SEJAUH yang saya tangkap dari tulisan Kompas (23/12/2006), kedudukan perempuan dalam rumahtangga terkesan jadi sangat lemah terhadap suami dan bahkan keluarga suami, terlebih jika keluarga suami sudah memberikan mas kawin dalam ternak atau uang dalam jumlah besar.
Pernyataan ini benar, akan tetapi tidak sepenuhnya demikian. Sebab di Timor, Nusa Tenggara Timur, setidaknya di kalangan etnik Tetun —yang merupakan etnik terbesar di seluruh pulau— dan etnik Bunak ada tiga jenis perkawinan, di luar kawin lari.
Pertama, lelaki dan perempuan menikah, tetapi masing-masing tetap menjadi warga suku rumahnya (clan), untuk itu lelaki memberikan mas kawin menurut strata sosial dalam masyarakat dan sudah baku. Pada jenis perkawinan ini anak-anak umumnya mengikuti clan ibunya. Kedua, lelaki dan perempuan menikah tetapi lelaki tidak memberi mas kawin kepada pihak perempuan. Maka lelaki itu menjadi warga suku rumah perempuan berikut semua anak dan harta bendanya. Ketiga, lelaki membayar mas kawin sangat banyak dan perempuan beserta anak dan harta bendanya menjadi ’milik’ suku rumah lelaki.
Dari pengalaman tampaknya pada jenis perkawinan yang terakhir justru perempuan sangat dihormati. Mereka diterima warga suku rumah lelaki sebagai ’penguasa’ suku rumah (clan). Sebutan yang diberikan kepada perempuan yang berpindah ke suku rumah lelaki adalah ”uma nain” dalam bahasa Tetun yang artinya tuan rumah, pemilik, penguasa, dan dalam bahasa Bunak disebut ”deu gomo” yang artinya ”pemilik suku rumah, peguasa suku rumah”. Pertengkaran, bahkan perkelahian tentu saja dapat terjadi dan dalam jenis perkawinan yang mana saja, tetapi tidak pernah ada tradisi dalam kedua etnik itu untuk memperlakukan perempuan sesuka hati lelaki.
Persoalan bagi saya adalah, mungkinkah para peneliti atau yang terlibat dalam diskusi di mana saja termasuk di Kompas merasa kedudukan perempuan sangat rendah dalam rumah tangga karena penggunaan beberapa istilah, seperti ”feto folin” untuk etnik Tetun yang artinya "harga perempuan” atau ”pana gitin” dalam bahasa Bunak yang berarti ’harga perempuan’??
Sepanjang masih diingat oleh para tetua adat ketika saya mewawancarai lebih dari 200 orang dalam kurun waktu dua tahun, awal mula penentuan mas kawin sangatlah menarik. Dikisahkan dalam syair adat bahwa seorang perjaka yang menginginkan seorang gadis akan datang pada saat pesta adat (panen jagung, padi, tanaman komoditi, dsb.), berkalung taring babi hutan, mengikat tanduk rusa atau kerbau pada destar (ikat kepala lelaki) di kepala. Atau berkalung kulit penyu yang hidup di laut. Sementara itu perempuan akan mengenakan kain tenun yang indah terbuat dari benang yang dipintal sendiri dari kapas dan diwarna dengan ramuan lokal. Tata rias ini melambangkan bahwa lelaki telah mampu berburu, melaut, berkebun, dan perempuan sudah mampu memintal benang dan menenun sebagai tanda kedewasaan fisik dan kematangan sosial.
Selanjutnya ketika keluarga lelaki ingin anaknya menikahi anak gadis, mereka harus membawa serta bukti kedewasaan lelaki itu antara lain berupa tanduk kerbau liar, rusa, kulit penyu atau taring babui hutan, dan keluarga perempuan akan menyambutnya atau mengalungkan dengan kain hasil tenunan terindah anak gadisnya. Inilah mas kawin dahulu kala, entah sampai abad ke berapa.
Kemudian, ketika bangsa Portugis datang memperkenalkan barang asing termasuk mata uang, mas kawin mulai digantikan dengan uang ’escudo’, muti (sejenis kalung), emas, dan perak. Sekarang mas kawin sudah dalam bentuk rupiah. Pihak perempuan membalasnya bukan dengan kain tenun tapi stelan jas dan dasi, atau kemeja batik, sutera India, dsb. Bukan tidak mungkin suatu saat mas kawin diganti dengan dollar AS atau rumah mewah gaya Perancis, sertifikat deposito, dan perempuan entah akan membalasnya dengan apa —mungkin sertifikat tanah atau ijazah menjahit, memasak, ijazah sekolah mode, atau bentuk-bentuk canggih lainnya.**
No comments:
Post a Comment