27 August 2007

Pilih Mana? Rumah Sakit Pemerintah atau Swasta?

Endah MFP

Saya tak habis pikir membandingkan mutu dan biaya perawatan di rumah sakit pemerintah dan swasta. Seandainya saya tidak mengalami sendiri mungkin saya tidak percaya. Rumah sakit pemerintah ‘menolong’ saya dengan biaya lebih mahal, waktu yang tidak efisien dan hampir membahayakan mata saya karena kelambanan menanganinya.

Rabu, 8 Agustus 2007 pagi tiba-tiba kelopak mata kiri saya tidak bisa membuka dan terasa sakit. Besoknya saya coba memeriksakan mata ke poli mata yang ada di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, di Salemba, Jakarta. Prosedur di rumah sakit tersebut mengharuskan saya untuk mendaftar terlebih dahulu karena memang pada saat itu saya pasien baru. Untuk pendaftaran pasien mata golongan umum dikenakan tarif Rp35.000 sedangkan yang memakai Askes dikenakan tarif Rp9000.

Saya tak menaruh curiga. Bukankah sudah menjadi hal yang lumrah jika orang beranggapan berobat di rumah sakit pemerintah lebih murah ketimbang di rumah sakit swasta atau dokter spesialis yang praktek di rumah? Ini mendorong saya ketika saya sakit dan butuh pelayanan kesehatan untuk melangkah ke rumah sakit umum pusat di Jakarta itu. Semula saya menganggap pelayanan di setiap rumah sakit baik pemerintah maupun swasta memiliki mekanisme yang sama. Mungkin hanya dokternya saja yang berbeda. Tapi ternyata anggapan saya selama ini jauh dari kenyataan. Pelayanan di rumah sakit pemerintah jauh lebih buruk dari rumah sakit swasta.

Sebab, proses selanjutnya jadi serba berbalikan dengan anggapan banyak orang itu. Di rumah sakit itu saya kemudian diperiksa oleh seorang perawat di kamar 30. Di situ saya diperiksa lagi oleh beberapa dokter muda yang masih terlihat seperti mahasiswa praktek. Setelah selesai memeriksa mereka terlihat berdiskusi dan kemudian menyuruh saya ke ruangan lain untuk diperiksa lagi. Kembali saya diperiksa oleh dokter-dokter muda dan mereka menganjurkan saya untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Mereka memberitahukan tarif yang harus saya bayar untuk melakukan pemeriksaan lanjutan tersebut. Biayanya Rp170.000, jumlah yang tidak sedikit bagi saya.

Saat itu pula saya tanyakan tentang diagnosa penyakit mata yang saya alami, dan mereka hanya menjawab,“Ibu lakukan pemeriksaan dulu. Kalau ada hasilnya baru kita bisa tahu.” Lalu mereka beralih ke pasien lainnya begitu saja tanpa menghiraukan saya yang masih kebingungan.

Karena didorong kecemasan dan segera ingin memperoleh kepastian tentang penyakit ini, saya menuruti anjuran mereka. Saya diperiksa dengan alat pemeriksaan lapang pandang dengan seperangkat alat. Tapi betapa kecewa dan jengkelnya saya ketika selesai pemeriksaan itu saya tetap tidak bisa mengetahui diagnosa tentang penyakit yang saya derita. Sekali lagi saya dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan lainnya lagi (EMG) dengan tarif Rp175.000. Konyolnya pemeriksaan itu baru bisa laksanakan hari Senin karena jadualnya penuh. Padahal mata saya sudah sangat sakit. Bola mata sudah tidak bisa digerakkan. Lebih parahnya lagi mereka tidak menghiraukan komplain saya dan berlalu begitu saja.

Saya merasa tidak puas karena tidak bisa mengetahui diagnosa penyakit saya. Atas anjuran seorang teman saya memutuskan untuk memeriksakan kembali mata saya ke rumah sakit mata AINI di Jl. Rasuna Said, Kuningan. Setiba di rumah sakit itu saya mendaftarkan diri dengan membayar Rp130.000 dengan rincian uang pendaftaran sebesar Rp10.000 dan uang periksa Rp120.000. Setelah mendaftar saya diperiksa oleh seorang perawat kemudian ditangani oleh seorang dokter.

Saat itu saya ditangani oleh dr. Sukri M, dan dia menanyakan kronologi sakitnya mata. Setelah beberapa saat memeriksa mata saya sambil menanyakan beberapa pertanyaan dia kemudian menyatakan diagnosanya tanpa meminta saya melakukan pemeriksaan tambahan. Dia bilang ada gangguan pada ‘syaraf ketiga’ yang menggerakkan bola mata dan kelopak mata. Dia bahkan menjelaskan lebih jauh tentang adanya 12 pasang syaraf dengan fungsinya yang berbeda.

Saya tunjukkan juga obat dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo ke dokter tersebut. Ia berkomentar obat tersebut hanya vitamin. Kemudian saya diminta membeli obat di apotik seharga Rp105.000. Lalu mata saya sembuh.

Saya hitung-hitung jika saya menuruti saran-saran dokter di rumah sakit pemerintah tersebut biayanya akan membengkak lebih besar. Selain itu saya juga mesti berhari-hari menahan rasa sakit agar sampai bisa diperiksa dengan EMG. Apakah mereka tidak menghiraukan perkembangan mata saya yang bisa lebih parah selama menunggu jadwal pemeriksaan? Benarkah ini hanya masalah perbedaan kualitas SDM? Ataukah masalah perbedaan manajemennya?**

No comments:

Post a Comment