02 October 2006

Suka Duka Penelitian Kepustakaan

Savitri Wisnuwardhani

HI guys, ternyata penelitian kepustakaan itu tidak gampang lho! Apalagi dengan keterbatasan kita memaknai data. Aku sampai kesal karena mendapatkan data yang kita inginkan ternyata banyak rintangannya. Menurut temanku, ada perbedaan yang mencolok antara perpustakaan atau litbang yang ada di Indonesia (dua tempat sebagai preferensiku) dengan yang di negeri-negeri maju. Mereka lebih profesional dan lengkap.

Bayangkan, di litbang Kompas yang selengkap itu, data yang ada tidak semuanya dapat diakses. Contohnya, aku mau mencari data mengenai busung lapar. Terus aku coba cari indeksnya di bank data digital di lantai tiga gedung Kompas di Palmerah itu. Bayangkan kalau seandainya ada web khususnya dan petunjuk "tujuh langkah penelitian pustaka"-nya seperti yang berasal dari perguruan tinggi kesohor itu. Tapi apa yang terjadi?

Pertama, kadang komputernya suka nge-hèng alias ga bisa dibuka untuk beberapa menit. Berapa cost waktu yang kukeluarkan untuk menunggu data itu keluar. Kalau waktuku bisa dibayar dengan uang, bisa bayangkan berapa kerugian yang telah kukeluarkan! Kedua, belum lagi tidak semua data dapat dibuka dan di-copy (padahal aku sudah siap dengan duit lho) karena menurut salah satu petugas yang aku tanyai ngejawab: “Programnya lagi rusak dan kami belum bisa menjanjikan sampai kapan data itu ada.” Menyebalkan bukan? Cost waktu dan transport yang aku keluarkan tidak sebanding dengan data yang aku dapatkan.. Inilah Indonesiaku.

Keesokan harinya, aku pergi ke Perpustakaan Nasional (Mudah-mudah link-nya berfungsi. Mohon maaf, kalau ga bisa). Katanya, di sana tersedia dokumen negara dari tahun 1900. Gila gak? Dengan rasa ingin tahu yang sangat tinggi dan ingin mendapatkan data yang lebih lengkap daripada pencarianku sebelumnya tentang sejarah busung lapar, maka pergilah aku ke Salemba. Aku naik ke lantai delapan karena di situlah dokumen itu disimpan. Udara menuju ke lantai atas itu terasa pengap. Barangkali debu-debu awal abad 20-an masih mengendap di sana.

Tapi rasa pengap itu agak terobati, karena pertama kali aku menjejakkan kakiku di ruang itu, aku terperangah dan terpana. Kalau aku bisa berteriak, maka kemungkinan besar bunyinya: “WOW aku berada di sebuah kenangan sejarah!” Ini pengalaman yang menarik bagiku. Bayangkan di sana ada berpuluh-puluh mungkin sampai ratusan (aku ga ngitung) kliping berita koran dari berbagai judul dan memang benar masih ada yang berasal dari tahun 1900. Lembar kliping koran itu berwarna coklat dengan sampul warna biru untuk melindungi lembaran-lembaran gaèk itu.

Lembar demi lembar kucari dan kubuka-buka untuk mendapatkan data yang ingin kudapatkan. Pengalaman membuka dan membaca isi berita kliping koran ini sangat menarik. Sepertinya aku memasuki sebuah ruang masa lalu dengan mesin waktu. Untuk membuka setiap lembar kliping koran perlu hati-hati karena kualitas kertasnya sudah rapuh dan banyak dimakan rayap serta berdebu.. Maklum dokumen tuwir. Pengalamanku ini membenarkan apa kata seorang ahli perpustakaan sendiri. Sebenarnya para pengunjung tak diingatkan sama sekali untuk berbuat dan bersikap bagaimana. Misalnya bahwa harus hati-hati membuka, supaya dokumen tak rusak dan supaya si pembuka dokumen tidak bersin-bersin. Semuanya masih “tradisional”. Berarti dokumen-dokumen rapuh itu terancam punah!

Namun di balik kekagumanku pada isi Perpustakaan Nasional, ada juga kejengkelan. Ternyata masalahku di litbang Kompas terulang lagi. Bahkan kali ini lebih parah. Mereka tidak punya indeks berita lengkap! Yang ada baru setelah tahun 1980 padahal data yang ingin kucari antara 1967 sampai 1978. Itulah dukaku..

Kapan ya kita bisa melihat dan mengelola data sebagai suatu harta yang tidak bernilai harganya? Sekarang di internet pun orang sudah bisa mengunduh buku-buku tua seperti yang ditawarkan oleh Google Search Book. Coba bayangkan jika dokumen-dokume tua itu sudah keburu rusak sebelum bisa dibikin digital. Mungkinkah kita berharap dari kalangan IT Indonesia ada yang mau bermurah hati dan berlapang kocek seperti Google?

Hallo Google Indonesia how are u doing? Why don’t you include in your Search Book also those in Indonesian language? Yang bisa ditemui sejauh ini hanya dalam bentuk snippet atau limited views. Atau mungkin aku salah mengerti karena google.co.id itu sekedar terjemahan doang?**

2 comments:

Anonymous said...

Haha--baru tahu bahwa kita itu masih budaya lisan. Dan baru tahu mengapa dulu saya ngamuk-ngamuk pada kalian yg tidak teliti, rapi di kantorku...dgn sekretaris2 tidak-tetap itu...dgn pengumpulan kembali handouts kpd peserta yg membutuhkan 8-10 jam... Sebenarnya mBak Vitri , Anda mengadakan oto-kritik .......dan kritik budaya......
Dari lain pihak apa gunanya ilmu2 dan disiplin "will-power" kalau yg dominan adalah "unconscious power" dari kecenderungan2, rasa lekat tak teratur, dari substansi "Matras"? Penjajahan, imperialisme sd detik ini di Irak dll. Bandingkan dgn "Surodiro jayaningrat lebur dening pangastuti" yg dari darah daging Anda sendiri.
I comment.You decide!

Merdeka, RA

Anonymous said...

gimana yah..? sudah tau kan birokrasi di negara kita agak kacau atau
memang kacau. Bayangin aja, kata2 busung lapar kan kata yg tidak
begitu rumit. seharusnya ada info atau bahasan khusus ttg hal ini,
tapi?? walaupun kalau kita cari di ensiklopedia, cuma artian
kata 'busung lapar' yg singkat.

sama sih spt pengalaman ku, aku coba nyari bahan untuk skripsi ttg
Rm. Mangun lewat source buku. tapi gak ada. cuma ada 1 buku yg
mengulas, tu juga yg ngarang bukunya adalah seorang ulama. hebat sih.

apalagi perpustakaan Nasional..yg katanya Perpus Nasional. tapi cari
katalog buku aja rumitnya minta ampun. payah deh....

Post a Comment