11 August 2009

Kutunggu Keadilan di Langit Jakarta

(Refleksi Aliansi Rakyat Miskin dalam Advokasi Menolak Perda Ketertiban Umum)

Oleh : Sri Maryanti

Setelah proses panjang advokasi penolakan pemberlakuan 'Perda Kontroversi' yang sarat dengan nuansa pelanggaran hak asasi manusia dan berpotensi besar memicu kekerasan, Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan pada tanggal 27 Juli 2009 kemarin sebagai jawaban atas permohonan uji materiil yang diajukan pihak kelompok miskin melawan gubernur DKI . Keputusan tersebut sungguh sangat melukai hati kami sebagai kelompok miskin di Jakarta. Putusan tersebut banyak dilingkupi ketidakjelasan yang wajib kami pertanyakan keadilannya. Para penggugat langsung dianggap tidak sah hak gugatnya. Para hakim sama sekali tidak mempedulikan isi gugatan kami.

Sementara itu, dalam keseharian, praktek-praktek kekerasan sebagai akibat implementasi dari peraturan tersebut semakin memakan banyak korban di kalangan kelompok miskin di Jakarta. Modus-modus tindakan kekerasan yang terjadi makin berkembang ke tingkat yang lebih mengerikan.

Ganasnya Perda Ketertiban Umum
Dalam catatan Institut EcosocRights, jika dalam satu bulan terdapat 1.000 orang di Jakarta dan sekitarnya kehilangan pekerjaan atau tempat tinggal karena penggusuran dan penangkapan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), angka itu masih terbilang kecil. Rata-rata jumlah korban penggusuran setiap bulannya mencapai 3.200 orang. Sebagian besar terjerat oleh Perda DKI No 8 Tahun 2007 mengenai Ketertiban Umum.

Sebegitu ganas perda ini menghabisi kelompok informal di ibu kota. Memprihatinkan. Apalagi modus-modus penangkapan dan penggusurannya semakin mengerikan. Teman kami seorang pengamen, Dede Armila sampai sering dicekam rasa takut saat harus memegang gitar di jalanan. Apalagi setelah beberapa kali ia lihat cara Satpol PP menangkapi mereka dengan cara yang makin licik. Mereka bagi-bagi sembako pada emak-emak gelandangan dan pengamen atau permen dan makanan kecil pada anak jalanan. Setelah ngumpul, tiba-tiba Satpol PP mengepung. Mereka ditangkapi dan dimasukkan dalam mobil yang berkerangkeng. 'Kami menyebut mobil itu dengan istilah kaleng kerupuk.' Hal seperti ini sering sekali terjadi di daerah Tomang, Jakarta Barat.

Sebenarnya perda kontroversi ini mulai jadi bahasan kami sejak September 2007. Waktu itu gubernur DKI masih dipegang Sutiyoso. Perda tersebut sungguh meresahkan kami karena banyak sekali pasal-pasal yang mengancam kehidupan orang miskin di Jakarta. Gelombaang protes pedagang kaki lima, pengamen, waria, perempuan yang dilacurkan, anak jalanan, dan orang miskin bermunculan. Berbagai aksi demontrasi digelar di kantor-kantor instansi pemerintah. Kami datangi kantor gubernur, kantor DPRD, Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Istana Negara untuk meminta para pejabat negara agar tidak sekejam itu membuat aturan. Tampaknya kami seperti bicara dengan tembok. Bahkan salah satu pegawai Depdagri yang menemui kami, dengan ringan berkata "Kenapa mesti berjualan di trotoar? Kenapa tidak cari pekerjaan menjadi buruh cuci pakaian?" Kami sampai tidak bisa menjawab.

Beginilah kalau kita dipimpin oleh para pejabat yang tidak tahu susahnya menjadi buruh cuci. Orang dilarang mencari kesempatan lebih baik dari buruh cuci. Jadi saat pejabat Depdagri membahas perda ini di sebuah hotel mewah di kawasan pantai Ancol, tidak ada bayangan apapun tentang nasib orang-orang miskin ini akibat peraturan yang sedang mereka bahas. Perda itu diloloskan begitu saja.

Saking kesalnya, kami kemudian ngamen. Hasil ngamen kami serahkan kepada presiden sebagai ungkapan kekecewaan kami pada negara yang tidak melindungi kami. Tapi polisi melarang kami mendekati pasukan penjaga istana yang akan kami titipi duit tersebut. Polisi itu berjanji akan menyerahkan uang itu ke Sekretariat Negara untuk diserahkan ke SBY. Tentu kami tahu, polisi itu hanya membual. Usaha lain untuk mendekati presiden adalah dengan menitipkan pesan pada salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Kami wanti-wanti betul agar ia menyampaikan dampak buruk yang diakibatkan pemberlakuan perda ini. Rasanya juga tidak ada hasilnya. SBY tetap membiarkan perda ini berlaku.

Sebelumnya, beberapa akademisi dari berbagai latar belakang ilmu (planologi, hukum, filsafat, arsitek, sosiologi dan lingkungan) juga pernah mencemooh draft peraturan daerah ini karena terdapat banyak keanehan dalam rumusannya. Mereka sampai membuat acara bertajuk 'Mati Ketawa ala Perda' pada bulan puasa 2007. Kritik mereka bukan sekedar guyonan kosong, namun di dasarkan pada hasil kajian terhadap perda ini. Bayangkan, seorang warga kota bisa di denda hingga Rp20 juta hanya karena membeli makanan di kaki lima yang tidak mendapat ijin pemerintah. Benar-benar sinting. Berikutnya hasil kajian mereka kami lampirkan dalam gugatan maupun surat penolakan kepada pemerintah. Dukungan juga mengalir dari lembaga internasional COHRE (Center on Housing Rights and Eviction). Mereka mengirimkan petisinya kepada pemerintah agar membatalkan perda tersebut. Mereka juga melampirkan hasil kajian kasus serupa di India. Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) juga sempat melayangkan surat penolakan yang disertai hasil kajian mereka kepada Depdagri.

Tahun berganti, pejabat pun berganti. Fauzi Bowo naik menjadi Gubernur DKI. Tak ada kemajuan apapun untuk masalah ini. Gubernur yang baru cenderung mendiamkan proses pemberlakuan perda ini terus berjalan dan meloloskannya ke Depdagri. Akhirnya terpaksa kami menempuh upaya hukum terakhir. Bulan Februari 2008 kami mengajukan gugatan uji materiil keberatan terhadap perda ini ke MA. Kami mengantarkan berkas gugatan tersebut dalam sebuah iringan demonstrasi massa orang miskin ke kantor lembaga tinggi negara ini agar mereka tahu, gugatan ini adalah harapan jutaan orang miskin di Jakarta.

Keadilan Terpenjara
Berbulan-bulan lamanya masalah ini seperti membeku di kantor Mahkamah Agung. Pernah kami coba menanyakan perkembangan kasus ini langsung ke kantor mereka. Kami dipingpong dari ruangan ke ruangan. Memang ada komputer di lobi yang bisa dipakai untuk melihat perkembangan gugatan. Waktu itu kami tidak menemukan gugatan kami terdaftar dalam komputer tersebut. Untung teman-teman dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH-Jakarta) masih rajin memantau perkembangan kasus ini.

Sampai pada akhir Juli lalu, kami dikejutkan oleh sepucuk surat dari MA yang berisi keputusan atas gugatan kami. Surat bernomor 56/P.PTS/VII/2009/P/HUM/2008 tersebut memberitakan bahwa para hakim menolak gugatan kami dan menghukum kami dengan membayar biaya perkara satu juta rupiah. Alasan penolakan adalah para penggugat dianggap tidak sah.

Pupus sudah harapan mendapatkan keadilan dari lembaga tinggi negara yang katanya agung itu tanpa pernah kami dipanggil sekalipun untuk dimintai keterangan. Bahkan kapan dan dimana sidang itu berlangsung kami tak pernah diberi tahu. Yang kami pertanyakan, seharusnya para penggugat diperiksa sah tidaknya satu persatu. Jika hanya sebagian yang tidak sah, maka proses hukum berjalan terus karena ada sebagian penggugat yang sah dan harus dilindungi haknya. Tapi pada kasus ini tidak begitu. Seluruh penggugat langsung dianggap tidak sah bahkan tanpa mempertimbangkan pentingnya isi gugatan.

Kini kami tidak hanya memprotes isi perda ini, namun kami juga memprotes proses yang dijalankan di MA. Mekanisme tersebut sangat tertutup dan tidak membuka peluang lebih untuk mengupayakan kebenaran. Hakim-hakim itu seperti bersembunyi di ruang-ruang tertutup gedung MA. Tak pernah kami tahu atau mengenal bahkan melihat wajah mereka. Bagaimana mereka bisa memutuskan sesuatu untuk kami tanpa mereka mengenal dan mengerti maksud kami. Seharusnya MA membuat mekanisme peradilan yang lebih baik dan lebih memungkinkan tercapainya kebenaran.

Apa yang Kami Dapat?
Tentu kalau dilihat dari tercapai tidaknya tuntutan kami, sangat sedikit kemajuan yang kami capai. Namun proses dua tahun bekerja bersama dalam wadah yang menampung banyak organisasi dengan corak yang berbeda-beda ini adalah capaian tersendiri. Selama rentang waktu tersebut telah terjadi proses saling mengenali dan saling mengerti satu sama lain. Tentu konflik di antara organisasi ini pernah terjadi, namun yang lebih dominan adalah kerja sama yang saling men-suport satu sama lainnya. Berbagai hal sulit bisa kami lewati tanpa banyak beban.

Hal lain yang bisa dikatakan sebagai kelebihan Aliansi Rakyat Miskin adalah semangatnya untuk tetap terus berusaha berjuang. Meski kalah di MA, sedikit pun tidak menyurutkan niat elemen-elemen di dalamnya untuk mencari terobosan dalam mengupayakan penolakan terhadap peraturan yang tidak adil ini. Kemungkinan proses komplain di Mahkamah Konstitusi akan dijajaki.

Kedepannya kami berharap Aliansi Rakyat Miskin akan bertahan terus menghadapi hari-hari di Jakarta dengan penuh semangat mengedepankan kepentingan bersama. Jalan masih panjang, keadilan tetap harus diperjuangkan.**

Lihat isi Perda DKI No 8 Tahun 2007

Hasil kajian KOMNAS HAM terhadap isi perda

No comments:

Post a Comment