27 July 2007

Ibu Emi: Dengan Pertanian Organik Tak Ada Lagi yang Terbuang

Gerakan Petani Manggarai untuk Membela Kehidupan (1) (2) (3) (4)

Ibu Emi hanya memiliki lahan tidak lebih dari seperempat hektar sawah. Dengan lahan sesempit itu, ia mengeluarkan biaya untuk pupuk TSP (Trisodium phosphate) dan Urea sedikitnya Rp 300.000. Dengan biaya sebesar ini, sawahnya hanya mampu menghasilkan tiga sampai empat karung beras. Setelah mengenal pertanian organik, ia kemudian beralih menjadi petani organik.

Empat tahun sudah Ibu Emi menjadi petani organik. Tiga tahun pertama dia masih menggunakan pupuk organik buatannya sendiri dengan biaya hanya Rp 50.000 untuk membayar tenaga pengolah pupuk. Dengan biaya tersebut, ia mendapatkan satu ton pupuk organik. Pada tahun keempat, ia tidak lagi menggunakan pupuk organik. Ia hanya menerapkan cara mengolah dan menanam secara organik. Kini hasil sawahnya tidak lagi tiga atau empat karung seperti sebelumnya, tetapi sudah meningkat menjadi tujuh karung.

Pertanian organik membuatnya semakin menyadari, tidak ada lagi bahan yang terbuang. Semua bahan yang ada di sekitarnya bisa diolah menjadi pupuk yang sangat bermutu. Dengan menjual pupuk buatannya sendiri, dia bisa menerima pemasukan tambahan Rp 1 – 1,5 juta per bulan. Kebutuhan sayur untuk keluarga pun bisa dicukupinya sendiri. Bahkan hasil sayur pun masih bisa dijual karena tidak habis dikonsumsi sendiri. Satu pohon tomat yang ia tanam di samping rumahnya, misalnya, bisa berbuah sampai 40 buah dan tidak habis bila dimakan sendiri.


Di tengah keruwetan persoalan kemiskinan dan bencana yang melanda bumi Nusa Tenggara Timur, para petani sederhana itu toh masih bisa melihat titik terang menuju kemandirian. Para elit politik-ekonomi di NTT yang dalam hal pendidikan jauh lebih baik dibandingkan para petani itu semestinya bisa melihat lebih jelas lagi titik terang untuk bangkit dari kemiskinan.

Sayangnya, masih banyak elit politik-ekonomi di NTT yang tidak mau sedikit rendah hati untuk belajar dari kearifan orang-orang kecil dan merasa diri paling tahu apa yang terbaik bagi rakyat. Tidak sedikit elit di NTT ini yang masih saja silau dengan gemerlapnya materi yang ditawarkan pemodal besar dan memilih pendekatan yang berorientasi pada keuntungan jangka pendek tetapi dengan resiko kerusakan jangka panjang yang mereka bebankan pada rakyat.

Lihat saja bagaimana industri pertambangan mulai dijadikan alternatif peningkatan PAD di beberapa kabupaten di NTT, meskipun para elit itu tahu betul betapa kondisi ekologi NTT yang telah rusak dan rawan bencana itu tidak layak untuk dijadikan daerah industri pertambangan. Bagi mereka, kehidupan lebih baik berarti rumah mewah, mobil wah dan berlimpahnya rupiah. Upaya menjaga bumi NTT dari kerusakan dan kehancuran adalah perkara nomor sekian. Sebab yang pertama-tama menanggung bencana bukanlah mereka, para elit itu, melainkan rakyat.

Jangankan belajar dari orang kecil, yang terjadi justru sebaliknya. Orang-orang kecil yang membela kehidupan dan menolak industri pertambangan yang jelas-jelas merusak kehidupan itu seringkali mereka nilai sebagai orang-orang yang belum tercerahkan dan karenanya tidak paham apa artinya kehidupan lebih baik. Betapa jauh jarak sudut pandang antara elite politik-ekonomi dan orang-orang kecil dalam memaknai kehidupan lebih baik di bumi NTT ini.

Tidak heran kalau perkara penolakan penambangan emas oleh warga di kabupaten Lembata – NTT pun akan mereka nilai sebagai perkara ketidakpahaman rakyat. Sebab para elite itu tak pernah bertanya pada rakyat dan juga tak peduli apa artinya kehidupan lebih baik di mata rakyat.

No comments:

Post a Comment