26 May 2007

Hot Money

Reslian Pardede

Fenomena hot money yang saat ini melanda pasar modal Indonesia menimbulkan banyak perdebatan mengenai kemungkinan terjadinya krisis ekonomi jilid dua. Apakah ini suatu kekhawatiran yang berlebihan?

Hot money adalah dana dari luar negeri dalam jangka waktu yang sangat pendek yang masuk ke dalam pasar finansial (pasar modal, pasar uang atau pasar devisa). Fakta bahwa cadangan devisa Bank Indonesia saat ini cukup besar (US$ 50 milyar) membuat banyak pihak yang percaya bahwa Indonesia akan mampu mengatasi larinya hot money ini tanpa menimbulkan krisis.

Tetapi berbicara mengenai dampak hot money menjadi krisis ekonomi hanyalah persoalan magnitude, seberapa besar, dari persoalan mendasar hot money itu sendiri. Pada skala yang normal pun, hot money itu sendiri sudah menyebabkan volatilitas yang luar biasa pada pasar finansial terutama di negara-negara berkembang (emerging market).

Hot money tidak saja akan meningkatkan volatilitas atau fluktuasi harga tetapi juga membuat harga instrumen (saham, obligasi, mata uang) terlepas ”kaitannya” dari underlying asset-nya yaitu perusahaan (saham dan obligasi) atau negara (mata uang). Harga seperti menjadi penanda (signify) yang berada dalam dunianya sendiri, dunia simbol, terlepas dari petanda (signified) seperti yang digambarkan Ernst Cassirer. Penanda menurut Cassirer bisa menciptakan struktur dan nilai sendiri yang tidak lagi terkait dengan petanda. Itukah yang sekarang sedang terjadi dengan kinerja luar biasa dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) baru-baru ini? Apakah IHSG telah menjadi penanda yang tidak lagi terkait dengan petandanya yaitu nilai fundamental dari perusahaan-perusahaan?

Harga saham, yang secara agregat diwakili indeks, secara teoretis seharusnya mencerminkan nilai perusahaan yang tercatat di bursa. Pada prakteknya, mengingat sifat dasar pembentukan (nature) harga itu sendiri, harga saham memang tidak selalu secara tepat mencerminkan nilai fundamental atau nilai wajar suatu perusahaan. Tetapi dalam keadaan normal biasanya ada mekanisme pasar yang memungkinkan terjadinya koreksi sehingga harga bisa setidaknya mendekati nilai wajar. Harga yang terlalu tinggi akan turun dan sebaliknya yang terlalu rendah akan naik. Persoalannya tinggal masalah timing. Namun dalam keadaan yang luar biasa mekanisme koreksi ini bisa tertunda sehingga pada akhirnya akan dibutuhkan koreksi yang lebih besar daripada yang seharusnya. Membanjirnya likuiditas seperti yang dibawa oleh hot money adalah salah satu contoh keadaan tersebut. Harga tidak lagi bergerak sesuai kondisi fundamental perusahaan melainkan berdasarkan pergerakan likuiditas di pasar.

Kita bisa melihat kasusnya pada indeks saham misalnya. Pada 23 Mei 2007, IHSG menciptakan rekor tertinggi (2.104) setelah selama tiga hari berturut-turut sebelumnya juga menciptakan rekor baru. Sejak awal 2007 IHSG telah memberikan imbal hasil sebesar 16,6% selama kurun waktu lima bulan. Sementara itu target pertumbuhan ekonomi 2007 sekitar 6 - 6,3%. Triwulan pertama 2007, ekonomi bertumbuh sebesar 5,4% p.a. yang berarti tumbuh 1,35% selama tiga bulan. Memang kita tidak bisa membandingkan secara “par to par” pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan harga saham atau indeks karena dalam harga saham terkandung asumsi ekspektasi pertumbuhan yang berlangsung terus menerus (ongoing concern assumption). Tetapi itu saja sudah suatu perbedaan yang cukup besar. Belum lagi jika dilihat bagaimana IHSG tahun 2006 telah naik sebesar 55%, suatu kinerja terbaik ketiga sedunia setelah Cina dan Rusia. Artinya, pertumbuhan 2007 seharusnya bukan lagi sisa koreksi saham yang undervalued selama 2006. Belum lagi jika berbagai persoalan di sektor riil yang tidak sejalan (baca jauh tertinggal dari) dengan pasar finansial diperhitungkan. Indeks saham seolah tercabut dari akarnya yaitu nilai wajar perusahaan.

Tidak heran jika banyak yang melihat bahwa yang terjadi saat ini di Indonesia adalah bubble. Fenomena bubble sebenarnya terjadi juga di beberapa negara Asia terutama Cina. Shanghai SE A Share Index tumbuh secara fenomenal sebesar 112% pada tahun 2006 dan 56% selama lima bulan pertama tahun 2007. Tetapi kasus Cina mungkin harus dilihat secara berbeda dari Indonesia. Bubble di Indonesia saat ini lebih banyak disebabkan oleh aliran hot money yang membanjiri pasar modal dengan likuiditas dan juga efek dari kinerja pasar modal Amerika Serikat yang belakangan ini sangat baik. Menurut data Bank Indonesia pada bulan April 2007, ada sekitar Rp45 trilyun dana asing yang ditanamkan di SBI, Rp77 trilyun di obligasi dan Rp5,6 trilyun di saham. Hot money atau dana asing jangka pendek yang mungkin keluar sewaktu-waktu menurut Bank Indonesia bisa mencapai US$10 milyar atau Rp90 trilyun, US$1,5 milyar dari SBI, US$5,5 milyar dari obligasi dan US$3 milyar dari saham. Padahal sepanjang 2006 rata-rata volume transaksi saham di Bursa Efek Jakarta hanya berkisar Rp2 trilyun per hari dan volume transaksi obligasi di Bursa Efek Surabaya berkisar Rp3 trilyun per hari. Volume transaksi ini memang kecil mengingat kapitalisasi pasar baik saham (berkisar Rp1.200 – 1.400 trilyun) maupun obligasi (Rp470 trilyun di tahun 2006) di Indonesia juga relatif kecil. Bandingkan misalnya dengan kapitalisasi pasar saham Hongkong (2006) yang mencapai US$ 1.715 (Rp15.435 trilyun) atau Singapura (2006) sebesar US$ 393 milyar (Rp3.537 trilyun). Dengan demikian bisa dipahami bagaimana dampak dari masuknya dana asing ini terhadap harga saham atau obligasi di Indonesia.

Lalu apakah apakah kita hanya bisa menunggu dan menyaksikan bubble akibat hot money pecah dengan sendirinya? Dalam sistem sistem moneter terbuka seperti sekarang ini, pemerintah tampak seperti terpasung dan hanya bisa menyaksikan naik dan turunnya harga saham, obligasi atau nilai tukar tanpa mempunyai kendali yang berarti. Hot money adalah gejala pasar bebas dengan sistem moneter yang bebas yang menunjukkan betapa rentannya pasar finansial dari suatu negara berkembang termasuk Indonesia terhadap pengaruh dari luar. Hot money membuat pasar modal dan perekonomian kita berada di tangan fund manager asing dengan dana kelolaan jutaan atau puluhan juta US Dollar.

Terlepas dari apakah hot money kali ini akan menyebabkan krisis seperti tahun 1997 – 1998, yang jelas hot money membuat harga saham menjauh dari nilai wajarnya dan menyebabkan ketidakstabilan di pasar dan perekonomian. Oleh karena itu sudah harus dipikirkan tindakan untuk menahan mudahnya arus dana jangka pendek ini masuk dan keluar. Bukan persoalan yang mudah memang tetapi segera harus ditangani.**

4 comments:

Anonymous said...

Hi Mbak Reslian :)

Langsung aja yah, dari yang saya pahami dari artikel di atas (mohon dikoreksi kalau salah tangkap):
1. hot money berbahaya karena, menurut mbak, hot money meningkatkan volatilitas dan menyebabkan harga2 menjauh dari "harga yang sewajarnya".
2. saham-saham di Indonesia, yang dilihat dari IHSG, sedang dalam kondisi bubble berdasarkan performancenya di 2007 relatif thd pasar-pasar lain. Demikian juga di 2006. Bubble ini bisa saja tiba-tiba pecah.
3. Dana hot money di Indonesia begitu besar relatif terhadap volume transaksi aset2 di mana hot money berada.
4. Hot money menyebabkan pasar modal dan perekonomian dikendalikan oleh fund manager asing.
5. Pemerintah harus berbuat sesuatu untuk mempersulit aliran hot money.

menurut saya nih mbak:
1. hot money tidak selalu meningkatkan volatilitas. Begitu juga dengan hedge funds (yang biasa dianggap sebagai sumber hot money), dengan berbagai strategi2nya, mereka kadang2 mestabilkan harga2 (contoh short term statistical arbitrage fund). Saya masih agak ragu dengan konsep harga wajar. Menurut saya, dengan menentukan wajar tidaknya suatu harga, kita meng-impose nilai-nilai kita tentang bagaimana suatu aset harus dihargai.
2. konsep bubble sendiri agak sulit buat didefinisikan. harga yang menjulang tinggi bukan berarti bubble telah terbentuk. Kita baru tahu bahwa bubble telah terbentuk jauh hari setelah kita melihat ia pecah. mungkin performance IHSG sekarang merupakan bubble, mungkin juga tidak.
3. Setuju dengan mbak, dana asing yang masuk ke Indonesia besar jika dibanding transaksi volume tiap hari. apakah dana-dana itu akan keluar bersamaan (atau dalam jangka waktu yang pendek) sehingga harus memukul harga2? mungkin iya, mungkin nggak. kecuali ada sesuatu yang drastis terjadi, keluar bersamaan akan merugikan sebagian dana2 asing itu sendiri.
4. Mengendalikan pasar modal, arguable. tapi mengendalikan ekonomi, hmm... not so convinced.
5. Poin ini yang menurut saya kontroversial dan perlu analisis yang lebih mendalam dan objektif mengenai:
a). mengapa harus dipersulit (apa untung ruginya, untung rugi buat siapa saja, dalam kondisi apa lebih untung dan dalam kondisi apa lebih rugi).
b). kalau misalnya harus dipersulit, cara apa yang paling efektif.

thailand beberapa bulan lalu melakukan capital control untuk "mengendalikan" pasar uangnya. wise? i think not. effective? i think it was counter productive.

Anonymous said...

Wah ini pintar-pintarnya mbak Reslian bisa mengaitkan Cassirer dengan kinerja IHSG. :p :p

Anonymous said...

To Bahar …

1. “hot money tidak selalu meningkatkan volatilitas.”

Menurut saya akan meningkatkan volalitas tetapi bergantung pada besarnya dana yang masuk dan besarnya volume transaksi dan kapitalisasi pasar suatu negara.

2. “Menurut saya, dengan menentukan wajar tidaknya suatu harga, kita meng-impose nilai-nilai kita tentang bagaimana suatu aset harus dihargai.”

Yes … but this is inevitable. Mau tidak mau, tetapi toh yang menentukan adalah konsensus di pasar dan konsensus pasar berarti konsensus pelaku pasar yang memiliki nilai dan perhitungan sendiri … tidak selalu benar dan saya yakin koreksi akan terjadi bila way off the mark. Harga tidak terjadi dengan sendirinya dan di ruang kosong toh?

3. ”apakah dana-dana itu akan keluar bersamaan (atau dalam jangka waktu yang pendek) sehingga harus memukul harga2?”

Dalam artikel ada data mengenai jumlah yang mungkin keluar US$10juta. Ini sudah luar biasa untuk ukuran pasar Indonesia. Apakah keluar bersamaan ... you know how the market works ... they tend to move in unison ... the herd mentality does prevail.

4. “Mengendalikan pasar modal, arguable. tapi mengendalikan ekonomi, hmm... not so convinced.”

Even pasar modal juga belum tentu bisa dikendalikan kok ;-). Yang saya maksudkan dengan perekonomian adalah bila skala volatilitasnya menjadi terlalu besar sehingga berimbas ke perekonomian seperti yang terjadi di 1997 – 1998 di mana turunnya rupiah akhirnya menarik ekonomi turun.

5. ”a) mengapa harus dipersulit (apa untung ruginya, untung rugi buat siapa saja, dalam kondisi apa lebih untung dan dalam kondisi apa lebih rugi).”

Argumen saya ada dalam artikel.

”b). kalau misalnya harus dipersulit, cara apa yang paling efektif.”

Nah ini memang sulit. Saya tidak sampai mendiskusikan caranya. Diperlukan kerjasama antar pemerintah. Saya pikir Indonesia bekerja sendirian saja tidak akan sanggup. Masalahnya, masing2 pemerintah juga punya kepentingan sendiri2. Mungkin bisa dimulai dari negara2 Asia, dicari kepentingan yang sama. Betul Thailand pernah mencoba melalukan pembatasan devisa dan saham2nya langsung rontok. Tetapi China sampai sekarang bertahan, well yeah tergantung dari forex reserve masing2 negara tentunya. That is why I said that it is certainly not an easy job but something has got to be done.


To anonymous:

hehe ... ternyata saya akhirnya menemukan hubungan antara filsafat dan pasar modal ...

The Institute for Ecosoc Rights said...

Terimakasih atas kunjungan dan komentar, tapi barangkali Anda juga tertarik pada pendapat pengunjung lain di halaman versi bahasa Inggris dari artikel ini. Ini link-nya.

Post a Comment