Kepala
desa teladan itu bernama Raden Syamsuddin, biasa dipanggil pak Elek. Ia tinggal
di Dusun Tambak Kayong, Desa Nangatayap, Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten
Ketapang, Kalimantan Barat. Sejak 1996 – 2004 pak Elek menjabat sebagai
Sekretaris Desa dan tahun 2004 – 2010 ia didaulat warga menjadi kepala desa.
Baru tiga tahun menjabat, ia sudah
menerima penghargaan sebagai kepala desa
teladan di provinsi Kalimantan Barat. Ia sendiri tidak tahu apa kriteria kepala
desa teladan. Namun apapun kriterianya, pak Elek memang layak disebut kepala
desa teladan. Pemikiran dan tindakannya yang membuatnya pantas menyandang gelar
“teladan”.
Pertama, cara pandangnya terhadap kekuasaan/jabatan, khususnya jabatan kepala desa. Pak Elek melihat jabatan kepala desa sebagai jabatan pelayanan/pengabdian untuk kepentingan masyarakat. Karenanya yang pertama-tama ia lihat dari jabatan kepala desa bukanlah besaran insentif atau honornya tetapi peluang untuk melayani dan melakukan peningkatan hidup bagi warganya. Sebagai kepala desa ia memberikan pelayanan pada warganya tak sebatas jam kerja. Warganya bisa menemuinya kapan saja, entah di rumah, di kebun dan bahkan juga di jalan. Sebagai kepala desa ia tak mengenal jam kerja. Ke manapun ia pergi, pena, kertas kop, tinta dan stempel kepala desa selalu ada bersamanya. Dengan itu, kapan saja warga membutuhkan surat atau tanda tangannya atau membutuhkan bantuannya, ia siap melayani mereka.
Di
saat banyak orang di daerahnya berlomba masuk partai, ia menolak untuk terlibat
dalam “politik” partai. Ia menyaksikan, politik partai itu bukan politik untuk
kepentingan masyarakat, melainkan politik untuk cari untung. Mereka masuk
partai untuk dapatkan kuasa dan dengan kuasa itulah mereka cari untung. Meski
bukan anggota partai, pak Elek selalu diundang dalam hajatan partai. Ia pun
diundang perusahaan dalam pertemuan-pertemuan kemitraan, meskipun ia tak terlibat
dalam kemitraan dengan perusahaan. Ia memilih untuk kerja di kebun dan menoreh
karet daripada menghadiri acara partai ataupun acara perusahaan.
Kedua, sikap anti korupsinya. Sikap ini
tak terlepas dari cara pandang pak Elek terhadap kekuasaan/jabatan. Selama
menjabat kepala desa, ia menolak untuk meminta atau menerima duit dari
perusahaan. Baginya, kepala desa adalah pelayan rakyat. Sebagai pelayan rakyat,
meminta/menerima duit dari perusahaan itu sungguh memalukan.
Ia
dan kelompok taninya punya pengalaman jadi korban korupsi/penyelewengan yang terjadi di daerahnya. Dulu pernah kelompok taninya mendapatkan bantuan dari
pemerintah pusat sebesar Rp 100 juta. Namun sesampai di daerah, bantuan dari
pemerintah pusat itu dibelokkan ke kelompok tani lain. Pengalaman ini mendorongnya
untuk membuatkan akte notaris bagi kelompok tani yang dibentuknya. Menurutnya,
dengan adanya akte notaris identitas kelompok tani menjadi semakin jelas dan
mencegah adanya manipulasi. Selain itu, adanya akte notaris memudahkan kelompok
tani berurusan dengan pemerintah, terkait proyek-proyek pertanian dan
kehutanan.
Ketiga, tekad kuatnya menjaga pusaka dan
masa depan. Pusaka dalam bahasa setempat adalah warisan leluhur yang diberikan
secara turun temurun. Ketika menjabat kepala desa di tengah derasnya arus investasi, pak Elek menghadapi tantangan yang tidak mudah. Perusahaan sawit mulai masuk ke desanya. Dua perusahaan (PT
Agro Lestari Mandiri dan PT SISM) masuk tahun 2005. Pada saat itu ada
4 dusun yang masuk area HGU perusahaan. Pada tahun 2011 masuk lagi perusahaan
sawit PT BGA. Semuanya menebar janji kesejahteraan pada warga dengan harapan
warga bersedia menyerahkan tanahnya. Pada saat itu secara pribadi pak Elek menolak
menyerahkan lahan pada perusahaan. Ia juga memberikan arahan pada warga tentang
resiko bila tanah diserahkan pada perusahaan. Namun sebagai kepala desa ia menyerahkan putusan pada
warganya karena warga punya hak atas tanahnya. Akhirnya dari sembilan dusun
yang ada, tinggal satu dusun saja yang warganya menolak menyerahkan lahan pada
perusahaan sawit dan bertekad untuk mempertahankan tanah warisan leluhur. Dusun
itu adalah Dusun Tambak Kayong, di mana pak Elek tinggal. Warga di dusun ini
punya pikiran dan tekad yang sama dengan pak Elek. Kalau tanah diserahkan ke
perusahaan bagaimana warga mau bertani dan berkebun? Dengan menyerahkan lahan
mereka mendapatkan ganti rugi sebesar Rp 4-6 juta per hektar. Mereka juga punya
kesempatan untuk bekerja di perusahaan. Tapi bagaimana kalau sudah umur dan
tanah tak ada lagi, mau hidup darimana?
Belakangan terbukti, keputusan pak Elek dan warga Dusun Tambak Kayong untuk tidak menyerahkan lahan ke perusahaan sangatlah tepat. Warga yang menjual lahannya pada perusahaan kini hidup dalam kesulitan dan penyesalan. Betapa tidak. Mereka yang tergiur dengan janji-janji perusahaan kini mendapati kenyataan bahwa hasil dari sawit sangatlah sedikit. Mereka harus menunggu paling cepat 6 tahun baru menerima hasil dari kebun kemitraan yang dikelola perusahaan. Hasilnya pun sangat tidak sepadan dengan luasan lahan yang diserahkan. Dari kebun kemitraan mereka menerima hasil hanya Rp 300 ribu per bulan dan itupun tidak setiap bulan diterima. Bahkan tidak sedikit warga yang sudah menyerahkan lahan namun sampai sekarang belum juga menerima hasil. Mereka cuma bisa bersandar hidup dari upah sebagai buruh di perkebunan sawit. Padahal warga menyerahkan lahan ke perusahaan sampai puluhan hingga ratusan hektar. Kini dengan harga sawit yang jatuh bangun, harga kebutuhan pokok yang condong melambung, tarif listrik yang tiba-tiba menggunung, warga merasakan kesulitan karena uang hasil jual lahan sudah habis, tak ada lagi lahan untuk bertani/berkebun dan hasil kemitraan yang sangat kecil ( jauh dari yang dijanjikan perusahaan) atau bahkan sama sekali tak mendapatkan kemitraan meski sudah menyerahkan lahan. Di saat yang sama mereka juga menghadapi ancaman PHK. Sudah banyak warga yang terkena PHK dengan alasan umur yang sudah tak sesuai dengan persyaratan.
Apa
yang dikhawatirkan pak Elek benar-benar terjadi. Dengan menyerahkan lahan ke
perusahaan, warga kian terjepit dan menghadapi berbagai kesulitan. Keterjepitan
itu membuat warga nekat melakukan berbagai aksi protes pada pihak perusahaan
dalam berbagai bentuknya. Ada yang demo ke perusahaan, menutup portal pintu
masuk ke perkebunan, merusak fasilitas perusahaan dan juga mencuri buah sawit
karena perusahaan belum menyelesaikan pembayaran ganti rugi atas tanah yang
sudah diserahkan. Akibat berbagai aksi protes tersebut warga dikriminalkan dan
dijebloskan ke penjara. Sedikitnya enam warga yang sudah masuk penjara karena aksi
protes tersebut.
Hal
sebaliknya dialami Pak Elek bersama warga dusun Tambak Kayong yang bertekad mempertahankan
warisan leluhur demi masa depan anak cucu. Mereka bisa hidup lebih tenang
dengan terus berupaya mengelola sendiri agar tetap memberi hasil. Mereka tetap
menoreh karet meskipun harga karet jatuh. Harga karet memang berada pada posisi
terendah sekarang. Meski demikian, pak Elek mengaku bahwa penghasilan yang ia terima
dari karet masih jauh lebih besar dari hasil yang diterima warga dari kebun
kemitraan sawit. Mereka juga tak kesulitan dalam mendapatkan pangan karena
beras masih mereka produksi sendiri. Selain berkebun karet dan bertanam padi,
pak Elek juga memelihara berbagai jenis ikan di kolam yang ia buat di area
kebun karet. Selain itu, ia juga bertanam sayuran, buah-buahan, jengkol, kayu
dan tanaman-tanaman lain yang punya nilai ekonomi. Dengan cara itu, sumber
penghidupan keluarganya tidak bergantung pada satu hasil saja tetapi ditopang
oleh banyak sumber.
Apa
yang dihadapi warga di luar dusun Tambak Kayong yang menyerahkan lahannya pada
perusahaan itu sungguh ironis. Bayangkan, warga menyerahkan lahan seluas
puluhan dan bahkan ratusan hektar dengan harapan mendapatkan kehidupan lebih
baik sesuai dengan yang dijanjikan perusahaan. Namun faktanya, mereka hidup dalam kesulitan. Janji perusahaan tak terbukti dan tak ada sumber penghidupan lain karena lahan sudah diserahkan semua pada perusahaan. Sementara pak Elek yang memiliki
lahan hanya seluas 12,6 hektar bisa hidup tenang dan berkecukupan. Dari semua lahan yang dimilikinya, ada 2,6 hektar yang lokasinya di tengah perkebunan sawit milik perusahaan. Perusahaan terus mendesaknya untuk melepas lahannya, namun pek Elek bersikukuh mempertahankannya.
Keempat, pak Elek memikirkan kelangsungan
hidup generasi mendatang bukan hanya dengan mempertahankan warisan leluhur
tetapi juga menjaga keberlangsungan daya dukung lingkungan. Ketika bertani
dengan sistem ladang bergilir dan membakar mulai dipersoalkan, pak Elek mencari
solusi dengan mencetak sawah. Dengan itu ia menghentikan praktik ladang
bergilir yang dilakukan dengan membakar. Sawah ia buat di tahun 2004 bersama seluruh anggota kelompok tani
yang ia bentuk. Pencetakan sawah dilakukan dengan menggunakan mesin bantuan
pemerintah.
Selain
menghentikan praktik ladang bergilir dengan membakar, pak Elek bersama para
anggota kelompok tani juga terlibat dalam kegiatan konservasi dengan bertanam
tanaman hutan di hutan lindung. Penanaman ini dilakukan atas kerjasama kelompok
tani hutan dengan dinas kehutanan setempat. Dulu ada banyak kelompok tani
hutan, namun kini tinggal satu kelompok saja yang masih bertahan, yaitu
kelompok tani hutan bentukan pak Elek. Sejak 2000 hingga 2015, Pak Elak
mengaku, ia dan kelompoknya sudah
melakukan konservasi hutan lindung seluas 400 hektar. Mereka bukan hanya bertanam
kayu, tetapi juga buah dan karet. Hasil buah dan karetnya boleh diambil petani, sementara kayunya untuk konservasi. Selain
bisa memanfaatkan hasil kayu dan buah yang mereka tanam, saat tanam kayu petani
juga mendapatkan insentif sebesar Rp 1.200.000 per orang per hektar.
Pak
Elek mengaku, mempertahankan daya dukung lingkungan itu adalah keniscayaan. Ia
memberikan contoh tentang apa yang terjadi bila lingkungan dirusak. Soal air, misalnya, yang bagi warga setempat tak bisa dilepaskan dari
keberadaan sungai. Sudah lama sungai-sungai di daerahnya tercemar oleh
limbah tambang emas, limbah perusahaan sawit dan lainnya. Sungai tak lagi bisa digunakan sebagai
sumber air bersih. Warga yang mandi di sungai terkena penyakit gatal. Karenanya
sudah 30 tahun pak Elek tak pernah lagi mandi di sungai. Ia mengandalkan air
sumur. Ia juga menampung air dari mata air yang ada di bukit dan mengalirkannya
lewat selang untuk keperluan kolam ikan dan juga sebagai sumber air bersih. Warga yang kekurangan air bersih bisa memanfaatkan air yang ia
tampung dari mata air. Selain berdampak pada air, pak Elek juga melihat, ekspansi perkebunan sawit oleh perusahaan sawit juga berdampak pada pertanian. Dulu sebelum banyak
sawit, tak ada hama yang menyerang lahan pertanian mereka. Kini sawah mereka
rentan diserang hama belalang dan tikus. Bahkan di tahun 2016 mereka sama
sekali tidak panen karena padi habis diserang hama tikus.
Memperhatikan
nasib dan kesulitan banyak warga di desanya, pak Elek bertekad tahun 2017 ini
hendak mencalonkan diri jadi kepala desa. Tujuannya satu, yaitu mengoptimalkan
dana desa untuk memperbaiki kehidupan warganya dengan mengembangkan
sumber-sumber penghidupan bagi warga, termasuk nelayan. (Tim peneliti Institute for Ecosoc Rights)
Kolam ikan di tengah area kebun karet milik pak Elek |
No comments:
Post a Comment