27 February 2008

Babak Baru Milik Para Raja Minyak?

Sri Maryanti

Aku agak terhenyak membaca satu artikel liputan khusus tentang energi di Majalah Time edisi 25 Februari 2008. Desert Dream, Mimpi Padang Pasir, begitu judulnya. Sebuah liputan tentang mega proyek pengembangan sumber energi alternatif dan berkelanjutan di kota Masdar, satu kota kecil di dekat ibu kota negara Uni Emirat Arab. Mereka menyebutnya Masdar Initiative.

Apakah memang benar-benar sudah terjadi perubahan paradigma dalam masyarakat dan pelaku bisnis di Timur Tengah? Bukankah yang dituding sebagai pemasok terbesar penyebab efek rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global adalah pembakaran bahan bakar fosil? Bukankah negara-negara Timur Tengah termasuk Emirat Arab adalah negara pemasok terbesar minyak tanah dunia? Bukankah seharusnya mereka termasuk salah satu pihak pertama yang paling terancam oleh isu perubahan iklim?

Proyek itu sangat spektakuler. Bahkan terdengar radikal dan tak pernah terjadi di tempat lain. Di saat dunia lantang meneriakkan masalah perubahan iklim, Emirat Arab —sebagai negara kelima pengekspor minyak terbesar dunia dan karenanya jadi negara terkaya urutan keenam dan berindeks ke-39 atau termasuk golongan negara berkategori “high” dalam daftar capaian pembangunan kemanusiaan (HDI) menurut PBB— mengambil langkah maju. Mereka tak hanya membangun pembangkit energi terbaik dari lempeng surya di satu area luas di tengah padang pasir guna menyangga kebutuhan energi berskala besar untuk suatu kota, bahkan mereka juga membangun sistem kota masa depan yang holistik. Slogannya zero-waste, zero-carbon.

Mereka merencanakan kota dengan sistem transportasi yang menggunakan kereta bertenaga magnet dan bebas mobil, pengolahan sampah yang diuraikan kembali dan didaur ulang dan juga sistem pembuangan limbah yang canggih dan tak bergantung pada minyak dan gas. Lalu untuk memperoleh air bersih, mereka melakukan proses desalinisasi air laut yang digerakkan dengan tenaga surya. Selain itu penduduknya juga akan mengonsumsi energi dari sumber yang bisa diperbarui.

Tentu proyek itu memerlukan biaya yang sangat mahal karena didukung teknologi inovatif dan rumit yang diuji selama delapan belas bulan di lapangan oleh para peneliti. Oleh karenanya pemerintah setempat membanggakan betul proyek itu. Banyak orang menganggap bahwa negara ini akan menjadi pelopor pembaruan energi di masa mendatang. Qatar dan Mesir lalu mengikuti langkah negara ini. Mereka mulai tak ragu berinvestasi di bidang riset energi alternatif. Hatem Khairy, konsultan energi dari Mesir malah berani bilang “Masa depan produksi minyak dan gas suram.”

Lagi, pertanyaanku adalah apakah memang benar-benar sudah terjadi pergeseran paradigma dalam masyarakat, pemerintah dan pelaku bisnis di negara tersebut? Bukankah yang dituding sebagai pemasok terbesar penyebab efek rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global adalah pembakaran bahan bakar fosil? Dan negara-negara Timur Tengah termasuk Emirat Arab adalah negara pemasok terbesar minyak tanah dunia? Jadi kalau isu perubahan iklim membesar dan menggelembung maka akan menekan perekonomian negara-negara kaya tersebut.

Bayangkah kalau iklim dunia semakin memburuk, apakah isu perubahan iklim tak akan menekankan negara-negara kaya itu? Apakah mereka terlalu pandai menangkap isu dan menjadikannya sebagai peluang bisnis? Kemungkinan ini bisa saja terjadi. Toh Norman Foster, arsitek Inggris yang mencipta dan merancang proyek ini, bilang bahwa tak ada proyek yang lisensinya gratis. Foster pasti dibayar mahal dalam proyek ini. Yang jelas proyek ini dibiayai oleh para investor lokal dan sebagian lagi investor-investor asing. Tapi, apakah negara besar lain seperti Amerika Serikat, Inggris atau negara-negara Eropa lainnya kalah pintar dan kaya dibandingkan Emirat Arab sehingga tak mampu membeli dan mengambangkan teknologi dari Norman Foster tersebut. Sampai sekarang, belum ada kabar yang sehebat ini dari negara-negara itu. Bahkan di Amerika Serikat pemerintah federal masih perlu terus diteriaki oleh para aktivisnya agar membuat kebijakan untuk mengurangi emisi karbon.

Tapi kalau memang benar proyek tersebut mampu menghasilkan alternatif energi yang tidak merusak alam, setidaknya ada dua hal penting yang perlu dicatat sebagai kemungkinan. Pertama, memang sudah terjadi satu kemajuan berupa penemuan baru yang berguna untuk kehidupan manusia dimasa mendatang. Kedua, mungkin sudah ada tanda-tanda pergeseran respons yang lebih baik dari pelaku bisnis global. Selama ini kalangan bisnis dituduh sebagai pelaku kerusakan alam tetap bertahan dengan berbagai kamuflase. Tapi kali ini agak lain. Mereka sedikit mengubah tindakan ke arah yang relatif sedikit mempertimbangkan “kepentingan bersama” ataukah justru “life-style para penguasa negara kaya berduit?” Jika dibandingkan negara lain seperti Jerman, Amerika Serikat, Prancis, Rusia dan RRCina yang cenderung memilih energi nuklir sebagai alternatif —walaupun masih banyak diprotes masyarakatnya yang tidak percaya keamanan penggunaan energi nuklir—, pilihan Emirat Arab tampaknya lebih bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.**

Links

No comments:

Post a Comment