sarana prasarana sekolah.
Pengorbanan Guru Pedalaman
Di saat banyak sekolah lain bermasalah di dalam pengelolaan dana BOS,
sebagai kepala sekolah sejak awal saya memutuskan untuk mengelola dana BOS
secara transparan. Semua guru tahu dana itu dipakai untuk apa saja. Sebab penggunaan
dana BOS kami putuskan bersama. Saya dan para guru sudah bersepakat, selain
untuk membeli perlengkapan belajar mengajar, dana BOS juga digunakan untuk
pembelian buku pegangan guru. Karena dana terbatas, pembelian buku pegangan
diprioritaskan untuk kelas atas. Buku pegangan untuk para siswa sampai sekarang
belum bisa kami beli karena dananya tidak mencukupi.
Dana BOS lebih banyak dipakai untuk membiayai operasional sekolah,
termasuk untuk membeli perlengkapan sekolah dan membayar gaji guru honorer. Kami
menerima dana BOS setiap triwulan. Biasanya setelah terima dana BOS, saya
belanja kebutuhan sekolah untuk jangka waktu lebih dari tiga bulan. Kalau ada
kekurangan, kami gunakan uang pribadi dulu. Sebab kalau tidak belanja lebih
dari tiga bulan, bisa-bisa bahan untuk mengajar sudah habis sementara dana BOS
berikutnya belum cair. Kegiatan belajar mengajar bisa macet.
Dana BOS tidak mencukupi untuk membiayai operasional sekolah. Transportasi
guru untuk keperluan dinas, misalnya, tidak tercakup dalam dana BOS, sehingga
guru seringkali harus keluar uang sendiri bila ada keperluan dinas. Padahal
transportasi di sini mahal sekali, sementara tidak ada fasilitas transportasi
bagi guru SD.
Cukup banyak pengorbanan guru SD pedalaman terhadap kelangsungan proses
belajar mengajar. Bahkan sebelum ada dana BOS kami para guru rela memotong gaji
kami sendiri demi membayar guru honorer. Karena tenaga guru kurang dan para
guru kewalahan, maka saya bersama para guru bersepakat untuk mempekerjakan guru
honorer. Guru honorer itu kami bayar dengan cara memotong gaji kami sendiri sebagai
kepala sekolah dan guru sebesar Rp 50.000 – 100.000 per bulan selama setahun
dan ditambah dengan sumbangan dari orang tua murid. Setiap orang tua murid kami
mintai sumbangan Rp 50.000 untuk membayar gaji guru honorer. Setelah ada dana
BOS, gaji guru honorer kami ambilkan dari dana BOS.
Kalau Bukan Kami Siapa Lagi
Program sertifikasi menambah alasan bagi guru untuk pergi ke kota.
Sekarang ini banyak guru yang melanjutkan kuliah untuk mengejar titel. Tapi sayangnya banyak guru kemudian tidak mau
lagi ditempatkan di pedalaman. Sementara
guru yang bertugas di pedalaman akhirnya juga lebih banyak pergi ke kota dan meninggalkan
kewajiban mengajarnya.
Murid |
Seperti yang sudah saya sampaikan, tidak mudah hidup sebagai guru di pedalaman.
Itulah mengapa banyak guru lebih suka tinggal di kota. Tapi saya sendiri memilih untuk
bertahan di pedalaman. Ada
alasan kuat yang membuat saya bisa bertahan mengajar di sekolah pedalaman.
Salah satunya adalah keberlangsungan pendidikan anak-anak di kampung. Saya
berpikir, kalau saya yang orang asli pedalaman saja tidak mau berkorban untuk
menjadi guru di pedalaman, lalu siapa lagi yang mau mendidik anak-anak kami. Lagipula
orang tua saya yang asli dari kampung sini butuh perhatian saya. Mereka sudah
tua dan tidak kuat lagi bekerja. Ini pula yang membuat saya tetap bertahan
mengajar di kampung.
Yah begitulah kisah hidup saya sebagai guru SD di pedalaman. Semua serba
terbatas. Saya sendiri bermimpi suatu
saat nanti nasib guru akan berubah seperti yang terjadi di negara-negara lain. Konon
khabarnya, di negara lain guru mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah,
terutama guru SD. Konon katanya juga di
negara lain peran guru SD dianggap sangat penting dalam sistem pendidikan. Peran
penting guru SD bisa diibaratkan pandai besi yang dapat mengubah besi menjadi
parang. Tapi di negara ini saya merasakan, guru – terlebih guru SD –
benar-benar tidak dihargai.”
***
Gerakan PGSD
Setelah menuliskan kisah Antonia Korain, kami terpikir dan tergerak
untuk membangun solidaritas, bukan hanya bagi sekolah dasar di pedalaman,
tetapi juga bagi para guru SD yang memiliki dedikasi tinggi terhadap
keberlangsungan pendidikan dasar di pedalaman. Untuk itu kami mengajak anda terlibat
dalam Gerakan Peduli Guru dan Sekolah Dasar di Pedalaman (PGSD – Pedalaman). Gerakan
ini ditujukan untuk memberikan dukungan dan solidaritas bagi kerja-kerja para
guru SD yang tengah berupaya untuk menjaga keberlangsungan pendidikan dasar di
daerah pedalaman. Solidaritas dan dukungan tersebut dapat diberikan dalam berbagai
bentuk, di antaranya adalah buku untuk guru, buku untuk murid, alat peraga,
sarana transportasi untuk guru, beasiswa untuk anak-anak guru, dan lainnya.
Adanya dukungan dan solidaritas bagi sekolah dasar di pedalaman
diharapkan dapat meringankan beban para guru SD dalam menjaga keberlangsungan
pendidikan dasar di pedalaman. Sementara dukungan dan solidaritas dalam bentuk
beasiswa bagi anak guru SD di pedalaman diharapkan dapat menjadi suatu bentuk
apresiasi terhadap para guru SD di pedalaman yang memiliki dedikasi tinggi
terhadap profesinya dan telah banyak berkorban bagi keberlangsungan pendidikan
dasar di daerah pedalaman, khususnya pedalaman Papua. Bila anda tergerak untuk terlibat dalam
gerakan ini, silakan bergabung bersama kami.
Jakarta, 10 Oktober 2011
Tim Kerja
Gerakan Peduli Guru dan Sekolah
Dasar di Pedalaman (PGSD – Pedalaman)
Sekretariat: Institute for Ecosoc Rights
Jl. Tebet Timur Dalam VI-C/17
Jakarta 12829
Telp/fax. 021-8304153
Email: ecosoc@cbn.net.id
Website: www.ecosocrights.blogspot.com
Nomor Rekening: 701066227 a/n
Perkumpulan Institute for Ecosoc Rights, Bank Permata Cabang Gondangdia,
Menteng, Jakarta
Pusat
Kontak person: Sri Palupi (081319173650)
No comments:
Post a Comment