24 June 2007

Aku terkejut membaca buku ini

“.. peran PKI dalam peristiwa itu hanyalah bagaikan pemuda bodoh yang berjalan dan melihat lampu hijau, lalu menyeberang jalan dan tertabrak oleh truk sampah yang pernah mereka lihat. Tragis.."
Sri Maryanti

Perang saudara pecah di negeri ini pada tahun 1965. Sekelompok pasukan militer mencoba merebut kekuasaan di ujung September tahun itu. Semua terjadi begitu cepat dan rumit. Tidak terpahami oleh jamak. Bahkan oleh para pelaku sejarah sendiri.

Aku terkejut membaca buku ini. Yang kubaca sangat jauh dari apa yang telah kumengerti sebelumnya. Apakah ini sesuatu yang benar? Ada kengerian sesaat waktu membaca bagian awal buku ini. Jangan-jangan buku ini menjebak. Sesaat seperti kehilangan pegangan tentang mana cerita yang benar.

Dalam hitungan jam kekuasaan lumpuh, banyak tokoh bingung dan kehilangan kendali kekuasaan. Para petinggi militer terbunuh di Jakarta. Soekarno terperangkap dalam keterbatasan informasi dan didesak mengamini sebuah ku-deta. Sementara dalam waktu yang singkat dan membingungkan itu deal-deal politik terjadi diam-diam. Dalam hitungan jam, angin berubah arah menghantam balik komplotan itu. Di hari-hari berikutnya pertumpahan darah terjadi merambah sampai ke desa-desa. Ratusan ribu orang menjadi terbunuh sia-sia. Demikian Benedict R O’G Anderson dan Ruth T McVey mengawali temuan awalnya dalam bukunya Analisis Awal Ku(-)deta 1 Oktober 1965.

**

Kuputuskan untuk terus membaca walau tetap dengan praduga. Pemahaman sejarahku mendadak terjungkir balik. Aku yakinkan diriku bahwa aku manusia dewasa yang bisa bebas membaca dan menilai. Selama membaca buku ini sulit untuk menghindari ingatan-ingatan saat pertama kali aku mengetahui peristiwa itu.

Aku lahir pada tahun 1977, kira-kira duabelas tahun setelah peristiwa itu terjadi. Mungkin aku adalah satu di antara jutaan anak lain yang tak menyaksikan peristiwa itu. Tapi sewaktu aku duduk di kelas satu SD, ada kabar kakak tingkat kelas lima dan enam diminta sekolah untuk nonton film tentang PKI di sebuah bioskop. PKI adalah singkatan dari Partai Komunis Indonesia. (Tapi, orang-orang di kampungku tidak mengujarkan persis dua bunyi vokal pertama dari kata ‘komunis’ itu. Mereka bilang ‘kuminés’, bukan ‘komunis’).

Seusai menonton mereka ramai bercerita tentang adegan-adegan yang jarang mereka tonton. Seorang anak membasuh mukanya dengan darah ayahnya, wajah-wajah penuh luka, tentang pembunuhan-pembunuhan sadis di waktu subuh. Mereka bilang itu kisah nyata. Aku jadi ingin tahu.

**

Tapi, buku ini menyampaikan informasi yang berbeda dari pemahamanku selama ini. Dari pelajaran sejarah yang kuperoleh di sekolah, aku hanya mengerti bahwa telah terjadi pemberontakan yang dilakukan dengan keji dan brutal yang didalangi oleh PKI. Peristiwa tersebut lalu melekat kuat dibenak semua orang dengan istilah Gestapu (Gerakan Tigapuluh September).

Lewat penelusuran pada laporan-laporan pers ibu kota maupun daerah tahun 1965, Ben dan kawan-kawan mengatakan sesuatu yang lain. Dengan jelas mereka menyimpulkan dengan perumpamaan bahwa peran PKI dalam peristiwa itu hanyalah bagaikan pemuda bodoh yang berjalan dan melihat lampu hijau, lalu menyeberang jalan dan tertabrak oleh truk sampah yang pernah mereka lihat. Tragis.

**

Seperti hari-hari lain aku santai di hadapan kotak bodoh yang disebut televisi itu bersama saudara-saudara di rumah. Lalu diputarlah film itu. Aku menyaksikannya walau tak mengerti benar isi film itu. Aku hanya ingat ada adegan-adegan penyiksaan kejam yang berdarah-darah. Tetangga-tetanggaku bilang pelakunya PKI. Yang terekam dalam benakku PKI adalah sesuatu yang mengerikan dan jahat. Selebihnya kesanku tentang film itu adalah ada kebiadaban yang pernah terjadi dan masih tetap mengancam sampai sekarang sehingga harus kita musuhi. Lalu pada masa kanak-kanak itu, di kampung kami setiap ada anak yang nakal dan berbuat jahat kami juluki PKI.

**

Tapi anehnya, buku tulisan pak Ben dan ibu Ruth ini menunjukkan fakta bahwa PKI hanya diseret-seret oleh sekelompok kekuatan di militer yang merasa tidak puas dengan kelompok yang menguasai pucuk pimpinan angkatan bersenjata saat itu.

Banyak data yang diangkat Ben dan Ruth untuk mendukung kesimpulannya. Fakta penting yang mendukung kesimpulan Ben adalah pengumuman ku-deta pertama lewat radio yang dibuat Untung (sapa lagi ya pemilik nama ini? O ternyata, katanya, pimpinan tertinggi pelaku kudeta) menyebutkan telah terjadi gerakan militer dalam tubuh Angkatan Darat. Pengumuman itu lebih memperlihatkan ketidakpuasan seorang prajurit pada gaya hidup para pimpinannya. Pengumuman itu sama sekali tidak menyebut-nyebut buruh atau petani yang merupakan simbol kekuatan PKI. Ini mengindikasikan bawah upaya “ku” tersebut di bawah kendali militer.

**

Masa sih begitu .. Sebab, saat kemampuanku membaca dan memahami tulisan mulai berkembang, aku menemukan sebuah tulisan tentang kekejaman PKI dari majalah milik tetangga. Ada gambar-gambar korban PKI dan cerita detail tentang penculikan yang dilakukan PKI. Aku mulai mengenali nama-nama sejumlah jenderal, tokoh PKI, tanggal kejadian, dan nama-nama tempat kejadian. Tulisan itu juga menceritakan urut-urutan peristiwanya. Betapa kejam dan menakutkan PKI itu, begitu pikirku. Bukankah ini semua berbalikan dengan yang pak Ben dan ibu Ruth bilang?

Aku juga menemukan tulisan-tulisan senada dalam buku biografi para pahlawan revolusi di perpustakaan sekolah SD. Jadi sewaktu guru PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) di sekolah baru mulai mengajarkan tentang peristiwa itu, aku merasa sudah menguasainya.

**

Ben juga menunjukkan adanya informasi bahwa anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan Pemuda Rakyat berada di Lubang Buaya saat para jenderal dibunuh dalam rangka latihan militer di bawah didikan Angkatan Udara. Mereka dibangunkan pagi-pagi seperti kebiasaan latihan. Mereka juga tidak tahu-menahu siapa yang tengah dibunuh. Seorang wanita hamil yang ada di situ menerima tamparan saat bertanya siapa mereka. Ini masuk akal karena para pimpinan PKI selalu tegas memerintahkan mereka untuk bekerja sama dengan tentara pelatih. Keberadaan mereka di sana sepenuhnya di bawah arahan tentara.

Ben juga melihat beberapa anggota Pemuda Rakyat yang tadinya membantu pasukan pemberontak di pusat kota. Namun setelah terjadi negosiasi antara Soeharto (anti-ku-deta) dengan satuan-satuan ini, mereka justru ditangkap oleh pasukan yang mereka bantu.

Keterlibatan sebagian Pemuda Rakyat dan Gerwani dalam peristiwa ini tak cukup untuk menyimpulkan bahwa PKI mendalangi perebutan kekuasaan tersebut. Kalaupun peristiwa itu didalangi PKI, hari itu pasti akan terjadi demonstrasi besar-besaran mendukung perebutan kekuasaan oleh massa PKI.

**

Anehnya, yang aku dengarkan dari cerita-cerita dari mulut ke mulut di kampungku kok lain. Mereka bilang bahwa pada jaman gestapu, PKI dan warga sering berkelahi. Perkelahian sering mengorbankan jiwa. Yang ada di benakku PKI memang seperti bukan bagian dari warga. Mereka adalah ancaman. Lantas orang berpendapat kalau memang pantas orang PKI itu dimusuhi.

Aku juga ingat tetanggaku disebut-sebut sebagai bekas orang PKI. Anaknya yang satu sekolah denganku dikabarkan akan sulit memperoleh pekerjaan. Aku tidak melihat masa depan lagi baginya. Kupikir akan sia-sia sekolahnya, karena masa depannya jelas-jelas suram.

Seingatku peristiwa tentang PKI kembali diajarkan di bangku SMP dan SMA lagi. Namun bumbu-bumbu tentang kekejaman PKI sudah mulai berkurang sewaktu aku belajar di bangku SMA.

**

Berikut ini ada bagian dari tulisan pak Ben dan ibu Ruth yang menarik. Soalnya, mereka ngrembuk soal apa yang dilakukan Soekarno hari itu. Pada waktu yang hampir bersamaan dengan pembunuhan para jdenderal, Sukarno dijemput oleh Untung dan dibawa ke Halim dengan alasan pengamanan. DN Aidit (pimpinan tertinggi PKI) juga dijemput dan hadir di sana. Soekarno dibawa ke tempat di mana ia terpisah dengan akses informasi tepercaya (para penasihat presiden dan kontak-kontaknya) untuk diyakinkan bahwa ku-deta itu sah dilakukan. Di sana Untung membutuhkan dukungannya atas ku-deta yang ia lakukan. Ini penting karena Soekarno saat itu memiliki dukungan besar dari masyarakat.

Sementara Aidit dihadirkan di sana agar lebih meyakinkan Soekarno dan mengesankan bahwa ku-deta tersebut didukung PKI sebagai salah satu partai besar itu. Penjemputan Aidit lebih merupakan kebutuhan legitimasi bagi tindakan Untung.

Lalu mengapa perpecahan internal di Angkatan Darat tersebut berbuntut perang saudara yang menumpahkan banyak darah? Untuk menjawab pertanyaan ini perhitungan waktu antarkejadian sangat diperhatikan oleh Ben dan Ruth. Pengumuman Untung yang pertama melalui siaran radio menyiratkan telah terjadi konflik internal di tubuh Angkatan Darat di Jakarta. Berita ini segera terdengar oleh rekan Untung di Resimen Diponegoro Semarang. Mereka kemudian mengikuti pola perebutan kekuasaan serupa di Semarang, Yogjakarta dan Solo.

Semarang, Salatiga, Solo dan Boyolali adalah wilayah yang kepala daerahnya orang PKI. Siaran Untung yang pernama mengumumkan dibentuknya Dewan Revolusi ditangkap oleh massa PKI sebagai sinyal telah terjadi angin ke arah revolusi. Beberapa koran haluan kiri terpancing memuat berita yang mendukung kelompok ku-deta. Walikota Solo memberikan pernyataan terbuka mendukung ku-deta. Mereka tidak menyadari bahwa kekuatan ku-deta di pusat telah dilumpuhkan pada hari yang sama.

Meskipun Aidit yang telah terlebih dahulu mengetahui ku-deta di Jakarta telah dilumpuhkan telah mencoba berkomunikasi dengan pimpinan partai di Jawa Tengah. Ia menekankan agar massanya tidak larut dan tetap netral dalam peristiwa ini, tetap saja ada gejolak di bawah yang tak terkendali bereaksi secara gegabah sebagai luapan semangat. Ini kemudian yang memicu kelompok-kelompok lain di daerah yang selama ini tersingkirkan oleh PKI ikut melakukan pemberangusan besar-besaran terhadap partai ini setelah keadaan dikuasai kembali oleh lawan.

**

Sudah lama sebenarnya aku mendengar tentang buku ini. Konon penulisnya pernah diusir dari Indonesia karena menulis buku ini. Tapi buku ini sering disebut-sebut orang sebagai buku yang menarik. Aku jadi ingin membacanya.

Tidak mudah mendapatkannya. Tak pernah kujumpai di toko buku. Beberapa perpustakaan terkemuka di Jakarta yang kutelpon mengatakan tak memiliki buku ini. Akhirnya kuperoleh versi Indonesianya di perpustakaan sebuah lembaga penelitian. Begitu masuk lebih dalam ke bacaan ini, pemahaman sejarahku serasa dijungkirbalikkan.

**

Ben dan Ruth dengan detail bisa menggambarkan nuansa psikis para pelaku sejarah dalam setiap pembicaraan dan pengambilan keputusan politik di saat genting tersebut. Mereka juga didukung data yang akurat hingga dinamika para tokoh pemberontak dan PKI selama di Jawa Tengah teridentifikasi dengan jelas. Bahkan sampai jenis alat transportasi dan nama tempat di mana mereka bergerak dan berada tersebutkan. Hal ini juga terlihat pada bagian yang menceritakan penculikan para jenderal.

Buku ini mengulas banyak hal menarik seperti sekilas kemungkinan pengaruh politik internasional saat itu, juga mengapa akhirnya PKI yang dijadikan pihak yang dituding bersalah, seperti apa posisi Soekarno yang menyadari dirinya berada di pusat wilayah pemberontak saat keamanan sepenuhnya di bawah kendali Soeharto. Banyak hal diungkap dalam buku ini.

Buku ini juga memuat beberapa dugaan alternatif tentang siapa yang ada di balik peristiwa berdarah tersebut. Bagian ini menyertakan argumen-argumen dengan hitungan yang detail dan hati-hati untuk menguji setiap dugaan yang muncul.

Seperti sebuah novel, akhir buku ini menyajikan kejutan tak terduga. Meskipun Nyono (anggota Politbiro PKI) memberikan pengakuan bahwa PKI mendalangi peristiwa berdarah dengan memaparkan sebuah skenario, Ben berhasil menelanjangi dan menunjukkan ketidakkonsistenan dari pengakuan Nyono tersebut.**

Lihat juga diskusi tentang topik ini:


6 comments:

wahyu said...

bagaimana saya bisa dapat buku ini

The Institute for Ecosoc Rights said...

basislawan,
Buku ini sudah diterbitkan oleh LKPSM - Syarikat dalam Bahasa Indonesia. Mungkin anda bisa menghubungi mereka di alamat berikut :
Tompeyan TR III/133
Yogjakarta 55244
Telp/Fax 0274 516440, 382530
Email : lkpsmyk@indosat.net.id

Anonymous said...

tulisan ini hanya roman picisan, saya berada di tengah2 pemuda komunis di Moscow tahun 1961-1966 merasakan tindak tanduk mereka.

rzain@....

Anonymous said...

Kami sangat berterimakasih jika bapak bersedia menceritakan pengalaman
Bapak selama di Moscow tersebut.

Anonymous said...

Dua hari setelah tiba di Moscow tahun 1961 kami sudah mengetahui blok apa yang kami pilih apa blok mahasiswa Komunis atau Pancasila sebab mahasiswa yang datang tahun 1960 telah membentuk kedua blok tersebut.
Blok Komunis tidak mengakui Pancasila karena di sana ada sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang tidak dipercayainya. Mereka juga sering mediskreditkan pemerintah waktu itu karena tidak sejalan dengan paham Komunis. Kami yang pro Pancasila lebih dekat dengan KBRI, sedangkan mereka menjauh.
Untung diantara 3 ribuan mahasiswa Indonesia hanya 5 ratusan yang pro Komunis. Perayaan 17 Agustus dan Sumpah Pemuda tidak pernah dilakukan di satu tempat sebab Komunis melakukan sendiri. Praktis di akar rumput kedua kubu tidsak seiya sekata bahkan saling menjauh.
Menjelang G 30 S sepertinya mereka sudah siap menyambut.
Karena pada akhirnya Komunis tertumpas di Indonesia mereka takut pulang bukan dilarang. Karena tidak melapor paspor mereka kadaluarsa atau masa berlaku habis. Aneh mereka yang pro RRC tidak ke Beijing tetapi lari ke Eropah Barat sebab di sana di tampung LSM, orang Unie Sovyet tidak simpati kepada mereka. Mereka berhasil mendapat pekerjaan di Eropah Barat meskipun tidak sesuai pendidikannya dan menjadi stateless. Mereka kemudian menjelek jelekkan pemerintah Indonesia.
Mereka sekarang sudah pada tua dn masih bisa menyebarkan paham Komunis, tetapi demi rasa kemanusiaan mereka dapat kembali, tentu saja ada syarat yang harus dipenuhi..

rzain

Anonymous said...

SRI, ELU KAN SEJARAWAN, PAKAI TERKEJUT SEGALA,

Post a Comment