30 August 2006

Kami Makan Makanan Beracun Setiap Tahun

Yan Koli Bau

PAGI itu sekitar pukul tujuh waktu setempat saya tiba di rumah satu keluarga bersahaja setelah tiga jam berjalan darat dari Atambua menuju Kupang, Nusa Tenggara Timur. Jaraknya sekitar 100 km dari Atambua ke arah Kupang. Perjalanan jauh pada subuh yang dingin ini sengaja saya lakukan agar sedini mungkin tiba di rumah keluarga Pak Simo. Ketika tiba di tujuan, rumah dan sekitarnya itu lengang hanya dijaga oleh seekor anjing peliharaan yang agak galak meskipun sangat kurus.

Tak lama berselang seorang perempuan setengah baya datang dari rumah sebelah. Ia mengatakan Pak Simo menginap di kebun sekaligus menjaga hasil meramunya. Sedangkan Ibu Simo sudah menyusul ke kebun sejak ayam berkokok dua kali. Tetangga itu mengatakan, anak mereka yang berumur setahun dibawa ke kebun sedangkan yang berumur tiga tahun dan lima tahun dititipkan pada tetangga sebelah.

Sesaat saya tersentak, bagaimana anak-anak ini sarapan pagi dan apa yang dimakan?

Tanpa saya tanya tetangga mengatakan bahwa sarapan pagi diatur oleh tetangga. Anak tetangga dan anak-anak Simo makan bersama apa yang ada. Pembicaraan tetangga Pak Simo ini terlontar seolah tetangga itu menangkap apa yang saya pikirkan.

Berhubung kebun Pak Simo tidak jauh, sekitar lima kilometer dari rumahnya, saya ditemani seorang anak tetangga menyusul Pak Simo ke kebunnya. Perjalanan melewati dua sungai kecil, yang satunya masih dialiri air dan satunya lagi sudah mengering. Kami membutuhkan waktu sekitar 60 menit untuk tiba di tempat tujuan sebab sepanjang jalan banyak semak duri dan jalan setapak itu sangat sempit. Setiba di tempat tujuan saya sangat terkejut sebab apa yang dimaksud kebun sunguh di luar bayangan saya. Semula saya membayangkan kebun adalah sebidang tanah yang dipagari dengan baik, ditanami aneka tanaman seperti pisang, ketela pohon, papaya, ubi jalar, dan sebagainya. Tetapi ternyata gambaran itu tidak pernah ada.

Kebun itu tak lain lahan bekas Pak Simo pernah bercocok tanam dua tahun silam. Ditumbuhi rerumputan yang sudah mengering dan semak belukar. Ada yang berduri. Tampak beberapa pohon ubi kayu yang sudah pernah diambil umbinya. Daunnya sudah menguning. Ada beberapa sudut bidang tanah itu ditumbuhi ubi jalar yang tidak terawat dan tidak ada umbinya. Beberapa pohon nenas yang baru berbuah.

Pak Simo sendiri menambatkan seekor sapinya di antara semak belukar. Menggali tanah sedalam 40-50 cm, mendirikan empat tiang dari batang pohon duri dan menutupi atapnya dengan dedaunan. Semalaman ia tidur di atas dua lembar tikar tua yang sudah berlubang. Ditemani sebilah tombak, parang dan sebuah lampu sènter yang redup, katong sirih pinang dan tembakau kampung yang diiris kasar. Terasa sangat pahit.

Pak Simo harus melakukan ini sebab seekor sapi yang dipelihara bukanlah miliknya tetapi milik juragan sapi setempat yang gagal dipasarkan sebab masih kurus dan tidak memenuhi persyaratan pasar. Tugas Pak Simo menggemukkan sapi ini selama tiga sampai empat bulan hingga memenuhi persyaratan pasar. Untuk itu ia mendapat imbalan sebanyak Rp75.000-Rp100.000.

Menurut Pak Simo upah ini sangat rendah tetapi tidak mengapa sebab dapat dipakai untuk membeli jagung atau beras untuk keluarganya. Kata Pak Simo majikannya mengatakan kepadanya, “Daripada memberi makan sapi dengan beras, lebih baik beras diberikan kepada pak Simo dalam bentuk uang. Dan pak Simo memberi rumput kepada sapi.”
Ibu Simo menyusul suaminya ke kebun. Ia kemudian meletakkan semua makanan dan air minum yang diambil dari bak air umum di depan rumah mereka. Kemudian ia langsung mencari bahan makanan (meramu).

Beginilah ceritera mereka meramu: Ibu Simo menggantungkan sebuah keranjang anyaman dari daun pandan di ketiaknya. Lalu memetik buah polong “arbila hutan”, sejenis kacang yang tumbuh liar di hutan dan beracun. Ia memasukkan arbila yang dipetiknya itu ke dalam keranjang. Buah ini mengandung racun cukup kuat. Biasanya dipergunakan untuk meracuni udang dan ikan di sungai agar lebih mudah ditangkap. Meskipun tidak mematikan tetapi ikan dan udang akan lemas dan mengapung sehingga lebih mudah ditangkap.

Tampaknya Ibu Simo sudah sangat mahir. Buah arbila hutan yang dipilih adalah yang sudah tua, menguning atau bahkan sudah kering. Apabila arbila melilit belukar cukup tinggi sehingga tidak dapat diraih Ibu Simo, Pak Simo membantu meraihnya dengan batang kayu bercabang, merundukkannya lalu menginjak belukar itu atau menggilasnya dengan batang pohon besar agar Ibu Simo dapat memetik.

Kegiatan ini berlangsung hampir selama tiga jam. Sekitar jam 11.10 waktu Indonesia tengah saya pamit dan meninggalkan mereka. Sepanjang waktu menemani istri-suami itu, mereka berceritera bahwa buah polong arbila hutan akan dipilahkan menjadi buah kering dan buah basah. Setelah itu akan dikupas.

Langkah berikutnya adalah merebus buah yang basah sendiri pada satu periuk dan buah kering pada satu periuk lain. Menurut mereka periuk tanah tradisional lebih baik karena lebih cepat menyerap racun yang terkandung dalam buah arbila hutan. Apabila air sudah mendidih, air yang sudah mendidih dibuang dan digantikan dengan air baru. Kegiatan ini diulang-ulang sampai tujuh kali atau bahkan lebih. Untuk buah yang basah bisa dilakukan tujuh kali saja sebab racunnya relatif lebih cepat terkuras. Setelah tujuh kali atau lebih direbus, mereka sudah bisa mengkonsumsinya bersama anak-anak. Menurut pengakuan mereka kegiatan ini dilakukan setiap tahun pada musim kelaparan antara bulan Juli sampai Februari saat jagung berumur pendek dipanen.

Ibu Simo akan pulang ke rumah membawa arbila yang sudah selesai diolah untuk anak-anaknya dan keluarganya makan siang dan makan malam. Arbila yang sudah direbus tujuh kali itu hanya dapat bertahan hingga malam hari, keesokan harinya harus dipanasi lagi sebab kalau tidak dipanasi akan berlendir, bau basi bahkan berjamur.

Setiba di rumah Pak Simo, saya mendapati anak-anaknya bermain di bawah pohon bersama anak-anak tetangga. Saat ditanya apakah mereka sudah makan mereka dengan spontan menjawab sudah makan sedikit jagung rebus di rumah tetangga dan masih menanti Mama pulang dari kebun bersama Ayah. Ketika ditanya apakah mereka tidak lapar, anak-anak tidak berdosa ini menjawab dengan malu-malu bahwa mereka merasa lapar tetapi sudah terbiasa. Mereka baru akan makan jika ayah dan ibunya sudah kembali dari kebun.

Pikiran saya berkelana ke mana-mana, ke kebun yang jadi gudang dan garis depan pertahanan pangan Pak Simo sekeluarga. Pikiran saya melayang ke arbila hutan yang beracun, anak-anak yang telanjang tanpa alas kaki yang dititipkan pada tetangga sejak subuh dan belum sarapan pagi sampai saat terik siang hari.

Tak terasa saya sudah menghabiskan perjalanan darat selama empat jam dan tiba kembali di kilometer 15 di depan sebuah rumah makan tempat orang kota Kupang menghabiskan uang dan membuang sisa makanan dan lauk pauk ke kolam ikan. Pikiran saja juga bergolak dan menggugat bagaimana mungkin sebuah bangsa yang sudah 60 tahun merdeka membiarkan warganya mengonsumsi makan beracun?

Tidak adakah orang, lembaga entah pemerintah atau swasta yang memiliki kerelaan hati atau mungkin juga kewajiban menyelamatkan keluarga Pak Simo dan keluarga lainnya yang mengonsumsi makanan beracun setiap tahun pada rentang waktu yang sama?

Kalau toh ada orang yang rela mengambil tugas para malaikat untuk menyelamatkan keluarga Pak Simo dan keluarga lainnya, mungkin juga tugas itu tidak mudah sebab pemerintah belum tentu memiliki data lengkap dan akurat mengenai siapa saja yang menyerupai keluarga Pak Simo, berapa jumlahnya, ada di mana saja, dan mengapa seperti itu, bagaimana menanganinya?

Tetapi inilah kenyataan, dan ada lagunya, “… Itulah Indonesia..” Mungkin keluarga Pak Simo akan melanjutkan lagu ini dengan penggalan syair “..aku berjanji padamu.. akan kembali ke kebun lagi dan mengulangi lagi tahun depan pada waktu yang sama..”**

Salam dan Selamat (me)merdeka(kan) Bangsa Indonesia!

2 comments:

Unknown said...

Sungguh sebuah kisah yang sangt menggugah dan mengharukan. Begitu banyak dari kita yang sering mengeluh dengan hal2 yang ngga esensial, tapi jika orang melihat apa yang dialami Pak Simo, tentunya mereka akan menjadi malu, termasuk saya sendiri.
Sebenarnya kita2 yang masih punya nurani merupakan aset bangsa untuk melakukan perubahan untuk masa depan yang lebih baik untuk semua anak bangsa, termasuk Pak Simo dan keluarganya. Mari kita mulai dari diri kita. dari hal yang kecil dan dari sekarang.

iwan

P3i said...

Halo Pak Yan Kolibau
APakabar? Masih ingat saya? Saya Olin Monteiro, dulu tinggal di Kupang. Saya kangen juga nih dg Kupang. Bapak di Ecosoc Right? Kalau di jakarta telpon saya ya pak. Email saya di olin.monteiro@gmail.com. Makasih pak...Sukses ya

Post a Comment