KESEDIHAN, ketakutan, kegelisahan, kemarahan dan kepasrahan bercampur aduk dalam diri sebagian besar korban gempa Jogyakarta dan Jawa Tengah pertengahan Mei 2006. Perasaan ini jugalah yang membebani diri Fitri, seorang PRT migran di Singapura yang keluarganya menjadi korban bencana gempa. Dalam dirinya ia selalu bertanya, “Bagaimana keadaan orangtuaku? Apakah mereka selamat? Di manakah mereka akan tidur? Bagaimana mereka menghadapi trauma ini?” Pertanyaan-pertanyaan ini selalu menghantui hari-harinya selama ia bekerja sebagai PRT di Singapura, nun jauh dari kampung halamannya yang porak poranda diguncang petaka. Ia jadi sulit berkonsentrasi sewaktu bekerja.
Apakah Fitri akhirnya bisa bertemu dengan orangtuanya di Jogyakarta? Masih hidupkah mereka? Bagaimana nasibnya?IA MENCOBA bertanya kepada majikannya apakah ia diperbolehkan untuk pulang ke Jogya walaupun hanya beberapa hari saja. Namun, majikan tidak mengijinkan permintaannya dengan alasan ia baru beberapa bulan bekerja. Majikan bilang bahwa setelah dua tahun ia baru bisa mengunjungi keluarganya. Dengan rasa kecewa dan pasrah, ia hanya bisa memantau kondisi keluarganya melalui telpon, pesan singkat dan lewat temannya seorang wartawan yang kebetulan ke Jogya untuk meliput korban gempa Jogya dan Jawa Tengah.
Ia meminta teman wartawannya itu untuk meluangkan waktu menengok keluarganya di daerah Sleman, Jogyakarta bagian utara. Ia kenal dengan wartawan ini ketika ia ada di shelter, sebuah tempat penampungan sementara bagi para PRT Singapura yang mendapat masalah dengan para majikan. Di sinilah ia bertemu dan menjadi salah satu teman terdekatnya. Dari wartawan inilah, ia juga mendapat pengetahuan untuk mengembangkan talenta pada dirinya yakni kemampuan untuk memotret. Dan hasil dari jepretannya sudah di publikasikan dalam sebuah pameran di Singapura yang disponsori oleh berbagai pihak yang diusahakan oleh teman wartawannya tersebut.
Hati Fitri mulai sedikit tenang ketika temannya memberitahukan bahwa keadaan keluarganya baik-baik saja, walaupun keluarganya masih trauma terhadap gempa sehingga mereka tidak berani tidur di dalam kamar tidur melainkan di ruang tamu dan di halaman depan rumah. Keluarganya memang masih belum bisa bangkit dari trauma karena peristiwa itu sangat menegangkan dan menakutkan bagi mereka. Selain trauma, sebagian kecil dari rumah keluarga Fitri juga terkena gempa. Bagian yang terkena gempa adalah bagian dapur dan beberapa pondasi sudah retak-retak. Namun untunglah kondisi bangunan tersebut masih kokoh dan layak dipakai.
FITRI memulai bekerja di Singapura tahun 2003. Sampai sekarang ia belum dapat pulang ke rumah karena harus menyelesaikan kontrak kerjanya. Ia berasal dari keluarga petani yang cukup berhasil karena ayahnya selain bertanam padi, ia juga bertanam tembakau. Namun sayang, usaha tani keluarga Fitri selama hampir lima sejak 2002 tidak membuahkan hasil.
Terdorong rasa kasihan dan ingin membantu beban kedua orangtuanya, Fitri dan kakaknya mencoba merantau ke negeri orang dengan bekerja sebagai PRT. Persyaratan demi persyaratan dilaluinya. Akhirnya sampailah pada tes kesehatan. Pada tes inilah kakak Fitri dinyatakan tidak lulus dan hanya Fitrilah yang dapat bekerja ke Singapura. Maka disertai doa dan restu kedua orangtuanya dan harapan akan sukses bekerja serta mendapatkan uang banyak, Fitri berangkat ke Singapura tahun 2004.
Ada banyak sekali Fitri-Fitri lain yang ingin pulang, rindu akan kampung halamannya. Apalagi jika keluarga di kampung halaman terkena bencana dan musibah. Namun apa daya, banyak hal yang menyebabkan mereka tidak dapat segera pulang. Salah satunya yang dialami oleh Fitri ini.***
Categories: [Buruh Migran_] [Perempuan_]
No comments:
Post a Comment