14 January 2008

“Anak Haram yang Dilupakan Keberadaannya”

Kabupaten Jember

Savitri W. & Prasetyohadi

TKI adalah anak haram dari pembangunan yang gagal.” Inilah pernyataan dari salah satu nara sumber dalam kegiatan diskusi publik, 13 Desember 2007 di Lembaga Penelitian Universitas Jember, Jember, yang bertemakan “Skema Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Tingkat Kabupaten – Aspek Perekrutan, Pendidikan dan Pembiayaan di Tingkat Kabupaten”. Istilah “anak haram” itu sejajar dengan sikap masyarakat yang tidak memandang penting keberadaan para TKI dan bahkan ada kecondongan mempersalahkan mereka. Tidak jarang stigma masyarakat terhadap TKI cukup kuat datang dari kalangan pemerintah, PPTKIS dan bahkan dalam komunitas masyarakat itu sendiri.

Itulah gambaran yang melekat ketika para peserta diskusi publik itu membahas masalah TKI dan kemungkinan legislasi peraturan daerah (perda) untuk perlindungan TKI di kabupaten ini. Dari seluruh proses lobby dalam kegiatan advokasi kebijakan publik ini, tampak respons para pihak tak cukup padu sehingga masih membutuhkan proses-proses lanjutan untuk mencapai kemungkinan mengangkat raperda perlindungan TKI di tingkat publik. Pihak pemerintah daerah dan DPRD belum melakukan komunikasi yang langsung mengarah pada masalah penataan perlindungan TKI di kabupaten. Disnakertans Jember belum merespons positif bentuk payung hukum perda untuk perlindungan TKI. Dalam kegiatan diskusi publik itu Ka-Disnakertrans Jember M.Thamrin menyatakan menyerahkan legislasi peraturan daerah ini kepada DPRD.

Caption: Para ibu mantan TKI ini sudah tidak mau lagi jatuh ke pola berulang jadi TKI karena hasil kerja mereka habis dikomsumsi untuk hal-hal tak terencana. Tapi mereka masih ragu-ragu dengan membangun ‘koperasi’. Namun, kini Disnakertrans Jember bersedia menguatkan para mantan TKI dengan menyelenggarakan kegiatan pelatihan pemberdayaan ekonomi. Foto diambil ketika mereka sedang mendiskusikan masalah TKI, Februari 2007 di salah satu rumah mantan TKI di desa Watukebo, kecamatan Ambulu, Jember.


Mengapa penting bahwa ada perda perlindungan TKI? Perda ini sangat prospektif mengurangi permasalahan krusial yang menimpa TKI. Dengan perda ini pihak-pihak yang terlibat dalam masalah TKI akan sangat diuntungkan karena masyarakat semakin mempercayai pemerintah dalam mencapai pemerintahan yang baik (good governance). Pemerintah akan sangat dibantu oleh masyarakat dalam menjalankan programnya. Reputasi kinerja PPTKIS membaik. Dan akhirnya tentu saja perda ini sangat bermanfaat bagi para TKI karena keselamatannya dijamin.

Lihat/klik dua tulisan lain yang terkait:
* Kabupaten Banyumas: "Keterbukaan yang Memberi Harapan"
* Kabupaten Tulang Bawang: "Antara Kemauan, Keraguan & Ketakberdayaan"

Namun, sejauh ini pihak eksekutif baru sampai pada pernyataan kesediaan memberikan perlindungan. Tidak dalam bentuk suatu peraturan daerah, tetapi dengan program-program seperti: 1) mengaktifkan balai latihan kerja berwujud program pendidikan untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan para calon TKI asal Jember sebelum diberangkatkan ke PPTKIS di luar kabupaten Jember, 2) menangani kasus deportasi dan 3) mengajak pihak bank bekerja sama untuk memberikan skema kredit kepada calon TKI yang akan bekerja ke luar negeri.

Sementara itu pihak DPRD, terutama Komisi D yang mengurus masalah kesejahteraan masyarakat termasuk untuk perlindungan TKI, sesungguhnya sudah menyatakan sikap membela kepentingan para TKI, terutama karena tak sedikitnya kasus-kasus dan berbagai masalah yang dialami oleh para TKI. Pihak DPRD merasa perlu bahwa perda ini segera digolkan. Namun pendalaman isi raperda masih tetap perlu dikembangkan lagi bersama dengan mereka. Diperlukan upaya-upaya terfokus untuk mendorong dan mengawal raperda secara lebih mendalam lagi terutama bagi para anggota DPRD agar memberikan perhatian lebih konkrit. Upaya ini dipandang penting dilakukan secara terus-menerus mengingat berbagai kesibukan anggota-anggota DPRD seperti konsolidasi kepada basis, penyusunan anggaran APBD (2008) dan kesibukan-kesibukan lainnya yang mengharuskan mereka untuk keluar dari kantor.

“Mudah-mudahan bukan sekedar basa-basi,” ujar seorang nara sumber lain dalam diskusi publik itu. Oleh karena itu perlu adanya organisasi setempat yang sepenuhnya mengawal raperda ini untuk tahap-tahap selanjutnya. Sejauh ini telah tersedia ‘pintu-pintu masuk’ bagi pembahasan raperda seperti sikap Komisi D DPRD Jember yang sudah sepakat dengan isu ini dan penyerahan pihak pemerintah daerah agar perda sebaiknya diinisiasikan oleh DPRD. Organisasi lokal yang bersedia mengawal adalah Gerakan Buruh Migran Jember (GBMI) sebagai bagian sekaligus solidaritas kerja dari kerangka advokasi lebih luas yang dikerjakan oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).

Untuk percepatan pembahasan raperda, tentunya diharapkan isu perlindungan TKI melalui raperda ini tidak hanya menjadi keprihatinan komisi D yang kebetulan mayoritas anggotanya berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan merupakan partai terbesar dalam perolehan suara pada pemilu tahun 2004 di kabupaten ini. Mestinya partai ini berinisiatif lebih cepat, apalagi ada dukungan sepenuhnya dari arah tokoh-tokoh agama yang tergabung dalam ormas besar Nahdlatul Ulama agar nasib TKI sungguh-sungguh diperhatikan. Namun perpecahan internal yang melanda partai ini tampak sangat berdampak pada kinerja publik para anggota DPRD-nya. Sekalipun demikian, beberapa di antara mereka tetap memegang tekad bekerja sungguh-sungguh dan melihat bahwa dengan mengangkat isu melindungi TKI, partai ini akan mendapatkan kredit pemulihan nama baik di hadapan masyarakat.

Fraksi kedua terkuat yakni PDIP ternyata juga merasa bahwa permasalahan TKI harus segera diatasi melalui raperda. Bahkan Zahrony, salah satu anggota PDIP, menyatakan bahwa PDIP akan membahas raperda yang kami usulkan di DPRD.

Namun, dalam prosesnya sampai sejauh ini, upaya mendekati negosiasi antarpara pihak menuju ke raperda perlindungan TKI sesungguhnya tidak semudah membalikkan tangan. Proses yang kami lalui terasa cukup berbelit dan tak langsung menuju sasaran kegiatan. Hal ini terutama karena kuatnya pertahanan pihak kemapanan politik ekonomi di kabupaten ini. Apalagi jika diingat telah ada pencabutan yang dilakukan oleh Depdagri terhadap ratusan perda, termasuk satu perda yang sebelumnya telah diusulkan wewenang kabupaten Jember namun ternyata dipandang mengandung retribusi atas berbagai kegiatan ekonomi yang dilakukan di kabupaten (Kompas, 1 April 2006). Selama ini ada anggapan di kalangan elit politik di berbagai kabupaten di Indonesia, termasuk di Jember, bahwa perda digunakan sebagai sarana meningkatkan pendapatan asli daerah. Karenanya, dengan adanya pembatalan berbagai perda oleh Depdagri itu, dapat difahami mengapa terdapat resistensi laten dari elit daerah terhadap pemerintah pusat. Perda dipandang bukan solusi. Elit eksekutif daerah berpandangan bahwa kebijakan nasional dan lobby internasional pemerintah untuk perlindungan TKI sesungguhnya belumlah memungkinkan daerah dengan mudah begitu saja melakukan implementasi perlindungan terutama jika diutamakan ada preferensi pencegahan berbagai masalah percaloan TKI di desa-desa.

Mengingat semua kerumitan hubungan-hubungan politik tersebut, atas usulan berbagai pihak baik dari kalangan masyarakat sipil maupun pemda terutama Disnakertrans di Jember, kami diminta tidak hanya menghembuskan isu tentang raperda tapi juga mengajak para pihak untuk mendorong adanya kegiatan atau program jangka pendek dan menengah dalam kerangka perlindungan TKI. Raperda menjadi tujuan untuk jangka panjang. Hal ini bersesuaian dengan latar belakang dan kerangka mengapa kami melakukan penelitian advokasi ini yaitu belum kuatnya respon dari para pengambil keputusan untuk mengurus TKI terutama di kalangan internal pemerintah kabupaten sendiri. Dibutuhkan kegiatan-kegiatan penyambung yang memungkinkan kita mengangkat perspektif kepentingan dari para TKI sendiri.

***

Peran pemerintah. Memang telah banyak kegiatan preventif seperti sosialisasi mengenai migrasi yang aman sudah dilakukan hingga tingkat desa. Sedangkan kegiatan rehabilitasi yang sudah dilakukan adalah membentuk satgas penanganan kasus dan bantuan hukum yang melibatkan para stakeholders setempat. Selain itu, ada peningkatan anggaran untuk perlindungan TKI tahun 2008 yang semula dianggarkan Rp 50 juta menjadi dua kali lipat. Kegiatan lainnya adalah penguatan ekonomi desa dengan membina kelompok-kelompok di desa agar dapat memanfaatkan potensi dan kekayaan desa. Namun setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi mengapa meskipun telah dilakukan program-program oleh Disnakertrans Jember, belum banyak perbaikan bagi kebutuhan mendesak terhadap perlindungan TKI.

Pertama, karena tetap bermunculannya kasus-kasus yang menimpa para TKI, terutama yang terjadi di luar negeri. Hal ini terus menjadi sorotan dari organisasi TKI setempat dan telah menimbulkan dampak non-komunikasi antara gerakan masyarakat yang membela TKI dan Disnakertrans Jember sendiri. “Copot Kadin yang Tak Lindungi TKI” (Radar Jember, 12 Desember 2007) adalah judul berita yang menandakan buntu-komunikasi di antara para pihak, namun sesungguhnya dapat diartikan sebagai “blessing in disguise” setelah kita tengok umpan balik positif yang ditimbulkannya. Situasi non-komunikasi ini terutama disebabkan karena kasus-kasus yang menimpa para TKI sama sekali ‘tidak tertangani’ di tingkat kabupaten. Sementara pihak Disnakertrans beranggapan bahwa “persoalan TKI terutama adalah persoalan nasional”. Implikasinya kasus-kasus TKI, termasuk yang menimpa warga Jember, tidaklah dipandang sebagai masalah yang pertama-tama harus ditangani oleh Disnakertrans kabupaten bersangkutan. Hal ini telah menimbulkan salah sasaran komunikasi di samping tak memadainya kesadaran publik terhadap problematika para TKI sendiri. Namun, meskipun keadaan jadi tidak menentu, situasi ini mendorong penelitian advokasi ini untuk melerai keadaan non-komunikasi itu terlebih dahulu sebelum bisa bergerak maju lebih pasti dan on the track menuju ke pembahasan raperda yang sesungguhnya.

Caption: Diskusi publik membahas perlindungan TKI yang diselenggarakan di Lembaga Penelitian Universitas Jember, Desember 2007, yang dihadiri oleh pemerintah, masyarakat, PPTKIS. Insert: Kadisnakertrans Jember Drs. M. Thamrin sedang memaparkan kerangka kerja kantornya. Kehadirannya melerai kebekuan hubungan masyarakat dan pemerintah.
Kedua, karena keterbatasan perspektif program pemerintah daerah yang pada gilirannya tidak didukung oleh anggaran pendanaan yang memadai, sehingga sebagai dampaknya, masih terlalu sedikit desa dan kecamatan menjadi sasaran kegiatan dan program Disnakertrans. Luas dan tersembunyinya masalah percaloan TKI di pedesaan kabupaten juga mempersulit munculnya ancangan pemikiran tentang pencegahan, seperti monitoring dan pendataan TKI di desa-desa. Seandainya diprogramkan kegiatan pencegahan, maka akan harus dilakukan secara bertahap dari tahun ke tahun.

Sementara itu, dari sisi strategi advokasi, kegiatan advokasi ini akhirnya perlu berpaling dari kerumitan politik itu menuju usaha membenahi fokus komunikasi di kalangan masyarakat sipil terlebih dahulu, sebelum melakukan lobby lebih jauh untuk mengajak para pemangku kepentingan seperti pemda (terutama Disnakertrans dan Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten). Sedangkan dari sisi pendekatan yang kami tempuh, sosialisasi hasil penelitian yang menawarkan perspektif mengenai pentingnya perlindungan kepada TKI asal Jember kami lakukan dengan berbagai cara. Baik dalam jumlah kecil antara 10 orang hingga lebih dari lima puluh orang. Rangkaian kegiatan seperti diskusi kelompok terfokus (FGDs), workshop, lobby dan diskusi publik merupakan cara untuk menampung pendapat dan menguji hasil penelitian mengenai raperda perlindungan TKI yang telah dibuat dan mengoreksi arah advokasi yang berusaha kami tempuh.

Masukan dari kecamatan dan kelurahan. Pihak kecamatan dan kelurahan memberi tanggapan positif mengenai raperda perlindungan TKI. Pihak desa merasa bahwa perlu ada peraturan yang melindungi TKI. Kepala desa sering menjadi korban ketika warganya pergi keluar dan apabila warganya mengalami masalah, maka kepala desa juga akan mendapatkan teguran. Mereka sangat berharap ada kegiatan yang melibatkan kepala desa seperti pengurusan TKI berada di desa, bahkan mereka mengusulkan warga yang berangkat melalui desa, terlebih dahulu dilepas dari desa. Tidak hanya itu saja, mereka meminta adanya sosialisasi mengenai tatacara bekerja ke luar negeri yang benar dan aman dan mengajak organisasi TKI atau pemerintah daerah dalam melaksanakan kegiatan tersebut. Kegiatan-kegiatan ini apabila dilaksanakan akan mengurangi percaloan di tingkat desa dan adanya pendataan yang lebih baik.

***

Dukungan masyarakat sipil di Jember. Berbeda dengan kabupaten-kabupaten lain dalam seluruh penelitian advokasi ini, kekuatan para pegiat ormas atau LSM/NGO di Jember tidak diragukan lagi. Banyak terdapat organisasi kemasyarakatan. Mereka berfikir kritis terhadap kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah. Namun sayangnya para LSM/NGOs masih bekerja sendiri-sendiri dan kurang berkoordinasi terutama untuk isu TKI. Pada awalnya, respons dari organisasi masyarakat di Jember tentang raperda TKI sesungguhnya sangat positif, terutama dari pihak para pegiat Gerakan Buruh Migran Indonesia di Jember (GBMI) yang dari semula bersedia mengusung kelanjutan proses mendorong pihak legislatif. Namun, respons kalangan masyarakat sipil yang lain tentang raperda seperti serikat-serikat petani di kabupaten ini sangatlah pesimistis. Sebelumnya mereka sudah mempunyai pengalaman kegagalan dalam mengusung raperda tentang penataan produksi tembakau. Hasil akhirnya tidak sesuai dengan yang diharapkan bagi kemaslahatan para petani. Namun, setelah kami berinisiatif untuk menawarkan perspektif isu perlindungan terhadap TKI kepada ‘orangtua’ para TKI yang kebanyakan adalah para petani miskin di pedesaan, Serikat Tani Independen (Sekti) yang telah bekerja mengorganisir masyarakat desa di sekitar 20-an kecamatan memberikan respons cukup aktif terhadap permasalahan TKI. Mereka bersedia mengupayakan apa saja yang mungkin dilakukan sejauh dalam kemampuan. Kepedulian mereka terhadap masalah TKI berawal dari perkiraan dan pengakuan mereka bahwa 30 persen dari anggota serikat petani ini terkait dengan (masalah) TKI atau pernah atau sedang menjadi TKI di luar negeri, bahkan dipertimbangkan pula ada anggota-anggota serikat tani yang menjadi sponsor calon TKI. Mereka bersikap kritis terhadap sikap konsumtif dari para mantan TKI setelah pulang bekerja dari luar negeri.

Caption: Diskusi kelompok dengan para tokoh Serikat Petani Independen (Sekti) di Ambulu, Jember, Oktober 2007, melahirkan gagasan perlunya ‘konsultansi perencanaan’ bagi para calon TKI.
Organisasi petani sebagai ‘orangtua TKI’ akhirnya menyadari bahwa para TKI bukan lagi ‘anak-anak haram’ (mereka sendiri) seperti tergambar dari kenyataan bahwa selama ini para (mantan) TKI telah mendapatkan stigma sebagai ‘konsumtif’, seperti halnya banyak pihak juga telah melancarkan stigma tersebut. Para TKI juga dipandang merupakan perwujudan dari pergeseran nilai-nilai di pedesaan yang belum dapat diterima oleh masyarakat. Namun masyarakat menyadari bahwa keterlantaran perlindungan TKI adalah “hasil kinerja haram dari kegagalan pembangunan”. Disadari bahwa mengapa warga miskin di desa-desa berpaling dari masalah desa ke migrasi kerja dengan jadi TKI adalah karena mereka merupakan lapis terbawah dan termiskin di antara sejumlah 50 persen kelompok miskin di kabupaten ini. Kegagalan penanganan masalah kemiskinan oleh pemerintah telah berdampak jauh sampai ke keadaan bahwa wewenang kabupaten tak mampu mengetahui siapa saja, berapa banyaknya, mengapa anak-anak perempuan desa mengadu nyawa dan mengadu nasib menjadi TKI di luar negeri, dst., sementara disadari pula bahwa sejauh ini sama sekali tidak ada skema perlindungan bagi hidup dan nyawa mereka.

Karenanya dalam diskusi kelompok terarah (FGD), 4 Oktober 2007 di kecamatan Ambulu, mereka mengancangkan kemungkinan intervensi untuk para mantan TKI agar tak konsumtif dengan cara menawarkan pendidikan mengenai perencanaan hasil kerja kepada calon TKI. Diharapkan setelah pulang, para TKI dapat mengelola hasil kerja dengan lebih baik. Organisasi TKI yang diwakili GBMI dalam diskusi itu juga diterima oleh Sekti dan karenanya berkomitmen akan memberikan pendidikan dan pelatihan bagi calon TKI di 20-an kecamatan dampingan Sekti.

Jaringan serikat petani dan nelayan —sebut saja serikat rakyat— di tingkat kabupaten Jember juga mampu mendorong advokasi ini untuk dapat mendongkrak leverage isu perlindungan TKI sehingga dapat menawar kepada Disnakertrans Jember untuk bersedia membuka komunikasi publik yang lebih konstruktif, sembari mengajak organisasi TKI untuk masuk ke ranah negosiasi kebijakan di tingkat kabupaten. Serikat rakyat sebagai bagian dari kalangan pegiat masyarakat sipil melihat bahwa ketidakadilan tampak mencolok dalam ketidakseimbangan antara apa yang diberikan oleh para TKI kepada pemerintah dan alokasi dana untuk program TKI di kabupaten ini.

Untuk rancangan APBD Jember 2007, program untuk TKI hanya dianggarkan Rp50 juta saja —menurut informasi terakhir dari Ka-Disnakertrans sudah naik menjadi dua kali lipatnya— , sementara mereka menyadari bahwa setidaknya setiap calon TKI yang merekrut dan ditempatkan oleh PPTKIS yang sah diakui pemerintah telah membayar sebanyak US$15 kepada pemerintah pusat. Penarikan sebesar US$15 kepada setiap TKI juga diakui oleh Menakertrans, Erman Suparno (Kompas, 30 Januari 2007).

Isu kesenjangan ini mampu menarik perhatian dan keprihatinan dari jaringan petani yang menyadari diri mereka sebagai ‘orangtua’ atau ‘yang ada kait-mengait langsung’ dengan masalah TKI di kabupaten ini. Isu ini memancing mereka untuk mengancangkan bahwa jika ada tim kerja di tingkat kabupaten yang melibatkan baik pemerintah, bisnis, maupun masyarakat sipil, maka urusan perlindungan TKI dapat lebih dijamin kelanjutannya di masa depan jangka pendek ini.

Diskusi publik yang kami dorong pelaksanaannya untuk mencari solusi itu akhirnya mengarahkan para peserta pada keyakinan bahwa semua upaya ini tidak akan berhenti pada diskusi publik itu sendiri tapi bahwa kelanjutannya hanya mungkin dilakukan jika tim kerja itu melibatkan semua pihak yang terkait sejak awal perencanaan. Salah satu di antara isu yang mungkin ditarik adalah bahwa untuk memungkinkan berbagai pihak di daerah mengimplementasikan program perlindungan TKI di tingkat kabupaten, mereka perlu menagih kepada pemerintah pusat pendanaan yang diperlukan secara lebih seimbang.

Peran akademisi. Sementara itu, peran akademisi yakni Lembaga Penelitian Universitas Jember (Lemlit Unej) sebagai pihak netral dan terhormat di kalangan masyarakat Jember, kami libatkan untuk ikut serta dalam kegiatan ini. Sebagai panitia penyelenggara dalam kegiatan diskusi publik yang diadakan pada tanggal 14 Desember 2007, Lemlit lewat Pusat Studi Wanita menawarkan respons positif terhadap masalah TKI. Mereka telah familiar dengan isu TKI karena isu ini adalah satu bidang telaah di lembaga ini yang telah melakukan penelitian tentang TKW di desa-desa di kabupaten Jember. Diancangkan Lemlit membantu menghembuskan isu TKI ini kepada pemerintah daerah sehingga segera terjaring bentuk-bentuk perlindungan kepada TKI secara lebih konkrit.

Peran PPTKIS. Dari kalangan bisnis perekrutan dan penempatan sendiri, PPTKIS dan cabang PPTKIS berpendapat tidak perlu ada penataan hukum di tingkat daerah. Mereka beranggapan bahwa UU No 39 tahun 2004 sudah baik. Hanya saja, menurut mereka, “kelemahan dari UU tersebut adalah adanya penyimpangan implementasi.” Mereka menyarankan pula bahwa calo atau sponsor dilegalkan karena tanpa bantuan mereka, para TKI tidak memahami persyaratan dan bisa bekerja ke luar negeri. “Calo atau sponsor menjadi corong informasi yang tidak dibayar oleh pemerintah,” kata salah satu pejabat PPTKIS di Jember. Hal ini dapat dimengerti mengingat sedikitnya jumlah PPTKIS yang berbasis di Jember atau cabang PPTKIS yang membuka kantor secara resmi di kabupaten ini. Dari hasil penelitian tampak jelas bahwa jauh lebih banyak sponsor/calo bekerja dan mencari para calon di antara keluarga-keluarga petani termiskin dari kabupaten ini tapi PPTKIS yang membayar mereka berada di luar jangkauan dan pantauan Disnakertrans Jember. Lobby PPTKIS di hadapan pemerintah setempat kurang memadai sehingga mereka lebih mengambil opsi jalan aman.

Akhir kata, pembelajaran yang didapat setelah berinteraksi langsung maupun tidak langsung dengan masyarakat Jember dapat direfleksikan bahwa pemahaman akan isu TKI ini sudah mulai diperhatikan oleh pemerintah Jember. Pendekatan perlindungan hukum masih merupakan hal baru bagi mereka. Masih tarik ulur mengenai pentingnya perda dan apa keuntungannya bagi saya (pemerintah daerah). Di Jember, hanya ada satu PPTKIS pusat dan selebihnya adalah PPTKIS cabang/perwakilan. Ini pula yang membuat pemerintah daerah merasa tidak perlu ada perda.

Namun dari semua itu, yang patut diacungi jempol adalah sikap otentik para pemangku kebijakan dalam mengekspresikan pendapatnya. Mereka tidak malu untuk bersikap menolak atau menerima raperda ini. Sikap ini membantu kami dalam melakukan pendekatan-pendekatan alternatif lainnya.

Kelemahan dari program ini adalah keterbatasan waktu yang menyebabkan kami tidak dapat intens untuk berbicara dan bertukar pikiran kepada para pihak terutama para pengambil kebijakan. Istilah umumnya “tak kenal maka tak sayang” sangat mempengaruhi perspektif mengenai TKI.

Harapan kami, kesadaran masyarakat akan pentingnya raperda semakin utuh sehingga mereka tidak takut dalam mengambil kebijakan yang pro kepada TKI. Apabila raperda ini belum dapat dilakukan segera, maka setidaknya untuk jangka pendek, masyarakat dan pemerintah mulai berkoordinasi, bekerja bersama dalam mengupayakan perlindungan TKI.**

No comments:

Post a Comment