22 May 2007

Sopir Taksi di Singapura

S. Prawiro

PENGALAMAN ini mungkin agak langka bagiku. Setelah sekian lama memakai jasa taksi, baru kali ini aku menemukan sopir taksi yang berbeda. Aku tercengang dan tak habis pikir dengan sopir taksi tersebut. Meskipun kejadian ini terjadi di Singapura rasanya sangat langka menurutku.

Waktu itu aku bersama teman kantor hendak pergi ke masjid untuk sholat Jum’at. Masjid agak jauh dari lokasi kantor kami yang ada di Science Park I. Begitu memperoleh taksi, kami sebutkan lokasi yang kami maksud, Starling Road. Padahal kami tak tahu rute mana yang harus kami lalui.

Biasanya dengan cukup menyebut tujuan, semua sopir taksi di sini akan tahu ke mana arah tempat yang dimaksud. Sebenarnya aku sudah hapal jalan-jalan yang biasa kami lalui. Aku merasa sepertinya salah jalan. Sesaat aku diam karena yang penting sampai tujuan. Lalu iseng aku tanyakan apakah jalan ini sudah benar. Sopirnya bilang salah dan kelewatan. Ia minta maaf. Karena one way kami harus terus meluncur. Sampai akhirnya ketemu arah yang dimaksud.

Sampailah kami di masjid Mujahidin di Starling Road. Kami membayar sesuai argo. Ia tiba-tiba bilang, “Tunggu! Berapa biasanya kalian bayar bila ke sini?” Aku lihat angka di argo memang tidak seperti biasanya. Sedikit lebih mahal. Jelas tadi memang agak muter. Kami bilang tidak apa-apa kami bayar sesuai argo dan lupakan.

Ternyata ia tak mau menerima kelebihan biaya itu. Ia ngotot hanya mau menerima harga yang biasa kami bayar, tanpa melihat argo. Akhirnya kami bayar seperti yang ia kehendaki. Sekali lagi ia mohon maaf karena telah mengurangi waktu kami akibat salah jalan. Ia juga berterimakasih sekali karena kami tidak komplen atas kejadian tersebut.

Kami turun dan bengong. Dalam hati mudah-mudahan di Jakarta ketemu sopir taksi seperti ini. Aku kagum dengan dedikasi sopir taksi itu. Padahal kalau diputar ke mana pun kami pun tak tahu.

Setiap Sabtu malam kami nonton live music di tepian Singapore River di area Esplanade Park. Setiap keluar dari area tersebut kami harus antri taksi. Ini budaya Singapura yang paling kami sukai. Taat, disiplin, bersedia antri, saling menghargai dan tidak menggangu orang lain.

Walaupun Singapura tidak bisa dibandingkan dengan Jakarta, mungkinkah kita bisa menemukan sopir taksi dan orang-orang tertib seperti itu di Jakarta?

9 comments:

Anonymous said...

hal yg sama saya alami juga di vancouver, canada. krn salah jalan, supir taxi minta tak dibayar penuh. sewaktu di kota kecil, supir taxi bahkan menolak tip dg sopan...hebat deh pokoknya, membuat saya bengong sesaat...

Anonymous said...

menarik!
andai supir taksi di Indonesia bisa begini... :(

Anonymous said...

mungkinkah kita bisa menemukan sopir taksi dan orang-orang tertib seperti itu di Jakarta?

jawabannya: sangat mungkin! kuncinya adalah penegakan hukum.

di spore dan canada, penegakan hukum terhadap hak customer sangat kuat. daripada dipecat karena dilaporkan, sopir akan memilih untuk tidak dibayar penuh.

jadi, bukan karena sopirnya baik, tapi karena takut akan hukum.

so, kuncinya adalah penegakan hukum. jika hukum bisa ditegakkan di indonesia, niscaya mimpi ini bisa jadi nyata.

make sense kan sekarang, kenapa indonesia belum bisa maju? penegakan hukum nya belum jalan.

sekali lagi, kuncinya adalah penegakan hukum.

Anonymous said...

saya bengong karena indonesia selalu berbicara tentang moral tapi pada praktek-nya justru jarang ketemu yang bermoral.

Saya tahu setiap jengkal pulau Bali, tapi pada waktu saya keluar dari airport, dengan senyum dan ramah sopirnya membantu saya mendorong barang bawaan saya ke tempat parkir taksi-nya. Dengan sedikit jongkok untuk menunjukan kesopanan-nya, sopir itu bertanya, nginap di mana bang? Bali Mandira hotel pak jawab-ku. Masih dengan tingkah ramah seperti orang Indonesia pada umumnya sopir membawa saya ke arah Denpasar melalui jalan Imam Bonjol. Mengapa tidak langsung ke Bali mandira hotel? dengan cengar cengir sopirnya bilang , aahhrr...jalan pantai macet pak. Dengan sedikit marah saya memaksa sopirnya untuk melalui jalur singkat jalan pantai kuta. Masih dengan alasan macet sopir masih mau menutup operasi tipuan-nya. Saya mau lihat pantai kuta karena saya agak lama tidak berada di sini, saya tidak peduli walau macet saya akan tidur di taksi dan akan membayar argo sepenhnya sampai kemacetan selesai. Dengan logat kental Jakarta sopir itu bilang ...ooohhh muacet di sini luama banget bang, bisa2 sehare penuh... Dengan wajah tidak berekspresi saya bilang...saya tidak peduli walau macetnya seminggu, saya masih mau lewat jalan pantai kuta....sebelum pikiran saya berubah (dalam arti saya siap berkelahi seperti preman). Sopir yang sebelumnya sopan Cengar cengir dan banyak bicara berubah diam lalu taksinya berhenti, saya pun siap2 dengan perasaan untuk membela diri kalau si sopir berhenti untuk berkelahi atau mau mengundang teman2-nya. Dalam hati saya sama sekali tidak peduli, di negara orang saya tidak berkelahi dan kalau mati karena berkelahi di negara sendiri hanya karena mau menentang kekotoran moral dari sesama anak bangsa...so be it. Belum selesai saya berpikir, saya melihat sopir-nya menetes air mata sambil menuju pintu belakang di mana saya duduk, dengan gugup dia membuka pintu taksi. Walau sedikit heran tapi tidak kaget saya bertanya mengapa? tetesan air mata sang sopir berubah jadi tangisan yang keras....mmmmmaaafffffhhhh bang, maaafff bang saya kira abang orang baru di Bali, Saya punya anak dua, ingin dapat uang lebih untuk sewa tempat tinggal....singkat cerita saya akhirnya kenal baik dan menjadi sahabat baru dengan sopir, bahkan selama di Bali saya sewa mobil bepergian ke Kintamani bersama istri dan anak2-nya, saya justru jadi guide untuk mereka karena mereka hanya tahu daerah Kuta Denpasar Sanur dan Nusa Dua.

Dari pengalaman tersebut saya mengambil sikap dan hikmah bahwa moral dan ekonomi saling berpengaruh. Namun saya masih bermimpi agar satu sat semua pekerja di Indonesia dari sopir taxi, polisi(abri), DPR, pemerintah dan semua orang yang bekerja di lahan basah, agar berpikir sejenak sebelum mau menipu orang. Uang sedikit lebih nikmat darpada uang banyak hasil tipuan

salam
Vik

The life's corner said...

Memang beda sekali keadaan di negara kita mengenai pertaksian ini, baik penumpang maupun supir taksi dan/atau perusahaan taksi.

Salah satu yang saya pelajari juga mengenai pertaksian di Singapura adalah masalah "integritas" seperti yang sudah diceritakan pak Prawiro itu. Penumpang tidak akan saling menyerobot atau dorong-doronga, semua akan antri dengan tertib. Kalau kita tak sabar antri, kita bisa memesan taksi lewat telepon. Dan taksi yang dipesan itu, akan menayangkan tulisan "ON CALL" sehingga calon penumpang tahu bahwa itu taksi yang dipesan lewat telepon. Setelah tiba di lokasi di mana penumpang yang menelepon tadi menunggu, supir akan mengkonfirmasi apakah benar kita memesan lewat telepon. Penumpang yang tidak merasa memesan lewat telepon itupun, tidak akan berani-beraninya menyerobot taksi tersebut!

Asyik kan?

Anonymous said...

Wah, sama juga dengan pengalaman saya waktu dari Cengkareng.
Karena saat itu sedang liburan, jadi sulit untuk mendapatkan taxi, akhirnya saya naik saja taxi sembarangan.
Saat itu sekitar jam 10.30 malam dan si sopir mau dengan argo.

Nah, ditengah jalan saya dimintai borongan, kalau tidak akan diturunkan ditengah jalan.

Baik benar si sopir taxi...

GReTaN said...

gw juga kagum sama supir taksi kek githu...jangankan gak mau dibayar sesuai argo karena kesalahannya, uang kembalian 10 sen dikembaliin ke kita aja udah bikin gw 'shock'...

coba kalo di jakarta...jangan harap!:p

Anonymous said...

Rekan,
apa yang terjadi dengan sopir taksi di Singapura ini pertama-tama bukan perkara "kebaikan hati" sang sopir, tetapi lebih pada perkara "teknologi" dan "hukum". Semua yg terjadi pada perjalanan sang taksi ada recordnya dan ada sistem monitoringnya, yang diatur dan didukung hukum/aturan yang jelas dan tegas, termasuk memberikan uang pengembalian berapapun jumlahnya. Jadi mau satu sen pun sopir akan memberikan kembalian dan tidak perlu heran, mereka selalu punya uang kecil karena aturan mengharuskan demikian. Jadi motivitasi pertama adalah "taat hukum" karena dendanya juga tinggi. Sistem dan aturan yang bertahun-tahun ditegakkan akhirnya membentuk sikap dan perilaku masyarakat (sopir dan konsumen) yang disiplin dan tertib. Hal sebaliknya terjadi di Indonesia.

NN

Anonymous said...

bagaimana rakyat bisa tertib dan takut hukum apabila para penegak hukumnya justru YANG MELANGGAR HUKUM??

Aparat pemerintah saja yang telah memiliki gaji berlebih, masih sangat lapar akan uang hasil suapan..apalagi rakyat kecil spt supir taksi??setiap hari mereka harus dikejar setoran,,tak heran mereka jadi semakin lapar akan uang seperti itu..

Dan bagaimana mungkin para supir-supir tersebut bisa takut hukum kalau para aparat yg bertugas menertibkannya malah justru merupakan subjek utama yg melanggarnya??dangan "uang damai" saja para aparat dapat menghapuskan sebuah kesalahan. Demikian,,sulit bagi negara ini untuk dapat hidup bersih dan jujur dimanapun, kapanpun!

Satu-satunya cara adalah memulainya dari diri sendiri untuk tertib hukum. apakah kita telah berlaku sesuai dengan yang telah diatur dan diundang-undangkan?? Marilah kita terus menjungjung nilai kejujuran dan kedisiplinan sedari dini. Jangan membiasakan diri memulai memberikan "uang dmaai" atau "uang administrasi" kepada aparat yang bertugas hanya diperuntukkan demi kelancaran dan kepentingan kita pribadi. Berlakulah sesuai prosedur yang berlaku. Walau sulit atau bahkan memakan waktu yang sedikit lebih lama, namun tetaplah berkonsisten melakukannya. Jangan "main belakang". Kalau kita tidak membiasakan ahal tersebut,, aparat pun akan malu memintanya kepada kita. Jadi, janga;ah membiasakan mereka untuk menerima hasil suapan.

Hukum diIndonesia telah terpuruk hingga batas terendah! Semuanya dapat diperjualbelikan. Namun kita sebagai makhluk bermoral janganlah berbuat demikian. Mulailah menyadari hal itu dari sekarang.

Terima Kasih..

Post a Comment