06 November 2008

Anjing di Lembata

Sri Maryanti

Tinggal bersama keluarga pedesaan terpencil di Buyasuri, kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur sangatlah menarik. Keluarga tak hanya terdiri dari ayah, ibu, anak dan rumah saja. Kalau kita perhatikan lebih teliti ada perangkat dan pranata lain yang menyertai satuan kehidupan kecil tersebut. Hewan memiliki peran dan hubungan yang tak lepas dari kehidupan anggota keluarga.

Hampir sebagian besar rumah keluarga di Buyasuri dijaga oleh anjing. Mereka menyebutnya "au eko boyang". Di saat malam sudah larut dan orang-orang sudah lelap, anjing-anjing ini akan menggonggong jika ada orang asing masuk ke perkampungan. Suaranya mampu membangunkan penghuni rumah. Jadi jangan heran, kalau kita sembarangan masuk ke pekarangan orang malam-malam bisa dikeroyok oleh anjing-anjing tersebut. Tak hanya itu. Masyarakat adat setempat percaya bahwa rumah tanpa anjing akan membawa rasa sepi bagi penghuninya.

Di jalan-jalan dekat pedesaan Lodoblolong (di luar Buyasuri) juga sering dijumpai anjing-anjing membuntut tuannya menuju kebun. Di beberapa daerah perbukitan di Kedang, anjing berguna untuk keperluan berburu. Begitu anak panah mengenai sasaran, anjing tersebut akan mengejar dan melacak lokasi sasaran yang sudah terluka.

Keluarga-keluarga di sini memiliki dongeng menarik yang berhubungan dengan perpecahan masyarakat dan soal anjing. Kebetulan Buyasuri masuk wilayah Kedang. Dulu masyarakat Kedang sangat kompak dan bersatu. Hingga pada suatu hari mereka mengadakan pesta di atas gunung. Dalam pesta itu mereka menyembelih babi lalu dibagi-bagi ke semua yang datang. Namun daging babi tersebut tidak cukup. Walau tidak cukup dan ada yang tidak kebagian, mereka terus saja bertandak bersama. Satu sama saling bergandeng tangan sambil melingkar, menari dan menyanyi. Dengan iringan lirik seperti berikut ini.
Namang ita hele
Hamang te lamang

Nedung te hedung

Lirik itu adalah ajakan untuk menyanyi dan menari bersama. Mereka lagukan nyanyian itu sambil terus bertandak.. Tiba-tiba anjing-anjing berdatangan dari segala arah. Rupanya mereka mendengar nyanyian itu dan merasa diajak menari juga. Mereka ikut bertandak dalam pesta. Melihat anjing-anjing juga bertandak, orang itu bubar sendiri-sendiri. Rusak sudah kekompakan itu. Bagi mereka melihat anjing bertandak adalah hal tabu. Yang pantas menari adalah manusia. Hal itu sebenarnya semacam sindiran.

Kisah tersebut mengajarkan nilai-nilai luhur dalam masyarakat. Manusia yang tidak peka terhadap persoalan bersama dianggap sama dengan anjing. Kisah itu dipercaya sebagai awal perpecahan masyarakat di Kedang. Sejak itu Kedang terbagi menjadi beberapa bagian. Saat ini Kedang dipecah menjadi dua menurut wilayah administratif. Kecamatan Omesuri dan Buyasuri. Kisah ini juga tak banyak diketahui oleh anak-anak muda sekarang. Tidak tertutup kemungkinan masih ada versi lain dari cerita ini.

Selain anjing, keluarga-keluarga di sini juga banyak memiliki babi. Walau ada yang menaruh di pekarangan, babi umumnya ditaruh di kebun. Kebun adalah tanah garapan yang letaknya di luar desa. Biasanya di pinggir-pinggir hutan. Babi betina dewasa yang siap kawin akan dibawa ke pekarangan menunggu babi jantan birahi. Mereka lalu dikawinkan. Jika proses pembuahan cukup akan dikembalikan ke kebun. Mereka dibawa ke pekarangan pada masa-masa perkawinan agar mudah diawasi. Mereka lebih banyak ditaruh di kebun agar tidak mengganggu perasaan saudara mereka yang muslim. Di Buyasuri separo penduduk beragama katholik dan setengahnya lagi beragama muslim.

Selain babi, mereka memelihara kambing. Kambing ditempatkan di pekarangan diikat pada sebatang pohon.

Hewan lain yang dijumpai di habitat ini adalah nyamuk. Nyamuk sangat banyak ditemui. Nyamuk tumbuh subur disini karena perkampungan ini banyak sekali terdapat bak-bak air penampung air hujan. Maka tak heran kalau dimusim kering yang jarang ada hujan, nyamuk tetap ganas menyerang.**

1 comment:

Anonymous said...

Nice site you have here..
Thanks for the info..I'll use this a lot

Post a Comment