29 October 2006

Nama Perempuan Itu “Bernama”

Yan Koli Bau

MENGHUNI sebuah gubuk reyot berdinding gedhèg bambu dengan celah selebar tiga jari di sana-sini yang sudah miring ke barat mengikuti tiupan angin timur yang kencang, beratap ilalang dan sudah bocor-bocor. Ini bukan impian siapa pun. Namun itulah nasib seorang perempuan empat puluhan yang tak dikenal orang banyak. Tak kurang para pejabat pemerintah. Padahal rumahnya hanya sepelempar batu jauhnya dari jalan antarnegara Republik Indonesia dan Republica Democratica Timor Leste. Kira-kira 130 kilometer dari Kupang, ibukota Nusa Tenggara Timur yang dinamakan “Kota Kasih”.
Perempuan itu bukan saja tak dikenal tetapi juga kehidupannya tak diketahui banyak orang. Mungkin juga tak ingin diketahui. Ia tinggal bersama seorang anak laki-lakinya yang dukuk di kelas tiga sekolah dasar. Seorang lagi kakaknya yang masih sekolah, dan .. seorang anak berusia dua tahun dua bulan yang belum bisa duduk, bahkan tak dapat bergerak, kecuali minum dan menangis sejak bangun hingga tertidur kapan saja. Dia kelelahan ketika mencapai umur satu setengah tahun. Setelah menderita sakit anak bungsu ini buta hingga sekarang! Wajahnya ditumbuhi rambut antara antara dua sampai lima sentimeter. Kulit keriput seperti kain kumal. Kaki dan tangan sulit digerakkan. Perut buncit. Para ahli kesehatan dan pejabat publik menyebutnya menderita “marasmus kwashiorkhor”.

Ibu ini menuturkan bahwa ia mempunyai lima orang anak. Dua di antaranya bekerja di kota SoE sebagai “anak kandang” di peternakan seorang pejabat agama. Seorang lagi bekerja serabutan di kota yang sama. Penghasilan kedua anak ini tak menentu dan setiap mendapat uang. Salah satu atau keduanya kembali menjumpai ibu mereka dan membawa uang seadanya untuk membeli bahan makanan berupa beras atau jagung beberapa kilogram untuk makanan ibu dan adik-adiknya. Jika masih tersisa, uang itu dipergunakan untuk mengupah orang agar membersihkan ladang yang mereka miliki.

Ketika kami menemui satu dari dua anaknya di SoE, anak itu membenarkan semua yang dikatakan ibunya. Saya kagum. Di persimpangan antara kematian dan kehidupan ternyata masih ada orang yang berkata jujur. Dan dia bukan seorang ahli agama, bukan pengkhotbah, bukan pejabat publik, bukan pula ilmuwan, tetapi seorang perempuan desa yang sangat miskin tak berpendidikan tinggi dan berada di ujung kehidupan karena derita. Tiga kali saya mengunjungi ibu ini.

Dalam kunjungan saya, ibu ini menuturkan bahwa dia pernah ditinggal dua kali oleh suaminya. Pertama ketika hamil anak ketiga, kemudian kembali dan kedua ketika sedang hamil anaknya yang menderita marasmus itu. Suaminya tak kembali sampai sekarang. Sang suani pergi dan menikahi perempuan lain, lalu tinggal bertetangga, tak jauh dari anak-anak dan isteri pertamanya, kira-kira 500 m jauhnya. Ketika belum berpisah, mereka mempunyai dua bidang kebun ladang yang digarap bergantian setiap dua tahun. Mereka bukan berladang berpindah, tetapi berladang menetap bergantian lokasi. Dan ladang ini memberi mereka cukup bahan makanan. Apabila hasil ladang tak mencukupi. Si ibu mencari tambahan dengan menjual hasil kebun berupa pisang, ubi-ubian, serta kayu api ke kota.

Suatu ketika, tutur ibu itu, sang suami berubah sikap dan bertindak kasar sampai pada akhirnya tidak pulang ke rumah di malam hari. Kejadian serupa diulangi sang suami berkali-kali hingga akhirnya minta bercerai dengan isteri pertama. Sang isteri tak setuju, tetapi tak dapat berbuat banyak sebab dalam tradisi di kampung itu, lelaki menentukan bercerai atau tidak sebab lelaki membayar mas kawin. Demikianlah perceraian itu terjadi tanpa proses hukum dan tanpa persetujuan lembaga agama yang sebenarnya melarang perceraian. Anak-anak menjadi terlantar. Sang ibu harus berperan sebagai ibu sekaligus ayah. Dalam kondisi demikian tak ada anak yang mampu meneruskan studi ke SLTP sehingga mereka menerima tawaran seorang pemimpin agama untuk mengajak anak sulung dan anak kedua ke kota.


Kejutan besar terjadi, ketika suatu saat (mantan) suami mengajak rujuk kembali dengan janji akan meninggalkan isteri kedua yang sudah beranak satu dan kembali kepada isteri pertama dan anak-anaknya. Sang isteri rupanya masih sangat percaya dan berharap suaminya kembali sehingga menerima kembali (mantan) suaminya. Padahal saat itu isteri kedua sedang hamil. Suasana keluarga biasa-biasa saja. Isteri pertama yang tulus itu kemudian dikejutkan (dan disakiti lagi?) ketika sang suami menunggui (mantan) isteri keduanya melahirkan anak kedua. Setelah persalinan itu sang suami jarang pulang kembali ke rumah isteri pertamanya sampai pada akhirnya meninggalkan isterinya sah untuk kedua kali tanpa proses hukum atau prosedur keagamaan. Padahal saat itu isteri pertama sedang mengandung lagi, dan kemudian terlahir anak bungsu mereka dengan nama Y yang menderita marasmus kwashiorkhor.

Ibu anak Y yang menderita marasmus koashiokor dan buta ini juga menuturkan bah¬wa letak rumah saudara sekandungnya tak jauh dari rumahnya sendiri dan jum¬lahnya empat orang. Akan tetapi mereka enggan menolong si ibu yang malang ini karena tidak senang dengan kelakuan (mantan) suaminya. Setelah ditinggalkan untuk perta¬ma kalinya, saudara-saudara ibu itu menghendaki agar mereka bercerai secara sah. Akan tetapi kesediaan Ibu itu menerima kembali mantan suaminya mebuat saudara ibu itu marah dan tidak mau menolongnya.

Kondisi Ibu ini sangat memprihatinkan, bahkan untuk mengambil jatah bantuan di puskesmas yang berjarak sekitar tujuh kilometer saja ibu ini tidak mempunyai uang untuk membiayai angkutan perdesaan. Sementara anaknya yang sakit sudah keha¬bisan makanan (susu) dan menangis tiada henti.

Berbagai pertanyaan silih berganti mampir dalam benak saya, misalnya: bagaimana mungkin seorang lelaki yang dilahirkan oleh perempuan dan sudah beristeri dengan sejumlah anak tega meninggalkan isteri dan anaknya, apalagi salah satunya menderita marasmus koashiokhor? Bagaimana mungkin sang (mantan) suami bisa kawin dengan perempuan lain dan tinggal berdekatan dengan (mantan) isteri dan anak-anaknya yang dalam penderitaan luar biasa? Mengapa ketika isterinya hamil, sang lelaki mencari isteri lagi dan kembali kepada isteri sahnya ketika isteri kedua hamil dan kembali meninggalkan isteri syah ketika sang isteri hamil (anak bungsu yang menderita marasmus)?

Semua pertanyaan in tidak mudah dijawab. Mungkin karena dorongan seksual sang suami melebihi rasa tanggungjawab kebapakannya. Mungkin karena tekanan ekonomi. Mungkin karena tetangga sedang tidur lelap. Para pemimpin agama sedang memimpin ibadah syukuran. Para pejabat publik sedang kunjungan keluar negeri dan studi banding atau rapat komisi, rapat koordinasi, atau .. mungkin karena .., karena ..

Pada akhirnya saya kembali menjumpai beberapa orang pejabat untuk menanyai lebih jauh mengenai kasus ini. Jawabannya hampir seragam, “karena kemiskinan, karena adat-istiadat yang mendudukkan perempuan pada posisi subordinat terhadap lelaki, dan sebagainya.

Salah satu pertanyaan tersisa adalah mengapa beberapa orang pejabat tidak mengetahui kondisi ini, dan mengapa mereka yang mengakui mengetahui kondisi ini tapi tak mengetahui nama si Ibu dan anak yang menderita itu? Barangkali nama tidak sangat penting untuk mereka, tetapi bagaimana orang dapat mengungkapkan rasa empatinya kepada seseorang kalau mengenal namanya saja tidak?

Dan .. ketika berpamitan dengan seorang pejabat, sekali lagi saya menanyakan nama suami, isteri dan anak yang menderita busung lapar. Tetapi pejabat itu membelokkan arah perbincangan kami dengan cara sangat bersemangat dan meyakinkan saya bahwa mereka sering memberi bantuan, mengunjungi ibu dan anak itu, tetapi .. lupa namanya.
Saya dengan spontan membantu bapak itu dan mengatakan bahwa nama ibu itu “BERNAMA” dan anaknya bernama “Y” sambil berharap dalam hati “semoga Dia yang telah memulai pekerjaan baik di antara kita akan menyelesaikannya ..”

Saya berpamitan pulang untuk menulis surat kepada Anda dalam blog ini.

Salam.**

No comments:

Post a Comment